Bayiku sedang dibersihkan oleh asisten dokter, sementara aku masih diurus oleh dokter kandungan. Jalan lahirku mengalami kerobekan cukup besar, hingga harus dijahit cukup banyak. Aku hanya bisa meringis menahan perih saat tusukan demi tusukan jarum menembus kulitku.Mas Fahri yang baru saja diminta kembali ke ruang rawatnya, hanya bisa menatapku sendu. Dia sudah melihat dengan mata kepala sendiri, bagaimana seorang wanita berjuang bertaruh nyawa demi melahirkan buah hatinya."Ayo, Nak Fahri." Ibu mendekati Mas Fahri kemudian mendorongnya menuju pintu keluar. Namun mata Mas Fahri terus saja menatapku sampai dia benar-benar tak terlihat lagi.Sedetik kemudian ibu kembali lagi menemaniku. Karena di luar sudah ada Nisa yang akan kembali membawa Mas Fahri ke kamarnya.Tepat pukul delapan malam semua sudah selesai. Dokter dan suster pun sudah keluar dari ruanganku. Aku masih ditemani ibu dan Bang Irsyad yang tak lama datang."Bang, Bang Raka mana? Kok, ga ikut?""Ada urusan katanya."Entah
Ucapan Nisa terus terngiang-ngiang di telingaku. Mas Fahri kritis? Bukankan kemarin sore kami masih melakukan video call. Mas Fahri terlihat biasa-biasa saja, sama seperti sebelumnya. Hanya saja, wajahnya memang sedikit pucat. Saat kutanya, mungkin karena kurang tidur katanya. Dia merindukanku dan juga Syafea, putrinya."Saya akan segera ke sana, Mbak," ucapku pada Nisa.Akupun segera mematikan sambungan telepon."Kenapa, Nay?" tanya ibu cemas."Mas Fahri, Bu. Mas Fahri kritis.""Astagfirullah. Ya, sudah. Kamu cepetan ke rumah sakit. Biar ibu di sini jagain Syafea," titah Ibu."Biar Abang antar, Nay," tutur Bang Raka yang masih menggendong Syafea.Aku mengangguk, "Naya ganti baju dulu."*****Aku dan Bang Raka baru saja berangkat menuju rumah sakit. Jaraknya memang lumayan jauh dari rumah Bang Irsyad, sekitar 20 km. Rasanya aku ingin segera sampai ke rumah sakit. Tak sabar ingin bertemu dengan suamiku itu. Meski kondisiku belum terlalu pulih, aku janji akan kembali menemaninya dan me
"Dokter mengizinkan, Pa. Dengan syarat harus ada suster yang akan mengawasinya 24 jam. Ibu sudah menyetujuinya. Nanti dokter akan mengirimkan salah satu perawat dari rumah sakit ini," tutur ibu membuat aku merasa lega sekaligus cemas.Ya, sebenarnya aku takut, pengobatan di rumah kurang maksimal. Tapi demi kebahagiaan dan kenyamanan Mas Fahri, terpaksa aku pun menyetujuinya.Aku langsung menghubungi ibu, memberitahunya, bahwa mulai hari ini, aku, Syafea dan ibu akan tinggal di rumahku dan Mas Fahri dulu. Sementara Nisa, ibu dan ayah mertua, memutuskan untuk tetap tinggal di rumah mereka yang sekarang. Selain karena kamar di rumahku dan Mas Fahri hanya ada tiga, juga ingin membiarkan Mas Fahri dan aku merasakan kehidupan rumah tangga normal seperti yang lain.Sebenarnya aku sudah mengajak Nisa untuk tinggal bersama sambil membantuku merawat Syafea, tapi dia menolak dengan alasan tidak bisa merawat bayi. Hingga lebih baik, tetap ibuku saja yang akan membantuku untuk merawat Syafea.Mes
