“Ma, tapi kenapa? Apa yang salah pada Ocha? Bukankah Mama juga sangat menyayanginya?”
Karin menarik napas panjang, beralih duduk di sofa dengan tatapan yang masih lurus ke depan.Selang beberapa detik, ia pun berkata, “Tidak ada yang salah padanya. Ocha wanita baik, sopan, sabar, ramah, dan kuat.”“Tapi, kenapa Mama melarangku menikah dengannya?” tanya Yaya butuh penjelasan. “Mama pasti punya alasan, kan?”Karin terdiam beberapa saat sebelum akhirnya menjawab, “Dia baik, tapi tidak bisa menjadi istrimu.”Yaya membuang napas kasar. Lantas berjalan mengambil tempat di dekat ibunya. “Bagaimana Mama bisa tau kalau Ocha tidak bisa menjadi istriku. Aku bahkan belum bertanya padanya.” Yaya menatap ibunya penuh tanya. “Aku mencintainya, Ma.”“Sekali Mama bilang tidak, tetap tidak!” tegas Karin.Wanita paruh baya itu langsung beranjak dari duduknya dan berlalu begitu saja.Masuk ke kamar meninggalkan Yaya yang masih meOcha sontak terkejut mendengar pertanyaan itu. Dia menatap Yaya dengan tajam. “Kenapa lu menanyakannya? Gue ... gue belum siap untuk memikirkan hal seperti itu.”Yaya mengangguk-anggukkan kepalanya pelan, mencoba mengerti. “Tapi, bagaimanapun juga, lu harus melanjutkan hidup, Cha. Anak lu butuh sosok Ayah dan kamu tentu butuh pria yang bisa melindungi lu, juga Aqil,” tutur Yaya.Ocha tersenyum sinis. “Gue belum mikir ke sana, Ya. Lagian, gue ini janda, punya anak. Susah kalau harus cari suami. Mana ada coba pria yang mau sama janda seperti gue?”Yaya kini menatap Ocha dengan serius. “Gue, Cha. Gue mau jadi suami lu.”Mendengar pernyataan Yaya yang sangat tiba-tiba, Ocha seketika menelan ludahnya yang terasa kelu.Yaya menunduk sejenak, mengumpulkan keberanian untuk melanjutkan. “Sebenarnya ... gue sudah mencintai lu sejak lama. Tapi gue selalu takut untuk mengatakannya. Gue ingin menikahi lu, Cha.”“Gue janda, Ya.” Hany
Ocha mencari artikel lain yang mungkin lebih jelas karena ia ingin membaca detail artikel tentang kecelakaan yang terjadi kemarin di dekat tempat tinggalnya, tetapi pandangannya tak sengaja mengarah pada sudut kiri ponsel, membuatnya sontak menggeleng kuat-kuat. Di mana, jarum jam sudah memasuki waktu efektif untuk bekerja. Jadi, ia mengurungkan niat dan mulai menyalakan komputernya. Mulai menyelesaikan laporan penjualan bulanan untuk rapat strategis besok pagi. Namun, pikirannya terus menerus teralihkan ke berita kecelakaan di lampu merah yang melibatkan mobil pick up, mobil minibus, hingga pengendara motor inisial ANF. Ocha sebenarnya merasa kecelakaan itu bukan urusannya. Hanya saja, inisial tersebut tak asing dalam pandangannya. Tapi, ia benar-benar tak bisa mengingat, di mana pernah membacanya? Ocha menggosok pelipisnya dengan sedikit frustrasi sambil menatap lurus lay
Dalam beberapa saat, Ocha terdiam. Sesekali, menarik napas yang tiba-tiba terasa tercekat. Kini dia menunduk sebelum akhirnya menggeleng dan berkata pelan, “Gue udah anggap Yaya sebagai adik sendiri, La. Dari awal gue kenal hingga sekarang, gue gak pernah ada pikiran bakalan punya hubungan khusus dengan dia,” tuturnya seraya mengangkat wajah dan menatap Lala dengan raut bimbang. Sepasang matanya pun mulai tampak kaca-kaca, tetapi ia masih mencoba untuk menahan agar tak keluar. Lala bangkit dan mendekati Ocha. Meletakkan tangan dan menepuk bahu temannya itu. Detik berikutnya, Ocha beralih memeluk pinggang ramping Lala sambil sesekali terisak. “Gue ... gue salah ya kalau nolak dia, La?” tanyanya di sela isakan. Lala pun mengusap-usap punggung Ocha sekadar untuk memberikan menguatkan. “Gak ada yang salah. Yang salah itu, ketika lu memaksakan diri untuk menerimanya karena merasa iba padanya.” “Emang ada orang yang nerima cinta orang lain karena iba?” “Banyak, Sayang, Banyak
