Aksa berkata lagi, “Besok aku akan pergi. Ada urusan mendadak yang membuatku harus pergi. Jika kamu akan pergi, minta Pak Sopir mengantarkanmu.”
Stella tidak menjawab, hanya diam saja. “Livy, temani Stella. Aku akan menebus obat dan melakukan pembayaran,” kata Aksa. Livy mengangguk. Setelah itu, Aksa pergi. Pandangan Livy mengikuti Aksa berjalan hingga meninggalkan mereka. “Stella, apakah kamu akan memperlakukan Aksa seperti ini sepanjang waktu? Tidak bisakah kalian saling membuka hati untuk menyelipkan cinta?” tanya Livy. Stella menggelengkan kepalanya. “Tidak akan. Aku tidak akan jatuh cinta padanya. Dia mau menikah denganku, hanya karena harta dan kecantikanku. Tidak benar-benar tulus. Untuk apa aku memperlakukannya dengan baik?” Bagaimanapun juga, meskipun mereka telah membuat perjanjian, Stella masih sulit menerima bahwa Aksa benar-benar tulus padanya. Yang ada di pikiran Stella, Aksa menikah dengannya hanyaSetelah mobil diparkir, mereka langsung keluar.“Kau membawaku ke pantai yang belum selesai Apakah kita juga akan membantu para pekerja?” Stella bertanya dengan cemberut.Livy tertawa dan mendekatinya. "Tentu saja tidak. Mana mungkin aku mau mempekerjakanmu."“Dulu orang bilang pantai yang bagus itu ada dua, yaitu saat hampir buka dan saat baru buka. Jadi aku mau buktikan dimanakah letak bagusnya saat belum dibuka,” kata Livy lagi.Stella hanya membuang muka dan melihat ke arah lain. Livy memang seperti itu, terkadang kemauannya di luar dugaan orang lain. Bahkan, ia juga percaya dengan ramalan dan perkataan orang zaman dahulu.Namun ketika Stella melihat ke arah itu, dia melihat sebuah mobil yang familiar baginya.“Sudahlah, ayo main ke pantai,” ajak Livy mengajak Stella.Namun, Stella ragu dan enggan pergi sambil melihat BMW Seri 7 yang diparkir di sana.Di sisi lain, Aksa berjalan keluar gedung bersama Liam. Ia berhenti sejenak dan berkata, "Bangunan ini masih kokoh. Kalau begitu,
Di jalan raya, sebuah mobil Maybach berwarna hitam melaju dengan kecepatan tinggi melewati jalan raya. Aksa duduk dengan tenang di kursi belakang dengan Liam di sampingnya. Saat ini mereka sedang menuju ke showroom mobil. Aksa membuka ponselnya dan tampak melihat sesuatu.Ia langsung berkata kepada pengemudinya, "Depan, belok kanan."Liam yang mendengar tentu saja mengerutkan keningnya. “Tuan Muda, tetapi jalan menuju rumah Anda tidak melalui jalur itu.”"Ada keperluan mendadak. Aku harus segera ke sana. Kalau ada masalah mobil, belikan aku yang biasa saja. Jangan terlalu mencolok," kata Aksa menyela dengan buru-buru.Liam berpikir sejenak, tapi kemudian menganggukkan kepalanya. Sopir mereka segera mengarahkan mobilnya ke tempat yang ditunjuk oleh Aksa.Di pantai, Stella terlihat berdebat dengan Reno. Perdebatan mereka terlihat cukup serius meski bertempo sedang.“Aku tahu tentang keluarga Lan, tapi apakah perkataanmu itu bisa membuatku tertarik? Tentu saja tidak,” kata Stella taja
Mendengar perkataan Stella, Reno merasa terhina.Dia menatap Stella dengan tajam, api amarahnya berkobar di dalam hatinya."Dari mana datangnya keberanianmu untuk berbicara seperti itu?! Apakah karena kamu merasa cantik sehingga kamu menjadi sombong seperti itu? Dasar jalang!!” teriak Reno, menggertakkan giginya. Wajahnya merah padam, menunjukkan emosinya yang tidak terkendali. Tatapannya tajam seperti iblis, dan dia langsung melayangkan tamparan keras."Plak!"Tamparan itu mendarat tepat di pipi Stella. Ia memegang pipinya yang terasa panas, air matanya mengalir menatap Reno dengan perasaan campur aduk antara sakit hati dan takut.Livy yang sejak tadi diam saja, kini tak bisa lagi berdiam diri. “Reno, apa yang kamu lakukan?!” bentak Livy marah, menghampiri Stella dan memeluknya.Reno menatap Livy dengan tatapan penuh amarah dan berkata, “Apa yang aku lakukan? Tentu saja hal itu memberinya pelajaran. Apakah karena dia cantik dia bersikap sombong seperti itu? Di kota Falone, wanita se
