Karena tidak ingin repot mentransfer atau memberikan uang, di awal menikah Ranggi sudah menyerahkan kartu debitnya sendiri kepada Mentari. Mentari sepenuhnya mengelola keungan untuk rumah. Ranggi memang tidak pernah bertanya soal pengeluaran. Akan tetapi, Mentari merasa perlu memberikan laporan untuk apa saja uangnya digunakan.Lagi pula, Ranggi juga akan tahu nominal uang yang diambil karena dia yang memegang mobile banking. Sehingga Mentari tidak bisa seleluasa itu. Jika terlalu sering, pada akhirnya mungkin akan menjadi pertanyaan juga, apalagi permintaan Panca tidak bisa dikategorikan sedikit."Tidak. Ini masalahku. Aku tidak boleh memakai uang Ranggi," ucapnya seraya memasukkan kembali kartu platinum itu ke dalam dompet. Mentari bersyukur Panca tidak menyadari ada dua kartu saat memeriksa dompetnya."Tapi, dari mana aku mendapatkan uang?" batin Mentari.Permintaan Panca semakin hari semakin memberatkan. Mentari menduga Panca bermain judi online karena beberapa hari yang lalu, ada
"Mas Ben?"Ranggi mengernyit ketika melihat Bentala sedang duduk santai di sofa yang berada di lantai dua kafenya. Suasana hatinya yang sedang tidak baik justru semakin buruk dengan keberadaan pria itu, apalagi sore tadi Bentala mengantar Mentari."Ada apa gerangan sehingga Mas Ben mau berkunjung ke kafe yang kecil ini?" tanya Ranggi. Siapa pun yang mendengar ucapannya, pasti langsung mengerti jika Ranggi tidak menyukai pria di hadapannya."Saya ingin membicarakan soal Tari.""Kenapa ingin membicarakan istri orang? Oh, karena Mas Ben tidak punya istri, ya?"Bentala menghela napas. Jika bukan demi kebaikan Mentari, Bentala tidak akan sudi menemui Ranggi. Meskipun Mentari sudah memohon agar dia tidak membocorkan rahasianya, tetapi Bentala tidak bisa melakukan itu. Dia tidak ingin Mentari kesusahan sendiri, apalagi dalam keadaan hamil."Saya serius. Jangan sampai kamu menyesal di kemudian hari karena tidak mendengarkan ucapan saya ini," ucap Bentala dingin.Ranggi akhirnya duduk di sampi
"Kamu menyembunyikan kehamilan demi pekerjaan?" Ranggi mengeluarkan suplemen yang biasa dikonsumsi Mentari dari dalam tasnya."Aku sangat sedih mendapati kenyataan kalau anakku meninggal sebelum aku tahu tentang keberadaannya." Pria itu lalu menunjuk perut sang istri. "Tapi, aku hancur begitu tahu kamu sengaja menyembunyikan ini semua. Kamu membuatku menjadi orang bodoh, Sunshine."Mentari membasahi bibir bawahnya. Tidak ada yang bisa dia katakan selain menggumamkan kata maaf, yang sama sekali tidak bisa memperbaiki keadaan."Berapa banyak utang-utang sialan itu? Pada siapa kamu meminjamnya?" tanya Ranggi tegas. Dia mendekati Mentari yang sedang bersandar di kepala ranjang.Mentari menggeleng. "Aku--""Apa?" Ranggi cepat memotong ucapan istrinya. "Kamu apa? Kamu tidak ingin aku terlibat? Aku ini suami kamu, Mentari. Meskipun aku memang lebih muda dari kamu, aku tetap imam kamu. Sekarang jawab! Berapa banyak utang-utang kamu itu?" sambung Ranggi penuh penekanan.Mentari harus menjawab