“Ada apa lagi sih, Mas?” Suara ketus dari seberang membuat Aksa sedikit terperanjat, spontan menelan ludahnya dalam-dalam.Pria itu memilih bungkam karena mulutnya seolah kaku untuk sekadar mengucapkan sesuatu. Dia tetap terdiam hingga suara mantan istrinya kembali terdengar, “Udah, deh. Mulai sekarang, gak usah ngemis-ngemis mau ketemu Aqil lagi. Kemarin aku ngasih kesempatan, tapi kamu gak datang. Artinya, Aqil emang gak sepenting itu buat kamu ….”“Kamu seenaknya menyia-nyiakan kesempatan yang aku berikan,” imbuhnya. “Sekarang kamu pake nomornya Mami buat hubungin aku, biar apa coba?”Seakan ada benda tajam yang sengaja menusuk, hati Aksa terasa nyeri.Dadanya pun mendadak sesak. Tangan yang bergetar pun tak sengaja menekan fitur telepon berwarna merah membuat sambungan telepon antara dirinya dan Ocha terputus. Dia menarik napas berat, meremas benda pipih milik ibunya itu dengan pandangan lurus ke depan.
Perkataan sang ibu membuat Aksa seketika menelan ludahnya kuat-kuat. Sejenak, dia tak bisa berkata-kata. Namun, sepasang matanya tak lepas menatap ibunya ibunya penuh dengan rasa ingin tahu yang mendalam. “Jadi ...,” ucap Aka terjeda, “Mami tau kalau Ocha hanya anak tiri?” tanyanya pada akhirnya.Pelan tapi pasti, Bianca pun mengangguk. “Tau. Ibu kandungnya, dulunya teman Mami, sama seperti Laras, ibu tirinya. Cuma Ibunya Ocha tiba-tiba pisah dari suaminya tanpa mau menyebutkan alasan. Tapi tak lama, papanya Ocha menikah lagi, dengan Laras. Sedangkan, ibunya Ocha, Mami udah gak tau sekarang dia ke mana?”Aksa mengembuskan napas kecewa, sekilas memejamkan matanya.Hampir saja, dia bisa membantu Ocha menemukan ibu kandungnya. Tapi, sepertinya tak akan semudah itu.“Mami tau kalau hidup Ocha selama ini tertekan bersama dengan keluarga papanya?” tanya Aksa lagi. Lagi-lagi, Bianca bergeming. Setelah beberapa saat
Keesokan harinya, seperti biasa, Ocha bangun subuh untuk melakukan pekerjaan rumah, menyiapkan sarapan untuk dirinya sendiri dan juga rutin melakukan pumping asi sebelum berangkat kerja, meskipun ia juga harus pumping di kantor. Namun, berhubung karena hari ini, Nathan menginap di rumahnya, jadi Ocha juga menyiapkan sarapan untuk adiknya yang mungkin akan berangkat kuliah pagi-pagi. Sementara Lala, dia tadi malam pamit pulang ke apartemennya karena tak nyaman jika menginap di rumah Ocha, sedang Nathan juga ada di sana. Begitu keduanya sama-sama menikmati sarapan yang ditemani dengan suara sendok yang beradu dengan piring, Ocha pun memutuskan mulai membuka suara. “Nat, tumbenan sih kamu nginap di sini? Kenapa?” tanyanya. “Malas aja di rumah, Mbak. Papa dan Ibu bertengkar mulu gak ada habisnya,” jawab Nathan apa adanya. Ocha yang semula menunduk, langsung mengangkat wajah menatap pria muda itu. ‘Apa maksudnya berkata demikian?’ tanya Ocha dalam hatinya. “Papa dan Ibu
