"Jadi ...." Sean menarik napas dalam-dalam. Kedua tangannya memegang wajah Tiffany dengan lembut. Dia menatapnya penuh kesungguhan, lalu bertanya, "Kalau aku bilang, ke depannya aku akan kasih Zara lebih banyak perlindungan, apa kamu akan marah?"Tiffany tertegun sebelum bertanya, "Perlindungan yang kamu maksud itu apa?""Aku mau ... memperlakukannya seperti adik sendiri," jawab Sean.Sepasang mata Sean yang dalam menatap Tiffany dengan tulus dan serius. Dia melanjutkan, "Aku nggak bisa memikirkan cara lain yang lebih baik untuk menebusnya. Jadi aku berpikir, gimana kalau kita menganggapnya sebagai adik kita? Kita akan menjaga dan melindunginya sampai dia nikah.""Kerugian yang ditimbulkan kakakku padanya, memang seharusnya ditebus oleh diriku yang adalah adiknya," tambah Sean.Tiffany menggigit bibir dan tidak bisa langsung menjawab apa-apa. Sebenarnya dia bisa memahami keinginan Sean. Namun ... dia tidak bisa melupakan bagaimana dulu Zara sangat ingin mendekati Sean, bahkan berusaha
Julie melirik Samuel dengan dingin, tetapi tidak mengatakan apa-apa. Mark yang berusaha menahan tawanya pun menatap Zara. Dia bertanya dengan santai, "Nona Zara, kamu nggak bisa makan sendiri ya?"Zara tetap bersandar lemah di sofa. Dia membalas dengan nada lembut, "Tubuhku nggak kuat. Bukannya kamu tahu kalau aku baru saja mengalami kebakaran tadi malam?"Usai berkata demikian, Zara melirik Samuel dengan ekspresi manis. Dia memuji, "Samuel, kamu benar-benar baik. Lihatlah, orang lain cuma bisa mengejekku. Tapi, kamu benar-benar peduli padaku."Tiffany kehabisan kata-kata. Kalau saja dia tidak tahu bahwa semua ini hanyalah kepura-puraan Zara, dia mungkin sudah muntah di tempat.Samuel malah terlihat salah tingkah. Wajahnya memerah saat dia menggeleng sambil menimpali, "Zara, jangan memujiku seperti itu. Ini memang kewajibanku."Julie langsung berdiri dengan raut wajah dingin. Dia pergi sambil membanting pintu dengan keras. Zara tersenyum puas dan bahkan sempat mengedipkan mata ke arah
"Eee ... anu, aku seharusnya melepaskan bajuku dulu atau bajumu dulu?" tanya Tiffany Maheswari dengan hati-hati. Dia berdiri di depan kamar mandi dan hanya membalut tubuhnya dengan handuk.Malam ini adalah malam pertamanya. Pria di depan sana, yang duduk di kursi roda dan menutup matanya dengan sutra hitam adalah suaminya.Ini pertama kalinya Tiffany bertemu calon suaminya. Parasnya lebih tampan daripada yang terlihat di foto. Hidungnya mancung, alisnya tebal, tubuhnya tinggi dan tegap. Ini adalah tipe pria Tiffany.Sayang sekali, pria itu buta dan duduk di kursi roda. Ada yang mengatakan bahwa Sean Tanuwijaya adalah pembawa sial. Ketika berusia 9 tahun, orang tuanya meninggal karenanya. Ketika berusia 13 tahun, kakaknya meninggal karenanya. Kemudian, 3 wanita yang pernah menjadi calon istrinya juga mati.Ketika mendengar rumor ini, Tiffany sangatlah takut. Namun, pamannya bilang mereka baru bisa mengobati penyakit neneknya jika dia menikah dengan Sean. Demi neneknya, Tiffany bersedia
