Kepulangan Cempaka dan Danendra disambut bahagia oleh Saras dan Cakrawati. "Saras belum tidur? Besok sekolah.""Iya, aku tunggu mama dan bapak, pulangnya malam sekali. Aku sampai ngantuk," protes Saras.Danendra membelai kepala Saras seraya tersenyum."Macet panjang di tol, Saras. Senyum dong," ujar Danendra menyamakan tingginya dengan Saras.Tidak bisa menahan diri, Saras pun menyunggingkan senyum pada Danendra dan Cempaka."Nah, gitu, cantik anak mama."Mereka masuk bersama ke dalam rumah."Selama ditinggal apa ada masalah, Bu?" tanya Cempaka pada ibunya."Tidak, semua biasa saja. Saras juga baik," sahutnya."Ini kami bawa oleh-oleh buat ibu." Cempaka menyerahkan tas goodie. "Ini untuk Saras."Mata Saras berbinar, ia melonjak senang seraya menerima pemberian mama dan bapaknya.Saat itu juga Saras membuka dan melihat boneka bayi, hatinya diliputi rasa bahagia."Aku suka sekali boneka ini, Ma. Koleksi boneka bagiku bertambah lagi. Asyik," ujarnya lalu memeluk Cempaka."Bapak lihat Sa
Danendra berjalan cepat dari poliklinik menuju parkiran siang ini. Jadwal praktek di rumah sakit telah selesai, dia mau melanjutkan praktek ke rumah sakit lain.Sosok Dahlia berjalan dari kendaraan terparkir menuju gedung rumah sakit."Dahlia," gumam Danendra. Sepengtahuan Danendra, Dahlia merupakan teman dekat Natali sewaktu masih jadi istrinya.Menutup kembali kendaraannya, ia mengikuti arah masuk Dahlia ke dalam rumah sakit.Sebagai rumah sakit yang besar dengan lorong yang panjang dan bercabang, perjalanan Dahlia cukup jauh.Namun, sebelum mencapai ruangan tujuan, Dahlia peka terhadap sekitar.Ia membelok ke arah lain.Danendra kehilangan jejak Dahlia. "Pak Danendra?" Awalnya Dahlia ingin terus bersembunyi, akan tetapi ia tidak bisa terlalu lama menunggu Danendra pergi."Kamu Dahlia, teman Natali?" tanya Danendra memastikan. Dahlia mengamati dan menerjemahkan arah pembicaraan Danendra, hanya saja ia tidak menemukan jalurnya."Ya, Pak.""Di sini sedang apa?" tanya Danendra dengan
"Aku yakin imunoterapi kanker ini akan memberi kamu peluang untuk sembuh," ucap Dahlia pada Natali setelah mereka mendapat informasi pengobatan dari dokter konsultan onkologi medik. "Kamu juga harus berpikir baik, agar imun tubuh terjaga," lanjut Dahlia sembari merapikan nakas di samping ranjang pasien."Iya, Bu Dahlia, siap laksanakan," sahut Natali."Aku keluar sebentar membeli makanan ke kantin, ya."Sepeninggalan Dahlia, Natali tidak melakukan apa-apa selain beristirahat. Ia melihat ponsel Dahlia tertinggal di nakas."Yah, handphone-nya malah lupa dibawa."Bunyi pintu terbuka membangunkannya kembali."Ketinggalan, Dahlia?" tanyanya, hanya saja, seketika membatu melihat bukanlah Dahlia yang masuk ke ruang rawatnya."Danendra?" lirihnya dengan pupil mata membesar."Natali, apa yang kamu sembunyikan dariku?" Paras Danendra menegang disertai cemas melihat Natali terbaring di ranjang rumah sakit.Kehilangan kata-kata membuat Natali tidak mampu menjawab pertanyaan Danendra. Mengamati N
