Halimah menoleh dan mendapati Nur tengah berlari kecil mendekat ke arahnya. Melihat Nur menghampiri Halimah, Eni menghentikan langkahnya dan ikut mendekati mereka. Eni ingin tau apa yang akan Nur katakan pada keluarga Leha.
"Ada apa, Mbak Nur?" tanya Halimah."Anu, Hal ... itu ... apa Agung bisa keluar dari penjara, Hal? Dia tidak bersalah bukan?" Mendapat pertanyaan tentang Agung, Halimah menoleh pada Vano."Maaf, Mbak Nur, meskipun Agung tidak ikut menyekap Halimah, tapi dia ikut andil dalam penculikan itu," tutur Vano, "Biar pengadilan yang memutuskan, Mbak. Tapi untuk mencabut tuntutan, maaf, saya tidak bisa dan tidak mau," sambung Vano tegas.Nur meremas ujung bajunya dengan gelisah. Tiba-tiba ...."Tolong, Hal. Lepaskan Agung, aku mohon!" ujar Nur dengan bersimpuh di kaki Halimah.Beberapa warga yang tersisa menatap iba pada tindakan Nur, tapi beberapa lagi justru menyayangkan sika"Kebebasan gundulmu, Bu En, udah tau anaknya hampir membunuh orang kok minta hak kebebasan. Edan!" cibir Diah sengit."Dia benar-benar menutup mata pada kelakuan anak-anaknya," seloroh warga yang lain.Mendengar para warga mencibir Sang Ibu, Kusaini menarik kasar tangan Eni untuk pergi meninggalkan balai desa."Apa aku salah, Mas, kalau ingin membuat pelaku-pelaku itu jera?" bisik Halimah.Vano menggeleng. Dia menggenggam tangan Halimah dengan erat, "Tidak, Dek. Justru dengan begitu kamu turut membantu mereka menyadari kesalahannya. Yuk, pulang!"Karim dan Leha lebih banyak diam. Mereka berdua benar-benar telah lelah menghadapi semua masalah yang hilang satu tumbuh seribu di keluarganya.__________________________Pasal 328 KUHP berbunyi "Barang siapa membawa pergi seorang dari tempat kediamannya atau tempat tinggalnya sementara dengan maksud untuk menempatkan orang itu secara me
Hari-hari Eni menjadi hambar. Apalagi saat dirinya mendapat ancaman dari Karim, dia tidak bisa menyudutkan Halimah lagi di depan para tetangga. Dia sakit hati karena pada akhirnya Tarjo harus dipenjara. Kedengkian benar-benar membutakan hatinya.Ki Kusumo datang lagi bersama para anak buahnya untuk menjemput Hesti di rumahnya."Ayo ikut aku. Sudah lebih sehari dari batas waktu yang kau bilang, sekarang kamu harus menebus utang-utang Brian. Dan ... sertifikat sawah ini bisa Ibumu ambil lagi."Eni mendorong tubuh Hesti dengan kasar. Dia merampas sertifikat di tangan Ki Kusumo, tapi sayang ...Sret!"Tidak segampang itu, Bu. Hesti harus masuk ke dalam mobil!" pinta Ki Kusumo sengit.Eni menarik tangan Hesti dengan kasar. Dia kalap melihat sertifikat sawah miliknya. Apalagi kemarin mendapat ancaman dari Karim. Dia ingin membuktikan jika dirinya juga bisa kaya seperti Halimah. Eni benar-benar te
Vano hendak bangkit, namun cekalan tangan Halimah membuat dia kembali duduk. Wanita itu melontarkan senyuman tipis dan menatap jijik ke arah Ki Kusumo yang gemar memuji wanita."Tau, Pak. Memang kenapa?"Ki Kusumo dan anak buahnya tertawa, "Apa kamu yakin? Suamimu itu dulu anak buahku. Kamu tau kan di beberapa bagian tubuhnya yang tersembunyi ada goresan tato?"Halimah mengepalkan tangannya. Lagi-- dia mengulas senyuman mencoba tenang menghadapi Ki Kusumo yang entah tujuannya apa datang kemari."Anak buahku rata-rata pernah merasakan wanita yang bekas kupakai. Kamu mengerti kan maksut dari ucapan ini?"Halimah menyeringai, "Lalu?"Melihat Halimah yang tidak terkecoh dengan pancingan Ki Kusumo, lelaki tua itu semakin ingin membuat nama baik Vano terlihat buruk."Ya ... itu artinya suamimu adalah lelaki brengsek."Tomi mengeraskan rahangnya. Terlihat jelas pula Karim menahan napas m