“Ekhm! Awas gak bisa tidur kalau tatap-tatapan terus,” goda Bianca yang saat ini sudah berada di pintu. Dia tersenyum penuh makna melihat sepasang mantan suami istri itu, sebelum akhirnya benar-benar berlalu ke dalam rumah membawa cucunya.Dengan begitu, Ocha yang sadar jarak mereka terlalu dekat, buru-buru memalingkan wajah dan bertanya dengan nada cemas. “Kamu gak apa-apa, Mas?”Setidaknya, Aksa pun kini terlihat salah tingkah.Namun, dia tetap berusaha untuk tersenyum dan langsung mengangguk pelan. “Aku baik-baik saja. Terima kasih sudah menolongku, Cha.”Ocha bereaksi dengan deheman pelannya sembari membantu Aksa berdiri tegak, tetap memegang lengannya untuk memastikan pria itu berdiri dengan stabil.“Kamu seharusnya lebih berhati-hati. Kenapa kamu menggunakan tongkat begini? Di pelipis dan sikumu juga ada perban?” tanya Ocha penasaran. “Apa itu sakit?”Ocha tak bisa menyembunyikan rasa cemasnya pada Aksa. Bahkan, i
Setelah masuk rumah, Ocha langsung duduk di samping meja makan sambil minum air putih. Niatnya, setelah ini ia akan menyiapkan makanan untuk Aksa dan Bianca karena dia merasa tak enak hati jika mereka datang tanpa disuguhi apa pun. Lagian, Aqil sedang dijaga neneknya, jadi Ocha bisa leluasa meninggalkannya untuk mengerjakan tugas lain.“Mi kenapa repot-repot bawa barang sebanyak ini?” tanya Ocha sambil melihat dua kardus besar yang terletak di ruang tengah rumahnya itu. “Gak merepotkan, Nak. Itu khusus buat kamu dan cucu Mami,” kata Bianca santai. “Nak Ocha kalau pergi kerja, Aqil siapa yang jagain?”Ocha melihat ke arah Aksa yang baru datang dan langsung duduk di sebelah ibunya, kemudian berkata, “Dititipin ke ibunya temanku, Bu. Pulang kerja baru aku jemput lagi.”“Hm. Kalau berkenan, kamu juga bisa bawa Aqil ke rumah Mami. Biar Mami yang jagain. Mami pasti senang kalau seharian bareng cucu.”“Iya, Mi. Nanti kapan-k
“Aqil, sini dulu,” teriak Aksa sambil mencoba mengetuk pintu berkali-kali.Aqil kembali berlari menghampiri pintu dan menempelkan wajah kecilnya pada pintu kaca itu seolah-olah tak baru saja melakukan kesalahan.“Aqil denger suara Papa nggak, Nak?”Tak terdengar sahutan, tetapi bibir kecil Aqil terlihat bergerak menyebut kata “Papa”.Aksa berjongkok, memberikan kode pada sang putra agar membuka pintu. Hanya saja, Aqil tak melakukan apa pun. Hanya ada raut bingung nan menggemaskan di wajahnya itu. Sementara itu, Ocha berlalu ke ujung balkon, memandang ke bawah dengan gelisah. Bukan apa-apa, ia takut Aqil melakukan sesuatu yang membahayakan dirinya sendiri kalau sendirian terlalu lama di kamar. “Sus Wina! Sus Wina!” teriaknya, berharap suara lantangnya itu terdengar sampai ke bawah. Namun, suasana rumah yang sepi membuat panggilannya berlalu sia-sia tanpa jawaban.“Sus Wina, ke dekat kolam renang dulu, dong.” Ocha masih berusaha memanggil pengasuh Aqil itu. Aksa kini sudah berdiri di
Dua bulan kemudian. Aula pernikahan tampak meriah dihiasi bunga-bunga berwarna pastel yang menyemarakkan suasana di hari bahagia Nathan dan Lala. Tamu-tamu mulai berdatangan, menambah semarak momen istimewa yang sebentar lagi akan dimulai. Dengan memegang lengan sang suami, Ocha melangkah di sisi Aksa. Keduanya mengenakan busana berwarna biru tua yang senada. Ocha tampak anggun dalam balutan kebaya ber-bordir elegan, sementara Aksa mengenakan setelan jas yang rapi. Pada gendongan pria itu, ada Aqil yang mengenakan tuxedo mungil dan tampak menggemaskan. Anak itu menarik perhatian beberapa tamu yang tersenyum melihat betapa lucunya dia. Tak jauh dari Mereka, Yaya hadir bersama ibunya dengan balutan busana senada. Yaya sesekali melirik ke arah Aqil dan mengangkat tangan kecilnya untuk melambai yang dibalas senyum oleh bocah itu. Sementara itu, Laras dan Paul sudah duduk di tempat yang telah disediakan untuk keluarga dan para tamu undangan. Di belakang mereka, Fafa yang