Kekecewaan Cempaka terbawa sampai ke rumah. Dia memutuskan pulang usai makan di kantin rumah sakit. "Sepertinya lemas sekali," nilai Cakrawati begitu melihat putrinya berjalan seperti orang sempoyongan."Agak pusing, tapi sudah tidak kenapa-napa, Bu. Dokter bilang banyak istirahat. Saras di mana, Bu?""Sedang tidur siang. Apa kamu sudah makan?"Anggukan kepala sebagai jawabnya, Cempaka menolak diantar ke kamar tidur, ia yakin mampu masuk kamar dalam kondisi yang baik.Langsung merebahkan diri, Cempaka bernapas lega karena telah bisa beristirahat. Ponselnya berdering di meja nakas.Dengan susah payah, Cempaka kembali bangun, menurunkan kaki dan mengecek ponsel di dalam tas.Danendra.Berulang kali pria itu menghubungi, tetapi Cempaka enggan untuk sekedar mengangkat panggilan. Ia butuh istirahat karena lelah menanti Danendra, padahal pria itu berjanji akan kembali.***Tidur Cempaka terganggu, terasa ada sesuatu yang menempel di wajahnya. Dia menggerakkan badan, sayangnya kesulitan u
Sebulan berlalu, sejak pemeriksaan kehamilan pertama. Danendra tidak pernah menanyakan hasil kontrol sama sekali.Demikian dengan Cempaka, ia memilih bungkam lantaran merasa ada yang janggal pada suaminya.Hanya saja, Cempaka menjalani kewajiban sebagai seorang istri."Bu, hari ini aku mau ke rumah sakit lagi, ya.""Mau menemui nak Danendra?" tanya Cakrawati yang baru saja pulang mengantar Saras ke sekolah.Cempaka hanya menganggukkan kepala, ia pun tidak memberi tahu kabar baik mengenai kehamilannya pada Cakrawati. Setibanya di rumah sakit, Cempaka mendaftarkan diri ke bagian administrasi lalu menunggu antrian dokter kandungan. Sesekali Cempaka batuk, ia merasa tenggorokannya seminggu belakangan kurang baik sehingga memutuskan menggunakan masker.Nama Cempaka dipanggil, ia masuk menemui dokter lalu melakukan USG terhadap kandungannya."Ukurannya masih kecil, ya, Bu. Ini yang bergerak-gerak," tunjuk sang dokter di layar monitor. Paras Cempaka bahagia melihat calon anaknya di bulan k
Usai Cakrawati memutus sambungan telepon, Cempaka belum beranjak dari tempatnya berdiri. Dia berharap saat ini juga terbangun dari mimpi buruk.Menghela napas panjang, Cakrawati menatap jauh ke depan. Pandangan kosong memikirkan masa depan putri dan cucunya. "Ibu...."Cakrawati terperanjat mendengar suara orang yang menjadi bahan pikirannya saat ini.Dia membalik badan dan melihat mata merah putri semata wayangnya."Ka... kamu di sini, ada apa menemui ibu?"Cakrawati mendekati putrinya, sewaktu akan menyentuh lengan Cempaka, putrinya mundur mengambil jarak.Dugaan kalau Cempaka mendengar apa yang baru saja dibicarakan pada Danendra membuat Cakrawati merinding cemas."Apa benar yang baru saja aku dengar? Danendra akan menikah lagi? Dan, pernikahan ini adalah perjanjian antara ibu dan dia?"Gagap Cakrawati menjawab pertanyaan Cempaka yang telah mengetahui kebenarannya."Bu?" Suara Cempaka bergetar lirih, air mata menggenang di pelupuk mata.Tidak kuat berdiri, Cempaka terduduk di pingg
Ketukan pintu kamar pribadi Cempaka dan Danendra menyela situasi menengangkan yang tercipta di antara mereka.Cempaka melirik jam kecil di lemari hias. Masalah mereka belumlah usai."Saras, mengapa terbangun?" Cempaka terperangah melihat putrinya datang dengan isakan pelan sembari menggosok matanya."Aku mimpi buruk."Isakan berubah menjadi tangisan. Cempaka membawa Saras menjauhi kamar pribadi ke arah ruang keluarga."Sini sama mama. Kamu mimpi apa sampai menangis?"Suasana hati Cempaka berubah drastis saat bertemu putrinya, berbeda sewaktu bercakap dengan Danendra. "Uti pergi. Saras takut ke kamar Uti."Diusap Cempaka putrinya dengan penuh kasih sayang. Dia menggendong Saras ke pangkuannya, mengabaikan kondisi kandungan."Uti ada di kamar, kok. Tadi mama sebelum tidur ngobrol bareng uti. Tidak kemana-mana," hibur Cempaka dengan menceritakan keadaan sebenarnya."Di mimpi kamu, memangnya uti pergi ke mana?""Meninggal. Dimakamkan, seperti Bima."Mendadak tangan Cempaka terhenti di u
