Mentari tidak tahu harus mendapatkan uang dari mana untuk Panca bulan depan. Dia sempat berbicara dengan Chloe jika dia masih ingin bekerja. Namun, Chloe tidak berani menerima Mentari karena Ranggi sudah melarangnya. Chloe tidak ingin menjadi penyebab Mentari dan Ranggi bertengkar.Mentari menghela napas sembari memandangi foto-fotonya dan Ranggi yang ternyata lumayan banyak. Keduanya tampak bahagia. Tanpa sadar Mentari tersenyum. Apa hari-hari menyenangkan itu akan datang lagi?Ranggi sudah berubah sekarang. Tatapannya berubah dingin. Tidak banyak kata yang terucap dari mulut pria itu sekadar untuk menggombali Mentari. Mentari juga merindukan sifat manja Ranggi yang terkadang membuatnya gemas sekaligus kesal.Mentari sontak menoleh ketika pintu terbuka. Dengan wajah datarnya Ranggi memasuki kamar. Namun, sorot mata pria itu terkunci pada sang istri. Mentari segera meletakkan ponselnya di nakas. Dia bersiap untuk serangan Ranggi yang memang beberapa hari terakhir selalu menyentuhnya,
"Aku baru tahu kamu adik Mbak Suri saat Reta sakit waktu itu," ucap Mentari dengan kepala tertunduk. "Kalau aku tahu lebih awal, sebelum kita menikah, aku tentu tidak akan menerima kamu."Ranggi menggebrak meja nakas untuk menyalurkan emosinya."Aku ... benar-benar minta maaf. Hal yang paling aku sesali dalam hidup ini adalah masa laluku. Sayang, aku tidak bisa memperbaikinya," sambung perempuan itu."Cukup," gumam Ranggi. Dia tidak ingin mendengar apa-apa lagi. Semakin dia mengetahui lebih banyak tentang Mentari, semakin remuk redam perasaannya. Fakta ini terlalu gila."Aku sudah bilang kamu akan menyesal karena mempertahankan pernikahan ini.""Diamlah, Mentari!"Perasaannya kepada perempuan itu bukanlah sebuah lelucon. Ranggi sungguh mencintainya. Ranggi tidak pernah menginginkan seseorang sampai sedalam ini. Akan tetapi, kenapa kenyataan harus semenyakitkan ini?Kenapa dia harus jatuh cinta kepada orang yang sudah merenggut kebahagiaan kakaknya? Orang yang jika Ranggi tidak terikat
"Kalau kamu tidak percaya, Papa punya buktinya."Reta sebenarnya tidak ingin berlama-lama berada di dekat Panca. Namun, pria itu berhasil menarik rasa penasarannya. Panca mengatakan jika Mentari adalah selingkuhannya. Reta tentu tidak langsung percaya. Dia berpikir Panca membual sama seperti saat memberi tahu jika Suri yang berselingkuh lebih dulu."Mana buktinya?" tanya Reta menantang.Pria itu kemudian menunjukkan beberapa bukti transfer dari rekening pribadi Mentari. "Ini uang sogokan agar Papa menutup mulut," ujar Panca.Reta sontak membelalak. "Tidak mungkin, kan?" gumamnya. Akan tetapi, akal sehatnya mulai berpikir kritis. Mentari tidak akan mengirimkan uang sebanyak dan sesering itu jika tidak ada sesuatu."Bagaimana, Sayang? Bukankah kamu sudah tidak adil ke Papa? Kamu membiarkan perempuan itu hidup nyaman di rumah kamu, tapi, kamu tidak menerima papa kamu sendiri." Panca memprovokasi.Reta mengepalkan tangan. Bagaimana mungkin ini bisa terjadi? Dia dan omnya sudah memasukkan
"Lampiaskan saja kemarahan kamu kepada Tante, jangan pada Sasi. Dia sama sekali tidak ada hubungannya dengan kesalahan-kesalahan Tante di masa lalu." Mentari menangkupkan kedua tangannya, memohon.Reta justru tertawa sinis, meskipun sudut matanya berair. Dia berusaha menahan tangis. Tidak sudi menumpahkan air mata di depan perempuan yang telah menghancurkan keluarganya."Seharusnya kamu memikirkan sebab akibatnya dulu sebelum melakukan sesuatu. Sekarang saja memelas seperti ini. Kamu kasihan pada anakmu, tapi tidak kasihan pada anak orang lain yang menjadi korban dari perbuatanmu," sahut Reta. Sudah hilang rasa hormatnya kepada Mentari."Tante benar-benar minta maaf, Reta," ucap Mentari untuk yang ke sekian kali."Permintaan maaf kamu itu tidak akan mengobati rasa sakitku! Apa kamu tahu? Mama menangis hampir setiap hari setelah tahu suami yang sangat beliau cintai ternyata berkhianat. Apa kamu tahu? Bukan hati Mama saja yang terluka, tapi fisiknya juga. Jadi harus kuapakan kamu? Hah!"
