Share

BAB 7

Author: Vieyan Opit
last update Last Updated: 2023-08-04 21:34:57

Seketika Ajeng merasa seluruh tubuhnya menjadi lemas.

Lutut seakan tidak kuat menopang berat badannya sendiri.

Jika saja tidak menguatkan diri, pasti saat itu juga sudah pingsan di tempat.

Baru beberapa menit tadi Ajeng bermimpi tentang papanya. Dan kini harus mendengar kabar duka dari rumah sakit.

Kondisi Himawan semakin lemah dan tidak tertolong lagi. Himawan pergi untuk selamanya.

“Bagaimana bisa?” Ajeng berucap lirih sambil berlinang air mata.

“Kehendak Tuhan,” jawab Bian singkat.

Sama sekali bukan kata-kata yang ingin didengar oleh Ajeng.

Ajeng berharap setidaknya Bian menghibur dirinya atau memberi kata-kata penyemangat.

“Sebaiknya kamu istirahat di rumah. Aku akan ke rumah sakit untuk mengurus semuanya,” ucap Bian.

“Tidak! Aku harus ikut ke rumah sakit. Aku ingin memastikan sendiri kalau papa benar-benar meninggal,” protes Ajeng, kemudian mengusap pipinya yang basah.

Perempuan itu mendahului Bian melangkah keluar dari rumah.

Bian beralih menatap sepiring nasi goreng yang ditinggalkan oleh Ajeng. Sebenarnya dia berniat meminta Ajeng untuk makan lebih dulu sebelum pergi ke rumah sakit.

Tampaknya berita duka ini membuat Ajeng melupakan segalanya.

Meskipun kematian Himawan merupakan skenario dari Bian dan Danu. Tetapi dirinya tidak menduga kalau Danu akan mempercepat hal ini.

Sepanjang perjalanan menuju rumah sakit Bian pun memilih diam. Sesekali hanya melirik Ajeng yang memalingkan wajahnya menatap keluar jendela.

Bian tahu kalau Ajeng diam-diam sedang menangis.

Sesampainya di rumah sakit. Ajeng justru tidak segera turun saat Bian meminta untuk turun.

Perempuan itu memejamkan mata sebentar kemudian menghela napas dengan panjang. Barulah dia keluar saat Bian membukakan pintu untuknya.

Dengan langkah setengah berlari Ajeng menuju ke kamar rawat inap Himawan.

Terlihat dokter dan beberapa perawat sudah menanti kedatangan Ajeng dan Bian.

Ajeng langsung berlari masuk ke dalam untuk melihat papanya.

“Maaf, Ajeng kami sudah berusaha. Tapi takdir berkata lain,” ucap dokter Sabda. Raut wajahnya juga terlihat sendu. Dia sendiri bahkan merasa aneh karena kondisi Himawan semula sudah membaik.

Namun, saat pagi tadi dirinya melakukan kunjungan Himawan ternyata sudah tidak bernyawa.

“Papa?” Ajeng terisak, langsung memeluk tubuh Himawan.

Ajeng menangis tersedu, mengguncang-ngguncang tubuh Himawan.

“Bukankah Papa ingin mengadakan pesta pernikahanku? Curang! Kenapa Papa malah pergi. Apa takut aku meminta lebih?” Ajeng terdengar seperti sedang memarahi papanya.

“Bangun nggak?” seru Ajeng. Dokter Sabda mendekati Ajeng.

Laki-laki itu mengusap-usap lengan Ajeng, memintanya untuk mengikhlaskan kepergian Himawan.

Namun, Ajeng menampik tangan Sabda dan kembali berseru meminta papanya untuk membuka mata bahkan dengan suara yang lebih keras lagi.

Ajeng semakin terisak. Bian yang melihat hal itu menjadi tidak tega. Dirinya teringat saat dulu melepas kepergian kedua orang tuanya. Memang berat dan sulit dipercaya, ditinggalkan oleh orang terkasih. Rasanya seakan dunia tidak adil.

Bian mendekati Ajeng. Bermaksud menenangkan istrinya.

Namun, tiba-tiba Ajeng memegangi kepalanya. Tubuhnya semakin condong ke samping, dan ternyata pingsan.

Dokter Sabda yang berada di dekat Ajeng langsung menangkap tubuh perempuan itu ke dalam pelukannya.