Cempaka menyesal lantaran gagal menahan emosi saat Saras tidak menghabiskan sarapan.Hari demi hari Cempaka belajar untuk memperlakukan Saras dan ibunya dengan baik sebab merekalah orang yang selalu hadir dalam kesusahan hidup Cempaka.Mengambil ponselnya, Cempaka membaca ulang isi surat elektronik yang dikirim Danendra padanya.Perasaan Cempaka bercampur aduk antara ingin mempertahankan diri sebagai istri satu-satunya atau membagi Danendra pada mantan istri nya."Apakah aku harus terima Natali jadi maduku?"Inti di surat itu, Danendra meminta agar diberi kesempatan merawat Natali di sisa akhir hidup wanita yang mengidap kanker lambung berulang.Dia akan menjadi suami yang adil dan penuh rasa sayang pada keduanya. Tambahan lagi, Danendra menyebut Natali tidak disarankan untuk mengandung seorang anak dengan kondisi kanker dalam tubuhnya.Dalam selang dua minggu ini, Cempaka menutup komunikasi dengan Danendra. Dia masih marah.Danendra terus berusaha agar bisa berkomunikasi dengan Cempa
Setelah Joko Chandra, giliran Natali ditemui oleh Cempaka. Ia datang sendiri ke kediaman perempuan yang menjadi istri kedua suaminya."Mau apa datang kemari!" Sambutan Natali dingin saat membuka pintu rumahnya. Di belakang Natali, dia melihat seorang perempuan yang diketahui Cempaka sebagai teman dekat Natali."Suruh masuk, ada tamu," ucap Dahlia ramah.Cempaka tak berminat masuk, ia langsung bicara ke topik inti."Ayahmu sudah mendekam di penjara, Natali."Badan Natali meremang, senyum miring Cempaka malah membuatnya gentar."Aku hanya peringatkan, pelan tapi pasti aku minta kamu mundur dari hubunganki dan Danendra!" tegas Cempaka tanpa ada rasa takut.Natali menatap manik Cempaka dalam-dalam lalu tawa lepas dari bibirnya."Kamu datang kemari untuk mengancam aku, heh?!"Natali membalas menggertak Cempaka."Kartumu ada di aku."Tawa Natali terhenti disambut kalimat ramah Dahlia."Apa kita masuk dulu untuk membicarakan hal penting ini?"Tatapan Cempaka beralih pada Dahlia yang tampak t
Natali gelisah usai menonton berita mengenai penangkapan ayahnya sebagai dalang kebakaran ruko yang pernah ditempati Cempaka. "Memang si Tua ini keras kepala, dari dulu merasa benar dan sekarang dapat akibatnya."Meskipun gelisah, ada rasa marah yang menggerogoti hatinya. Ia teringat bagaimana perlakuan Joko Chandra terhadap ibunya di masa silam, bukannya baik-baik saja, melainkan sebaliknya.Natali kecil sering melihat pertengkaran ayah dan ibunya, dia tidak paham masalah apa yang menimpa. Semakin dewasa, ia mendapati kesalahan ibunya yang dituturkan ayahnya, yakni bersama pria lain.Tertawa miris, itulah yang dilakukan Natali. Memiliki orang tua yang menelantarkan dirinya secara batin, membuatnya tidak yakin dengan relasi pernikahan seumur hidup."Kalian membuat masa depanku hancur, penuh dendam dan kebencian," ucapnya di hadapan bingkai berisi gambar kedua orang tuanya.Bukan sedih yang dirasakan oleh Natali atas kejadian yang menimpa ayahnya."Memang pantas mendapatkannya."Natal