"Kak Reta, kok, kayak menghindari aku," ucap Sasi kepada Mentari.Sasi datang ke rumah ini membawa cake ketagih buatannya. Dia memberikan satu potong yang sudah dikemas menggunakan mika segitiga kepada Reta. Sasi sangat menunggu penilain dari Reta. Akan tetapi, orang yang sudah Sasi anggap seperti kakaknya sendiri itu hanya menerima kemudian berlalu."Mungkin suasana hati Reta sedang tidak baik. Kamu juga kalau tidak mood suka tidak ingin diganggu, kan?" Mentari memberi jawaban yang masuk akal."Mungkin." Sasi mengangkat pundak. "Padahal aku mau curhat ke Kak Reta.""Curhat apa? Ke Bunda saja."Anak itu menghela napas panjang. "Soal kakak kelas yang suka melabrak aku gara-gara cowok yang dia suka, malah naksir aku. Aku pula yang disalahkan! Aku mau ngadu ke Kak Reta."Sepertinya sekarang Reta tidak akan peduli lagi kepada Sasi. Mentari lantas mengusap kepala putrinya. "Kamu sudah berusaha membela diri?" tanyanya, "Jangan terlalu bergantung kepada orang lain, Bulanku. Akan ada saatnya
Suri pernah memberi nasihat, "Satu langkah pertama yang kamu ambil, akan membawa kamu pada langkah-langkah berikutnya. Jika langkah pertama itu menuju kebaikan, maka langkah selanjutnya akan baik juga. Begitu pun sebaliknya."Dulu Ranggi hanya mendengarkan sambil lalu. Buktinya dia pernah pergi beberapa kali ke kelab saat beranjak dewasa. Sekarang pun, dia melakukannya lagi. Jika waktu itu karena tidak enak menolak ajakan teman-temannya, kini Ranggi menginjakkan kaki di ruangan yang penuh ingar bingar itu dengan kesadaran diri.Pria itu mengedarkan pandangan. Musik dj menggaung, membuat sebagian pengunjung ikut berjingkrak di bawah lampu disko."Ayo, Gi." Vanya menarik Ranggi menuju kerumunan orang-orang yang sedang berjoget itu. Vanya menggerakkan badannya, menikmati alunan musik. Sesekali dia menyenggol Ranggi, menyuruhnya ikut menari.Lama-kelamaan Ranggi terpancing. Dia mengangkat tangan, kemudian melompat sesuai entakan musik. Entah berapa lama Ranggi terbuai dengan gemerlap kehi
Vanya bilang, Ranggi boleh menganggap tidak terjadi sesuatu di antara mereka. Akan tetapi, semakin Ranggi ingin mengabaikan hal itu, dia justru semakin resah dilanda rasa bersalah.Vanya sering mengunjungi Ravocado hanya untuk merecokinya. Namun, sejak malam itu yaitu satu minggu yang lalu, perempuan itu belum menampakkan batang hidungnya."Bagaimana kalau Vanya trauma terus tidak mau keluar kos?" Ranggi membatin. Dia mengacak rambutnya. Frustrasi dengan keadaan. Masalah hidupnya justru kian bertambah rumit. Mencari jalan keluar dengan cara-cara yang buruk memang hanya akan mendatangkan konflik baru.Ranggi menghela napas berat. Dia lantas menyambar kunci motornya. Ranggi tidak bisa diam saja, lalu mati karena digerogoti penyesalan. Dia lekas pergi ke kosan Vanya.Namun, pria itu mendadak mengerem kendaraan roda duanya saat melihat Mentari di antara antrean orang-orang yang hendak membeli makanan yang sedang viral. Sekarang, rasa bersalah itu semakin menjadi-jadi. Bukankah Ranggi bisa