Semakin hari Ranggi dan Vanya tampak semakin dekat. Biasanya Ranggi tidak terlalu memedulikan kehadiran Vanya di rumah. Namun, sekarang, saat mengawali hari atau sepulangnya dia dari kafe, perempuan itu yang Ranggi cari untuk membuatkan kopi. Bahkan Ranggi tetap menanyakan segala sesuatu kepada Vanya, padahal di luar pekerjaannya."Van, lihat kemejaku yang biru tua?"Padahal, urusan mencuci dan menyetrika pakaian adalah tanggung jawab Mbak Juar. Umumnya juga Ranggi akan bertanya dulu kepada Mentari, lalu Mentari yang akan membantu mencari apa saja yang pria itu butuhkan. Jika Mentari tidak menemukannya, baru dia akan menemui Mbak Juar.Sedangkan hubungan Ranggi dan Mentari justru semakin berjarak. Keduanya mendiamkan satu sama lain. Mentari segan mengawali pembicaraan. Semua kalimat yang sudah dia susun, selalu berakhir tertahan di mulutnya."Om dan Tante itu kenapa, sih? Kalau ada masalah, segera diselesaikan. Suasana rumah jadi tidak enak, tahu!" kata Reta setelah Ranggi pergi, mele
"Saya tidak ingin memberikan apa pun lagi kepada Anda." Mentari berucap tegas kepada lawan bicaranya. Dia menarik napas, kemudian mengembuskannya perlahan. "Jika Anda ingin memberi tahu Ranggi soal masa lalu kita, silakan saja."Mentari sudah mengibarkan bendera putih. Dia menyerah. Perjuangannya cukup sampai di sini. Kebohongan tidak akan pernah bisa menjadi pondasi yang kuat untuk mempertahankan suatu hubungan. Kenyataannya, Mentari dan Ranggi justru semakin merenggang.Panca tersenyum miring. "Apa kamu yakin, Tari? Lelaki yang sangat mencintaimu itu akan berbalik membencimu."Mentari sudah mempersiapkan diri dari jauh-jauh hari sejak tahu jika Ranggi adalah adik Suri. Mentari bertekad untuk menikmati kebersamaan mereka sebelum semuanya terbongkar. Mungkin, sekaranglah waktunya."Saya yakin, Pak Panca," jawab Mentari. Sorot matanya menunjukkan kesungguhan. Namun, jauh di lubuk hatinya perempuan itu sebenarnya enggan. "Silakan beri tahu Ranggi. Oh, tidak perlu. Biar saya saja yang me
"Aku mencintaimu. Benar-benar mencintaimu. Maka dari itu, aku tidak akan menceraikanmu, Mentari."Mentari membelalak. "Tapi, Ranggi ....""Kamu pikir, setelah mempermainkan perasaanku, aku akan melepasmu begitu saja?" Ranggi menatap tajam, membuat Mentari tercekat. "Kamu masih ingat apa yang kamu janjikan dulu?"Mentari justru balik bertanya, "A-apa?"Hal itu sontak memancing tawa Ranggi. Bukan karena sesuatu yang lucu, melainkan rasa frustrasi dan putus asa. Mentari melupakan janji yang pernah dia ucapkan sendiri seolah-olah perkatannya waktu itu memang omong kosong."Kamu berjanji tidak akan pergi kalau bukan aku yang menyuruhmu pergi," ucap Ranggi.Ah! Mentari ingat. Janji yang terikrar saat Ranggi memenangkan permainan engklek. Permainan yang membawa mereka viral di salah satu aplikasi berbagi vidio, kemudian melahirkan masalah sampai hari ini. Panca bisa mengetahui soal Mentari juga karena hal itu."Bagaimana? Lupa? Atau pura-pura lupa?" Ranggi bertanya sinis."Aku ingat," jawab
Mentari tidak tahu harus mendapatkan uang dari mana untuk Panca bulan depan. Dia sempat berbicara dengan Chloe jika dia masih ingin bekerja. Namun, Chloe tidak berani menerima Mentari karena Ranggi sudah melarangnya. Chloe tidak ingin menjadi penyebab Mentari dan Ranggi bertengkar.Mentari menghela napas sembari memandangi foto-fotonya dan Ranggi yang ternyata lumayan banyak. Keduanya tampak bahagia. Tanpa sadar Mentari tersenyum. Apa hari-hari menyenangkan itu akan datang lagi?Ranggi sudah berubah sekarang. Tatapannya berubah dingin. Tidak banyak kata yang terucap dari mulut pria itu sekadar untuk menggombali Mentari. Mentari juga merindukan sifat manja Ranggi yang terkadang membuatnya gemas sekaligus kesal.Mentari sontak menoleh ketika pintu terbuka. Dengan wajah datarnya Ranggi memasuki kamar. Namun, sorot mata pria itu terkunci pada sang istri. Mentari segera meletakkan ponselnya di nakas. Dia bersiap untuk serangan Ranggi yang memang beberapa hari terakhir selalu menyentuhnya,