Di malam hari, setelah Devano dan Anita pulang, Danendra duduk di ruang keluarga sendirian. Ia mengulir ponsel tanpa berkonsentrasi dengan apa yang dikerjakan. Pikirannya menerawang pada masa lalu, bagaimana hubungan pertemanan dengan Devano kandas karena pria itu menjalin hubungan dengan Natali di belakangnya.Kekhawatiran menyerang Danendra saat melihat istrinya, Cempaka, terlihat nyaman berada di dekat Devano."Sudah jam setengah sebelas, tidak tidur?" tanya Cempaka yang muncul dari arah belakang badan Danendra. Pria itu hanya diam saja tanpa respon."Cantik ngga kalau bunga ini di taruh di sini?" tanya Cempaka membawa vas berisi bunga yang dibawanya tadi."Hm...," jawab Danendra sembari melirik ke arah bunga cantik di nakas.Cempaka duduk di bangku berhadapan dengan Danendra. "Pak Devan tadi datang sekalian mengabarkan kalau dalang kebakaran ruko sudah ditangkap pihak berwajib."Pandangan Danendra mendadak terarah pada Cempaka. Dia belum mendapat kabar apapun."Namanya Joko Cha
Setelah menidurkan Keenan, Cempaka mengulir media sosial miliknya sembari beristirahat.Matanya membelalak membaca sebuah artikel, berulang kali Cempaka membaca dengan seksama."Pelaku pembakaran ruko sudah ditangkap," ulangnya pelan, tersinggung senyum di parasnya.Tidak lama, layar ponselnya menampilkan nama Danendra. Gegas Cempaka menanggapi."Cempaka, aku tadi dihubungi kuasa hukum. Pelaku pembakaran ruko yang kamu sewa sudah tertangkap. Mereka ada tiga orang.""Apa datangnya ada di antara mereka?" tanya Cempaka antusias."Belum sampai ke sana. Wajah mereka dipakaikan masker, diduga masih ada kawanan lainnya."Cempaka mengangguk, dugaannya juga serupa dengan itu. Hanya saja bukti tidak ada."Siapapun orangnya cepat atau lambat pasti akan tertangkap," ujar Cempaka dengan nada emosional. "Tapi, jangan terlalu memikirkan hal ini, ya." Dari nada bicara Cempaka, Danendra bisa mengira-ngira perasaan istrinya sejauh mana."Nanti aku pulang lebih cepat, mau dibawain makanan tidak?" Danen
Insiden di rumah Natali membuat Danendra membatalkan prakteknya secara mendadak. Alasan istrinya sakit dipakai untuk menemani Natali yang memintanya tidak pergi bekerja setelah dirinya meminta maaf."Apa masih sakit?" tanya Danendra memandang pipi Natali memerah. "Sudah berkurang." Natali tersenyum sembari memegang kompres dingin, berbeda dengan raut Danendra yang datar.Danendra melirik jam estetik yang menempel di dinding, tidak terasa setengah hari dilalui di kediaman Natali."Sore nanti aku mau keluar," ucap Danendra seperti seorang anak yang minta izin ke ibunya."Apa tidak bisa menginap lagi di sini?" Natali menyulap pertanyaan dengan keinginan keras. "Temanilah aku lagi," ujarnya dengan merengek. "Aku akan datang lagi besok," janji Danendra, meskipun dia tidak begitu yakin bisa dipenuhi atau tidak.Usai makan siang, Danendra meninggalkan rumah Natali. Beralasan ke rumah sakit lagi, Danendra menyetir ke rumah miliknya, ia ingin melihat istri dan anak-anak.Rumah dalam keadaan
Danendra terbangun di pagi hari dengan ruangan serasa berputar, kepalanya pening.Memandang sekitar, dia tahu kalau malam tadi dirinya menginap di kediaman Natali.Pakaiannya sudah berganti dengan bahan yang lebih ringan.Berjalan memegang dinding agar tidak jatuh, sampai Danendra di luar kamar. Tercinta aroma wangi masakan dari dapur. Ia yakin kalau Natali ada di sana."Mengapa aku bisa menginap di sini?" tanyanya dengan suara meninggi.Tersentak Natali mendengar suara Danendra, ia berbalik dan langsung mengubah raut menjadi lebih ramah."Kamu sudah bangun? Aku lagi siapin sarapan," sahutnya tanpa menjawab pertanyaan Danendra. Natali mengambil sebuah gelas lalu pergi menuju dispenser untuk mengisi dengan air minum. "Minum air hangat setiap pagi baik untuk kesehatan. Aku selalu ingat pesan kamu," ucapnya.Danendra hanya menatap gelas berisi air, tanpa memedulikan hal itu, Danendra berjalan menuju bangku di sekitar meja makan lalu duduk di sana.Memejamkan mata menjadi jalan untuk me
