Mas Yoga langsung di giring memasuki penjara oleh polisi tadi. Aku menatap Mas Yoga dengan perasaan campur aduk. Perasaan benci, sakit hati dan kecewa. Hampir delapan tahun aku hidup dalam kebohongan. Selama itu pula aku begitu mempercayai dan mencintainya.
Tidak pernah terbersit sedikitpun dipikiranku jika dia bisa berlaku seperti ini padaku. Aku menyesali semua waktu yang pernah aku habiskan dengannya.
"Ayo, Riana. Polisi ingin mendengar penjelasan darimu!" ucap Mas Candra membuyarkan lamunanku.
Aku mengikuti Mas Candra duduk di kursi di balik meja seorang polisi yang akan mencatat penjelasan dariku.
"Silahkan jelaskan semua tentang kesalahan suamimu itu!" perintah polisi itu padaku.
Aku lalu menerangkan semua hal tentang kecelakaan yang dialami oleh mendiang kedua orang tuaku. Serta memperlihatkan bukti diary milik Mas Yoga.
"Aku ingin dia mempertanggung jawabkan semua perbuatannya pada mendiang kedua orang tuaku, Pak! Aku tidak ingin mem
Mobil Mas Candra menuju kantor polisi tempat dimana Mas Yoga di tahan. Sedangkan mobil Paman dan Bibi mengikuti dari belakang.Aku langsung turun sesaat setelah mobil Mas Candra parkir di halaman kantor polisi. Terlihat Paman dan Bibi juga ikutan keluar dari mobil mereka."Ayi kita masuk!" ajak Paman padaku dan Mas Candra. Sedangkan Bibi juga mengikuti langkah kaki Paman memasuki kantor polisi.Aku dan Bibi duduk di ruang tunggu, menanti Paman dan Mas Candra yang sedang menemui polisi untuk meminta izin agar bisa bertemu dengan Mas Yoga.Setelah menunggu cukup lama, akhirnya kami diperbolehkan bertemu dengan Mas Yoga. Itupun hanya sebentar saja. Kami memasuki ruangan yang khusus untuk menerima kunjungan.Wajah Paman masih terlihat sangat marah. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi jika dia bertemu dengan Mas Yoga nantinya.Mas Yoga keluar ditemani oleh seorang polisi. Melihat ada Paman dan Bibi wajah Mas Yoga langsung pucat pasi."Pam
Besok paginya, Paman dan Bibi hendak kembali ke rumahnya."Riana, kamu jangan terlalu berpikir tentang masalah Yoga. Paman yang akan mengurus semuanya. Paman juga sudah menyewa jasa pengacara untuk mengurus semua ini. Kamu hanya perlu datang ke kantor polisi, jika mereka memintamu datang untuk memberikan keterangan", Paman berbicara sambil mengusap kepalaku sebelum dia memasuki mobilnya."Iya, Nak. Kamu jangan terlalu bersedih. Ingat anak yang ada dalam kandunganmu", balas Bibi."Baik, Bi, Paman. Aku akan mendengarkan semua nasehat Paman dan Bibi", jawabku.Mereka lalu memasuki mobil dan berlalu meninggalkan rumahku. Aku kembali memasuki rumah. Semua yang Bibi dan Paman ucapkan benar. Aku tidak boleh terlalu bersedih. Memang semua ini berat, tapi aku harus bisa tegar dan kuat demi calon anakku."Bik, tolong masakin bubur kacang hijau. Aku lagi pengen itu!" ucapku pada Bik Inah sebelum pergi memasuki kamarku."Ba
Dinginnya jeruji besi penjara membuatku tersadar bahwa sekarang hidupku bukanlah siapa-siapa lagi untuk orang lain. Penyesalan akan semua yang pernah aku lakukan ternyata tidak cukup untuk menghapuskan semua kesalahanku dimasa lalu.Menikah dengan Riana berharap semua rasa bersalahku hilang untuk orang tuanya. Aku juga tak memungkiri seiring berjalannya waktu aku benar-benar menjadi tulus mencintai Riana. Setelah kedatangan Rindu, akupun menikahinya agar dia mau tutup mulut.Sekarang semuanya hancur. Dari Rindu jugalah rahasia itu terbongkar. Aku tak habis pikir dengan jalan pikirannya. Apa yang dia dapatkan dengan membongkar semua rahasia itu.Sekarang, baik Riana ataupun Rindu akan sama-sama meninggalkanku. Riana tidak akan bisa memaafkan kesalahanku sedangkan Rindu, dia juga akan pergi karena aku sudah tidak bisa dia harapkan lagi.Aku termenung sendirian di balik jeruji besi yang dingin. Apa lagi yang harus aku lakukan? Kandungan Rindu sudah men