Dahi Ocha mengerut begitu mobilnya memasuki gerbang dan melihat ada mobil yang jelas bukan mobil suaminya sedang parkir di halaman rumahnya.Setelah memarkirkan mobilnya di garasi, dia pun keluar dan tak berselang lama, Aksa juga sudah datang dan memarkirkan mobilnya di sebelah mobil Ocha.“Mobil siapa, Sayang?” tanya Aksa sambil berjalan mendekati istrinya.Ocha mengangkat bahu menandakan ketidaktahuannya. Dia meraih tangan sang suami dan menciumnya dengan takzim. Seperti biasa, ketika pergi dan pulang kerja tak melewatkan saling memberikan pelukan hangat. Aksa mencium singkat kening, pipi, dan bibir istrinya. “Bukannya tadi kamu bilang akan pulang jam 7 malam, kok cepat?” tanya Ocha dengan tatapan menyelidik. “Loh, emang gak senang suaminya pulang cepat?”“Bukan, tapi kamu bilang sendiri tadi, kan.”“Pekerjaan udah selesai masa enggak boleh pulang? Lagian kangen si bocil.”Ocha mencebik, pura-pura kesal. “Oh
Dewi bangkit dari duduknya, berdalih memegang tangan sang suami. Tatapannya memelas seakan-akan meminta pembelaan. “Mas ... tapi, aku benar-benar sudah meminta agar foto itu di-take down.”Sebuah helaan napas berat dikeluarkan Denis. Dia seraya menatap sang istri dengan tajam, rahangnya mengeras menahan amarah. “Kamu, tuh, sadar nggak sih, Wi? Kamu udah bikin hidup orang lain dalam masalah tau, nggak? Apa kamu pikir setelah ini, permintaan maaf saja itu sudah cukup untuk memperbaiki semua kesalahan kamu pada mereka?”“Wi, kesalahan kamu yang kemarin saja belum tentu mereka maafkan, terus sekarang bertambah lagi.” Denis beralih duduk di sofa dengan wajah semrawut. Sambil memegangi kepala, pusing dengan kelakuan sang istri yang makin menjadi. Sambil menghampiri suaminya, mata Dewi kini berkaca-kaca. “Mas, aku ....” Dia pun berlutut, di hadapan Denis. Namun, Napasnya tercekat, seakan-akan kehilangan kata-kata.“Aku nggak akan bisa melindungi kamu ka
Makin ke sini isu yang beredar itu makin rame diperbincangkan di media. Banyak yang meminta Aksa dan Ocha segera klarifikasi untuk meredam isu yang pembahasannya justru mulai melebar ke mana-mana.“Cari tahu siapa yang pertama kali menyebarkan dan laporkan ke saya secepatnya!” perintah Aksa dengan nada tegas melalui telepon.Di kantor, tim keamanannya sudah bekerja maksimal untuk menyelidiki sumber isu yang beredar sesuai dengan permintaannya. Sementara itu, Ocha duduk di sofa sambil memperhatikan Aksa yang berdiri di dekat dinding kaca rumah mereka. Sibuk untuk menyelesaikan masalah itu. Ocha sesekali mengawasi Aqil yang entah sedang melakukan apa? Intinya dapat kolong yang bisa menampung dirinya, pasti masuk di sana.Dalam pikiran Ocha juga ada banyak hal, termasuk tertuju satu nama yang bisa mungkin menjadi sumber gaduhnya netizen di media sosial. Hanya saja, dia tidak ingin suuzan. “Aku curiga Dewi yang melakukan ini, Saya