"Maaf, Bu. Ada apa ini? Suara ibu mengganggu tetangga, hari sudah malam." Seorang bapak datang menghampiri Cempaka untuk menegurnya. Cempaka mengatur emosinya dengan baik. Dia meminta maaf lalu menjelaskan perihal Danendra di dalam rumah Natali. "Suami ibu?" "Ya." Tampak bapak-bapak itu pergi lalu berbisik dengan tetangga lain. "Saya RT di sini, apakah ibu yakin ada orang di dalam?" tanyanya. "Itu mobil suami saya." Cempaka menunjuk kendaraan roda empat yang terparkir di garasi. Ketua RT meminta bukti mengenai data suami Cempaka. Ketua RT bersama warga menggedor-gedor pintu kediaman Natali sampai Natali merasa terpojok. "Bu Natali silakan di buka atau kami membuka paksa." Merasa terancam akhirnya Natali membuka pintu. "Mana Danendra?!" jerit Cempaka berusaha memaksa masuk, tetapi cepat dihalangi Natali. "Tidak ada yang boleh masuk paksa ke rumah saya atau saya lapor polisi!" teriak Natali melawan. Cempaka dan warga lain berdiri mematung. "Bu Natali, ibu
Natali merasa tidak puas dengan penuturan Joko Chandra, ia menghadapi masalah baru. yakni Cempaka jadi kembali ke Bekasi paska kejadian kebakaran. Hal membuat Natali kesal adalah keputusan kembali Cempaka dan Danendra kembali serumah."Kamu cukup berempati pada perempuan itu, masalah lain Papa akan membantu," ujar Joko Chandra waktu itu.Natali menghubungi Danendra, ia punya permintaan."Dane, temani aku konsultasi ke dokter kandungan, ya," pintanya melalui sambungan telepon."Kalau mau ke rumah sakit, datang saja, Natali," sahut Danendra sambil memeriksa jadwal operasi, seminar, dan praktek di poliklinik.Gegas Natali melakukan apa yang disuruh Danendra, mereka berdua masuk ke dalam ruang praktek."Coba dilihat ini janinnya masih berukuran kecil. Harap dokter dan istri memperhatikan kebutuhan sang bayi melalui nutrisi ibu hamil," ingat sang dokter.Dokter kandungan meresepkan vitamin untuk Natali."Kamu sudah selesai praktek, 'kan? Mau pulang?" tanya Natali di luar ruangan."Sudah.
Malam ini Cempaka dan anak-anak mulai menginap di Bekasi. Danendra girang bukan kepalanya, tanpa paksaan Cempaka menyerahkan diri padanya.Danendra tidak yakin alasan apa yang membuat istrinya memutuskan hal itu. Apapun alasannya bagi Danendra tidak begitu penting."Saras masih bersekolah di Jakarta, besok Heru bisa mengantar ke sekolah, 'kan?" tanya Cempaka saat mereka berada dalam kamar yang sama. Cempaka memutuskan bersedia sekamar tanpa syarat apapun."Ya, Heru bisa antarkan. Tapi, kamu tidak berniat Saras bolak-balik sejauh itu, bukan? Dia harus bangun sepagi apa, pasti lelah perjalanan jauh."Cempaka telah memikirkannya. "Saras sebenarnya sudah nyaman bersekolah di sana, sejak masalah di sekolahnya dulu. Waktu aku membicarakan hal ini padanya, Saras sedih, jadi aku beri pilihan mau tinggal di Bekasi pindah sekolah atau tetap di Jakarta."Danendra mengangguk. "Jadi jawaban Saras apa?""Kamu tidak tanya?" Cempaka menoleh pada suaminya dengan kernyitan di kening.Danendra berdehem