"Ranggi, kenapa kamu diam saja?"Sudah bermenit-menit berlalu sejak mereka duduk berhadapan di kursi makan. Mentari menunggu apa saja yang hendak Ranggi katakan. Namun, pria itu masih betah mengatupkan mulutnya."Aku tidak tahu harus memulainya dari mana," ucap Ranggi akhirnya."Jangan katakan dulu kalau kamu belum siap."Sepertinya Ranggi memang tidak akan pernah siap. Apa Ranggi harus mengakui jika dia telah melakukan sesuatu yang buruk kepada Vanya? Mentari pernah menjadi korban juga. Meskipun Mentari tidak menaruh dendam kepada Bentala. Akan tetapi, Mentari selalu emosional saat melihat atau mendengar berita tentang pelecehan.Ranggi juga tidak mau Mentari tahu bahwa dia menjadi pemabuk setelah pindah. Sekarang Ranggi benar-benar kapok setelah malam itu."Om Ranggi mau menikah lagi sama Kak Vanya."Ranggi sontak membelalak, lalu menoleh keponakannya yang justru berwajah datar."A-apa? Menikah?" tanya Mentari."Reta, jangan ikut campur," ujar Ranggi.Namun, anak itu tetap melibatka
"Reta?"Mentari terperanjat ketika mendapati gadis itu mengunjungi kediamannya. Reta memang pernah ke sini saat mereka berkemah di halaman. Akan tetapi, waktu itu dia bersama Ranggi, tidak seorang diri seperti hari ini."Silakan duduk, Reta," ucap Mentari aasedikit canggung. "Mau dibuatkan minuman apa?"Gadis itu menggeleng pelan. "Tidak usah. Aku tidak akan lama. Ada sesuatu yang ingin aku katakan."Mentari lantas mengambil tempat di seberang Reta. Dia bertanya-tanya hal apa yang membawa Reta sampai menemuinya. "Ada apa?""Ini soal Om Ranggi.""Ranggi?""Iya. Sebenarnya aku tidak punya hak membicarakan hal ini. Tapi, karena aku menduga aku menjadi penyebabnya, mau tidak mau aku harus terlibat.""Apa sesuatu terjadi lagi kepada Ranggi?" Mentari sontak panik. Dia sedikit trauma jika ada orang lain yang ingin memberikan kabar soal pria itu kepadanya. Dulu Xavier saat Ranggi kecelakaan. Belum lama ini Sasi memberi tahu jika mantan suaminya tersebut dibegal."Om Ranggi masih mencintai And
Sasi pikir Lukman akan memiliki pandangan buruk kepadanya karena menyembunyikan pernikahan. Namun, pria itu justru khawatir. Sasi benar-benar terkejut. Pesan Lukman belum Sasi balas. Selain karena tidak tahu harus menjawab apa, Sasi juga harus segera membersihkan diri lantaran Emir sudah keluar. Keterlambatannya itu ternyata semakin membuat Lukman cemas hingga dia kembali mengirim pesan. Lukman : [Sasi, aku harap kamu baik-baik saja.] Pria itu mungkin tidak akan tenang sebelum Sasi menjawabnya. Sasi : [Aku baik-baik saja, Kak.] Lukman : [Benarkah?] Sepertinya Lukman benar-benar peduli kepada Sasi. Perempuan itu refleks terenyum. Sasi : [Iya.] "Ada apa, Babe?" Ah! Sasi lupa jika dia sedang berada di dalam mobil bersama Emir. Sasi lantas menunjukkan foto Rai yang sedang mengikuti acara outbond. Sasi sengaja meminta foto Rai kepada Mentari karena merindukan adiknya itu. "Sepertinya aku kenal tempat itu." "Iya. Di Nuraga Park. Sekolah Rai sedang mengadakan study tour ke sana."