Ki Kusumo masuk ke dalam mobil tanpa memperdulikan celotehan Eni. Anak buah dan Hesti masuk ke dalam mobil yang lain dan mereka melajukan mobil keluar dari kampung."Saya tidak serendah anak Ibu. Tolong jangan samakan saya dengan Hesti yang jelas-jelas menjual dirinya demi harta. Apalagi Ibunya yang terlihat bahagia sekali ketika anak perempuannya di bawa lelaki lain!"Eni membuang muka. Dia kesal karena Halimah sudah berani melawan ucapannya."Dan ya ... saya nggak haus akan harta, Bu. Insyaallah, rejeki keluarga saya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup."Halimah dan Vano hendak masuk ke dalam rumah. Tapi langkah Vano terhenti, dia menoleh ke arah dimana Eni berada."Jangan mengharap apapun pada Hesti, Bu. Dia bisa tetap hidup saja itu sudah merupakan sebuah keberuntungan," tutur Vano."Brengsek kamu! Tau apa kamu tentang calon suami Hesti, hah? Bisa-bisanya doain anakku mati!" seru Eni marah.
Dua bulan kemudian ...."Hesti ... Ibu-ibu lihat, Hesti pulang!" Eni berteriak dan berlari ke jalanan. Setiap orang yang dia lihat akan diberitahu tentang kepulangan Hesti. Kepulangan yang dia yakini dalam pikirannya sendiri."Mau lihat mobil mewah? Ayo ke rumah, nanti aku ajak kalian keliling kota," seloroh Eni saat para Ibu-ibu mengelilingi gerobak sayur."Lihat ini, Bu Diah, gelang yang Hesti pilihkan. Bagus nggak?" Dengan takut-takut Diah mengangguk lalu berlari kecil menjauhi gerobak sayur. Tujuannya berbelanja seketika buyar, yang ada justru ketakutan karena bertemu dengan Eni."Nur ... Nur! Keluar kamu, ada ponakan datang dari kota malah nggak kamu tengokin. Entar nyesel loh nggak dapat sangu (uang saku) dari Hesti," teriak Eni di depan rumah Nur.Mendengar keributan yang Eni buat, Nur keluar dan membawa kakak sulungnya itu duduk di depan teras. Diambilnya teh hangat yang sudah dia siapkan setiap pagi, k
Karim dan Leha mengangguk dengan senyuman tipis. Tidak ada satu kalimat yang keluar dari mulut mereka. Memaafkan memang mudah, tapi melupakan ... hal itu menjadi hal tersulit bagi Leha dan Karim.Dengan langkah yang berat, Astri membawa tubuhnya mundur karena keluarga Tomi hendak bersalaman para para tetangga. Mereka berpamitan dan meminta maaf jika selama ini ada kesalahan yang tidak drhsjs diperbuat."Ayo turun, Nak. Ayah mau berangkat," ujar Astri pada Tirta.Anak kecil itu menurut dan meminta turun dari gendongan Tomi. Dia menatap lekat wajah Tomi dan berkata, "Apa Ayah dan Mama tidak bisa bersama lagi? Mama bilang kalau kalian bercerai itu artinya tidak bisa tinggal serumah. Kenapa kalian bercerai?"Tomi membuang muka. Dadanya sesak melihat anak sekecil Tirta harus menanggung akibat dari keegoisan Ibunya. Tapi Tomi bisa apa, Tirta bukan darah dagingnya. Tega ataupun tidak, dia tetap akan meninggalkan Tirta.