Tiffany bertanya dengan heran, "Kalau aku keluar, kamu bisa mandi sendirian?"Bukannya pria ini tidak bisa melihat apa pun? Sean tidak berbicara, tetapi suasana menjadi makin menegangkan.Tiffany bisa merasakan kemarahan Sean. Dia melepaskan handuk gosoknya, lalu berucap sebelum pergi, "Kalau begitu, kamu hati-hati ya. Panggil aku kalau butuh bantuan."Setelah keluar dari kamar mandi, Tiffany tampak gelisah dan terus memandang ke arah kamar mandi. Bagaimana kalau Sean terjatuh dan mati di dalam sana? Mereka baru menikah. Tiffany tidak ingin menjadi janda.Ketika Tiffany sedang mencemaskan Sean, ponselnya tiba-tiba berdering. Ternyata sahabatnya, Julie, mengirimnya sebuah video. Judul video itu adalah materi pelajaran.Materi pelajaran? Tiffany mengkliknya dengan heran sambil bertanya-tanya dalam hati, 'Ujian masih lama. Untuk apa mengirimnya materi pelajaran sekarang?'"Um ... ah ... hm ...." Begitu video diputar, terlihat seorang wanita bersandar di atas tubuh seorang pria ....Wajah
Kemudian, Tiffany berbalik untuk kembali ke dapur. Kedua pelayan itu segera menghentikannya. "Nyonya, nggak perlu."Mereka digaji untuk masak, tetapi semua sudah disiapkan oleh Tiffany. Kalau sampai Sean tahu soal ini, bukankah mereka akan dipecat?"Nyonya, aku dan Rika bertanggung jawab masak sarapan. Kamu baru datang ke rumah ini, nggak mungkin tahu selera Tuan. Sebaiknya jangan membuat masalah di dapur," ujar salah seorang pelayan dengan kesal.Pelayan bernama Rika itu segera menyahut, "Ya, Bibi Prisa benar. Sebaiknya Nyonya istirahat saja.""Tuan nggak makan makanan seperti ini. Dia selalu sarapan roti lapis, ham, dan susu. Sarapan yang Nyonya buat terlalu kuno," ucap Prisa sambil memandang sarapan yang terlihat hambar itu.Ekspresi Tiffany tampak heran sesaat, lalu menjadi suram. Dia menunduk dan mengiakan. "Kalian benar."Orang kaya memang suka bergaya. Di kampusnya, para siswa kaya saja tidak pernah pergi ke kantin untuk makan, apalagi orang sekaya Sean. Tiffany merasa dirinya s
Suara Sean terdengar sangat dingin, seolah-olah ingin membekukan seluruh ruang makan. Saat berikutnya, buk! Prisa berlutut di lantai dan berujar dengan mata merah, "A ... aku nggak seharusnya bicara begitu dengan Nyonya ...."Sean memang terlihat baik. Namun, jika dia marah, tidak ada yang bisa menanggung amarahnya.Prisa meneruskan, "Tapi, aku nggak berniat jahat! Aku cuma nggak ingin Nyonya masak karena takut dia lelah ...."Sean tersenyum sambil menghadap Prisa dan bertanya, "Makanya, kamu sengaja merusak suasana hati istri baru yang masak untuk suaminya?"Suasana di ruang makan menjadi hening untuk sesaat. Perkataan Sean ini bukan hanya mengejutkan Rika dan Prisa, tetapi Tiffany juga memelotot terkejut. Sean sedang membelanya?Prisa ketakutan hingga gemetaran. Dia menyahut, "A ... aku nggak bermaksud begitu .... Aku nggak membuang masakan Nyonya. Aku dan Rika memakannya ...."Senyuman Sean menjadi makin dingin. Dia mengejek, "Sepertinya kamu lebih mirip majikan di sini daripada aku
Setelah tersadar kembali, Tiffany memungut ponselnya dengan panik. Dia mendongak menatap Garry, lalu bertanya, "Kak, rupanya kamu kerja di sini?"Garry menyunggingkan senyuman manis. Dia mengelus kepala Tiffany dengan penuh kasih sayang sambil menegur, "Sebenarnya berapa usiamu? Kenapa ceroboh seperti anak kecil?""Dua puluh tahun," jawab Tiffany dengan mata berbinar-binar.Garry memalingkan wajah dan terkekeh-kekeh, lalu bertanya, "Kenapa kamu datang ke rumah sakit?"Tiffany menunjuk ruangan di belakang sambil membalas, "Temanku sedang mengobrol dengan kakak sepupunya."Garry melirik jam dan berujar, "Sudah waktunya jam makan siang. Temanmu mungkin nggak akan keluar secepat itu. Kebetulan aku mau makan siang. Gimana kalau kutraktir?"Tiffany berpikir sejenak, lalu mengetuk pintu untuk berpamitan dengan Julie, "Aku pergi sebentar."Garry berjalan di depan dengan wajah berseri-seri dan Tiffany mengikuti dari belakang. Sepertinya dari SMA 2, Tiffany sudah mengagumi pria ini.Saat itu, pe