Aku menghubungi handphone Mas Candra besok adalah sidang putusan mengenai perceraianku. Aku berharap sidang besok berjalan lancar."Mas, besok sidang terakhir perceraianku. Aku ingin menghadiri persidangan itu", ucapku pada Mas Candra saat dia menjawab panggilan telpon dariku."Baiklah, kamu bisa datang. Sidangnya sekitar jam sembilan pagi. Mau mas jemput atau langsung kesana?" tawar Mas Candra."Biar aku sendiri saja yang kesana, Mas! Mas pasti repot kalau jemput aku segala", jawabku menolak halus tawaran Mas Candra."Sampai jumpa besok ya!" balasnya. Akupun mematikan sambungan telpon dengan Mas Candra.Satu urusan hampir selesai. Aku bisa menarik nafas lega. Perceraian dan status janda sebentar lagi akan melekat padaku. Walaupun rasanya gamang menghadapi hari-hari berikutnya seorang diri, aku masih berusaha tegar.Kandunganku yang sudah menginjak bulan ketujuh membuat ruang gerakku menjadi lebih sempit. Tidak lama lagi aku akan melah
Aku sudah mendapatkan alamat kontrakan mantan Ayah dan Ibu mertuaku. Rencananya hari ini aku ingin menemui mereka.Aku sengaja memakai mobil Mas Yoga. Membawa surat-surat kepemilikan mobil serta sertifikat rumah. Walaupun semua itu sudah atas nama Rindu, tapi tak masalah. Aku yakin perempuan itu tidak akan berani lagi menampakkan wajahnya di hadapanku.Aku mengetuk pintu rumah kontrakan mantan Ayah dan Ibu mertuaku. Tak lama keluar Ibu, dia memandangiku dengan tampang keheranan."Riana? Kamu disini? Ada perlu apa?" tanyanya langsung."Ayah ada, Bu?" tanyaku dengan sopan."Ayahhh.... ada Riana. Dia pengen ketemu!" teriak Ibu memanggil Ayah.Terlihat Ayah muncul dari balik pintu. Dia juga menatapku heran."Riana? Ayo masuk dulu. Ibu kenapa sih? Ada tamu nggak di suruh masuk?" ucap Ayah pada Ibu."Cuma heran saja, untuk apa lagi dia datang menemui kita. Bukankah keinginannya untuk bercerai dari Yoga sudah terkabul?" ucap Ibu
Persidangan Mas Yoga sudah mulai di gelar. Aku, Paman, Bibi dan juga Mas Candra selalu menghadiri persidangan. Selama persidangan yang panjang itu, Mas Yoga bersikap baik. Dia berkata jujur tentang semua yang terjadi.Hingga memudahkan semua proses persidangan. Sepertinya dia sudah benar-benar menyesali semua yang pernah dia lakukan. Aku sesekali menghapus airmata saat mendengar penjelasan Mas Yoga. Seketika bayang-bayang kedua orang tuaku yang kesakitan membuatku tak mampu menahan tangis.Apalagi saat dia menjelaskan bagaimana Ayahku berusaha memanggilnya untuk meminta pertolongan. Aku tak kuat mendengar semua itu. Aku hanya mampu menangis dalam pelukan Bibi.Aku tak menyangka sedikitpun, saat aku berada di rumah sakit untuk menemani kedua orang tuaku yang tengah berjuang di ICU, ternyata Mas Yoga ada disana. Dia menyaksikan semua kesedihanku. Saat kedua orang tuaku menghembuskan nafas terakhirnya, dia juga mengetahui itu.Aku sangat marah dan kecewa pad
"Apa yang ingin Mas katakan?" tanyaku pada Mas Candra."Mas cuma mau bilang, apa tidak sebaiknya kamu tinggal bersama Paman dan Bibi saja? Di sini kamu sendirian. Mas takut terjadi apa-apa denganmu jika hanya sendirian seperti ini!" ucapnya sambil memandangiku.Permintaannya sama dengan Paman dan Bibi. Sama-sama memintaku untuk tinggal dengan Paman dan Bibi."Tidak, Mas! Aku tidak ingin tinggal dengan Paman dan Bibi. Aku ingin di sini. Aku merasa lebih nyaman di sini.""Jika nanti tiba-tiba kamu ingin melahirkan bagaimana?""Tidak usah khawatir, Mas. Ada Bik Inah dan juga Pak Budi. Mereka bisa membantuku!"Mas Candra menyandarkan punggungnya pada sandaran sofa. Dia menatapku dalam."Apa karena kamu masih sedih karena Yoga?" pertanyaannya membuatku menatapnya seketika."Apa maksud, Mas?""Mas pikir kamu masih sedih atas semua yang terjadi hingga tidak ingin Paman dan Bibi tahu semua itu.""Benar, Mas. Aku tidak ing