"Duduk dulu, Hes. Minum dan makan rotinya."Hesti mengangguk dan menerima roti dari tangan Tomi. Di sebuah bangku tunggu yang ada di dalam bengkel, Hesti duduk berdampingan dengan Halimah dan Tomi. Wanita itu melahap roti dengan rakus hingga ludes ketiganya dalam hitungan detik. Tanpa sadar air mata Halimah menetes melihat betapa menyedihkannya takdir hidup Hesti setelah diboyong Ki Kusumo ke kota. Bahkan semua warga kampung mengira Hesti lupa dengan Eni karena sudah kaya, tapi kenyataannya ...."Setelah ini tolong segera pergi dari bengkel Mas Tomi, Mbak." Setelah menegak air mineral hingga tandas, Hesti menatap Vano dengan mata berembun."Mas," lirih Halimah."Maaf, Dek. Tapi Mas punya alasan untuk itu."Hesti menunduk dan memainkan sepuluh jemarinya. Dia menangis sesenggukan membuat Halimah tidak tega dengan penampilan Hesti. Baju kotor yang sudah banyak noda, rambut awut-awutan yang begitu kumal, juga kulit yang du
"Tidak, Mas! Tidak boleh ada di antara kita yang membantu Mbak Hesti keluar dari kota ini. Jika tidak ... aku yakin, Halimah target selanjutnya," sela Vano dengan gelisah. "Anak buah Ki Kusumo tersebar di semua akses jalan ke luar kota. Jika salah satu dari mereka tau keluarga kita ikut campur, maka ... habislah kita.""Lalu apa kita hanya diam saja melihat dia terluka, Van?" Tanpa sadar suara Tomi meninggi. Dia benar-benar marah dengan perlakuan Ki Kusumo yang dianggap tidak manusiawi."Aku bahkan lebih memilih itu, Mas. Daripada keluargaku yang menjadi korban selanjutnya, apalagi istriku ... aku tidak ingin mengorbankan istriku demi menyelamatkan wanita lain. Titik!"Tomi menyandarkan punggungnya dengan frustasi. Pintu bengkel sengaja mereka tutup sebagian agar tidak ada orang datang dan curiga."Tapi Mbak Hesti, Mas?" ujar Halimah lirih."Mas punya ide, tapi tidak yakin ini berhasil atau tidak."Semua m
Dikira Miskin (Extra Part) *** Lima bulan kemudian .... "Hai ... lama tidak bertemu, usia berapa kandungan kamu?" Sea menoleh dan mendapati sosok Nando tengah berdiri dengan kedua tangan yang masuk ke dalam saku celana. "Se?" "Ah, maaf, Bang. Aku ... kaget aja tiba-tiba kamu muncul disini," celetuk Sea gugup. "Sendirian, Bang?" "Ya, karena wanita yang hampir menemani masa tuaku ternyata lebih memilih pria lain. Takdir memang selucu itu, Se." Sea membuang muka. Ada perasaan sedih ketika melihat Nando yang masih mengingat dirinya bahkan disaat dia dan Tirta sedang bahagia menanti buah hati mereka lahir. "Maaf, Bang." Nando terkekeh. "Aku baik-baik saja, Sea. Mungkin Tuhan memang melindungi kamu dari pria tua sepertiku." Sea menggeleng samar. Kedua matanya berembun melihat raut putus asa di wajah Nando. "Sudah kukatakan, kamu pasti mendapatkan wanita yang jauh lebih baik, Bang." "Sendirian?" tanya Nando mengalihkan pembicaraan. Sea mengangguk samar, "Mas Tirta sibuk ngurus Caf
Dikira Miskin (TAMAT)***Satu tahun kemudian ...."Pulang dulu, Sayang. Brian pasti nyariin kamu," kata Bagas lembut. Anita mendongak, kedua matanya memerah dengan bekas air mata yang di pipi. "Sebentar lagi ya, Mas. Sebentar saja," rengeknya manja. Jemarinya yang lentik mengusap-usap pusara kedua orang taunya bergantian, lalu beralih pada pusara Haryati yang nampak segar dengan bunga-bunga yang Anita taburkan barusan. "Brian sudah bisa berjalan, Yah. Kalau saja Ayah dan Ibu masih ada ....""Nit ...." Suara Bagas mengambang di udara. Kehilangan adalah hal yang paling menakutkan baginya. "Biarkan mereka semua tenang di alam sana. Ayo pulang!"Anita bergeming. Matanya semakin sembab karena sudah hampir satu jam ia menangis di pusara tiga orang tercintanya. Haryati sengaja di kuburkan tepat di samping anak dan menantunya. "Semua terasa begitu cepat, Mas.""Takdir Tuhan adalah misteri, apalagi kematian ... semua tidak ada yang tahu sampai kapan batas usia mereka, Sayang. Berhenti berse
