Bravo Beauty Fest menjadi salah satu agenda akbar andalan Pandega Mall yang dinanti-nanti setiap tahun. Kali ini, pameran kecantikan tersebut dimeriahkan ratusan jenama kosmetik yang tentu saja menawarkan berbagai promo spesial dan diskon menarik.Sejak resmi dibuka tiga hari lalu, ribuan orang telah datang berkunjung. Tak hanya berburu produk kecantikan incaran, banyak pula yang sengaja datang untuk menyimak berbagai workshop seru. Terlebih, selalu ada figur publik yang dihadirkan sebagai pembicara, mulai dari kalangan ahli kecantikan hingga selebritas.“Halo, semua! Senang sekali bisa bertemu teman-teman semua,” sapa Jingga dengan senyum hangat.Jingga baru saja diperkenalkan sebagai duta merek untuk jenama kecantikan yang belakangan tengah naik daun. Pembawaan ramah dan percaya diri membuat orang-orang antusias mendengarkan setiap kata yang Jingga ucapkan.Sebelumnya, sang pembawa acara juga telah memperkenalkan seorang dokter estetika yang didapuk menjadi pengisi workshop bersama
“Soalnya saya punya kenalan, dia lebih pilih ganti cushion-nya sekalian aja biar nggak ribet.”Senyuman Kanya melebar saat menyadari perubahan kecil pada raut wajah Jingga. Meski cuma sekejap mata, dia yakin perempuan itu jengkel padanya.Lalu, seolah tahu kalau ada yang tengah berjalan menuju dirinya, Kanya menoleh ke belakang. Jingga pun refleks mengikuti arah pandang Kanya dan segera mendapati Sena yang tampak melangkah pelan memasuki area workshop.Pria itu tersenyum kepada Kanya seraya menunjuk jam tangan dengan jemarinya. Isyarat kecil yang begitu mudah dipahami semua orang, tak terkecuali si pembawa acara.
“Kamu sama Sena masih belum mau punya anak?”Kanya tersenyum kecut mendengar pertanyaan ibunya. Inilah yang membuatnya enggan datang ke rumah orang tuanya. Perkara kapan punya momongan tak pernah absen dibahas.Berbeda dengan mertuanya, orang tua Kanya memang sangat berharap dirinya cepat hamil. Tak cuma Kanya, mereka pun kerap melemparkan pertanyaan serupa pada Sena.“Belum waktunya, Bunda.”Kanya tahu jawaban seperti itu tidak akan langsung membuat ibunya diam. Namun, memangnya dia bisa bilang apa lagi? Tak mungkin mengaku kalau dia dan Sena bahkan belum pernah bercinta, kan?“Sebaiknya jangan ditunda-tunda lagi, Kanya. Anak itu membuka pintu rezeki.”
“Pamerannya sukses besar, ya, Mas Mada?” Mada, pria yang ditanya Indra, langsung tersenyum. “Lumayan,” jawabnya.“Permintaan ekspor ke Belanda bisa dibilang paling tinggi dari tahun ke tahun. Ternyata memang orang-orang di sana banyak yang sudah kenal dan suka dengan produknya Gayatri Silver.”Indra mengangguk-angguk. Wajahnya tampak antusias. “Kita harus banyak-banyak berterima kasih pada diaspora di sana. Mereka itu promotor budaya Indonesia terbaik.”Mada pun menganggukkan kepalanya mantap, sepakat dengan ucapan ayah mertua adiknya itu. “Berkat para diaspora, semakin banyak masyarakat lokal yang terpincut dengan produk kerajinan Indonesia,” ujar Mada.Acara makan malam hari ini diadakan orang tua Kanya untuk menyambut kepulangan Mada, anak sulung mereka. Sepekan belakangan, Mada mewakili perusahaan keluarganya yang berpartisipasi dalam pameran kerajinan Indonesia di Amsterdam, Belanda. Pada acara yang digelar KBRI Den Haag itu, Mada sekaligus didapuk menjadi mentor bisnis bagi b