Reno menatap Aksa dengan jijik, lalu berkata, “Asal kamu tahu, aku menginginkannya sejak lama, tapi malah kamu yang mendapatkannya. Begini saja, aku tidak mau berbelit-belit denganmu. Aku beri kamu dua miliar dan satu Audi A6, lalu tinggalkan dia untukku.”“Reno, kamu…” Stella hendak mengutuk, namun Livy menghentikannya.Aksa pun tertawa kecil mendengar hal itu. Reno ingin membeli Stella dengan uang? Apakah dia butuh itu?Aksa pun menjawabnya, "Aku tidak butuh uang. Simpan saja dan pergilah dari sini. Aku juga malas meladeni orang sepertimu."Sejak kecil, hidup Aksa sudah berkecukupan. Hanya dengan Audi A6 dan uang dua miliar, itu tidaklah besar baginya.Bagi Aksa, meskipun dia tidak mencintai Stella, namun Stella lebih berharga dari semua itu.Karena kalau bukan Roman yang membantu Aksa, dia tidak tahu apakah dia masih bisa hidup damai di kota ini sekarang.Reno berjalan mendekati Aksa dan menatapnya, "Baiklah, jika kamu tidak menginginkan uangku dan menyuruhku pergi, aku akan pergi
“Iya, sebenarnya aku ingin membicarakan hal ini denganmu,” kata Stella sambil mengangguk. Dia lalu melanjutkan, “Ah, tapi kenapa aku harus repot-repot meminta maaf? Itu hanya akan menurunkan harga diriku terhadapnya. Aku tidak mau. Lebih baik Reno memberi pelajaran pada Aksa juga."Stella membenci keduanya. Lantas mengapa dia harus merendahkan dirinya di untuk mereka? Lebih baik biarkan mereka bertarung sampai mati.Namun, Livy menepuk keningnya, “Stella, kamu benar-benar tidak faham apa yang aku maksud. Pertama, Aksa melakukannya untukmu. Dia membalas tamparan yang kamu terima dari Reno. Tidak bisakah kamu melihat kebaikannya?”Livy terdiam beberapa saat, lalu melanjutkan, "Kedua, kalau kamu berdamai dengan Reno, dia mungkin bisa membantumu untuk melunasi hutang ayahmu. Bukankah ini juga sebuah peluang?"Mendengar hal itu, Stella terdiam, namun pikirannya berpacu. Ingatannya kembali teringat ketika pegawai bank datang saat itu. Ia ingin menyelamatkan bisnis ayahnya, namun di sisi
Reno tersenyum dan berkata, "Ini tidak terlalu berat. Selama kamu bisa melunasinya dalam waktu setengah tahun, maka urusannya selesai.""Namun, perjanjiannya adalah jika kamu tidak dapat mengembalikannya dalam jangka waktu tersebut, kamu harus menikah denganku. Atau setidaknya, kita bisa tidur bersama selama seminggu," kata Reno dengan santai.Mendengar hal ini, Stella tentu saja terkejut. Dengan persyaratan itu, apakah Reno sudah gila?"Perjanjian bodoh macam apa ini? Aku tidak setuju," ucap Stella menolak dengan tegas.Reno kembali menyesap kelapa mudanya dan tersenyum sinis, "Kalau kamu tidak mau, tidak apa-apa. Aku juga tidak memaksamu. Lagi pula, aku juga tidak akan rugi apa-apa."Stella terdiam dan memikirkan hal ini. Bayangan pamannya kembali terlintas di benaknya. Utang dan bisnis keluarga Yuan terlintas di pikirannya, seakan-akan menghantui Stella.Dia menggelengkan kepalanya, keluar dari pikiran yang mengganggunya itu."Aku akan mencoba memikirkannya lagi nanti."Reno menga