“Astaga, kenapa badan Ajeng panas begini,” ucap Dokter Sabda setelah memegang pipi Ajeng.

“Biar aku baringkan dia di sofa.” Bian mengambil alih tubuh Ajeng.

“Jangan! Sebaiknya kita rawat Ajeng. Sepertinya demam. Mungkin dia syok,” balas Dokter Sabda. Dokter yang menangani Himawan itu mengkhawatirkan Ajeng.

“Suster? Siapkan kamar di sebelah,” imbuh Dokter Sabda.

“Baik, dok. Mari,” balas si perawat.

Bian buru-buru mengangkat tubuh Ajeng. Dan pergi ke kamar sebelah.

Dibantu oleh perawat yang menyiapkan ranjang untuk Ajeng, Bian kemudian membaringkan Ajeng di sana.

Bian menatap iba pada Ajeng. Jari-jarinya membelai pipi Ajeng dan memang benar, badan istrinya panas.

“Maafkan aku Ajeng,” ucap Bian lirih.

“Suster? Tolong rawat istri saya.” Bian berpesan kepada perawat. Kemudian bergegas keluar untuk mengurus surat kepulangan Himawan.

Dibantu oleh Dokter Sabda, Bian mengurus semuanya hal yang diperlukan untuk mengurus jenazah Himawan.

“Aku harap kamu menjaga Ajeng dengan baik. Anak itu .... “ Dokter Sabda memberi jeda, menghela napas sebentar.

“Dia akan butuh waktu menerima kepergian papanya,” lanjutnya.

“Baik, Dok. Terima kasih atas bantuan Anda selama om Himawan dirawat di sini,” balas Bian.

“Om? “ Dokter Sabda mengerutkan kening.

Bian tersenyum. “Maksud saya papa. Maaf saya memang belum terbiasa.” Bian mengoreksi.

“Tidak apa. Pokoknya titip Ajeng, Bian.” Dokter Sabda menepuk-nepuk pundak Bian.

Setelah semua urusan di rumah sakit selesai. Bian mengurus pemakaman Himawan. Karena memang mendadak Bian tidak memberitakan kematian Himawan kepada seluruh rekan kerjanya.

Yang terpenting acara pemakaman segera dilaksanakan hari itu juga dan segera selesai.

Di acara pemakaman tentu saja ada Danu di sana. Laki-laki itu dengan kemampuan aktingnya, mampu memperlihatkan wajah yang sendu dan merasa kehilangan.

Namun setelah semua tamu pergi. Bibir Danu mengembang dan terlihat puas karena akhirnya Himawan untuk pergi selama-lamanya.

“Terima kasih sudah datang di acara pemakaman om Himawan.”

Bian menyalami semua tamu dan rekan bisnis Himawan yang datang.

Sebagian mengirim karangan bunga ke rumah sebagai bentuk rasa belang sungkawa.

Bian sengaja tidak menunggu Ajeng sadar. Mungkin karena terpukul dan memang sedang dalam keadaan sakit. Ajeng belum juga membuka mata. Badannya semakin panas dan tubuhnya sedikit lemah.

Bian berkonsultasi dengan dokter dan meminta Ajeng dirawat di rumah saja. Dan dokter mengizinkan Ajeng di bawa pulang. Sakit yang saat ini di alami Ajeng mungkin karena rasa terpukul.

Dokter Sabda berharap Bian bisa merawat dan menjaga Ajeng.

“Mulai saat ini, aku yang pegang kendali, Ajeng.” Ucap Bian. Setelah membawa Ajeng ke kamarnya.

Bian kemudian turun untuk menemui Danu yang menunggu di ruang tamu.

“Hei, Bian.” Danu menghambur memeluk Bian.

“Selamat, akhirnya kamu bisa memiliki semuanya,” ucap Danu, tangannya menepuk-nepuk punggung Bian.

“Rencanamu memang luar biasa. Apalagi dengan menikahi anaknya Himawan,” imbuh Danu setelah melepas pelukannya.

“Semua atas bantuan om Danu juga. Terima kasih sudah menceritakan yang sebenarnya. Tapi ... bagaimana om Danu bisa membuat om Himawan tiba-tiba kondisinya menjadi lemah seperti itu hingga akhirnya meninggal?” Bian penasaran.

Danu tertawa keras. Laki-laki itu menggeleng pelan. Lalu kedua tangannya menyentuh bahu Bian.