Sedikit demi sedikit aku mampu mengobati luka hatiku akibat perlakuan Mas Yoga. Waktu yang ada kujalani dengan kebahagiaan. Mas Candra bertindak seakan menggantikan peran Mas Yoga dalam hidupku.Apapun yang aku butuhkan dengan cepat Mas Candra berikan. Tidak jarang dia yang mencarikan saat aku ngidam sesuatu. Aku merasa sedikit tenang. Aku punya tempat untuk berbagi. Itu semua aku dapatkan dari Mas Candra.Tiap hari tidak pernah sekalipun dia absen menanyakan keadaanku. Aku merasa bahagia mendapatkan perhatian darinya."Mas, hari ini aku mau periksa kandungan. Kandunganku sudah lebih dari delapan bulan. Aku ingin tahu keadaan calon anakku!" Mas Candra mendengarkan pembicaraanku melalui sambungan telpon."Jam berapa? Apa kamu sudah bikin janji sama dokter?" tanyanya."Sudah, Mas. Nanti jam sebelas siang. Mas bisa temenin aku?" aku berharap Mas Candra bisa menemaniku."Maaf, Riana. Mas ada persidangan jam segitu. Nggak bisa di undu
Aku tak henti mengucapkan rasa syukur, setelah Mas Candra dan kedua orang tuanya pergi dari rumahku. Restu yang Mama Mas Candra berikan membuat hidupku seakan kembali semangat. Aku tak sabar ingin segera menjadi istrinya Mas Candra. Seseorang yang sudah membuatku merasakan semangat untuk menjalani kehidupan ini.Sesuai janjinya, Mas Candra menjemputku keesokan harinya untuk menemui Paman dan Bibi. Aku sengaja membawa Adam dan Bi Inah. Pasti Paman dan Bibi rindu pada Adam. Aku sengaja tidak memberi kabar pada paman bahwa aku dan Mas Candra serta keluarganya akan datang mengunjungi mereka. Aku hanya menanyakan apa yang akan mereka lakukan hari ini. Dan syukurnya, Paman dan Bibi hari ini sedang di rumah. Paman tidak ke kantor karena sekarang hari sabtu.Saat mobil Mas Candra masuk ke halaman rumah Paman, aku segera turun di ikuti oleh yang lainnya. Bibi yang tengah menyiram tanaman di halaman depan rumahnya, terlihat sangat kaget dan langsung menghampiri kami."Rum
Jika ada yang bilang cinta itu harus di perjuangkan, aku setuju dengan ujaran itu. Tapi bagiku, cinta itu tak harus menimbulkan derita bagi orang lain. Aku tak ingin menyakiti hati perempuan lain untuk menciptakan kebahagiaanku sendiri. Itu terkesan egois bagiku, apalagi dengan semua derita yang pernah aku alami. Itu semakin membuatku tak mau menyakiti hati perempuan lain. Biarlah aku yang mengalah. Aku tak akan memperjuangkan Mas Candra.Jika dia adalah jodohku, aku yakin Tuhan akan menyatukan kami. Aku hanya ingin menyerahkan semuanya pada takdir. Apapun yang terjadi, aku tidak akan berkecil hati. Walau Mas Candra sudah berjanji untuk mendapatkan restu dari Mamanya, tetap saja aku tak menaruh harapan yang berlebihan. Walau di dalam sudut hatiku yang terdalam, aku mendoakan Mas Candra.Pagi harinya aku tetap menjalankan aktifitasku seperti biasa, untuk menghilangkan rasa jenuh aku berencana untuk membawa Adam dan Bi Inah berbelanja ke swalayan. Apalagi, sudah banyak k