"Papi, Mami kenapa tidak pulang-pulang?" Danta bertanya sambil berurai air mata. Dia pasti sangat merindukan Vanya.Ranggi segera merangkul tubuh kecil anak itu. "Urusan mami kamu belum selesai. Sabar, ya? Kan, ada Papi, ada Kak Reta juga.""Mau Mami." Danta menggeleing.Ranggi belum bisa menceritakan keadaan Vanya. Danta masih terlalu kecil untuk mengetahui apa yang terjadi."Kalau sekarang kita main ke rumah Kak Rai, gimana? Mau, kan?"Danta berpikir sejenak. Dihapusnya air mata menggunakan punggung tangan, lalu mengangguk pelan. "Mau," jawabnya.Ranggi tersenyum lega. Dia lantas membawa anak itu menemui Rai. Kesedihan Danta perlahan berkurang saat dia bekerja sama merakit lego bersama kakaknya."Mbak, apa malam ini Rai boleh menginap di rumahku? Mungkin Danta tidak akan terlalu kepikiran Vanya kalau ada anak seumurannya," kata Ranggi kepada Mentari."Aku tidak keberatan kalau anaknya mau. Tapi, Rai susah tidur di tempat asin
"Hanya karena aku menerima keadaanku, itu tidak berarti aku akan menceraikanmu, Sasi. Aku tetap tidak akan membiarkanmu bersama lelaki lain yang wajahnya sempurna, sedangkan aku seperti ini."Perkataan Emir menampar Sasi dengan telak. Seharusnya dia yang memiliki wajah rusak. Seharusnya dia yang tidak percaya diri hingga tidak ingin bertemu orang lain. Seharusnya dia juga yang saat ini sibuk perawatan dengan biaya mahal.Bagaimana mungkin Sasi sempat berpikir akan terbebas dari pernikahan ini saat ucapan terima kasih dan kata maaf saja tidak akan cukup untuk membayar tindakan Emir?Sasi akan menjadi orang yang tidak tahu diuntung."Aku mengerti," sahutnya."Jangan pernah membahas perceraian lagi denganku!" kata Emir tegas."Iya." Sasi kemudian menyentuh pipi Emir yang terkena siraman air keras. Bulan depan pria itu akan menjalani operasi terakhir.Tatapan Emir melembut. Dia menahan tangan Sasi agar tetap berada di pipinya. "Maaf, aku
"Jadi, Emir, kapan kamu akan mentalakku?"Pertanyaan tersebut keluar dari bibir mungil Sasi. Dia mengatakannya dengan santai, seolah-olah hal itu perkara sangat sepele tanpa tahu dampak yang akan dialami oleh si pendengar. Untuk sesaat, Emir merasa jantungnya berhenti berdetak.Pria yang sedang menonton siaran ulang pertandingan voli itu seketika mengetatkan rahang. Dicengkeramnya kuat-kuat remot yang berada digenggaman."Kamu lupa, ya? Toko buka minggu depan. Besok kita harus mulai mengundang tamu-tamu untuk pembukaan nanti," jawab Emir. Tatapannya tetap menatap layar yang memperlihatkan dua tim lokal sedang bertanding. Namun, hatinya remuk redam."Oh, iya juga." Helaan napas terdengar.Apa Sasi kecewa? Rupanya dia ingin cepat-cepat melepaskan diri dari Emir, padahal perasaan pria itu sudah berubah. Ternyata selama ini cinta Emir tidak bersambut. Menyedihkan. Mungkinkah dia sedang dihukum karena dengan sengaja menikahi Sasi hanya untuk membuatnya
Lukman : [Sasi, kamu sudah punya pacar?]Seharusnya pertanyaan itu mudah. Namun, Sasi justru kesulitan menjawab. Jari-jarinya terhenti begitu saja di atas layar. Dia mendadak sesak. Entah kenapa Sasi enggan memberi tahu statusnya saat ini.Alih-alih memberi jawaban, dia malah balik bertanya.Sasi : [Memangnya kenapa, Kak?]Lukman : [Tidak. Takutnya ada yang marah kita berbalas pesan begini.]Perempuan itu seketika menoleh ke arah pintu kamar mandi. Guyuran shower terdengar dari dalam sana. Dia merasa Emir tidak memiliki alasan untuk marah karena hal ini. Lagi pula, Sasi dan Lukman hanya berkirim pesan. Itu juga membahas pekerjaan, meskipun sedikit keluar konteks.Sasi : [Tidak, kok.]Lukman : [Syukurlah.]Pria itu mengirim emoji senyum, yang membuat Sasi turut menarik kedua sudut bibirnya.Lukman : [Untuk logonya benar tidak ada yang harus direvisi? Kalau menurut kamu ada yang kurang, katakan saja.]Sasi : [Sudah