“Memangnya, Mas Mada tahu apa soal aibnya Jingga?”Kanya menggeser duduknya, lalu menepuk cepat sisi yang kosong. Mada menuruti perintah adiknya dengan senyuman mengejek. Pikirnya, mudah sekali membuat Kanya penasaran.“Aku mungkin tahu lebih banyak ketimbang kamu,” kata Mada yang kini duduk di samping Kanya.Ego Kanya agak tersentil mendengar kakaknya mengklaim tahu lebih banyak soal kisah cinta Sena di masa lalu.“Soal selingkuh? Kalau cuma itu, aku juga tahu,” ujarnya sinis.“Selingkuhnya sama berapa orang, kamu tahu?”Mata Kanya membola. Satu tangan terangkat untuk menutup mulutnya yang terbuka lebar. Mada berdecak sombong, lalu menyilangkan kedua tangannya di depan dada. “Nggak cuma satu, lho. Parah banget, kan? Playing victim banget, padahal dia yang salah.”“Sena sebenarnya cuma perlu buka mulut soal alasan mereka putus. Sederhana, tapi kayaknya suamimu punya pertimbangan berbeda.”Kanya menghela napas lagi. “Kata dia, harus hati-hati biar orang itu nggak terprovokasi untuk me
Jika boleh blak-blakan, Kanya sejujurnya menyukai ciuman Sena yang agresif dan memabukkan. Saat bibir mereka bertaut, Sena seolah menuntut seluruh perhatiannya, membuat kewarasan Kanya lenyap begitu saja.Kanya suka cara Sena menyentuhnya saat mereka berciuman. Ada kehangatan menggairahkan yang mengalir dari setiap sentuhan Sena. Kanya merasa dipuja di antara napas mereka yang saling beradu.“Kita bisa coba bikin sekarang kalau kamu mau.”Bagaimana rasanya jika kehangatan itu berlanjut? Membayangkan cumbuan itu berubah menjadi sesuatu yang intim dan panas, rasanya ingin—astaga, Kanya!Kanya mengerjap, buru-buru mengusir bayangan liar yang muncul di kepalanya. Malu pada diri sendiri karena pikirannya lari ke mana-mana hanya karena satu kalimat yang diucapkan Sena.“Jangan bercanda, deh, Mas! Mana bisa aku …”“Nggak bisa, kan?” potong Sena sambil mengubah posisinya menjadi terlentang.“Kamu nggak bisa melakukan itu dengan seseorang yang nggak kamu cintai. Iya, kan?”Jantung yang berdeta
Lebih dari sepekan sejak berhadapan langsung dengan Jingga di acara pameran kecantikan, hidup Kanya memang bisa dikatakan baik-baik saja. Rasanya tenang karena Jingga tidak lagi mengusiknya.Hidup seolah kembali damai seperti sebelum Jingga muncul di kafenya untuk pertama kali beberapa waktu lalu. Tidak ada pesan menyebalkan yang diterima Kanya dari perempuan itu. Tidak ada kiriman foto meresahkan juga.Jingga tak mengunggah konten yang kesannya menyindir Kanya atau apa pun yang bisa jadi bahan gosip. Antusiasme publik terhadap cinta segitiga antara Jingga, Sena, dan Kanya juga perlahan tenggelam.Namun, situasi yang terlalu tenang memang bisa menipu. Mungkin saja badai yang lebih besar akan segera datang setelahnya. Bikin waswas.Perasaan waswas itulah yang kini menyelinap di hati Kanya saat melihat nama Jingga tertera di layar ponselnya. Setelah cukup lama tidak ada pergerakan apa pun, mengapa tiba-tiba Jingga menghubunginya lagi?Kanya menepikan mobil di bahu jalan, lalu sepenuhnya