“Kamu sendiri yang bilang kalau nyawa dibalas dengan nyawa. Tapi kenapa kamu seolah tidak tega dan menyesal setelah semua ini terjadi,” ucap Danu.

“Bukan begitu hanya saja .... “ Bian menjeda perkataannya. Memang tidak dapat dipungkiri kalau perkataan Danu ada benarnya.

Melihat Ajeng di rumah sakit tadi. Rasa bersalah Bian muncul.

“Sudahlah. Bukankah ini impas. Kamu kehilangan kedua orang tuamu karena Himawan. Dan kini anaknya juga harus merasakan apa yang pernah kamu rasakan. Begitu juga dengan usaha furniture beserta pabriknya. Kedua orang tuamu juga ikut andil. Tapi, Himawan justru mengusainya.” Danu sengaja menceritakan keburukan Himawan.

Tentunya demi kepentingannya juga.

Sebenarnya Danulah yang ingin mengambil alih perusahaan Himawan karena dendam. Dan oleh karena itu dia mencari sekutu yaitu Bian.

“Hmmm, sepertinya kamu juga merasa kehilangan ayah mertuamu itu. Sebaiknya aku pulang saja dulu, tenangnya dirimu. Jangan lupa, apa yang kita lakukan ini baru permulaan.” Danu menatap Bian serius.

Kemudian pamit untuk pulang.

Bian mengantarkan Danu sampai ke depan rumah. Dia masih berdiri di teras hingga mobil Danu keluar dari gerbang.

Setelah itu Bian kembali masuk.

Namun, dirinya terkejut saat mendapati Ajeng sudah berdiri di ruang tamu. Menatapnya penuh benci. Tangannya memegang pisau.

“Dasar laki-laki brengsek! Tidak tahu terima kasih! Jadi kamu sengaja membunuh papaku?” seru Ajeng, kemudian berlari ke arah Bian dengan membawa pisau yang siap ditusukkan.

Dengan sigap Bian mencengkeram tangan Ajeng.

“Gila kamu Ajeng!” pekik Bian.

“Kamu yang gila. Kenapa tega bunuh papa?” Ajeng berseru tidak mau kalah.

Bian tidak tahu rupanya Ajeng menguping pembicaraannya dengan Danu.

“Kamu harusnya malu. Selama ini papa udah merawat kamu. Sudah kuduga, kamu punya niat tidak baik sama aku dan papa.” Ajeng berucap sambil terisak. Dia meronta, ingin melepaskan tangan Bian yang mencengkeramnya. Ajeng berniat ingin membuat Bian terluka dengan pisau yang dia bawa.

Bian mendorong Ajeng. Menjatuhkan tubuh istrinya ke kursi sofa.

“Ya, aku yang membunuh om Himawan? Itu adil karena papamu juga membunuh kedua orang tuaku!”

Related chapters

  • Dinikahi Asisten Papa   BAB 8

    Ajeng cukup terkejut dengan tindakan Bian kepadanya. Suaminya itu menghempaskan dirinya ke sofa. Kemudian mencengkeram pergelangan tangannyaTangan satunya lagi menahan tubuhnya, agar berjarak dengan Ajeng. Bian memang sengaja, agar Ajeng tidak menodongkan lagi pisau padanya. Netranya menatap marah pada Ajeng. Kini laki-laki itu ada di atas tubuh istrinya. Berseru dengan lantang, memberi tahu Ajeng mengenai orang tuanya. “Selama ini kamu tidak tahu, kan? Kalau om Himawan merawat karena merasa bersalah kepadaku. Kejadian di pabrik mebel sepuluh tahun yang lalu. Semua karena om Himawan. Dan kematian kedua orang tuaku juga rencana dari om Himawan,” jelas Bian. “Papa? Melakukan itu semua?” Kedua mata Ajeng melebar. Tidak menyangka mendengar cerita itu dari Bian. “Tidak mungkin. Papa tidak mungkin melakukan hal itu,” ucap Ajeng lirih. Tubuh lemas mendengar papanya dituduh menjadi pembunuh oleh Bian. Yang dia tahu selama ini, papanya bersahabat dekat dengan ora tua Bian. Itulah kenapa p