***"Darimana kamu tahu kalau Bang Nando menaruh hati pada Sea, Sayang?"Anita mengedikkan bahu. Dia bangkit dan berjalan menjauhi Bagas yang saat ini nampak cengo karena keterkejutannya barusan."Anita ...," pekik Bagas tertahan mengingat sekarang dia sedang berada diantara banyak tamu undangan.Anita menghentikan langkah dan bergelayut manja di lengan Halimah. Wanita cantik itu sekarang tidak segan-segan untuk memeluk mertuanya karena selama ini Halimah memang mencurahkan perhatiannya pada Anita."Bawa Anita pulang, Gas. Dia pucat sekali," ucap Halimah panik. Dia mengusap-usap pipi menantunya dengan lembut. "Pulanglah, acaranya mungkin akan selesai agak malam. Kamu istirahat saja, biar Ibu yang menjelaskan pada Sea nanti."Anita mengangguk patuh. Dia mengikuti langkah Bagas dengan jemari yang saling bertaut. Acara pernikahan Sea memang di adakan di sebuah hotel ternama, perjalanan untuk pulang ke rumah mereka pun menempuh waktu sekitar dua puluh menit."Kamu belum menjawab pertanyaa
***"Nit, kami ...."Anita beralih menatap Tomi dan Gina. Sorot matanya penuh selidik sampai suara Sea membuatnya tiba-tiba terpekik dan berjingkrak bahagia seperti gadis kecil yang mendapat mainan. "Kami ... sebentar lagi akan menikah.""Hah? Serius, kalian ... tidak lagi membohongi aku kan?"Sea menggeleng. Dia merentangkan tangan untuk menyambut tubuh Anita, sahabat yang paling baik yang ia punya selama ini. Sea dan Tirta tertawa ketika Anita jingkrak-jingkrak senang dengan kabar yang ia dengar."Kamu membuatku takut, Se!" Anita mengusap air mata sambil memeluk Sea. "Kalian ... akhirnya. Ya Tuhan!" Anita kembali memekik bahagia. Dia mengurai pelukan dan berlari menuju Gina. Tanpa aba-aba lagi, kedua wanita beda generasi itu saling memeluk dan menangis lirih. Betapa Tomi merasa haru dengan suasana di depan matanya. Siapa sangka, restu yang ia berikan justru memberikan kebahagiaan bagi banyak orang, tidak hanya Sea dan Tirta. "Kami sudah lelah menangis, Nit. Ayolah, kalau kamu masi
***"Brengsek! Berani-beraninya dia ngusir kita, Mas?!" jerit Nayna marah. Bibirnya mengerucut sembari satu tangan mengusap dahi yang mulai berpeluh. "Harusnya kamu bisa tegas sama istrimu itu, Mas! Bagaimanapun kamu adalah kepala keluarga, jangan lembek gini dong!" Suara Nayna semakin membuat kepala Rayan berdenyut nyeri. "Diam, Nay!""Kenapa kamu malah bentak aku? Harusnya kamu bentak saja di Prisa yang kurang ajar itu!""Semua ini salah kamu! Murahan! Kamu bisa kan bersikap baik di depan Prisa bukan malah menyulut pertengkaran seperti ini!""Ya, ya! Salahkan saja aku terus, Mas! Bela wanita mandul yang tidak berguna itu! Aku muak melihat sikapmu yang lemah di depan Prisa!"Plak ....Nayna memegang pipi kanannya yang terasa panas. Tidak ada air mata melainkan hanya kemarahan yang bersarang di dadanya saat ini. "Tampak! Tampar yang banyak kalau perlu bunuh sekalian bayimu ini! Pria miskin! Aku menyesal mau mengakui anak ini sebagai darah dagingmu!"Rayan mengusap wajahnya kasar. Pe
***Tirta dan Sea bergeming. Ucapan Tomi membuat rasa percaya diri Tirta yang sempat tumbuh terasa dihempas begitu saja. Ternyata, setelah bisa mendapatkan kembali hati Sea, ia harus melalui satu jalan lagi yaitu Tomi dan Gina. "Ada banyak pria di luaran sana, Sea! Kamu cantik, mandiri dan ... kamu bisa mencari pria lain tanpa harus terjebak dengan pria yang sama!" ucap Tomi marah. "Kamu lupa ... dia bahkan rela memohon agar wanita yang sudah membuatmu celaka itu bebas. Jangan bodoh!"Sea menunduk. Bodoh! Ya, dia memang sudah bodoh karena setelah berbulan-bulan terlewati, perasaannya pada Tirta terus saja tumbuh tanpa sedikitpun berkurang. Gina mengusap lengan Tomi dengan lembut. Kedua matanya menatap Sea dengan nanar. Putri yang ia anggap sudah melupakan Tirta ternyata masih memiliki perasaan yang begitu besar untuk pria itu."Dia sudah membuatmu terluka, Se. Apa kamu pikir Ayah akan melepaskanmu dengan pria yang sudah pernah membuatmu kecewa?""Yah ....""Tidak!" sahut Tomi tegas.
