Ceklek!
Pintu kamar terbuka.Masuk sosok pria berkacamata bening di sana tengah berdiri kaku menatapku yang juga melongo kaget dengan kedatangannya yang cukup tiba-tiba.Bukan apa-apa, tapi sekarang aku cuma mengenakan pakaian mini alias tank top dan celana sepaha karena kupikir Nizar masih lama berbincang dengan Papa di ruang tamu.Sudah terbiasa dari dulu jadi biduan seksi kalau lagi di kamar.Ya, sepulang dari rumah sakit tadi, kami memang langsung bertolak ke rumah orang tuaku setelah mengantar Ibu dan Putri pulang ke rumah.Namun, bukan itu yang jadi pertanyaanku. Apa penyakit Ibu separah itu?“Ih... hi!” Aku sontak menyilangkan tangan di depan dada dan buru-buru lompat ke kasur, menarik selimut untuk menutupi tubuh. Takut nanti Nizar tergoda melihatku yang aduhai seksi.“Keluar gak?” Aku menunjuk ke arah pintu, tapi Nizar tak mengindahkan permintaanku.Dengan santainya ia melengos masuk. MembukaAku bungkam cukup lama. Menatap langit-langit kamar sesekali memejamkan mata. Mencoba bernegosiasi dengan hati dan pikiran yang mendadak kalut.Rasanya tak percaya mendengar kabar itu, tetapi fakta-fakta tersebut keluar dari mulut Nizar langsung. Jadi sebelah mananya lagi yang membuatku harus ragu akan kenyataan yang ada?Aku hanya tak menyangka saja jika Pak Adinata tega berselingkuh? Gak habis pikir kalau pria berwibawa seperti dirinya menyia-nyiakan wanita sebaik Ibu Hanna.Agak heran juga dengan lelaki yang sudah diberikan spek bidadari, malah mencari spek kuntilanak.“Niz, memangnya Ayah selingkuh sama siapa?” tanyaku penasaran. Namun, tak kunjung ada jawaban dari pria itu.“Niz....” panggilku sembari menoleh ke arahnya. Tapi, yang kudapati, dia sudah tidur dengan posisi miring menghadapku. Telapak tangannya menjadi alas pipinya. Aku tersenyum tipis melihat wajahnya yang lucu tidur dalam posisi seperti i
Sekembalinya dari rumah Bunda, aku pulang ke rumah Nizar lebih dulu dan akan ke kantor nanti siang. Sebenarnya mau cuti aja hari ini, tapi takut ada yang penting, terlebih besok proses syuting dengan perusahaan yang sedang hangat diperbincangkan akhir-akhir ini sudah mulai berjalan. Tapi, sampai detik ini Risma belum memberi kabar jika memang ada yang penting.Aku harus memastikan semuanya berjalan lancar karena bagiku ini adalah kerja sama yang sebenarnya penting banget dan pengaruhnya terhadap perusahaan keluargaku juga besar. Suatu keuntungan kalau kerja sama dengan KreatifLumina Advertising nanti berjalan sukses dan membuahkan hasil yang bagus, kan boleh jadi banyak perusahaan besar yang lirik-lirik manja jasa kami. “Assalamualaikum,” ucapku langsung masuk ke rumah. Cepat-cepat menghampiri dan salim pada Ibu mertua yang berjalan dari dapur untuk menyambutku. “Waalaikumsalam, Nak. Kok sendirian? Nizar mana?” tanyanya.
Baru saja mau bertanya, tapi ponsel Putri berdering membuat perhatiannya teralihkan pada benda pipih tersebut. Setelah bercerita dengan seseorang melalui telepon, entah sedang membahas apa, tapi tampaknya penting, karena setelahnya ia pamit masuk ke rumah lebih dulu.Kan, gagal lagi mau cari tahu. Kayak memang sudah di-setting agar aku tak usah tahu perkara yang terjadi dalam keluarga ini. Hmm. Ya sudahlah. Bisa nanti-nanti saja. Saat kembali ke kamar, aku meraih ponsel yang tergeletak begitu saja di kasur. Buat ngecek barangkali ada pesan penting.Ternyata, ada sampai 5 kali panggilan tak terjawab dari Bunda. Entah, ada apa?Beralih duduk di tepi kasur, lalu menelepon balik Bundaku tersayang yang gak mungkin menghubungiku karena gara-gara rindu. Pasti ada hal penting yang sangat genting. “Halo, Sayang. Dari mana aja? Kok Bunda telepon gak dijawab-jawab?”“Tadi dari bawah, Bun. Hape di kamar. Emang