Di lain tempat pagi itu, Ocha dengan sabar terus mencoba menyuapi makan untuk putranya meskipun beberapa kali melepehkan bubur yang masuk ke mulutnya. Ocha menghela napas pelan sambil mengusap bibir Aqil yang belepotan. “Ayo, Sayang .... Makan yang banyak, ya. Biar Aqil sehat, nanti jadi anak pintar, ganteng kayak Papa kalau udah besar.” Hanya saja, bukannya membuka mulut, Aqil malah mengayunkan tangan, mencomot bubur dari sendok Ocha dan menempelkannya ke wajahnya sendiri. Seketika itu, bubur mengotori pipi mungilnya. “Ya ampun, anak gantengnya Ibu. Makanannya gak boleh dibuat mainan, ya, Sayang.” Di sebelahnya, Aksa memperhatikan sambil menahan tawa melihat tingkah lucu anaknya. Ia mengunyah sisa nasi gorengnya lalu menyelesaikan sarapannya. Sementara itu, Ocha meraih tisu dan mulai mengelap pipi Aqil yang kena bubur. “Coba sini Papa yang suapin Aqil, ya. Biar Ibu sarapan dulu aja.” Aksa mengajukan dirinya. Ocha menyerahkan sendok kecil itu pada Aksa, kemudian ia me
Laras melangkah pelan memasuki ruang ICU, tempat Fafa terbaring lemah dengan berbagai alat medis yang terpasang di tubuhnya. Suara mesin detak jantung yang terus berdenyut makin menambah suasana mencekam. Laras mendekati ranjang putrinya dengan langkah gontai lalu duduk di kursi di sampingnya. Wajah Fafa tampak pucat, mata terpejam seakan-akan enggan untuk terbuka. Dengan tangan gemetar, Laras menggenggam tangan Fafa yang terasa dingin. Air matanya mulai mengalir membasahi pipi. “Fafa ... maafkan Ibu, Nak,” ucapnya dengan suara bergetar. “Semua ini kesalahan Ibu. Seharusnya yang menanggung karma kesalahan Ibu di masa lalu adalah Ibu sendiri, bukan kamu.”Laras merasakan dadanya kian sesak. Air matanya juga makin deras berjatuhan. “Ibu juga minta maaf karena terlalu keras padamu, Nak. Maafkan Ibu yang terlalu menghakimi seolah-olah enggan menerima keadaan kamu,” imbuhnya dengan suara serak.“Ibu seakan lupa kalau dulu pernah berada di p
Senyum Yaya tak pernah berhenti terpancar dari bibirnya ketika ia berada dalam perjalanan pulang. Hari ini, ia merasa sangat bahagia. Pertama, berhasil mengajak Lily nge-date. Kedua, Lily sudah tak cuek lagi padanya. Dan, yang ketiga ... ia cukup lega telah mengungkapkan perasaannya pada Lily.Dia menyetir dengan kecepatan standar sesekali bersenandung ria sambil mengingat obrolannya dengan Lily beberapa saat lalu.“Ada apa, Mas Yaya?” tanya Lily pelan begitu melihat Yaya keluar dari mobilnyaYaya pintu menutup pintu mobil dan menghampiri Lily sedikit canggung. Tatapannya yang serius dan penuh makna menatap Lily yang justru memandangnya penuh tanya. Pria berjaket abu-abu itu merasa harus jujur terhadap perasaannya pada Lily. Entah seperti apa hasilnya nanti, setidaknya ia sudah berusaha jujur. “Ly, aku perlu mengatakan sesuatu padamu, tapi bingung harus mulai dari mana?” Dia berkata pelan sambil menggaruk tengkuk yang sebenarnya tak gat
Laras jatuh terduduk di kursi terdekat, air matanya sontak mengalir deras. “Koma?” Suaranya bergetar.“Dok, Kakak saya sedang hamil, apa kandungannya baik-baik saja?” tanya Ocha dengan raut cemas. Dia mengingat, tadi dia melihat ada darah yang juga merembes dari area selangkangan Fafa pasca kecelakaan.Sang dokter menarik napasnya lalu menggeleng pelan. Wajahnya menunjukkan kesedihan yang mendalam. “Benturan yang dialami pasien terlalu keras, Bu. Kami tidak bisa menyelamatkan janinnya.”Isakan Laras kembali terisak keras, nyaris histeris, tetapi Ocha buru-buru beralih menenangkannya. “Maaf, Dok. Kalau boleh tau, kira-kira Fafa akan koma sampai kapan?” Paul ikut bertanya. Hanya saja, kali ini dokter kembali menggeleng. “Kami belum bisa memastikan hal tersebut, Pak. Namun, kami akan terus memantau kondisinya selama 24 jam ke depan untuk melihat perkembangan lebih lanjut. Dan ....”“Bisa dipahami, ya, Pak, Bu?” Pertanyaan sang dok