Suasana di vila menjadi menegangkan. Sean melirik beberapa botol obat di atas meja. Tebersit kilatan dingin di matanya saat berkata, "Ternyata istriku pergi ke rumah sakit demi aku. Aku malah menyalahkanmu."Tiffany tidak bodoh. Dia tentu memahami makna tersirat pada ucapan Sean. Sean memberi isyarat tangan kepada pelayan di samping. Kepala pelayan segera menghampiri dan mengambil beberapa botol obat itu.Tiffany merasa kurang percaya diri. Dia bertanya, "Kamu menyuruh kepala pelayan menyimpannya karena nggak ingin makan ya?"Tiffany bisa merasakan kekesalan pada Sean. Sean tersenyum tipis dan berujar, "Makan saja dulu."Suara Sean terdengar sangat dingin dan rendah. Hal ini membuat Tiffany merasa gugup. Sepertinya, pria ini benar-benar marah.Tiffany mengepalkan tangan dengan erat. Mereka baru menikah 2 hari, tetapi dia sudah membawakan obat untuk Sean. Apakah ini terkesan kurang pantas? Apakah Sean mengira Tiffany membelikannya obat karena tidak menyukai kondisinya?Tiba-tiba, Tiffan
Julie melirik Samuel dengan dingin, tetapi tidak mengatakan apa-apa. Mark yang berusaha menahan tawanya pun menatap Zara. Dia bertanya dengan santai, "Nona Zara, kamu nggak bisa makan sendiri ya?"Zara tetap bersandar lemah di sofa. Dia membalas dengan nada lembut, "Tubuhku nggak kuat. Bukannya kamu tahu kalau aku baru saja mengalami kebakaran tadi malam?"Usai berkata demikian, Zara melirik Samuel dengan ekspresi manis. Dia memuji, "Samuel, kamu benar-benar baik. Lihatlah, orang lain cuma bisa mengejekku. Tapi, kamu benar-benar peduli padaku."Tiffany kehabisan kata-kata. Kalau saja dia tidak tahu bahwa semua ini hanyalah kepura-puraan Zara, dia mungkin sudah muntah di tempat.Samuel malah terlihat salah tingkah. Wajahnya memerah saat dia menggeleng sambil menimpali, "Zara, jangan memujiku seperti itu. Ini memang kewajibanku."Julie langsung berdiri dengan raut wajah dingin. Dia pergi sambil membanting pintu dengan keras. Zara tersenyum puas dan bahkan sempat mengedipkan mata ke arah
"Jadi ...." Sean menarik napas dalam-dalam. Kedua tangannya memegang wajah Tiffany dengan lembut. Dia menatapnya penuh kesungguhan, lalu bertanya, "Kalau aku bilang, ke depannya aku akan kasih Zara lebih banyak perlindungan, apa kamu akan marah?"Tiffany tertegun sebelum bertanya, "Perlindungan yang kamu maksud itu apa?""Aku mau ... memperlakukannya seperti adik sendiri," jawab Sean.Sepasang mata Sean yang dalam menatap Tiffany dengan tulus dan serius. Dia melanjutkan, "Aku nggak bisa memikirkan cara lain yang lebih baik untuk menebusnya. Jadi aku berpikir, gimana kalau kita menganggapnya sebagai adik kita? Kita akan menjaga dan melindunginya sampai dia nikah.""Kerugian yang ditimbulkan kakakku padanya, memang seharusnya ditebus oleh diriku yang adalah adiknya," tambah Sean.Tiffany menggigit bibir dan tidak bisa langsung menjawab apa-apa. Sebenarnya dia bisa memahami keinginan Sean. Namun ... dia tidak bisa melupakan bagaimana dulu Zara sangat ingin mendekati Sean, bahkan berusaha