    Last Updated : 2023-08-08
  • Dinikahi Asisten Papa   BAB 9

    “Jangan harap kamu bisa punya anak dariku, Bian.” Ajeng berucap dalam hati. Rasanya dia ingin bersorak penuh kemenangan. Karena melihat ekspresi Bian yang terkejut setelah mendengar penjelasan dari pak Ridwan. Ajeng memang tidak pernah mau tahu tentang urusan pekerjaan papanya. Termasuk dengan pak Ridwan, Ajeng sendiri juga belum mengenalnya secara personal. Semuanya selaku diserahkan kepada Bian. Tapi, kali ini Ajeng merasa bangga dan berterima kasih. Papanya ternyata tidak menyerahkan perusahaannya begitu saja kepada Bian. “Saya juga mempunyai kewajiban untuk terus memantau kalian berdua. Karena pak Himawan memberikan kepercayaannya kepada saya. Untuk memastikan bahwa Ajeng selalu baik-baik saja,” ucap pak Ridwan. Setelah memberikan penjelasan panjang lebar. Pengacara pribadi Himawan itu pamit. “Saya percaya, Ajeng akan aman dan bahagia bersamamu, Bian.” Pak Ridwan menepuk pundak Bian. Kemudian sedikit mencondongkan tubuhnya mendekat ke Bian. Pak Ridwan berbisik, “Percayalah.

    Last Updated : 2023-08-10
  • Dinikahi Asisten Papa   BAB 10

    Pagi ini Ajeng merasa kondisi tubuhnya sudah jauh lebih baik. Mau tidak mau, dia harus berterima kasih kepada Bian. Meskipun mulut suaminya itu sering berkata pedas dan kejam. Tapi soal makan Ajeng tidak pernah kekurangan. Ketrampilan memasak Bian memang harus diacungi jempol. Karena sudah terbiasa hidup sendiri sejak sekolah, Bian juga jadi terbiasa untuk memasak sendiri.“Tuh orang memang agak-agaknya bipolar deh. Kalau mau niat jahat kenapa nggak biarin aku mati kelaparan.” Ajeng bicara sendiri sambil mondar-mandir di kamarnya. “Waktu aku sakit juga dia mau merawat aku. Aneh, kan? Masa iya mau balas dendam, tapi masih simpati sama aku.” Kali ini Ajeng duduk dinpinggir ranjangnya. “Apa jangan-jangan ....” Ajeng menggeleng cepat. “No! Masa Bian suka sama aku? Dia kan udah bilang nikahin aku karena mau balas dendam? Ah, si Danu. Ya, Bian itu sebenarnya baik, tapi dihasut sama di Danu itu.” Ajeng berpindah ke dekat jendela. Sembari mengelus dagunya, Ajeng menduga-duga sendiri. Ka

    Last Updated : 2023-08-11
  • Dinikahi Asisten Papa   BAB 11

    Keintiman Bian dan perempuan itu membuat hati Ajeng panas. Suaminya itu terlihat nyaman dan sangat akrab. Bahkan tertawa dengan lepas. Tidak seperti saat bersama dirinya.Yang paling membuat Ajeng tidak tahan adalah perempuan itu terlihat genit. Tangannya beberapa kali menepuk pundak Bian dan kadang mencubit pipinya. ‘Ke kantor apanya? Malah janjian sama cewek. Dasar playboy.’ Ajeng berucap dalam hati. “Hei! Kamu mau pesan apa, Ajeng?” Stella menjentikkan jari tepat di muka Ajeng. “Bengong! Lihatin apaan?” Stella hendak memutar tubuhnya, penasaran dengan apa yang dilihat temannya itu. “Pesan ini!” Ajeng menunjuk asal makanan yang ada di buku menu. Dia tidak ingin Stella sampai tahu Bian ada di sana. Bisa heboh nanti, karena Stella begitu mengidolakan asisten papanya itu. Apa jadinya kalau Ajeng sampai memberitahu tentang pernikahannya dengan Bian. Bisa-bisa, Stella akan histeris. “Ok!” Stella mengangguk tanda mengerti. Kemudian melambai pada pelayan restoran untuk memesan