Aku kembali mengguncang tubuh Mas Fahri. Dia tetap tak merespon. Dengan gemetar, kutempelkan jariku ke hidungnya. Kenapa dia tidak bernafas? Aku beralih mengambil pergelangan tangannya, kemudian memeriksa denyut nadinya.Tapi kenapa denyut nadinya juga tidak ada? Aku kembali mencobanya, meraba-raba denyut nadinya. Tidak ... ini tidak mungkin. Mas Fahri hanya pingsan. Ya, aku yakin dia mungkin pingsan.Kuambil kayu putih dari atas meja rias, kemudian menggosokkannya ke area hidung, kaki, dan tangan Mas Fahri."Mas ... aku mohon bangun, Mas. Aku mohon." Aku terus mengguncang tubuh Mas Fahri. Air mata sudah mulai berjatuhan. Jantungku berdebar luar biasa.Dengan air mata berderai dan hati yang berkecamuk, aku keluar dari kamar. Mengetuk kamar ibu."Kenapa, Nay?" tanya ibu saat membuka pintu kamarnya. Wanita paruh baya itu masih mengucek matanya karena ini memang masih tengah malam."Kenapa, Bu Naya?" Suster Dina yang kamarnya bersebelahan dengan kamar ibu ikut keluar."Mas Fahri, Bu. Mas
Aku menatap gundukan tanah merah di hadapanku dengan hati yang remuk redam. Masih terbayang dengan jelas, saat tadi jenazah suamiku dimasukkan ke dalamnya. Tangisan keluarga kembali pecah saat itu. Pun denganku. Bahkan aku kembali hampir pingsan hingga harus dibopong beberapa orang.Tak kuat rasanya melihat orang yang begitu kita cintai dimasukkan ke dalam liang lahat. Lalu perlahan tubuhnya ditimbun tanah hingga tak terlihat lagi. Jangan tanya bagaimana nestapanya hatiku? Seolah jiwaku ikut terkubur di dalamnya. Ibu dan ayah mertua berkali-kali menguatkanku. Pun Nisa dan Bang Irsyad yang tak pernah beranjak dari sisiku. Sementara ibuku, terpaksa tidak ikut karena harus menemani Syafea di rumah. Tak elok rasanya jika harus meninggalkan bayi perempuan itu bersama suster Dina. Meskipun sudah seminggu aku mengenalnya, tapi tetap saja aku harus berhati-hati pada orang asing."Sabar, Nak. Sabar. Ikhlaskan kepergiannya, Nak. Agar dia beristirahat dengan tenang," ucap ibu mertua saat tangis
Rencananya, ibu dan ayah mertua akan tetap tinggal di ibu kota. Naina, adik Mas Fahri pun bahkan sudah mengundurkan diri dari tempatnya bekerja dan akan menetap di Jakarta. Naina akan bekerja di perusahaan milik Mas Fahri."Benar kata ibu, Nak. Kalau Nak Naya tinggal di sini bisa sama-sama mengontrol perusahaan Fahri. Bukankah berarti itu perusahaan Nak Naya dan Syafea?" Kali ini ayah mertua yang bersuara."Benar, Kak. Kita bisa bekerja bersama. Aku pasti senang bisa bekerja bersama Kak Naya," timpal Naina yang dari tadi hanya ikut menyimak. Sementara Nisa, dia memilih diam seperti biasa. Aku menatap wajah ibuku yang juga sedang menikmati sarapannya, mumpung Syafea sedang tidur, katanya. Tapi ibu tak merespon apapun. Wanita yang sudah menua itu hanya menunduk, mengaduk nasi goreng yang masih tersisa setengahnya.Rasanya tidak mungkin aku membiarkan ibu tinggal seorang diri. Tak mungkin ibu mau tinggal di kota ini selamanya. Besok ataupun lusa, dia pasti meminta untuk pulang ke kampun
Mobil kami sampai berbarengan dengan berkumandangnya adzan duhur. Aku bergegas masuk ke dalam rumah yang baru saja kuncinya dibuka ibu. Pegal sekali rasanya duduk berjam-jam di dalam mobil. Langsung kubaringkan Syafea yang masih tertidur di atas ranjang. Sekalian aku pun ikut merebahkan tubuhku di sampingnya.Wajah Mas Fahri selalu saja terbayang di mataku. Satu-satunya lelaki yang berhasil mengisi relung hatiku kini tinggal kenangan. Membuat mataku kembali memanas dan akhirnya kembali menangis.Kematian suamiku itu baru juga dua bulan lamanya. Masih begitu baru. Tak akan mungkin mudah bagiku untuk melupakannya. Kata orang, semakin lama, bukannya semakin lupa, tapi justru akan semakin ingat. Tentu saja, karena semakin lama, rindu itu pasti semakin menggunung.Kulirik Syafea yang masih tertidur pulas. Lalu aku bangkit berjalan keluar kamar. Bang Irsyad sedang duduk di kursi meja makan. Dia terlihat sedang memainkan gawainya. Aku menuang air putih ke dalam gelas, kemudian ikut duduk di