Seperti ancamannya, Mbak Lisa ternyata menggunakan Mama untuk memuluskan jalannya. Dengan menghasut Mama agar tidak merestui aku dengan Riana. Hatiku rasanya sangat geram melihat Mbak Lisa tengah memasak di dapur bersama dengan Mama.Perkataan kasar Mama pada Riana tadi, aku yakin sekali itu akibat dari hasutan dari Mbak Lisa."Candra, ayo makan! Semua sudah terhidang di meja makan!" Panggil Mbak Lisa padaku dengan suara di buat semerdu mungkin. Aku melengos jengah melihat tatapan matanya padaku."Aku tidak lapar!" jawabku dengan ketus. Tanpa menghiraukan wajahnya yang berubah seketika, aku langsung memasuki kamar.Rasanya aku tidak ingin menikmati sedikitpun makanan yang sudah dia buat. Walaupun di bantu oleh Mama. Aku tidak ingin memberikan sedikitpun harapan padanya. Karena aku tidak akan bersedia menikah dengannya apapun bujuk rayu Mama dan Papa."Nak, ayo makan! Nak Lisa sudah susah payah memasak makanan kesukaanmu, kamu jangan bertindak
Aku meletakkan handphone di atas meja ruang tamu rumahku. Setelah Riana memutuskan sambungan telpon itu. Apa yang Riana ucapkan membuatku merasa khawatir. Dia tidak mau menikah denganku tanpa restu dari Mama. Sedangkan aku mengenal betul watak Mama. Sekali dia bilang tidak, maka akan tetap seperti itu pendiriannya. Apapun yang akan aku lakukan untuk membujuknya akan sia-sia.Ucapan Riana tadi seakan meruntuhkan impianku yang begitu besar untuk bisa membina rumah tangga dengan wanita yang selama ini selalu aku cintai. Ya, Riana adalah satu-satunya wanita yang sangat aku cintai. Dari semasa kuliah aku sudah menaruh hati padanya. Bahkan jauh hari sebelum aku dan dia jadian, aku sudah mencintainya.Sebenarnya, bukan maksud hatiku dulunya untuk menjauh dari Riana setelah kami wisuda. Aku hanya ingin mencari pekerjaan yang bagus sebelum memberanikan diri untuk melamar Riana. Tapi, semuanya terlambat. Saat aku sudah mempunyai pekerjaan yang bagus, aku baru menemui
"Memang seharusnya sikapmu seperti itu. Kamu harusnya sadar diri, jangan menjadi perusak hubungan orang lain, tidak baik!" Ujar Mamanya Mas Candra menyela ucapanku.Hatiku langsung remuk redam mendengar perkataan Mamanya Mas Candra. Tak ada kesempatan sedikitpun untukku bersatu dengan Mas Candra. Kebahagiaan yang sempat ku impikan harus musnah secepat ini. Senyuman kemenangan di perlihatkan oleh Mbak Lisa. Dia sepertinya sangat bahagia mendapat pembelaan dari Mamanya Mas Candra."Mas, kalau begitu aku pergi dulu! Maafkan aku, jika kehadiranku di kehidupanmu sempat mendatangkan derita!" ujarku. Aku langsung meraih tas yang tergeletak di atas sofa di samping tempat dudukku.Mbak Lisa dan Mamanya Mas Candra langsung saling pandang dan memberikan kode. Sepertinya mereka merasa menang karena aku akhirnya mengalah seperti itu."Jangan pergi dulu, Riana! Ini belum selesai. Mas sungguh-sungguh ingin menikahi kamu!" Mas Candra menarik tanganku agar kem
Belum berapa jauh mobil Mas Candra meninggalkan rumahku, lagi-lagi handphonenya berdering. Kali ini wajah Mas Candra berseri saat melihat layar handphonenya."Iya, Ma! Ini aku lagi di jalan menuju ke rumah Mama," ujar Mas Candra melalui sambungan telpon itu."Apa? Mama dan Papa sekarang ini lagi menuju ke rumahku? Udah berangkat dari tadi? Kok nggak ngasih kabar? Kemaren kan aku sudah bilang mau pulang ke rumah bawa seseorang," jawab Mas Candra lagi.Aku mendengar semua pembicaraan Mas Candra dengan Mamanya. Perasaanku langsung tidak enak. Kenapa Mama dan Papa Mas Candra memutuskan untuk datang ke sini? Padahal mereka sudah di beritahu Mas Candra bahwa hari ini kami akan menuju rumah mereka di kampung."Ya sudah, kalau begitu, aku tunggu Mama dan Papa di rumah!" jawab Mas Candra akhirnya.Saat Mas Candra menyimpan kembali hamdphonenya ke dalam saku celananya, aku langsung bertanya padanya."Ada apa, Mas?" tanyaku dengan heran."