"Kenapa? Apakah kalian meragukan ku?" tanya Reno dengan serius.Semakin banyak orang yang kagum dengannya, maka dia semakin puas.Pegawai bank itu langsung menggeleng cepat, tidak berani meragukan perkataan Reno. Meskipun mereka sedikit bingung, namun mereka tetap mempercayainya.Orang gila mana yang menghabiskan uang sebanyak seratus miliar dalam satu hari untuk melunasi hutang orang lain? Reno berkata lagi, memandang Aksa, "Kalau yang berbicara dia, kalian boleh meragukannya. Sedangkan yang berbicara sekarang adalah aku."Kedua pegawai bank itu mengangguk, tak berani meragukan perkataan Reno. Reno kemudian mengeluarkan sebuah kertas yang ia bawa dan meletakkannya di atas meja.Dia memandang Stella dan berkata, "Kamu tanda tangani dulu perjanjiannya. Asalkan kamu sudah menandatanginya, aku langsung meminta orangku untuk melunasi hutang ayahmu."Stella tampak ragu sejenak, namun demi bisnis Keluarga Yuan tetap berada di tangannya, dia pun meyakinkan dirinya sendiri. Stella pun men
Stella yang sejak tadi menggertakkan giginya, tiba-tiba berdiri dan menatap Aksa dengan tajam, lalu langsung menamparnya.Plakk!Tamparan itu tak bisa ditangkis oleh Aksa. Lebih tepatnya, Aksa tidak siap."Stella, kamu..." Aksa menatapnya dengan bingung.Jelas-jelas tujuannya bagus untuk menyelamatkan pernikahan mereka, tapi selain mendapatkan kecaman dari Stella, ia juga mendapatkan tamparan darinya.Stella menatapnya dengan tajam dan berbicara dengan nada keras, "Kenapa kamu hanya menjadi pengganggu saja? Apakah kamu hidup hanya untuk menjadi pengganggu? Bisakah hidupmu lebih berguna?" kata Stella dengan nada penuh kemarahan.Aksa terdiam sejenak, menatap Stella dengan tatapan yang sulit dibaca. "Stella, aku melakukan ini demi kita. Demi keluarga. Kamu mungkin tidak mengerti sekarang, tapi suatu hari nanti kamu akan mengerti."Stella menggelengkan kepalanya, air mata mulai menggenang di matanya. "Tidak. Yang kamu lakukan bukan demi kita, tapi demi egomu sendiri. Aku berharap kamu b
Pandangan Stella jatuh kepada Aksa.Dia menatapnya dengan serius dan berkata, "Apa yang sebenarnya terjadi? Tolong beritahu aku lebih banyak tentang semua ini. Siapa kamu sebenarnya? Dan kenapa mereka memanggilmu Tuan Muda?"Aksa menatapnya sejenak sembari berkata, "Aku mengerti bahwa semua ini membingungkanmu. Sekarang duduklah, aku akan menjelaskan semuanya."Stella tampak ragu, namun akhirnya dia duduk di sofa itu sesuai perintah Aksa. Ruangan itu tiba-tiba terasa sunyi, seolah-olah menunggu pengakuan besar yang akan datang. Aksa pun duduk di dekatnya. Dia menghela napas, menatap mata Stella dalam-dalam, dan mulai menjelaskan, "Nama asliku adalah Theo. Dan Aksa adalah nama yang aku gunakan untuk menyembunyikan identitasku selama ini. Aku adalah Tuan Muda keluarga Fang."Stella menatap Aksa dengan mata yang lebar, berusaha memahami apa yang baru saja ia dengar. "Tuan Muda keluarga Fang? Kamu...?"Stella merasa kesulitan untuk mempercayai perkataan Aksa kali ini. Jika Aksa mengung
Tidak lama setelah itu, mereka melewati pemeriksaan keamanan dengan cepat dan langsung dibawa ke sebuah jet pribadi yang menunggu di landasan. Stella merasa seperti berada dalam mimpi yang tidak masuk akal. Saat mereka menaiki tangga jet pribadi itu, Stella merasa seolah-olah dunia yang selama ini dikenalnya telah berubah total.Ia masih memikirkan hubungan antara Aksa dan Liam saat mereka duduk di kursi jet pribadi itu."Aksa, kenapa kamu tidak pernah menceritakan tentang ini sebelumnya?" tanya Stella pelan setelah mereka duduk."Karena kamu tidak pernah percaya dengan apa yang aku katakan padamu," jawab Aksa singkat tanpa menoleh.Setelah mengatakan itu, Aksa langsung memejamkan matanya, untuk mengistirahatkan pikirannya.Stella yang ingin mengatakan sesuatu pun akhirnya mengurungkan niatnya.Jet pribadi itu pun mulai bergerak di landasan pacu, dan dalam beberapa menit, mereka sudah terbang di udara. Stella menatap keluar jendela, melihat pem
