Jenazah Eti dibawa ke Rumah Sakit untuk diperiksa lebih lanjut sementara pihak kepolisian mulai menyelidiki tiap sudut rumah. Bahkan Bu Saroh pun tidak lepas dari todongan pertanyaan pihak kepolisian."Terakhir Mbak Eti keluar rumah kapan, Bu?""Tadi malam, Pak. Sebelum pergi dia pamit mau bertemu teman lama katanya. Tapi ... nggak tau teman yang mana," tutur Bu Saroh sedih. "Hampir jam 2 malam dia baru pulang, itupun langsung masuk kamar dan ... dan pagi ini waktu mau kubangunkan ternyata ... dia sudah tergeletak di bawah ranjang."Maya mengusap-usap lengan Bu Saroh. Pun dengan Bu Puji, wanita paruh baya itu turut menenangkan tetangganya. "Apa ponsel Mbak Eti sudah Ibu amankan?"Bu Saroh menggeleng. "Sepertinya masih ada di dalam kamar."Salah satu pihak kepolisian menggeleng samar ke arah atasan mereka. "Teman saya bilang, tidak ditemukan ponsel di TKP, Bu. Kemungkinan besar ada yang sudah mengambilnya."Semua warga yang ada seketika heboh. Pasalnya, dari penyelidikan polisi, kemat
"Coba ulangi lagi mulutmu itu bicara apa, Sur?" Suara Bu Saroh meninggi. Bahkan wanita paruh baya itu berbicara tanpa embel-embel "Bu" seperti biasanya."Eh, eh ... kenapa marah, Bu Saroh? Aku ini bicara fakta loh. Nggak mungkin Eti sampai bunuh diri kalau punya iman."Plak ...!!!Satu tamparan mendarat dengan sempurna di pipi Bu Sur. Sorot mata Bu Saroh menguliti Ibu dan anak yang setiap hari seolah tengah mencari keributan dengannya. Dadanya bergemuruh. Napasnya tersengal mendengar tetangganya menghina putrinya padahal jelas-jelas Eti sudah meninggal."Apa-apaan kamu, Bu Saroh!" teriak Bu Sur tidak terima."Kau yang apa-apaan! Untuk apa datang kesini kalau hanya ingin menghina mayat Eti, hah?"Dada Bu Saroh naik turun. Cekalan tangan Maya dan Bu Puji seakan tidak membawa pengaruh apapun untuk kemarahannya kali ini."Mulutmu yang bau itu boleh menghinaku, Sur! Tapi harusnya kamu tau ... Eti sudah meninggal, pantas kah kamu menghakimi kematian anakku, hah?"Bu Saroh tidak bisa menahan
"Mau juga dong kayak Bu Saroh, menantunya korupsi, anaknya jual diri sampai mati, eh sekarang justru ditampung sama Mbak Maya. Mbak Maya nggak takut kalau Bu Saroh bawa sial?"Hesty yang sedang bermain tik-tok di depan rumah melirik sinis ke arah Bu Saroh yang berdiri di samping Ibu. Pagi ini, mereka berencana pergi ke Pasar Gede untuk menyiapkan acara tiga bulanan kehamilan Maya."Nggak dingin pakai baju kurang bahan, Mbak Hes?" tanya Maya mengalihkan pembicaraan. "Itu bulu ketek lebat amat kayak hutan Kalimantan. Kalau mau pakai tangtop minimal bulu ketek di cukur lah, Mbak."Hesty mengapit kedua tangannya rapat. Bibirnya cemberut karena Maya menghina keteknya di depan banyak orang. Apalagi Bu Hanum dan Dahlia yang sejak tadi membersihkan rumput-rumput di depan rumah seakan-akan enggan beranjak dari tempatnya. "Jangan body shaming deh!" gerutu Hesty kesal. "Ingat, situ lagi hamil loh!"Maya mati kutu. Ucapan seperti itu selalu saja membuatnya tidak bisa berkutik. Adat di kotanya ma