Umi Fatimah dan Ustad Hafiz pun sempat tertegun sebentar melihat adanya Bang Raka. Namun, beliau langsung tersenyum sambil sedikit membungkukkan tubuhnya."Umi, ini sahabat Abang saya. Baru saja datang dari Jakarta.""Bang, ini Umi Fatimah sama anaknya, Ustad Hafiz. Pemilik Pesantren Al-Huda."Umi Fatimah, Ustad Hafiz dan Bang Raka sama-sama menganggukkan kepala sambil tersenyum."Silakan duduk, Umi, Ustad. Maaf, saya tinggal ke belakang sebentar."Umi Fatimah dan Ustad Hafiz pun duduk di sofa bersisian. Sementara aku berlalu ke dapur."Ada tamu, ya, Nay?" tanya Ibu yang sedang menyiapkan makan siang saat aku menuangkan air putih ke dalam dua gelas air."Iya, Bu. Ada Umi Fatimah sama Ustad Hafiz.""Tumben, ada apa, ya?" "Enggak tau, Bu. Naya kan udah lama nggak ikut pengajian. Ribet sama Syafea. Ya sudah, Naya ke depan dulu."Aku pun kembali ke ruang tamu sambil membawa baki berisi dua gelas air putih. "Silakan diminum, Umi." Aku menyimpan gelas itu di meja di hadapan Umi Fatimah da
Aku sempat begitu terkejut saat bangun melihat ada seorang lelaki di sampingku. Namun, aku buru-buru tersadar kalau sekarang aku sudah menjadi seorang istri kembali. Kutatap lelaki yang masih tidur pulas itu. Wajahnya begitu tampan dan teduh. Hanya saja, kecanggungan di antara kami belum benar-benar mencair. Semalam saja, tidur kami terhalang oleh bantal guling yang menjadi penyekat di antara kami.Aku beringsut turun dari ranjang, kemudian berjalan menuju kamar mandi. Mengambil air wudhu. Ketika aku membuka pintu kamar mandi, ternyata suamiku sudah terbangun."Sudah wudhu?" tanyanya sambil tersenyum.Aku mengangguk sambil membalas senyumannya."Kita solat berjamaah subuh. Aku wudhu dulu." Ustad Hafiz pun masuk ke kamar mandi.Setelah melakukan solat subuh berjamaah, Ustad Hafiz mengajakku untuk membaca Al-Quran sejenak sambil menunggu pagi datang. Lantunan ayat-ayat suci yang dibacanya terdengar begitu merdu di telinga. Membuat hatiku merasa begitu tenang dan damai."Mau pulang sekar
Tak pernah kuduga sedikit pun apa yang Umi Fatimah ucapan barusan? Bercanda kah ia? Tapi beliau bukan tipe orang yang suka bercanda apalagi sedang membahas masalah serius seperti ini."Ma-maksud Umi, apa?" Dengan mimik yang masih keheranan aku bertanya."Umi berniat menjodohkan Naya sama anak Umi. Itu juga kalau Naya bersedia.""Maaf Umi. Naya merasa tidak pantas untuk menjadi pendamping Ustad Hafiz. Naya bukan wanita solehah. Naya juga cuma seorang janda yang sudah mempunyai anak. Tidak mungkin Ustad Hafiz mau sama Naya. Banyak wanita yang lebih baik di luar sana." Aku menunduk. Menyembunyikan genangan air mata yang mulai memenuhi kelopaknya."Sayang, apa yang salah dengan janda. Bukankah Nabi Muhammad saw juga dulu menikahi seorang janda? Gadis ataupun janda bukan tolak ukur seorang wanita baik atau tidak. Umi terlanjur sayang sama Naya juga Fea. Umi pasti seneng banget kalau Naya bisa menjadi menantu Umi.""Tapi Umi. Ustad Hafiz ...."Umi Fatimah tersenyum kepadaku, kemudian mengge