Aksa pun mengangguk dan berkata, "Wilayah barat kota Falone adalah aset terbesar yang dimiliki Keluarga Fang. Kamu tahu tentang ini, kan?" Stella berpikir sejenak, kemudian mengangguk. Tentu saja ia tahu tentang hal ini. "Lalu kenapa?" Aksa menatap Stella dengan tatapan serius, "Keluarga Fang sedang mengalami krisis internal. Ada kesempatan untuk mendekati mereka dan mencari jalan agar kamu bisa memasuki wilayah barat tanpa menimbulkan kecurigaan. Aku punya koneksi yang bisa membantu." Stella mengernyitkan alisnya, penasaran. "Koneksi apa? Bagaimana caranya?" "Aku mengenal salah satu anggota keluarga Fang yang punya pengaruh. Dia bisa memberikan izin masuk jika kita bisa meyakinkan dia bahwa kita punya tujuan yang sama," jawab Aksa. Stella yang mendengar hal ini tentu saja terkejut. Aksa mempunyai kenalan anggota keluarga Fang? "Jangan mencoba untuk membohongiku," kata Stella memasang raut wajah tidak percaya. "Aku tidak membohongimu. Aku berbicara jujur," kata Aksa meyakinka
Stella merasa bingung mendengar perkataan Aksa. Padahal selama ini Stella percaya sepenuhnya pada Aksa dan yakin Aksa tidak pernah berbohong padanya, namun kali ini ada keraguan yang menghampirinya. Stella selalu mempercayai semua yang dikatakan Aksa, kecuali yang berkaitan dengan kekayaan dan harapan besar. "Tidak bisa, Aksa. Tidak sembarang orang bisa masuk ke sana," kata Stella tegas. Aksa menepuk bahu Stella dengan lembut sambil tersenyum, "Aku punya cara untuk mengajakmu masuk ke sana dan melihat-lihat." "Bagaimana caranya?" Stella bertanya, ekspresinya penuh pertanyaan. Aksa memandang ke langit yang mulai gelap, dengan lampu-lampu kota yang bersinar terang dari tempat mereka berdiri. "Sekarang, kita pulang dulu. Kita bisa membicarakan hal ini saat berada di rumah." Stella menolak dengan tegas, "Aku tidak mau. Aku tidak ingin pulang." Ia teringat akan tujuannya datang ke tempat ini. Meski begitu, Aksa tetap meyakinkannya, "Tolong turuti keinginanku sekali ini saja
Aksa memandang Stella dengan ekspresi khawatir yang dalam. Tidak pernah terlintas dalam benaknya bahwa Stella akan mencapai titik terendah seperti ini. "Stella, kamu tidak boleh menyerah begitu saja. Setiap kehidupan pasti memiliki cobaan, namun setiap cobaan pasti memiliki solusinya. Kamu harus tetap berjuang," ucap Aksa dengan suara penuh keyakinan.Stella menatap Aksa dengan tatapan getir dan tertawa pahit, "Apa yang kamu tahu? Aku sudah berjuang sekuat tenaga, namun apa yang kudapatkan? Hanya celaan dan hinaan dari sekeliling. Aku hanya menerima luka dan kesedihan. Bagaimana mungkin kamu mengerti perasaanku?"Aksa merasa bersalah saat melihat ekspresi Stella. Selama ini, dia terlalu fokus pada kehidupannya sendiri sehingga melupakan bahwa Stella juga butuh perhatian dan kebahagiaan.Stella menatap Aksa dengan mata berkaca-kaca, "Aku sudah tak sanggup lagi, Aksa. Hidupku dipenuhi dengan penderitaan. Setiap hari aku tenggelam dalam kesedihan yang tak berkesudahan," desahnya sambil