    Last Updated : 2023-08-15
  • Dinikahi Asisten Papa   BAB 12

    Stella jelas terkejut mendengar Ajeng mengaku sebagai istri Bian. Mulut perempuan itu membuka lebar saking syoknya.“Kapan kamu menikah sama Bian?” Stella berkacang pinggang.Ajeng pun nyengir.“Panjang ceritanya,” jawab Ajeng kemudian menggeser kakinya, memberi jarak pada sahabatnya itu.Stella kemudian menatap Bian, seolah meminta penjelasan dari laki-laki itu. Namun, Bian hanya mengedikkan bahunya sembari mengulum senyum.“Kamu jangan marah, Stella. Nanti aku ceritakan semuanya,” bujuk Ajeng.Stella mendengkus kasar, kemudian memasang wajah cemberut. Dia merasa seperti tidak dianggap oleh sahabatnya sendiri. “Baiklah karena sudah ada suamimu. Lebih baik aku pulang. Kita bisa bicara lain kali,” ketus Stella. Lalu melirik Bian sekilas kemudian bergegas meninggalkan Ajeng.“Stella! Tunggu!” Ajeng hendak mengejar Stella, tapi Bian menarik tangannya agar Ajeng tetap berada di tempat.Bian meminta Ajeng tetap tinggal karena belum mengambil obat. Dan, mau tidak mau Ajeng harus menurut

    Last Updated : 2023-08-20
  • Dinikahi Asisten Papa   BAB 13

    Sebagai permintaan maaf dari pihak hotel, mereka menyediakan kamar vip untuk Bian dan Ajeng istirahat. Pihak hotel juga memanggil dokter untuk mengecek kondisi Ajeng. “Sekali lagi kami mohon maaf, atas kelalaian karyawan kami,” ucap manajer restoran.Bian sebenarnya ingin marah, tapi Ajeng meminta untuk tidak memperpanjang kan masalah. Dia hanya ingin istirahat sebentar, karena merasa tubuhnya sangat lemah.Bian pun akhirnya menyetujui tawaran dari hotel. “Silakan dinikmati semua fasilitas dari kami, jika memerlukan sesuatu Anda bisa menghubungi nomor telepon yang sudah tertera di daftar panggilan.” Manajer restoran yang mengantar Bian dan Ajeng meninggalkan kamar setelah undur diri.Bian menatap Ajeng yang ternyata sudah terlelap di ranjang berukuran besar dengan nuansa sprei dan selimut serba putih. Laki-laki itu perlahan menghampiri Ajeng dan duduk di sampingnya. Bian mengangkat tangan, hendak menyibakkan rambut Ajeng yang sebagian menutupi wajah. Namun, sedetik kemudian Bian

    Last Updated : 2023-08-30
  • Dinikahi Asisten Papa   BAB 14 - RENCANA STELLA

    Bian kebingungan saat tidak mendapati Ajeng di kamarnya. Bian mencari ke sana ke mari, ke seluruh kamar dan ruangan yang ada di rumah. Bian sedikit khawatir karena semalam Ajeng merajuk. Semenjak perbincangan mereka di hotel, Ajeng bungkam jika diajak berbicara dengan Bian. “Ngapain ke kamarku?” Ajeng muncul dari belakang dan membuat Bian terkejut. “Ngecek. Siapa tahu kamu kabur.” Bian menjawab ketus. Padahal sebenarnya laki-laki itu khawatir jika Ajeng benar-benar kabur. Karena memang sudah menjadi kebiasaan Ajeng. Jika ngambek dengan papanya pasti kabur entah ke mana. Dan pulang jika sudah kehabisan uang. “Ngapain kabur dari rumah sendiri? Tadi aku lari-lari sekitar rumah. Lumayan kan buat bakar lemak, eh salah bakar emosi.” Ajeng masuk ke kamar dan melewati Bian begitu saja. Seolah Bian tidak ad di situ. Bian memperhatikan penampilan Ajeng dari atas sampai bawah. Dahi nya dipenuhi dengan buliran keringat hingga mengalir ke lehernya. “Mau ngapain lagi? Pintunya mau aku tutup. Ma