Kenyataan yang baru saja kudengar, bagai meruntuhkan duniaku yang perlahan akan kembali bangkit. Aku mulai merasakan setitik harapan untuk masa depan yang indah bersama pendamping yang akan benar-benar menyayangiku dan anakku. Namun kini, bak roller coaster yang terjun dari ketinggian hingga ke dasar bumi. Hancur. Air mata makin mengalir deras membasahi pipi. Jantungku pun masih berpacu begitu cepat. Tubuhku yang tak berdaya masih ditopang oleh Bang Irsyad. Kutatap mata elang Abangku yang terlihat mengobarkan amarah."Kamu harus kuat, Naya." Bang Irsyad berbisik lirih di telingaku. Aku pun mengangguk. "Kalau kamu sudah merasa lebih baik, kita ke dalam," lanjutnya lagi.Aku berkali-kali mencoba menghirup napas dalam-dalam. Menetralkan debaran dan sayatan yang mengiris hati. Memasukkan lebih banyak oksigen ke dalam dadaku yang terasa sesak. Lagi-lagi karena pengkhianatan.Untuk terakhir kalinya aku menghirup napas sangat panjang, sambil mengusap jejak air mata di pipi. Stop Naya. Kam
"Kok, buru-buru banget sih, Bang? Naya pikir, mau pendekatan dulu atau apa gitu." Aku masih mencoba untuk mengulur waktu sambil terus belajar memantapkan hatiku untuk mencintainya."Kita sudah cukup dekat sejak lama. Ngapain ditunda-tunda lagi."Rasanya ingin aku menjawabnya lagi. Tapi suara tangisan Syafea sudah mulai terdengar. Benar saja, ibu datang dengan membawa Syafea yang sedang menangis."Sepertinya, Fea ngantuk, Nay." Ibu menyerahkan Syafea padaku."Maaf, Bang. Naya mau nidurin Fea dulu." Bang Raka mengangguk sambil tersenyum. Aku pun bangkit dan mulai berjalan ke kamar untuk menyusui putriku.Kumandang azan duhur membangunkanku yang ikut tertidur di samping Syafea. Mungkin karena semalam aku susah tidur, makanya sekarang sampai ikut ketiduran. Kulirik Syafea yang masih tertidur lelap. Kemudian aku turun perlahan dari kasur.Aku sedikit terkejut saat keluar dari kamar, karena ternyata Bang Raka masih ada di sini. Aku pikir sudah pulang ke rumahnya. Taunya masih ada. Tidur ter
Dengan air mata yang mulai berjatuhan dan hati berdebar, mataku memindai sekeliling. Pun dengan Umi Fatimah. Aku berjalan cepat ke arah tempat mengaji anak-anak tadi, badanku berputar menengok ke kiri dan ke kanan. Nihil. Tidak ada."Gimana, Nay? Ada?" tanya Umi dengan wajah panik.Aku menggeleng."Kita cari ke arah belakang masjid."Aku pun mengikuti umi menuju belakang masjid. Bahkan sampai mengelilinginya. Tidak ada tanda-tanda Syafea ada di sana. Aku dan Umi pun memutuskan untuk kembali ke depan.Dengan tubuh yang masih bergetar dan kaki lemas, aku terduduk lesu di teras masjid. Menangis sesenggukan sambil menangkup wajahku dengan kedua tangan."Syafea ...." Aku menangis memanggil nama putriku."Sabar. Kita cari sama-sama. Insyaallah, Fea baik-baik saja." Umi mengusap punggungku pelan.Saat aku masih terisak, samar kudengar celotehan Syafea dari dalam masjid. Wajahku langsung mendongak seketika. Aku dan Umi saling bertatapan. Sepertinya Umi pun mendengarnya. Seingatku tadi, pintu
Setelah melaksanakan solat isya, seperti kebiasaan keluargaku dari kecil, kami berkumpul di tuang TV. Berbagi cerita, membahas segala hal. Rencananya, malam ini, aku ingin bertanya kepada ibu dan Bang Irsyad tentang pendapat mereka mengenai Bang Raka. Aku ingin mengatakan kalau Bang Raka ingin serius menjalani hubungan denganku.Syafea tengah tertidur di karpet ruang TV karena terlalu lelah bermain. Ini waktu yang tepat untukku berbicara karena tidak akan diganggu anakku. "Bu, Bang, Naya mau ngomongin sesuatu," ucapku pada Ibu dan Bang Raka dengan hati yang berdebar. Spontan Ibu dan Abangku itu langsung menatap ke arahku."Ada apa, Nay?" tanya Ibu. Sementara Bang Irsyad tidak bersuara. Hanya dari gestur tubuhnya, dia terlihat sudah siap untuk mendengarkan."Naya ... mau bertanya sesuatu pada Ibu dan Abang," kataku lagi seolah ragu."Iya, apa? Tanyakan saja," jawab Ibu."Naya ... Naya ... Maksud Naya, gimana pendapat Ibu sama Abang tentang Bang Raka? Sebenarnya, Bang Raka mengatakan s