Dahlia menutup mulutnya yang hampir menyemburkan tawa. Bagaimanapun, sedikit banyak sikapnya sudah mulai berubah sejak tidak bergaul lagi dengan Bu Sur. Pun Bu Hanum, wanita paruh baya yang masih terlihat segar itu mulai jarang memperlihatkan ke-julid-annya. Fix, bobrok Perumahan Citra Kencana memang terletak pada Bu Sur. Andai saja Ibu dari Hesty itu bisa menjaga mulut, bisa dipastikan para tetangga hidup saling berdampingan tanpa menghinakan. "Eh, dibantu ayo, ibu-ibu!" ucap salah seorang polisi. Kentara sekali tingkahnya yang kikuk ketika hendak membantu Hesty yang saat ini terbaring pingsan di depan rumah. "Kok malah bengong. Ayo dong, ditolong tetangganya!"Dahlia, Bu Hanum, Bu Saroh dan Ibu segera mengangguk cepat. Tapi suara Maya menghentikan langkah empat wanita yang sudah bersiap di depan tubuh Hesty."Pak, daripada empat ibu-ibu ini menggotong tubuh Mbak Hesty, bagaimana kalau Bapak saja yang mengangkatnya masuk ke dalam rumah. Tenaga empat wanita setara dengan satu pria p
"Rey, jangan mengambil keputusan disaat emosi," tegur Bu Sur. Kekejaman mulut yang selama ini kerap ia lontarkan di depan banyak orang seketika menguap begitu saja. Bu Sur tidak berdaya menghadapi permasalahan yang terjadi apalagi rumah yang mereka tempati kini berada dalam pengawasan Bank. "Kamu tau kan, Rey, kalau rumah kita dalam pengawasan Bank. Kalau kamu dipenjara, bagaimana Ibu bisa bayar cicilan rumah?"Reyhan menarik ujung bibirnya sinis. Sejak dulu sampai kini, ia hanya dianggap sebagai mesin uang, bukan menantu apalagi anak sendiri. "Gampang, Ibu suruh saja anak Ibu yang cantik itu untuk jual diri," dahut Reyhan enteng. "Bukankah dia cantik, tidak sulit baginya untuk memikat pria-pria hidung belang.""Jaga mulutmu, Mas!" bentak Hesty. "Aku masih punya harga diri, kau pikir aku se-hina itu, hah?!"Bu Sur lagi-lagi mengurut kening yang makin terasa pening. "Rey, pikirkan anak kalian. Dia masih bayi, masih butuh orang tua lengkap.""Ibu ini kenapa sih?" gerutu Hesty tidak sen
"Mbak Hesty yakin kalau Bu Saroh bilang begitu?" Maya pura-pura terkecoh. "Siapa tau kamu salah dengar, Mbak," ucapnya lagi."Aku ini masih muda, Mbak Maya, mana mungkin salah dengar. Nih buktinya aku bela-belain keluar tenaga buat bantu acara syukuran tiga bulanan kamu. Sekarang kamu tau kan, Mbak, bedanya memperkerjakan ART muda sama ART tua," katanya menggebu-gebu.Maya manggut-manggut menatap wajah Hesty yang nampak sekali puas menghasut dirinya. "Bu, Bu Saroh!" Bu Saroh yang terlihat mondar-mandir di ruang tamu pun menoleh. Wanita paruh baya itu berjalan mendekati Maya dan menelisik Hesty yang berdiri pongah di samping majikannya. "Ada apa, Mbak? Apa suguhannya kurang?" tanya Bu Saroh. Maya menggeleng. "Bu Saroh dari mana saja?"Bu Saroh kaget. Untuk pertama kalinya Asisten Rumah Tangga Maya itu terlihat pucat sebab suara majikannya yang terdengar ketus."Ini kenapa Mbak Hesty dibiarkan bantu-bantu, Bu? Dia tamu loh," ucap Maya. "Loh, anu ... eh, saya ....""Mbak May, sudah ja
Keesokan harinya... "Hes ... Hesty!"Hesty yang baru saja bangun dibuat kaget dengan teriakan Sang Ibu. "Hesty, bangun!" teriak Bu Sur lagi.Dengan langkah malas dia membuka pintu kamar dan mendapati Sang Ibu sudah berdiri dengan rambut acak-acakan serta kedua matanya sembab."Ada apa sih, Bu?" Hesty menggerutu. "Ini masih pagi loh!""Pagi gundulmu!" hardik Bu Sur marah. "Anak orang lain sudah pada berangkat kerja tapi kamu malah baru bangun. Ingat, Hes, sekarang kamu sudah nggak punya suami, siapa yang mau nanggung semua biaya kamu sama anakmu itu!" "Ck!" Hesty berdecak. "Kenapa teriak-teriak, cuma mau bangunin aku dan ngingetin kalau aku harus kerja karena sudah nggak punya suami?"Bu Sur seketika mengingat tujuannya. "Bukan, Hes! Itu ... itu ... kalung sama gelang ibu ... hilang!""Hah?!""I-- iya. Hilang!""Ibu nggak salah naruh kan?" selidik Hesty. "Mungkin ada di lemari.""Justru itu, semua perhiasan memang selalu ada di dalam lemari, Ibu sudah jarang pakai karena takut diambi