"Aku baru tahu kamu adik Mbak Suri saat Reta sakit waktu itu," ucap Mentari dengan kepala tertunduk. "Kalau aku tahu lebih awal, sebelum kita menikah, aku tentu tidak akan menerima kamu."Ranggi menggebrak meja nakas untuk menyalurkan emosinya."Aku ... benar-benar minta maaf. Hal yang paling aku sesali dalam hidup ini adalah masa laluku. Sayang, aku tidak bisa memperbaikinya," sambung perempuan itu."Cukup," gumam Ranggi. Dia tidak ingin mendengar apa-apa lagi. Semakin dia mengetahui lebih banyak tentang Mentari, semakin remuk redam perasaannya. Fakta ini terlalu gila."Aku sudah bilang kamu akan menyesal karena mempertahankan pernikahan ini.""Diamlah, Mentari!"Perasaannya kepada perempuan itu bukanlah sebuah lelucon. Ranggi sungguh mencintainya. Ranggi tidak pernah menginginkan seseorang sampai sedalam ini. Akan tetapi, kenapa kenyataan harus semenyakitkan ini?Kenapa dia harus jatuh cinta kepada orang yang sudah merenggut kebahagiaan kakaknya? Orang yang jika Ranggi tidak terikat
"Reta?"Mentari terperanjat ketika mendapati gadis itu mengunjungi kediamannya. Reta memang pernah ke sini saat mereka berkemah di halaman. Akan tetapi, waktu itu dia bersama Ranggi, tidak seorang diri seperti hari ini."Silakan duduk, Reta," ucap Mentari aasedikit canggung. "Mau dibuatkan minuman apa?"Gadis itu menggeleng pelan. "Tidak usah. Aku tidak akan lama. Ada sesuatu yang ingin aku katakan."Mentari lantas mengambil tempat di seberang Reta. Dia bertanya-tanya hal apa yang membawa Reta sampai menemuinya. "Ada apa?""Ini soal Om Ranggi.""Ranggi?""Iya. Sebenarnya aku tidak punya hak membicarakan hal ini. Tapi, karena aku menduga aku menjadi penyebabnya, mau tidak mau aku harus terlibat.""Apa sesuatu terjadi lagi kepada Ranggi?" Mentari sontak panik. Dia sedikit trauma jika ada orang lain yang ingin memberikan kabar soal pria itu kepadanya. Dulu Xavier saat Ranggi kecelakaan. Belum lama ini Sasi memberi tahu jika mantan suaminya tersebut dibegal."Om Ranggi masih mencintai And
Sasi pikir Lukman akan memiliki pandangan buruk kepadanya karena menyembunyikan pernikahan. Namun, pria itu justru khawatir. Sasi benar-benar terkejut. Pesan Lukman belum Sasi balas. Selain karena tidak tahu harus menjawab apa, Sasi juga harus segera membersihkan diri lantaran Emir sudah keluar. Keterlambatannya itu ternyata semakin membuat Lukman cemas hingga dia kembali mengirim pesan. Lukman : [Sasi, aku harap kamu baik-baik saja.] Pria itu mungkin tidak akan tenang sebelum Sasi menjawabnya. Sasi : [Aku baik-baik saja, Kak.] Lukman : [Benarkah?] Sepertinya Lukman benar-benar peduli kepada Sasi. Perempuan itu refleks terenyum. Sasi : [Iya.] "Ada apa, Babe?" Ah! Sasi lupa jika dia sedang berada di dalam mobil bersama Emir. Sasi lantas menunjukkan foto Rai yang sedang mengikuti acara outbond. Sasi sengaja meminta foto Rai kepada Mentari karena merindukan adiknya itu. "Sepertinya aku kenal tempat itu." "Iya. Di Nuraga Park. Sekolah Rai sedang mengadakan study tour ke sana."