    Last Updated : 2023-09-22
  • Dinikahi Asisten Papa   BAB 15 - PINDAH RUMAH

    Ajeng sempat mengira ada pencuri yang masuk ke rumahnya dan mengacak-ngacak kamarnya. Siapa sangka ternyata Bian tengah sibuk merapikan beberapa barang miliknya. Bian mengeluarkan semua baju Ajeng dari dalam lemari, menatanya di beberapa koper milik Ajeng. Sisanya lagi dimasukkan ke kardus. Semua sudah ditata dengan rapi dan diletakkan di ruang tamu. Bahkan semua peralatan make up dan skincare Ajeng yang ada di meja rias juga sudah dipacking Bian dengan rapi. “Bian! Mau kamu apakan barang-barangku?” pekik Ajeng. Perempuan itu marah besar karena Bian tanpa izin menyentuh semua barang-barangnya. “Enggak lihat aku sedang mengepak barang-barangmu? Sisanya kamu rapikan sendiri. Tapi aku rasa itu sudah cukup, kalau perlu yang lain kita bisa beli,” jawab Bian dengan santai. “Maksudnya apa? Kenapa aku harus mengepak sisanya dan kalau butuh yang lain bisa beli? Bisa enggak kamu kasih penjelasan!” tuntut Ajeng. Kedua tangannya berada di pinggang, menatap marah pada Bian. “Mulai hari ini, k

    Last Updated : 2023-09-24

Latest chapter

  • Dinikahi Asisten Papa   BAB 23 - Merawat Bian

    Ajeng terkejut melihat Bian tiba-tiba pingsan di depannya. "Bian? Bangun! Pagi-pagi nggak usah bercanda, deh!" Ajeng mengguncang-ngguncang tubuh Bian, tapi tidak ada respon. Ajeng kemudian menempelkan tangan ke dahi Bian."Astaga, panas banget badannya," ucap Ajeng panik. Tanpa ragu Ajengmembawa Bian ke dalam kamar. Susah payah Ajeng memapah Bian lalu membaringkannya di tempat tidur. Kemudian berusaha menghubungi Mba Ratri untuk meminta bantuan, tapi tidak diangkat. Ajeng semakin khawatir karena Bian menggigau. "Tenang, Ajeng. Tenang." Ajeng menenangkan dirinya sendiri agar tidak semakin panik.Perempuan itu memutuskan untuk mencari informasi di internet, mengenai penanganan dan pertolongan pertama pada orang yang mengalami demam tinggi.Selesai membaca semua informasi, Ajeng keluar dari kamar dan menuju ke dapur untuk merebus air.Ajeng kembali menghubungi Mba Ratri dan hasilnya masih nihil, tidak ada jawaban. "Oke, aku bisa sendiri." Ajeng meyakinkan dirinya.Setelah airn

  • Dinikahi Asisten Papa   BAB 22- Kejutan dari Bian

    "Sengaja mau nunjukin kekuasaan kamu, ya? Atau biar kelihatan kaya suami yang sayang sama istrinya?" Ajeng berucap dengan nada sinis. Ajeng tidak terima saat Bian tiba-tiba muncul, menurutnya Berlagak sangat peduli, menawarkan kepadanya agar memilih apa saja yang ingin dibeli. "Kemarin katamu aku ini kejam, aku ini enggak ngerti perasaan kamu. Sekarang aku mau nurutin apa yang kamu malah dibilang sok peduli. Jadi orang yang konsisten," balas Bian dengan perasaan kesal. Padahal niatnya memang baik, tapi Ajeng salah mengartikan.Bian memang berniat meninggalkan Ajeng dan kembali ke kantor, tapi mengurungkan niatnya karena merasa khawatir dan memutuskan mengikuti Ajeng.Timbul iba di hati Bian saat melihat Ajeng menatap sebuah dress. Dan Bian yakin Ajeng sangat menyukai dress tersebut karena terus menatapnya. "Ya kalau ngerti aku harusnya tuh kasih uang. Kartu kreditku jangan diblokir. Ngenes banget sih hidup aku, punya suami kagak pernah kasih uang," sinis Ajeng. Perempuan itu menghe

  • Dinikahi Asisten Papa   BAB 21 - Ajeng Merajuk

    Tatapan Bian kepada Ajeng kali ini agak berbeda. Ada sedikit rasa kagum dan heran karena istrinya mau membaur dengan karyawan pabrik."Aku tidak salah lihat, kan?" gumam Bian, geleng-geleng kepala dan tersenyum tipis.Bukannya segera menghampiri, Bian justru terpaku melihat Ajeng yang tanpa sungkan membaur dan bercengkerama dengan para karyawan itu. Hingga Bian tidak sadar telah larut dan membuat kembali teringat akan kejadian semalam. Saat Ajeng dengan berani membuat sisi laki-lakinya muncul. "Bian? Sini!" Ajeng berteriak seraya melambaikan tangan.Bian tersentak mendengar Ajeng memanggil namanya. Sadar bahwa dirinya tidak seharusnya mengingat hal seperti itu di siang hari dan di tempat kerja."Ngapain kamu di sini? Ganggu pekerjaan mereka aja!" Bian sengaja menegur di depan para karyawan. Sebenarnya hal itu dilakukan karena merasa salah tingkah sendiri."Siapa yang gangguin? Mereka sendiri yang ngajakin aku, kok," balas Ajeng tidak terima."Ini, kamu ngajakin mereka buat makan. Pa