Lukman Respati adalah kakak kelas Sasi sejak SMP. Sasi bisa naksir Lukman karena dia berbeda dari anak-anak cowok yang sering menyatakan cinta. Lukman memperlakukan Sasi sama seperti perlakuannya kepada orang lain. Tidak membeda-bedakan, tidak memprioritaskan, hanya karena Sasi cantik.Sasi terkesan pada Lukman. Dia jadi penasaran tipe perempuan seperti apa yang pria itu suka. Sampai SMA Sasi masih diam-diam memperhatikannya. Akan tetapi, sejak pindah sekolah, dia tidak pernah tahu kabar Lukman lagi.Tanpa sadar Sasi tersenyum. Dia teringat hari-hari jatuh cinta saat Lukman selalu menjadi sosok yang Sasi cari di sekolah. Hanya memperhatikannya dari jauh sudah cukup untuk Sasi. Asalkan dalam sehari dia bisa melihat pria itu."Bagaimana kabarnya sekarang? Apa dia sudah menikah?" Sasi membatin.Dia lalu memeriksa akun Lukman. Di sana pria itu membuka jasa ilustrasi untuk logo brand, sampul buku, dan lain-lain. Dari testimoninya sudah banyak yang memesan dan
Jalanan malam cukup lenggang, sehingga Ranggi menambah kecepatan berkendara. Dia ingin segera mengistirahatkan badan dan pikiran setelah masalah yang terjadi dengan Wizurai. Lain kali Ranggi akan lebih berhati-hati dalam memilih partner. Dia juga harus memastikan kejadian seperti ini tidak terulang.Pria itu mendengkus. Meskipun masalah berhasil diselesaikan lantaran Ranggi sudah memberikan kompensasi, kekesalannya tetap ada. Ini adalah kali pertama Wizurai tersandung kasus memalukan. Ilustrator yang bekerja sama dengannya memplagiat karya orang luar negeri. Selain membuat brand Wizurai tercoreng, dia juga membuat negara sendiri ikut terkena tinta hitam.Kedongkolan Ranggi belum menghilang saat seseorang tiba-tiba melintas di depan. Dia sontak membelalak. Beruntung dia berhasil menghentikan mobil sebelum menabrak. Namun, hal itu tetap membuatnya berada dalam masalah.Teman-teman orang yang hampir Ranggi tabrak lekas mengerumuni mobil."Keluar lo! Tanggung
"Emir?"Pria itu menatap tepat ke dalam mata perempuan di hadapannya. Dia sudah berusaha menahan diri. Akan tetapi, dorongan itu terus mendesak untuk dituruti.Emir menundukkan kepala. Mengikis ruang kosong di antara dirinya dan Sasi. Gadis itu tersentak. Namun, Emir tidak berhenti. Bagaimanapun juga, dia adalah pria normal. Batas yang selama ini dia bangun untuk membentengi diri sendiri perlahan roboh. Barangkali karena kesadaran jika Sasi adalah istrinya dan mereka selalu bersama.Saat di Amerika, Emir bisa menahan godaan lantaran sejak remaja orang tuanya sudah sering mengajari soal hal-hal yang dilarang agama, beserta dampak buruk dari perbuatan tersebut. Emir bisa tahan banting meskipun banyak perempuan cantik dan seksi, juga kehidupan bebas di sana. Tambah lagi, sang papa diam-diam menyuruh orang mengawasi setiap gerak-gerik Emir. Makin tidak beranilah dia.Akan tetapi, saat ini penghalang yang mengikat naluri biologisnya sudah semakin longgar. Seka