"Papi, Mami kenapa tidak pulang-pulang?" Danta bertanya sambil berurai air mata. Dia pasti sangat merindukan Vanya.Ranggi segera merangkul tubuh kecil anak itu. "Urusan mami kamu belum selesai. Sabar, ya? Kan, ada Papi, ada Kak Reta juga.""Mau Mami." Danta menggeleing.Ranggi belum bisa menceritakan keadaan Vanya. Danta masih terlalu kecil untuk mengetahui apa yang terjadi."Kalau sekarang kita main ke rumah Kak Rai, gimana? Mau, kan?"Danta berpikir sejenak. Dihapusnya air mata menggunakan punggung tangan, lalu mengangguk pelan. "Mau," jawabnya.Ranggi tersenyum lega. Dia lantas membawa anak itu menemui Rai. Kesedihan Danta perlahan berkurang saat dia bekerja sama merakit lego bersama kakaknya."Mbak, apa malam ini Rai boleh menginap di rumahku? Mungkin Danta tidak akan terlalu kepikiran Vanya kalau ada anak seumurannya," kata Ranggi kepada Mentari."Aku tidak keberatan kalau anaknya mau. Tapi, Rai susah tidur di tempat asin
"Hanya karena aku menerima keadaanku, itu tidak berarti aku akan menceraikanmu, Sasi. Aku tetap tidak akan membiarkanmu bersama lelaki lain yang wajahnya sempurna, sedangkan aku seperti ini."Perkataan Emir menampar Sasi dengan telak. Seharusnya dia yang memiliki wajah rusak. Seharusnya dia yang tidak percaya diri hingga tidak ingin bertemu orang lain. Seharusnya dia juga yang saat ini sibuk perawatan dengan biaya mahal.Bagaimana mungkin Sasi sempat berpikir akan terbebas dari pernikahan ini saat ucapan terima kasih dan kata maaf saja tidak akan cukup untuk membayar tindakan Emir?Sasi akan menjadi orang yang tidak tahu diuntung."Aku mengerti," sahutnya."Jangan pernah membahas perceraian lagi denganku!" kata Emir tegas."Iya." Sasi kemudian menyentuh pipi Emir yang terkena siraman air keras. Bulan depan pria itu akan menjalani operasi terakhir.Tatapan Emir melembut. Dia menahan tangan Sasi agar tetap berada di pipinya. "Maaf, aku
"Jadi, Emir, kapan kamu akan mentalakku?"Pertanyaan tersebut keluar dari bibir mungil Sasi. Dia mengatakannya dengan santai, seolah-olah hal itu perkara sangat sepele tanpa tahu dampak yang akan dialami oleh si pendengar. Untuk sesaat, Emir merasa jantungnya berhenti berdetak.Pria yang sedang menonton siaran ulang pertandingan voli itu seketika mengetatkan rahang. Dicengkeramnya kuat-kuat remot yang berada digenggaman."Kamu lupa, ya? Toko buka minggu depan. Besok kita harus mulai mengundang tamu-tamu untuk pembukaan nanti," jawab Emir. Tatapannya tetap menatap layar yang memperlihatkan dua tim lokal sedang bertanding. Namun, hatinya remuk redam."Oh, iya juga." Helaan napas terdengar.Apa Sasi kecewa? Rupanya dia ingin cepat-cepat melepaskan diri dari Emir, padahal perasaan pria itu sudah berubah. Ternyata selama ini cinta Emir tidak bersambut. Menyedihkan. Mungkinkah dia sedang dihukum karena dengan sengaja menikahi Sasi hanya untuk membuatnya
Lukman : [Sasi, kamu sudah punya pacar?]Seharusnya pertanyaan itu mudah. Namun, Sasi justru kesulitan menjawab. Jari-jarinya terhenti begitu saja di atas layar. Dia mendadak sesak. Entah kenapa Sasi enggan memberi tahu statusnya saat ini.Alih-alih memberi jawaban, dia malah balik bertanya.Sasi : [Memangnya kenapa, Kak?]Lukman : [Tidak. Takutnya ada yang marah kita berbalas pesan begini.]Perempuan itu seketika menoleh ke arah pintu kamar mandi. Guyuran shower terdengar dari dalam sana. Dia merasa Emir tidak memiliki alasan untuk marah karena hal ini. Lagi pula, Sasi dan Lukman hanya berkirim pesan. Itu juga membahas pekerjaan, meskipun sedikit keluar konteks.Sasi : [Tidak, kok.]Lukman : [Syukurlah.]Pria itu mengirim emoji senyum, yang membuat Sasi turut menarik kedua sudut bibirnya.Lukman : [Untuk logonya benar tidak ada yang harus direvisi? Kalau menurut kamu ada yang kurang, katakan saja.]Sasi : [Sudah