Aku membiarkan begitu saja saat dering handphoneku memekakkan telinga. Sudah dari tadi Mas Candra mencoba menelponku. Rasanya aku tidak bisa lagi dekat dengan Mas Candra.Perkataan perempuan itu masih terngiang di telingaku. Aku tidak ingin menjadi perusak dalam hubungan orang lain. Lebih baik aku yang mundur. Walau hatiku sudah mulai bisa menerima kehadiran Mas Candra. Sudah mulai bisa merasakan getaran saat tatapan matanya bertemu denganku.Rasa cinta itu sebenarnya sudah datang di hatiku untuk Mas Candra. Tapi aku tidak ingin apa yang aku rasakan dulu, di rasakan juga oleh perempuan lain. Sakitnya di khianati oleh Mas Yoga masih membekas di hatiku. Tiap ingat Mas Yoga aku masih tetap menitikkan air mata. Cinta yang begitu ku agungkan ternyata memendam duri yang begitu tajam.Walaupun sekarang dia tengah menjalani hukuman atas perbuatannya, tetap saja luka di hatiku tak bisa hilang oleh perbuatannya.Karena tak ku gubris sedikitpun, ak
Pikiranku kalut, semua kata-kata yang di lontarkan perempuan itu seperti bom yang selalu meledakkan jantungku. Kenapa dia sampai tega memfitnahku seperti itu. Dia bilang akulah yang merusak hubungan pernikahan Mas Candra dengan adiknya, bahwa akulah yang menyebabkan adiknya meninggal.Apa yang sebenarnya Mas Candra lakukan pada mantan istrinya itu, hingga dia sakit-sakitan dan akhirnya meninggal. Apa benar akulah yang menjadi biang rusuh dalam pernikahan mereka? Karena Mas Candra kecewa dengan lamarannya yang aku tolak dulu hingga membuatnya berlaku tidak adil pada istrinya sendiri?Tiba-tiba aku ingat Amira, dia adalah teman dari mantan istrinya Mas Candra. Aku ingin mencari tahu kebenarannya dari dia. Aku segera menghubungi Amira."Amira, apa kamu punya waktu untuk bertemu denganku?" Kuutarakan langsung niatku saat Amira menjawab panggilan telpon dariku."Kebetulan hari ini anak-anak di bawa neneknya, suamiku juga lagi kerja. Kamu mau ketemu di mana?" b
Aku menatap punggung Sakti dan temannya yang beranjak keluar dari pintu utama rumahku. Di tangan Sakti, dia membawa tas berisi uang 2M yang dia minta padaku. Sedangkan aku, memegang surat perjanjian yang sudah dia tanda tangani. Ada sedikit perasaan lega, sekaligus sedih. Lega karena mulai sekarang, Adam akan menjadi milikku. Dia akan menjadi putraku dalam segi hukum. Sakti tidak akan bisa lagi merampas dia dari diriku. Sedih, karena aku harus kehilangan uang dalam jumlah sebanyak itu. Mas Candra memandangi wajahku yang sedikit murung setelah kepergian mereka. "Apa sekarang kamu menyesal? Mas sudah memperingatkan kamu sebelumnya, sekarang semua uang itu sudah mereka bawa. Seandainya kamu mau menempuh jalur hukum, kemungkinan kamu bisa menang. Karena Sakti selama ini memang tidak mau bertanggung jawab pada Adam." "Aku hanya tidak mau berurusan dengan pengadilan, Mas! Proses hukum Mas Yoga saja, sudah membuatku lelah. Aku tidak ingin kembali bolak balik