Tiga tahun kemudian, banyak sekali perubahan yang telah terjadi. Kota Berlin, yang dulunya sedikit tertinggal, kini telah bertransformasi dengan cara yang menakjubkan. Dalam tiga tahun ini, perubahan yang terjadi sungguh luar biasa. Bangunan-bangunan tinggi menjulang di sepanjang jalan, menciptakan siluet perkotaan yang modern dan dinamis. Gedung-gedung baru ini, dengan desain arsitektur futuristik, memberikan sentuhan kemewahan dan kecanggihan yang belum pernah ada sebelumnya. Jalan-jalan yang dulu sepi kini dipenuhi lalu lintas yang ramai, mencerminkan geliat ekonomi dan aktivitas masyarakat yang semakin meningkat. Namun, siapa yang bisa menjamin bahwa kota yang sekarang mengalami kemajuan ini dapat membuat semua orang yang tinggal di dalamnya merasa nyaman? Sore hari di makam keluarga Yuan, Stella duduk di dekat makam mendiang ayahnya. Langit yang perlahan berubah jingga memantulkan bayangan yang melankolis di sekelilingnya. Air matanya membasahi pipinya yang pu
Stella menatap Aksa dengan sinis, kemudian mencium aroma harum dari masakan yang sedang dimasak olehnya.Ternyata, aroma makanan yang diciumnya tadi adalah masakan Aksa?Tanpa menoleh, Aksa berkata, "Jangan khawatir, aku akan memberimu makanan. Duduklah dan tunggu aku selesai." Stella dengan ekspresi kesal menatap Aksa dan menggerutu, "Bertanya tidak boleh. Bahkan melihat sendiri pun tidak boleh? Orang macam apa kamu ini, kenapa kamu pelit sekali?"Aksa menoleh ke arah Stella, dan menatapnya dalam diam.Kening Stella berkerut, menatapnya dengan bingung, "Kenapa menatapku?""Akhirnya kamu menyadari apa yang aku rasakan selama ini," kata Aksa tersenyum sinis.Stella menatapnya penuh emosi, menggertakkan giginya dengan geram, hampir merasa ingin meremas wajah Aksa. Namun, akhirnya Stella memutuskan untuk pergi dan duduk di meja makan sambil terus menggerutu, "Kenapa dia begitu menyebalkan? Hari-harinya selalu membuatku kesal."Beberapa saat kemudian, Stella kembali dengan membawa dua m
Pada pukul dua belas malam, Stella merasa sangat sulit untuk tidur. Kondisi ini sangat tidak biasa baginya karena biasanya ia selalu berada di kamar yang nyaman. Stella telah mencoba berbagai cara untuk memejamkan mata, namun rasa kantuknya tidak kunjung datang. Rasanya seperti malam yang panjang dan sunyi baginya, di mana pikirannya terus berputar tanpa henti."Astaga, mengapa aku begitu sulit tidur? Rumah yang sempit tanpa pendingin ruangan membuatku merasa tidak nyaman," gumam Stella pada dirinya sendiri. Dia duduk dan menatap ke lantai, di mana Aksa terlihat tertidur pulas tanpa kesulitan apapun."Dia sangat mudah tertidur. Mungkin sudah terbiasa dengan kehidupan sederhana, sehingga tidak terganggu," pikir Stella dengan sedikit nada sinis.Stella kembali berbaring dan memejamkan matanya, tapi dia tetap tidak bisa tidur. Berbagai posisi sudah ia coba, namun rasa kantuk yang tak kunjung datang justru membuatnya merasa tersiksa. Tak lama kemudian Aksa terbangun dan melihat
Aksa berjalan ke arah keduanya dengan pelan, mendengarkan perdebatan mereka baik-baik. Stella mengepalkan tangannya erat-erat, menahan amarah yang membara di dalam dirinya."Kenapa kamu tega melakukan ini padaku? Bisnis ini adalah warisan Kakek yang dikelola dengan baik oleh ayahku setelah kamu menghancurkannya. Kamu tidak punya hak untuk mengendalikannya lagi!" seru Stella dengan suara gemetar karena emosi.Jiwan tertawa kecil, mendengar ucapan Stella. Seakan-akan, dia hanya bermain dengan keponakan bayinya."Oh, Stella. Kamu masih terlalu naif. Dunia bisnis itu kejam, dan hanya yang kuat yang akan bertahan. Jika kamu tidak bisa mempertahankan bisnis ini, maka aku yang akan melakukannya."Aksa yang sejak tadi mendengarkan percakapan itu, mulai berpikir lebih dalam. Ternyata, keluarga Yuan yang ia kenal, tidak sedamai yang ia kira. Ada banyak hal yang tersembunyi di balik permukaan yang selama ini ia abaikan."Paman Jiwan," Aksa akhirnya angkat bicara, suaranya tenang namun tegas, "a