Hesty memekik kaget. "Bapak gila? Mobil itu aku beli dengan harga 70 juta dan Bapak lepas cuma 35 juta?!"Pak Bambang menggaruk tengkuknya yang tidak gatal sementara Bu Sur megap-megap mendengar gelang dan kalungnya yang ternyata dicuri suami sendiri."Ya gimana lagi, lakunya cuma segitu, Hes ... Lagipula Bapak dapat ganti mobil baru, ini kredit lima tahun, cicilan perbulannya cuma 4 juta. DP juga murah loh, Hes, 50 juta doang.""Doang?"Napas Hesty memburu. Kepalang malu, dia berkacak pinggang di depan para tetangga menghardik pria yang tidak lain adalah Bapaknya sendiri."Pak, kalau gak bisa cari uang, minimal jangan buang-buang uang!" hardiknya geram. "Bapak tau nggak, mobil itu atas nama Mas Rey, gimana kalau tiba-tiba dia keluar dan mau ambil mobilnya. Gimana?""Ya bilang saja kalau mobil itu sudah jadi hak milik anak kamu. Kamu mau dicerai tanpa mendapatkan harta apa-apa? Pinter dikit lah, Hes," seloroh Pak Bambang. "Langkah Bapak ini sudah benar, nanti kamu tinggal cari duit bu
Tubuh Gading mematung. Lagi-lagi pertemuannya dengan Laura membawa kilas pedih pada masa lalu. "O-- oh, hai, Ra," sapa Gading kikuk. "Sama suami kamu lagi?"Laura bergeming sementara Hesty menatap heran ke arah suaminya. "Mas kenal suami Laura?" tanya Hesty menyelidik.Gading mengedikkan bahu. Dia menurunkan Seila dan menjawab. "Kapan hari kan Mas ketemu Laura sama suaminya. Gading, Mas!" Gading menjulurkan tangannya di depan Reyhan. "Reyhan, Mas," sahut mantan suami Hesty datar. "Kalau begitu kami pamit dulu. Permisi!"Reyhan berjalan sembari menggandeng tangan Mazaya sementara Laura mengekor di belakang mereka dengan air mata yang menganak sungai. "Mas ...." Panggil Hesty lirih. Gading menoleh. Wajahnya berubah sendu ketika bertemu Laura untuk yang kesekian kalinya. "Dia ... mantan suamiku," aku Hesty."Dia?"Hesty mengangguk. "Sepertinya dia baru keluar dari penjara. Entah bagaimana ceritanya, Mas Reyhan ... tidak mau membahas luka yang sudah aku ciptakan."Gading seketika men
"D-- dia istri kamu, Mas?" tanya Hesty gagap. Kedua matanya memanas melihat Mazaya, gadis kecil yang begitu Reyhan lindungi ternyata putri dari wanita yang sudah ia hancurkan rumah tangganya. "D-- dia ...?"Reyhan terkekeh getir. Dia melepaskan genggaman tangannya pada Mazaya dan mempersilahkan wanita di sampingnya menggendong putri kecil yang beberapa menit lalu ia cari-cari."Kalau wanita seperti kamu saja bisa membuangku tanpa berpikir dua kali, apa kamu pikir ada wanita lain yang mau menerimaku sebagai suami, Hes?" tanya Reyhan perih. "Aku hanyalah pria kotor yang rela melakukan apa saja demi memenuhi gaya hidup istriku dan keluarganya. Tapi itu dulu ... sekarang, aku hanyalah seorang pria yang berjuang untuk keluarganya. Untuk Emak dan Bapakku di kampung. Apalagi setelah aku tahu bahwa putriku hidup dengan layak, sepertinya memang aku harus meredam ego. Demi masa depannya. Demi mentalnya. Jaga dia!"Reyhan melengos sembari mengusap sudut matanya yang berair. Sejenak kemudian, dia