Setelah mengetahui masa lalu kelam Bang Irsyad, aku tidak pernah lagi membahas tentang Nisa dihadapannya. Ya, aku mengerti perasaannya. Kecewa, terluka. Dikhianati oleh orang yang begitu kita cintai itu sangat menyakitkan.Entah apa sebenarnya yang terjadi dengan masa lalu Nisa. Hanya dia sendiri yang tau. Namun, tak ada manusia yang cela tanpa dosa. Begitupun bagi seorang Nisa. Mungkin dulu dia telah berbuat khilaf hingga hamil diluar nikah. Meski aku sendiri tak tau bagaimana kondisi bayi yang dulu pernah dikandung oleh Nisa. Apakah ia pernah terlahir ke dunia, atau justru tidak sama sekali.Aku begitu sering bertemu Nisa, bahkan dia selalu menginap di rumahku jika aku sedang berada di Jakarta. Namun, aku tak pernah berniat sekalipun untuk bertanya tentang masa lalunya. Bahkan aku tak berhak untuk tau. Biarlah itu menjadi masa lalu Nisa dan Bang Irsyad yang mereka kubur selama ini.Waktu begitu terasa cepat berjalan. Hari ini tepat satu tahun usia Syafea. Tidak ada perayaan. Aku han
Sekarang aku sudah pulang kembali ke kampung halamanku setelah seminggu berada di Jakarta. Meskipun ibu dan bapak mertua belum puas melepas rindu dengan cucunya, namun aku juga harus memikirkan perasaan ibuku sendiri yang lebih betah dan nyaman tinggal di kampung halamannya.Seperti biasa, sebelum pulang aku mampir dulu ke makam Mas Fahri untuk mendoakannya. Setelah di kampung, aku kembali dekat dengan Umi Fatimah. Sering berkunjung ke rumahnya sambil menggendong Syafea menikmati udara sore hari. Terkadang menemani umi mengajar anak-anak sekolah agama. Syafea suka anteng kalau di ajak ke madrasah melihat dan mendengar anak-anak mengaji. Semoga kelak ia akan menjadi anak yang solehah.Bang Raka juga kembali gencar mendekatiku, memperhatikanku. Setiap hari lelaki yang kukenal sejak lama itu video call atau sekedar mengirim pesan. Namun jika pesannya atau pembicaraannya sudah menjurus ke hal-hal yang belum kuinginkan, segera kualihkan pembicaraan ke topik lain. Dan sepertinya Bang Raka
Umi Fatimah dan Ustad Hafiz pun sempat tertegun sebentar melihat adanya Bang Raka. Namun, beliau langsung tersenyum sambil sedikit membungkukkan tubuhnya."Umi, ini sahabat Abang saya. Baru saja datang dari Jakarta.""Bang, ini Umi Fatimah sama anaknya, Ustad Hafiz. Pemilik Pesantren Al-Huda."Umi Fatimah, Ustad Hafiz dan Bang Raka sama-sama menganggukkan kepala sambil tersenyum."Silakan duduk, Umi, Ustad. Maaf, saya tinggal ke belakang sebentar."Umi Fatimah dan Ustad Hafiz pun duduk di sofa bersisian. Sementara aku berlalu ke dapur."Ada tamu, ya, Nay?" tanya Ibu yang sedang menyiapkan makan siang saat aku menuangkan air putih ke dalam dua gelas air."Iya, Bu. Ada Umi Fatimah sama Ustad Hafiz.""Tumben, ada apa, ya?" "Enggak tau, Bu. Naya kan udah lama nggak ikut pengajian. Ribet sama Syafea. Ya sudah, Naya ke depan dulu."Aku pun kembali ke ruang tamu sambil membawa baki berisi dua gelas air putih. "Silakan diminum, Umi." Aku menyimpan gelas itu di meja di hadapan Umi Fatimah da