Tiffany duduk di ruang tamu. Dia menyaksikan Charles melakukan akupunktur pada Zara selama beberapa waktu sebelum akhirnya menguap kecil dan naik ke lantai atas.Saat itu sudah lewat pukul 1 dini hari. Berhubung siang tadi Tiffany tidur cukup lama di dalam bus, di waktu seperti ini barulah dia mulai merasa sedikit mengantuk.Pada jam seperti ini, Sean pasti sudah tertidur. Dengan perasaan sedikit bersalah, Tiffany membuka pintu kamar perlahan. Saat ini, dia sebenarnya tidak tahu bagaimana cara menghibur Sean atau membuatnya berhenti memikirkan banyak hal.Setelah menyelesaikan rutinitas malam dengan cepat, Tiffany berjalan menuju ranjang dengan langkah hati-hati dan memeluk pinggang pria itu yang kokoh dan berotot."Sayang ...," bisik Tiffany pelan sambil memejamkan mata, diikuti dengan sebuah helaan napas kecil.Selama ini, Sean selalu membantu Tiffany dan menyelesaikan semua masalah yang dihadapinya, baik yang besar maupun kecil. Sementara itu, bagian yang bisa dibantunya untuk Sean
Zara tersenyum manis dengan mata yang melengkung. Dia menambahkan, "Gimana kalau besok aku biarkan kamu menciumku di depan semua orang? Biar harga dirimu kembali deh."Sebenarnya, ini ide yang cukup bagus. Samuel masih ingat betapa memalukannya dia saat dihajar oleh Mark terakhir kali. Akhirnya dia hanya mendengus kesal, tanpa coba mendekat lagi.Charles sedang duduk di sofa. Dia menyilangkan kakinya sambil berkomentar, "Dasar penakut dan hidung belang." Setelah itu, Charles melirik Tiffany dan bertanya sambil mengangkat alis, "Selera temanmu cuma begini?"Tiffany hanya bisa terdiam. Dia tahu, Julie menjalin hubungan dengan Samuel mungkin hanya karena kesal atau ingin balas dendam.Namun, Tiffany baru menyadari bahwa Samuel ternyata orang yang begitu tidak bisa diandalkan .... Hanya dengan beberapa kata dari Zara, dia langsung luluh."Sudahlah, jangan marah lagi," ujar Zara sambil tersenyum lembut pada Samuel. Dia melanjutkan, "Kamu pulanglah dan istirahat. Aku jamin dia nggak akan mel
Seisi vila jatuh dalam keheningan. Tiffany, Zara, dan Charles yang menyaksikan kehebohan ini hanya bisa melongo. Di sisi lain, wajah Samuel sudah terlihat sangat masam.Julie menepis tangan Mark dan berseru, "Gila kamu! Aku hanya pacaran normal, apa maksudmu dengan merusak diri? Kamu sudah menolakku, kenapa aku nggak boleh ...."Mark menggertakkan gigi. Matanya terlihat berapi-api.Julie menatapnya dengan mata berkaca-kaca. Dia terlihat putus asa dan sedih saat berkata, "Mark, aku benar-benar nggak tahu apa maumu! Selama 19 tahun aku hidup, ada berbagai pemuda yang mengejarku. Tapi, aku nggak pernah meladeni mereka. Aku mengakukan cinta padamu karena ingin berada di sisimu dan menjagamu ...."Julie menarik ingusnya. Pada akhirnya, dia tidak menceritakan masalah ginjalnya.Air mata jatuh berderai di pipinya. Julie menggertakkan gigi dan melanjutkan, "Kamu menolakku. Kamu menyuruhku untuk menghargai orang yang ada di depanku."Julie melirik ke arah Samuel dan berucap lagi, "Jadi, aku men
Charles tertawa kecil dan berkata, "Aku bisa merias wajahmu. Kemampuanku lumayan oke, lho. Fitur wajahmu sekarang sudah lumayan bagus. Wajah seperti apa yang kamu inginkan? Aku bisa meriasnya untukmu."Charles memiliki banyak hobi. Belakangan ini, dia tertarik pada seni riasan, tetapi dia belum menemukan wanita yang pas untuk menjadi pasangan berlatihnya. Zara kebetulan bisa membantunya."Oke, sekarang sudah larut. Kalian semua istirahat dulu. Tiffany, aku tidur duluan," ucap Sean sambil berdiri.Sebelum Tiffany sempat menjawab, Sean sudah berbalik dan melangkah ke lantai atas. Punggung pria itu terlihat kesepian.Tiffany hendak menyusul Sean, tetapi Charles menahannya dan berkata, "Biarkan dia sendiri dulu. Dia butuh waktu untuk mencerna semua informasi yang diterimanya. Bagaimanapun, dia baru mendengar kalau kakak yang disayanginya itu sudah menyakiti Zara."Tiffany menghela napas dan memutuskan untuk tinggal sebentar di ruang tamu.Sekarang sudah lewat tengah malam. Samuel yang tadi