"Apa kabar, Hes?" Reyhan bertanya dengan nada dingin. Bertanya kabar mantan istrinya dengan air muka begitu tenang. "Putriku sudah sebesar ini ya? Boleh aku gendong?"Seila menggeleng kata tangan Reyhan terangkat ke udara. Gadis kecil itu berlari bersembunyi di belakang tubuh Bu Sur dan berceloteh gemas. "Kata Papa gak boleh! Jangan gendong Seila, Om," ucapnya cadel. Hati Reyhan berdenyut nyeri. Seila, bayi mungil yang dulu selalu nyaman berada dalam gendongannya kini menolak pelukan darinya dengan dalih dilarang oleh Papa. Papa siapa yang Seila maksud, batin Reyhan."Om cuma mau peluk. Boleh?"Seila menggeleng takut. Kedua mata Reyhan memanas dengan satu tangan yang kembali menggenggam erat jemari Mazaya. Gadis kecil yang usianya sepadan dengan Seila."M-- Mas sudah bebas?" tanya Hesty dengan suara bergetar. Ada perasaan bersalah yang teramat dalam untuk mantan suakmunya itu. Bagaimana dulu Hesty memilih bercerai karena Reyhan kedapatan tertangkap polisi sedang mengedarkan barang ha
"Nanti siang aku mampir ke Restoran ya, Mas?"Hesty yang sedang menyuapi putrinya berbicara manja pada Gading. Sejak setahun yang lalu suaminya bekerja di Restoran milik Abian dan kehidupan Hesty perlahan-lahan mulai membaik. Gaji yang Abian tawarkan memang tidak kaleng-kaleng. Apalagi selama ini Restoran itu terkenal dengan hidangan yang lezat. Ada harga, ada rasa."Memangnya nanti siang mau kemana?" tanya Gading menelisik. "Jalan-jalan?"Hesty nyengir. Dia mengangguk ragu dan melirik Bu Sur yang juga tengah sarapan bersama mereka di ruang makan. "Boleh ya, Mas?""Boleh, sekalian ajak Ibu."Bu Sur mengangkat kepalanya. Matanya memanas. Untuk pertama kalinya dia merasakan kehangatan dari hubungan rumah tangga Hesty. Kegagalan di masa lalu membuat wanita muda itu banyak belajar bahwa menerima kekurangan pasangan jauh lebih baik daripada harus saling menuntut."Bapak gak sekalian, Ding?"Gading tertawa lebar. "Ki
"Apa kabar anak Ayah hari ini? Bunda nakal gak? Kamu menyusu dengan baik kan?" goda Abian sembari mengambil alih sang putra dari gendongan Ibunya. "Jelas dengan baik lah, kan Ayah sudah kehilangan jatah menyusu," sahut Ibu sarkas.Maya dan Abian mematung. Keduanya tergelak ketika menyadari ucapan Ibu terlalu frontal sore ini."Ibu apa-apaan sih, ada Bu Saroh tuh, gak baik bicara seperti itu. Bikin kita malu aja!" gerutu Abian yang dibalas tawa renyah oleh Ibu."Diskusi apa sama Maya, Ibu boleh tau?"Abian mengangguk. Mereka berjalan menuju ruang makan sementara Abimanyu ia serahkan pada Bu Saroh."Tolong ajak Abimanyu sebentar ya, Bu.""Dengan senang hati, sini anak manis," sahut Bu Saroh yang tersenyum lebar mendapatkan tubuh Abimanyu yang mungil dalam dekapan. "Jadi aku tadi mampir ke rumah Mbak Hesty, Bu," kata Abian bercerita. "Kebetulan kepala dapur di Restoran Cempaka resign, dia ikut istrinya pulang kampung dan cari kerja disana saja katanya. Aku pikir, daripada aku ambil ora
Satu minggu kemudian ....Abian pulang dengan membawa rasa rindu pada istri dan anaknya. Bahkan pria itu sekarang lebih sering berada di rumah dan menghandle Restoran dari rumah. "Baru pulang, Mas Gading?" Abian yang menutup pintu pagar sengaja menyapa Gading yang baru pulang dari bekerja. Mamang pergi mengantar Emak dan Bapak yang sudah kembali ke kampung, itu sebabnya sekarang Abian membawa mobil sendiri."Iya, Mas," sahut Gading sambil mengulas selarik senyum. Gading terlihat kelelahan mendorong gerobak yang sudah ia pisahkan dari motornya. Peluh membasahi bajunya yang nampak lusuh. Benar-benar ... kesalahan membuat Gading dan Hesty berubah banyak beberapa bulan belakangan. Abian merasa kasihan. Dulu, ia sengaja menolak memperkerjakan Gading karena memang kurang suka dengan gaya bicara tetangganya itu. Apalagi dulu Gading masih menjunjung tinggi sikap sombong dan pongah membuat Abian jengah dan enggan beruru