Ternyata tak cuma Kanya, Sena juga mendapatkan pesan tak mengenakkan hati dari Jingga.‘Kenapa belum menyerah? Mau aku terus berulah?’Pesan yang diterima Sena lebih singkat, tetapi efeknya tak beda. Jadi cemas dan waswas.Sena mencemaskan apa yang bakal dilakukan Jingga dalam waktu dekat. Lebih dari itu, dia mengkhawatirkan Kanya.“Kalau ada apa-apa, langsung telepon aja. Aku juga udah minta Andi untuk selalu siaga, antisipasi misal kamu kesulitan hubungi aku.”Kanya dapat merasakan kekhawatiran yang tersembunyi di balik kata-kata Sena. Agak aneh, tetapi dia jadi merasa sedikit lebih tenang. Sebab, setidaknya dia tahu bahwa sang suami ada di pihaknya.“Selain memantik gosip kayak tempo hari, memangnya dia bisa ngelakuin apa lagi, sih, Mas? Dia nggak mungkin bertindak lebih dari itu, kan? Sampai mencelakai secara fisik, misalnya.”Bukannya meremehkan. Hanya saja, jika ulah Jingga kembali sebatas mengundang gosip yang tak jelas, Kanya yakin akan bisa mengatasinya. Dia cuma perlu memba
Soal mengumpati orang, Mika memang jauh lebih jago ketimbang Kanya. Bukan hanya mengabsen berbagai nama penghuni kebun binatang, pengetahuan Mika tentang variasi kata makian juga terbilang jempolan.Di antara begitu banyak kata kasar yang Mika tahu, sebagian besar sudah dia gunakan untuk memaki Sena. Sebenarnya tidak enak didengar, tetapi anehnya Kanya jadi merasa lebih baik karenanya.Karena tidak pintar melakukannya sendiri, ternyata menyenangkan punya teman yang ahli mengumpat seperti Mika. Puas mendengar Sena dimaki-maki sebegitunya.Setelah semua umpatan itu, Kanya pikir Mika bakal sepenuhnya antipati lagi dengan Sena. Setidaknya Kanya bakal disuruh jaga jarak sementara dengan suaminya tersebut.Namun, barusan Mika malah dengan entengnya menyuruh Kanya dipeluk Sena. Mungkin cuma asbun karena obrolan mereka sudah tidak seserius sebelumnya, tapi Kanya tetap tak bisa menahan dirinya untuk tidak memicingkan mata.“Kamu tim siapa, sih, sebenarnya, Mik? Sena atau aku?”Tatapan Kanya ya
Setiap kali melihat Jingga menangis, hal pertama yang pasti segera dilakukan Sena dulu adalah memeluknya. Sena tidak perlu mengatakan apa pun untuk menenangkan Jingga. Hanya dengan sebuah pelukan, isak perempuan itu perlahan akan mereda.Hanya saja, lain dulu, lain sekarang.Hatinya kini memang tergerak melihat Jingga menangis pilu. Namun, afeksi semacam itu tidak lagi pantas dia berikan. Sena sepenuhnya sadar bahwa dirinya harus membiarkan garis batas di antara mereka tetap jelas. Akhirnya, cukup lama Sena hanya diam di tempatnya. Memandang iba Jingga yang sesenggukan sambil menutup wajahnya dengan kedua tangan, Sena menunggu sampai Jingga mampu menenangkan dirinya sendiri.Di sisi lain, Jingga mulai berusaha mengatur napas yang sesekali masih tersengal. Air matanya belum berhenti mengalir, tetapi sudah lebih terkendali.“Kita bisa mulai lagi dari awal …” Suara Jingga terdengar serak saat ia kembali berbicara seraya mengusap air matanya sendiri.“Aku janji nggak bakal bikin Mas kec