  • Dinikahi Asisten Papa   Bab 20 – Tidak Akan Terjadi

    Ajeng merasa skeptis terhadap niat Danu yang ingin mengajak kerja sama. Dia merasa bahwa Danu hanya ingin menguasai perusahaan papanya dan mengambil alih kendali yang seharusnya menjadi miliknya.Dengan tidak menyetujui kerja sama, Ajeng merasa bahwa tindakan ini adalah langkah yang tepat untuk melindungi perusahaan papanya. Dia tidak ingin perusahaan papanya jatuh ke tangan orang yang tidak bisa dipercaya.Bian sendiri cukup terkejut dengan kehadiran Ajeng yang tidak disangka. Ditambah lagi dengan rasa kesal karena Ajeng mendadak ikut campur dalam perbincangannya dengan Danu. Meskipun begitu, Bian memahami alasan di balik penolakan Ajeng, namun tetap berpendapat bahwa kerja sama dengan Danu dapat memberikan keuntungan besar bagi perusahaan."Ini kesempatan besar bagi perusahaan kita, Ajeng?" tegas Bian"Aku tidak percaya pada orang itu, Bian. Ngajakin kerja sama? Tapi Aku lebih merasa dia hanya ingin menguasai perusahaan papa," sengit Ajeng."Kamu tahu apa, Ajeng? Aku yang bertanggun

  • Dinikahi Asisten Papa   BAB 19- Secepat Itu Lupa?

    “Mba Ratri orang mana? Kok Bian bisa minta Mba Ratri kerja di sini?” Ajeng melempar pertanyaan kepada Ratri yang masih sibuk mencuci piring di dapur. Ratri tidak langsung menjawab dan justru tersenyum geli. Wajar jika Ajeng menginterogasi dirinya. mungkin Bian belum bercerita mengenai siapa dirinya.“Sebenarnya udah lama saya kerja sama mas Bian, Mba. Dulu kedua orang tua saya yang jadi kepercayaan orang tuanya mas Bian. Buat ngurus rumah sama ngurus mas Bian. Tapi, setelah orang tuanya mas Bian meninggal, orang tua saya buka usaha sendiri, kulineran gitu,” jelas Ratri. “Lah, jadi pembantu kok turun temurun sih,” celetuk Ajeng. Sedetik kemudian dia sadar kalau kata-katanya kurang pantas. Namun, Ratri sama sekali tidak tersinggung. Jauh sebelum Ajeng datang ke rumah itu, rupanya Bian sudah menceritakan mengenai Ajeng termasuk kepribadiannya.“Bukan turun temurun sih, Mba. Lebih tepatnya balas budi aja. Saya bisa sekolah dan orang tua saya sampai bisa beli rumah sendiri ya karen

  • Dinikahi Asisten Papa   BAB 18- Permainan cinta Ajeng

    Bian mematung saat Ajeng melingkarkan tangan di lehernya. Awalnya Bian mengira kalau istrinya itu hanya menggertak, ternyata di luar dugaan. Ajeng cukup nekat menempelkan bibirnya ke bibir Bian. Bukan hanya kecupan biasa, melainkan sapuan lembut yang mampu membuat sekujur tubuh Bian menegang.Jika hanya sekali, Bian masih memaklumi. Tapi rupanya Ajeng lebih berani dari dugaan Bian. Istrinya itu lebih dulu memulai permainan yang tidak disangka oleh Bian. Ajeng semakin menarik kepala Bian untuk lebih dekat lagi kepadanya. Sementara Ajeng tidak enggan membuat dirinya sama sekali tidak berjarak dengan Bian.Awalnya Bian hanya mencoba mengikuti permain Ajeng. Namun, tidak sangka dirinya semakin larut. Bagai harimau yang dibangunkan dari tidurnya. Sisi lain dari diri Bian memaksa muncul.“Takut?” Ajeng menarik wajahnya sebentar. Memberi jeda pada permainannya yang tidak dibalas oleh Bian. Perempuan itu masih dengan posisi kepala miring memberikan senyuman smrik pada Bian.Ditantang sepe