Lukman Respati adalah kakak kelas Sasi sejak SMP. Sasi bisa naksir Lukman karena dia berbeda dari anak-anak cowok yang sering menyatakan cinta. Lukman memperlakukan Sasi sama seperti perlakuannya kepada orang lain. Tidak membeda-bedakan, tidak memprioritaskan, hanya karena Sasi cantik.Sasi terkesan pada Lukman. Dia jadi penasaran tipe perempuan seperti apa yang pria itu suka. Sampai SMA Sasi masih diam-diam memperhatikannya. Akan tetapi, sejak pindah sekolah, dia tidak pernah tahu kabar Lukman lagi.Tanpa sadar Sasi tersenyum. Dia teringat hari-hari jatuh cinta saat Lukman selalu menjadi sosok yang Sasi cari di sekolah. Hanya memperhatikannya dari jauh sudah cukup untuk Sasi. Asalkan dalam sehari dia bisa melihat pria itu."Bagaimana kabarnya sekarang? Apa dia sudah menikah?" Sasi membatin.Dia lalu memeriksa akun Lukman. Di sana pria itu membuka jasa ilustrasi untuk logo brand, sampul buku, dan lain-lain. Dari testimoninya sudah banyak yang memesan dan
Jalanan malam cukup lenggang, sehingga Ranggi menambah kecepatan berkendara. Dia ingin segera mengistirahatkan badan dan pikiran setelah masalah yang terjadi dengan Wizurai. Lain kali Ranggi akan lebih berhati-hati dalam memilih partner. Dia juga harus memastikan kejadian seperti ini tidak terulang.Pria itu mendengkus. Meskipun masalah berhasil diselesaikan lantaran Ranggi sudah memberikan kompensasi, kekesalannya tetap ada. Ini adalah kali pertama Wizurai tersandung kasus memalukan. Ilustrator yang bekerja sama dengannya memplagiat karya orang luar negeri. Selain membuat brand Wizurai tercoreng, dia juga membuat negara sendiri ikut terkena tinta hitam.Kedongkolan Ranggi belum menghilang saat seseorang tiba-tiba melintas di depan. Dia sontak membelalak. Beruntung dia berhasil menghentikan mobil sebelum menabrak. Namun, hal itu tetap membuatnya berada dalam masalah.Teman-teman orang yang hampir Ranggi tabrak lekas mengerumuni mobil."Keluar lo! Tanggung
"Emir?"Pria itu menatap tepat ke dalam mata perempuan di hadapannya. Dia sudah berusaha menahan diri. Akan tetapi, dorongan itu terus mendesak untuk dituruti.Emir menundukkan kepala. Mengikis ruang kosong di antara dirinya dan Sasi. Gadis itu tersentak. Namun, Emir tidak berhenti. Bagaimanapun juga, dia adalah pria normal. Batas yang selama ini dia bangun untuk membentengi diri sendiri perlahan roboh. Barangkali karena kesadaran jika Sasi adalah istrinya dan mereka selalu bersama.Saat di Amerika, Emir bisa menahan godaan lantaran sejak remaja orang tuanya sudah sering mengajari soal hal-hal yang dilarang agama, beserta dampak buruk dari perbuatan tersebut. Emir bisa tahan banting meskipun banyak perempuan cantik dan seksi, juga kehidupan bebas di sana. Tambah lagi, sang papa diam-diam menyuruh orang mengawasi setiap gerak-gerik Emir. Makin tidak beranilah dia.Akan tetapi, saat ini penghalang yang mengikat naluri biologisnya sudah semakin longgar. Seka