“Aku dulu terlalu kecewa dan marah, jadinya mengabaikan rasa sakit hati yang kamu tahan sendirian.”Bahkan sampai sore tadi, Sena masih memendam amarah yang sama pada Jingga. Hubungan mereka dulu barangkali tidak melulu bahagia, sesekali ada cekcok juga. Namun, mereka selalu cepat berbaikan, jadi tak ada alasan kisah kasih keduanya kandas di tengah jalan.Andai Sena tidak melihat Jingga selingkuh dengan mata kepalanya sendiri, mungkin mereka masih menjalin asmara hingga hari ini. Sena hanya perlu terus pura-pura tidak tahu bahwa dirinya telah dikhianati. Sena yakin, dirinya di masa lalu sanggup melakukan hal seperti itu demi tetap bersama Jingga.Namun, kekecewaan Sena sungguh telah mencapai puncaknya ketika mendapati Jingga tidur tanpa busana bersama pria lain di ranjang tempat mereka sering bercinta. Sejak malam itu, kemarahan Sena tidak pernah sedikit pun berkurang. Bahkan air mata Jingga, tangisannya yang pecah-pecah saat memohon maaf, tak dapat meluluhkan hati Sena.Sena merasa d
“Apa harus sejauh ini? Kenapa mesti dihapus semua?”Dua hari setelah putus, Jingga sempat mengira Sena ingin kembali padanya. Pria itu datang ke apartemennya tanpa pemberitahuan dan Jingga tentu saja dengan senang hati menyambutnya.Namun, kedatangan Sena hari itu ternyata hanya untuk menghapus segala jejak kenangan selama mereka menjalin asmara. Sena menjelajahi setiap sudut tempat tinggal Jingga, mengambil semua foto yang dipajang tak peduli sebesar apa ukurannya.Sena juga menyisir laptop Jingga, menghapus semua foto dan video mereka berdua, tak terkecuali yang ada di perangkat penyimpanan eksternal. Memori kamera digital pun tidak luput dari perhatiannya. Sena bahkan mereset ponsel Jingga setelah menghapus seluruh unggahan yang berkaitan dengan hubungan mereka di setiap akun media sosial Jingga. Dia rela menghabiskan banyak waktu untuk itu semua—sebegitunya tak mau ada satu pun kenangan yang tersisa.Jingga sendiri tak mengerti mengapa dirinya tidak bisa berbuat banyak. Awalnya s
Cinta pertama katanya akan selalu memiliki tempat spesial sampai kapan pun. Entah berujung bahagia atau justru jadi luka yang seakan tidak ada obatnya, cinta pertama seolah tidak ditakdirkan untuk dilupakan begitu saja.Itulah mengapa obrolan tentang cinta pertama seakan tidak pernah terasa membosankan. Bahkan tak sedikit pasangan yang saling penasaran dengan cinta pertama sang pujaan hati.Awal masa pacaran dulu, Jingga dan Sena juga pernah tiba-tiba mengobrolkan cinta pertama. Mulanya gara-gara Jingga tak sengaja bertemu mantannya ketika kencan di sebuah kafe bersama Sena.“Dulu pacarannya lama?”Kala itu, Sena terdengar sangat ingin tahu. Dia bisik-bisik bertanya, bahkan sebelum pria yang sempat menyapa Jingga baru beberapa langkah meninggalkan mereka mereka.Jingga tertawa tanpa suara melihat wajah penasaran Sena. Cemburunya cukup kentara karena jarang-jarang Sena menatap sinis pria lain.“Cuma beberapa bulan, kok. Nggak sampai setahun. Sekitar 5-6 bulan, mungkin?”Sena masih memp
Jingga meringkuk di atas ranjang, memeluk kedua lutut dengan pandangan kosong. Tangisannya sudah reda, menyisakan mata sembap dan bekas air mata yang mengering di wajahnya.Di sebelahnya, Chacha setia menemani. Sang asisten cuma diam, tak sedikit pun coba menghibur Jingga dengan kata-kata. Ia hanya sesekali mengusap pelan punggung Jingga, berusaha menenangkan tanpa suara.“Mas Sena mana …?”Setelah cukup lama, Jingga akhirnya memecah kesunyian dengan suara yang terdengar serak khas orang habis menangis.