"Oek ... oek ...."Suara tangis bayi memecah ketegangan dalam ruangan. Maya terengah, sementara Abian berulang kali mengecup pelipis Sang Istri tanpa lupa mengucap syukur atas kelahiran bayinya."Alhamdulillah, bayi laki-laki yang sehat dan lahir dengan kondisi tubuh lengkap tanpa kurang satu apapun. Berat sekitar 3,3 kg," papar suster menjawab rasa penasaran Abian.Maya tersenyum lega. Dia diberi kesempatan untuk memeluk bayinya sebelum Suster yang bertugas membersihkan Sang Bayi ke dalam ruangan khusus. "Bisa saya adzani dulu, Sus?""Tentu saja, Pak. Mari, silahkan!"Suster mengangguk dan mengarahkan telinga bayi tampan itu tepat di bibir Abian. Abian hampir saja tergugu jika dia tidak segera menguasai emosinya. Bayi mungil dengan wajah Maya membuat hatinya terenyuh. Penantian mereka akhirnya terbayar dengan memuaskan."Terima kasih," kata Abian. Suster mengangguk ramah dan segera membawa bayi Maya menuju ruangan terpisah. Sementara Maya sedang terbaring lemah dan mendapatkan pena
. . Dua bulan berlalu, perut Maya sudah semakin membuncit dan seminggu lagi adalah jadwal bayinya dilahirkan. Namun sepertinya Tuhan berkehendak lain, pagi ini ... istri Abian itu merasakan mulas yang teramat sangat. Celana tidur yang ia pakai sudah basah karena air ketuban yang pecah. Maya memanggil-manggil Abian yang sedang berada di dalam kamar mandi. "Kenapa, May?" Abian keluar hanya memakai handuk, bahkan buih sabun masih menempel di tubuhnya. Pria itu panik, takut jika ada apa-apa dengan istrinya menjelang melahirkan."Mas, sshhh ... perutku," keluhnya.Mata Abian melotot tatkala melihat sprei yang sudah basah ditambah dengan celana yang istrinya kenakan pun sama basahnya."Sepertinya mau lahiran," adu Maya sambil meringis.Abian mengusap sisa sabun di tubuhnya tanpa membilas lebih dulu menggunakan air. Dengan gerakan cepat, ia berganti pakaian tanpa peduli apakah Maya melihat
Laura hanya menoleh sekilas, lalu menatap bungkusan cilok yang ada di tangan keponakannya."Sudah beli jajannya? Ayo!"Abigail mengangguk. Dia berlari menuju dimana mobil Tantenya berada sementara Gading memanggil-manggil nama Laura membuat wanita itu terpaksa menghentikan langkah."Ba-- bagaimana kabar kamu?" tanya Gading basa-basi. Mantan istrinya terlihat begitu cantik dengan baju yang sedikit kedodoran."Menurut kamu?" sahut Laura balik bertanya. "Akta perceraian sudah aku kirim ke rumah istri kamu, sudah kamu terima kan?"Gading mengangguk. Kini, penyesalan terasa begitu menusuk ke dalam relung hatinya. Melepaskan Laura sama halnya dengan melepas berlian yang tengah bersinar indah."Maafkan aku, Ra!"Laura yang hendak berbalik kini lagi-lagi menghentikan langkah."Aku sadar kalau aku banyak salah, maaf sudah menyakiti kamu, Ra. Maaf sudah mengkhianati pernikahan kita dulu. Maafkan aku ...."Jantung Laura berdegup kencang. Perlahan tangannya mengusap perut yang masih rata. Entah.