Saat Zara berusia tujuh tahun, keluarganya bertanya apakah dia ingin menjadi gadis yang lebih cantik dan hebat. Dia tentu saja mengiakan dengan gembira.Kala itu, Keluarga Winata hanyalah keluarga yang terpuruk dan tanpa pendukung. Ketika ayahnya bertanya apakah Zara ingin keluarganya hidup lebih baik, dia mengangguk. Ketika ayahnya bertanya lagi, apakah Zara rela menderita supaya semua orang bisa hidup lebih baik, dia tetap mengangguk.Lantaran wajahnya mirip dengan Sanny semasa kecil, sejak itu Zara "beruntung" terpilih sebagai pengganti S di masa depan.Masa kecil Zara dihabiskan dengan dikurung di sebuah ruangan bersama seorang wanita yang wajahnya sudah rusak. Dia dicambuk dan dicaci tanpa belas kasihan.Mereka menanamkan cip di tubuh Zara agar dia menurut dan berada dalam kendali penuh wanita itu. Mereka juga mengoperasi Zara hingga dia terlihat hampir identik dengan wanita itu sebelum wajahnya cacat.Semua orang berkata bahwa dirinya terlahir untuk menjadi Sanny yang kedua. Namu
"Kenapa kamu datang malam ini?" tanya Tiffany."Ada seseorang yang kelewat khawatir. Aku juga mencemaskanmu," sahut Sean sambil mengusap kepala istrinya.Tidak lama kemudian, api berhasil dipadamkan. Berhubung Tiffany masuk menerobos api dan menyelamatkan peralatan fotografi, kerugian mereka tidak terlalu besar.Namun, koper Tiffany, Julie, dan Samuel sudah hangus dimakan api. Mereka juga tidak punya tempat untuk tidur malam ini.Tiffany mengusulkan agar mereka tidur di vila yang disewa oleh Sean dan Mark. Mereka juga bisa membawa Zara yang pingsan ke sana.Setelah memeriksa Zara untuk beberapa saat di kamar, dokter desa keluar dengan membawa sebuah benda kecil berwarna putih. Dia berkata, "Kondisi gadis ini sedikit spesial."Dokter menaruh benda itu di atas meja kopi dan melanjutkan, "Aku menemukan benda ini di bawah kulit lehernya."Mark mengernyit dan mengangkat benda itu untuk mengamatinya. Dia bertanya, "Benda apa ini?""Alat penyadap," gumam Sean dengan alis berkerut."Alat penya
Saat ketiganya sudah menjauh dari lokasi kebakaran, warga desa sudah tiba. Orang-orang dari klub fotografi juga sudah kembali.Warga desa sibuk memadamkan api. Sementara itu, Julie bergegas mendekat dengan mata merah. "Tiffany!" panggilnya.Di belakang Tiffany, Sean menurunkan Zara yang pingsan karena menghirup asap ke tanah. Dia berkata, "Panggil dokter."Chelsea menyahut sambil mengangguk, "Dokter sudah dalam perjalanan!"Kobaran api kian membesar. Semua orang mundur ke jalan kecil di luar halaman. Tiffany masih memegang kamera berharga di tangannya."Kenapa bisa tiba-tiba kebakaran? Tanah di pegunungan lembap, seharusnya nggak mudah terbakar!" ucap Chelsea sambil mondar-mandir dengan gelisah.Sean mengambil handuk yang diberikan Julie dan menyeka noda jelaga di wajahnya sambil berkata, "Nggak aneh kalau ada seseorang yang sengaja menyulut api.""Zara!" Tepat ketika Sean selesai bicara, Penny menyeruak dari tengah kerumunan. Dia langsung menggenggam tangan Zara, cemas saat melihat ba