“Kak Jingga masih mau ketemu orang itu?”Chacha bertanya karena khawatir. Bagaimana jika Jingga merasa syok atau terguncang lagi gara-gara berinteraksi dengan Sena? Namun, Jingga tampaknya lebih cemas jika dirinya tak jadi menghabiskan waktu bersama Sena seperti apa yang terlanjur dia bayangkan sejak kemarin.Perempuan itu mengangguk kecil, lalu berkata, “Aku harus ketemu dia malam ini, Cha. Di mana Mas Sena sekarang …?”Selepas insiden sore tadi, Sena memang sempat tinggal sejenak di
Kanya ingin bertemu dengan Jingga bukan hanya untuk mengoceh tak jelas. Ada sesuatu yang hendak dia katakan pada mantan kekasih suaminya itu.“Jadi, sesuai apa yang kamu mau, akhirnya aku minta cerai.”Setelah mengatakan itu, Kanya ingat benar bagaimana suasana di antara mereka jadi hening sepenuhnya. Suara-suara lain di sekitarnya perlahan menghilang, tak terkecuali gemuruh angin laut dan deburan ombak yang saling berkejaran.Tak ada dengusan kesal atau helaan napas emosional. Jingga benar-benar hanya diam, pun dengan Kanya yang menunggu reaksinya.“Dia bilang apa …?”Ketika Jingga akhirnya memecah sunyi, suaranya sangat pelan, bahkan nyaris tak terdengar.“Setelah kamu minta cerai, dia bilang apa?”Jingga memperjelas pertanyaannya dengan suara yang sedikit bergetar.Saat menoleh ke arah Jingga, Kanya menangkap ekspresi yang tak bisa ia pahami. Jingga tampak menunduk, memandangi lantai dengan tatapan kosong.“Dia nggak mau,” tutur Kanya lirih. “Dia nggak mau kami bercerai.”Hening la
“Sialan kamu! Semuanya kacau gara-gara kamu! Semua salahmu! Aaargh …!”Jingga berteriak di sela isak tangisnya. Dia terus-menerus menyalahkan Kanya sambil mengguncang-guncang bahu perempuan yang menurutnya telah mengambil sumber kebahagiaannya itu.Baik Jingga maupun Kanya sama-sama tak menyadari saat pintu kamar terbuka. Pun dengan keributan kecil yang sempat terjadi di luar sebelum Sena memilih berlari menghampiri mereka berdua.Kamar yang ditempati Jingga cukup luas. Meski begitu, hanya butuh beberapa langkah bagi Sena untuk mencapai balkon.“Jingga …!”Sena tanpa sadar meninggikan suaranya ketika berusaha menghentikan apa yang Jingga lakukan pada Kanya. Tangan besarnya men
“Jujur, sampai sekarang pun aku belum paham kenapa Sena tiba-tiba muncul sebagai pengganti kakaknya.”Setelah susah payah meletakkan egonya, Jingga akhirnya mau duduk bersama Kanya di balkon. Namun, baru saja Kanya mulai bicara, dia sudah mencebik tak suka.“Selama bertahun-tahun, kami bahkan nggak pernah ngobrol. Basa-basi pun, dia kelihatan banget malesnya. Jadi, aku beneran nggak habis pikir waktu dia tiba-tiba diperkenalkan sebagai calon suamiku.”“Sebelum menikah, aku sempat tanya soal kalian. Bukannya kalian mau tunangan? Emangnya masuk akal kalau dia mendadak nikahnya malah sama aku?”Kanya masih ingat betapa dingin sikap Sena padanya dulu. Bicara sungguh hanya seperlunya. Saat berbicara pun, Sena tak mau melihat matanya kecuali saat ada orang yang memperhatikan.“Aku tanya nggak cuma 1-2 kali, tapi dia selalu nggak mau menjelaskan apa pun. Cuma bilang kalau kalian udah putus. Titik. Soal kapan dan/atau kenapa kalian putus, dia nggak merasa aku berhak tahu.”Jingga tersenyum mi