***Sea dan Tirta terlonjak. Wanita itu mengurai pelukan saat kedua matanya mulai terbuka dan mendapati sosok Freya berdiri di ambang pintu dengan air muka kebingungan."Fre mau ikut peluk," ucapnya polos. Sea merentangkan tangan dan menghambur di pelukan Sea. Bibirnya terus mengukir senyum seolah-olah dua pasangan di depannya bukanlah sebuah ancaman bagi Papanya. "Ini siapa, Tante? Papa ...." Freya memanggil Hamka ketika pertanyaannya tidak kunjung mendapat jawaban dari mulut Sea. "Ayo, sini! Kita pelukan sama-sama!"Brenda membuang muka. Sedikit banyak dia mulai mengerti apa yang sedang terjadi di depan matanya. Melihat Freya yang begitu dekat dengan Sea sudah memberikan jawaban atas pertanyaan Brenda pada Hamka tadi."Kalian ... di-- dia kenal Sea?" tanya Brenda terbata. "Kalian ... sudah saling mengenal?"Hamka mengangguk sambil tersenyum tipis. Pria itu melangkah mendekati Freya dan meninggalkan Brenda di depan toko dengan rasa cemas yang luar biasa."Hai ...," sapa Hamka. "Maaf
***"Se, tolong dengarkan aku!" pinta Tirta memelas. Dia melangkah mendekati Sea yang memunggunginya sembari menutup telinga dengan dua tangan seakan-akan tidak ada yang ingin dia dengarkan dari mulut Tirta. "Aku datang hanya ingin menjelaskan semuanya. Setelah itu semua keputusan terserah padamu. Aku ... hanya ingin meminta maaf atas semua rasa kecewa yang kamu rasakan.""Untuk apa meminta keputusan dariku, Mas? Bukankah kamu sudah memutuskan semuanya sendiri? Kamu lebih memilih wanita itu daripada aku yang ... aku yang tidak sedang mengandung anakmu!" "Dia bukan anakku, Sea!""Dan aku tidak peduli!" teriak Sea. Air matanya berlomba-lomba untuk meluncur bebas ke pipi. "Anakmu atau bukan, yang jelas kamu sudah memilih Nayna daripada aku! Dan itu ... sudah cukup membuatku paham jika nama Nayna berada di posisi tertinggi dalam hatimu."Tirta menunduk. Langkahnya terhenti ketika Sea sudah berada tepat di depan matanya. "Bahkan setelah melukai hatiku berkali-kali, kamu datang dengan wani
***"Mana sarapan untukku?"Nayna duduk di kursi makan dengan melipat tangan. Persis seperti seorang anak kecil yang sedang menunggu sarapannya tersaji."Coba ulangi lagi!"Nayna mendengus kesal. "Ck! Jangan cari gara-gara ya, Mbak. Ini masih pagi, mood ku juga sedang buruk, kamu nggak mau kan kalau sampai aku ngadu ke Mas ....""Kamu pikir aku takut?""Ouh, jadi nantangin? Kamu mau tau siapa yang akan dipilih oleh suami kamu, begitu?" angkuh Nayna. "Lihat! Di perutku ada kehidupan lain, dia yang bertahun-tahun lamanya sangat diinginkan oleh Mas Rayan, yakin kalau aku merajuk dia bakalan lepas kamu begitu saja?"Wanita yang usianya jauh lebih tua di banding Nayna itu tertawa sumbang. Ya, tidak mengelak jika hadirnya seorang bayi adalah keinginan dia dan Rayan selama bertahun-tahun menjalani biduk rumah tangga. Tapi tidak dengan bayi dalam hubungan yang kotor. Rayan sudah mencurangi pernikahan mereka."Kenapa diam,