  • Dinikahi Asisten Papa   BAB 17- KESEPAKATAN

    Ajeng mondar-mandir dengan perasaan kesal dan marah. Di kamar Bian, kamar yang sekarang menjadi tempat tinggalnya. Ajeng terus mengomel tentang sikap Bian yang menurutnya tadi sangat kurang ajar. Laki-laki itu tanpa persetujuan dan tanpa bertanya lebih dulu, seenaknya mendaratkan bibir ke bibirnya. Meskipun peristiwa itu tidak berlangsung lama, dan hanya kecupan biasa. Ajeng merasa bahwa Bian sudah mengambil secuil dari dirinya. Bodohnya, kenapa tadi Ajeng tidak langsung marah dan justru melarikan diri. Perempuan itu sampai lupa tentang pinggangnya yang semula kesakitan. “Kamu enggak tahu bagaimana ekspresi Bian setelah menciumku. Dia tuh kaya mengejekku, Stella. Seolah dia sengaja ingin mempermalukanku.” Ajeng mengepalkan tangan, satu tangan memegang ponsel yang ditempelkan ke telinga. Ajeng tidak menyia-nyiakan untuk berbagi cerita kepada Stella. “Terus-terus. Kamunya gimana?” balas Stella. Di seberang sana dia sedang menahan tawa mendengar cerita dari Ajeng. “Kok terus? Ya aku

  • Dinikahi Asisten Papa   BAB 16 - Ciuman Pertama

    “Sial! Kenapa juga tadi Bian mendengar perkataanku.” Ajeng bergumam dalam hati. Tidak menyangka kalau Bian tiba-tiba datang ke kamarnya dan mendengar percakapannya dengan Stella.Tapi, bukan Ajeng namanya kalau tidak pandai mengalihkan pembicaraan. Perempuan itu memarahi Bian yang menguping pembicaraannya dengan Stella.“Aku tidak menguping. Sengaja lewat dan ada orang yang sebut-sebut namaku. Jadi aku mampir sebentar untuk menyimak.” Bian melipat kedua tangannya, lalu menyenderkan bahu ke pintu.“Itu namanya menguping!” Ajeng langsung mematikan panggilannya dengan Stella.“Se-sejak kapan kamu berdiri di situ?” Ajeng bertanya dengan nada tergagap. “Baru saja. Aku mau ngecek, apa kamu masih butuh barang lagi untuk di bawa?” Bian memilih membicarakan yang lain. Dia tidak memperpanjang masalah tadi. Meskipun tadi sebenarnya Bian mendengar semua ucapan Ajeng kepada Stella.“Enggak ada. Nanti kalau butuh lagi, aku bisa pulang untuk mengambilnya,” balas Ajeng.“Baiklah, kalau sudah tidak a

  • Dinikahi Asisten Papa   BAB 15 - PINDAH RUMAH

    Ajeng sempat mengira ada pencuri yang masuk ke rumahnya dan mengacak-ngacak kamarnya. Siapa sangka ternyata Bian tengah sibuk merapikan beberapa barang miliknya. Bian mengeluarkan semua baju Ajeng dari dalam lemari, menatanya di beberapa koper milik Ajeng. Sisanya lagi dimasukkan ke kardus. Semua sudah ditata dengan rapi dan diletakkan di ruang tamu. Bahkan semua peralatan make up dan skincare Ajeng yang ada di meja rias juga sudah dipacking Bian dengan rapi. “Bian! Mau kamu apakan barang-barangku?” pekik Ajeng. Perempuan itu marah besar karena Bian tanpa izin menyentuh semua barang-barangnya. “Enggak lihat aku sedang mengepak barang-barangmu? Sisanya kamu rapikan sendiri. Tapi aku rasa itu sudah cukup, kalau perlu yang lain kita bisa beli,” jawab Bian dengan santai. “Maksudnya apa? Kenapa aku harus mengepak sisanya dan kalau butuh yang lain bisa beli? Bisa enggak kamu kasih penjelasan!” tuntut Ajeng. Kedua tangannya berada di pinggang, menatap marah pada Bian. “Mulai hari ini, k

DMCA.com Protection Status