“Nizar, sana ih... jangan dekat-dekat,” protesku saat Nizar masih tetap di dekatku, seolah enggan untuk berpindah.Sesekali celingak-celinguk, melihat sekeliling. Waspada nanti ada yang melihat sehingga mengira kalau kami ada udang di balik bakwan.Meskipun memang iya, sih.“Ogah! Mending aku yang dekatin, daripada cowok lain.” Tuh, kan! Dia benaran cemburu perkara aku digombalin si gondrong tadi. Lagian, sejak kapan Nizar jadi posesif begini, sih? Perasaan dulu waktu pacaran dia gak seperti ini? Tapi, aku suka-suka aja dia begitu. Artinya, dia takut kehilanganku. Hanya saja, aku harus tetap jual mahal, seperti biasa. Gak boleh terlihat olehnya bahwa aku sudah mulai terbiasa menerima kehadirannya kembali. “Cemburu ya?” tanyaku memicing. Tak sadar menyunggingkan bibir, mengejeknya. Kupikir dia akan mengelak, tetapi justru terang-terangan mengakui isi hatinya. “Iya. Aku cemburu. Puas?” Ingin sekali
“Kamu tau?” Alisku terangkat. Walau sebelumnya, aku memang yakin kalau Putri akan memberitahu Nizar terkait pembicaraanku padanya kemarin. Ah, anak itu terlalu penurut. Apalagi kalau berhadapan dengan Nizar. Agaknya, tak ada rahasia lagi di antara paman dan ponakan yang lebih mirip seperti kakak dan adik itu. “Hm, pasti Putri yang mengatakannya padamu.” Aku menjawab sendiri pertanyaanku tadi. Menunduk sesaat, sambil meremas jari-jari tangan.Mendadak canggung berhadapan sama suami sendiri. Apalagi sadar, kalau dari tadi matanya tak lepas memindai wajahku dalam temaramnya malam. “Sekarang kamu tau kan alasanku datang ke rumahmu dan tiba-tiba melamar?” tanyanya.“Hanya itu?” Aku penasaran. Kalau alasan masih cinta dan sayang menurutku masih terlalu sederhana untuk sebuah lamaran mendadak. Paling tidak, di sini aku yakin kalau Nizar punya alasan khusus yang mendasari terbentuknya keinginan atau naluri dalam h
Bukannya prihatin, Nizar malah tertawa pelan. Menarik tubuhku agar mendekat ke arahnya, lalu menarik jua selimut untuk menutupi tubuh kami berdua. Tangannya dieratkan seakan enggan untuk melepaskan. Sialnya, karena aku gak menolak apa pun yang dilakukan.Barangkali seandainya, Nizar mengulang peristiwa obat perangsang itu, aku mungkin akan pasrah saja.Eh... tidak-tidak! Maksudku, pastilah aku menolak. Enak saja! Aku tidak boleh lengah.“Nanti kalau aku perkosa, kamu bisa lapor ke polisi dengan kasus pelecehan,” ucapnya, tepat di dekat telingaku. Embusan napasnya yang hangat malah membuat tubuhku sedikit menggigil. Mau bergerak, susah. Mau memberontak, telanjur nyaman dalam dekapannya. Soalnya hangat untuk suasana malam yang dingin seperti ini.Duh, ngomong apaan sih aku? Dasar mulut, suka nyolot gak sesuai fakta!“Terus kalo polisinya nanya, siapa yang perkosa? Aku bilang apa?” tanyaku polos.“Diperkosa suami
Tak hanya sampai di situ saja, wanita yang sedari tadi malam menguji kesabaranku yang setipis kulit bawang ini ikut menyahut.Sengaja menambah runyam hidupku saja ini orang agaknya. “Apakah di sini ada yang mencoba untuk menjadi penggoda suami orang?”Dia mengetuk-ngetuk bibirnya. Tatapannya jelas meremehkanku. “Atau... mungkin ada yang mencoba jadi...?” Ucapannya digantung, dikira jemuran kali. “Apa?!” tanyaku cepat.Aku yang sedang emosi ingin tahu saja dia mau bilang apa?Jangan-jangan dia menganggapku jalang atau pemuas nafsu pria-pria hidung belang?“Simpanan,” ucapnya singkat, padat, dan jelas. Berhasil membuatku meradang. Sialan!Dia pikir aku semurah itu apa?“Jangan sembarangan ya Anda kalau ngomong!” bentakku. “Kalau gak tau apa-apa, jangan asal nuduh!”Tinjuan mautku nyaris saja melayang karena tak kuasa menahan amarah, tetapi Nizar menahanku dengan sikap lembutnya.
Astaga! Apa-apaan? Siapa yang hamil coba?Dikira aku kayak yang disebut di lirik lagu... kuhamil duluan, sudah 3 bulan, gara-gara pacaran suka gelap-gelapan. Walaupun setengah ukhti setengah kunti, gini-gini aku juga takut azab neraka.Bunda dari dulu sering banget ngingetin kalau dekat sama cowok gak boleh melampaui batas. Apalagi buka-bukaan sampai saling desah-desahan kayak yang aku lakuin sama Nizar waktu kena efek obat perangsang.Kalau sampai Allah murka dan jadi hamil, itu bakal jadi aib seumur hidup buat anak dalam kandungan, apalagi cewek, yang mana ketika ia lahir di luar nikah nasabnya bakal jatuh ke Ibu.Aku mendelik tajam ke arah Risma. “Saya bilang kecelakaan, Risma. Gak bilang hamil.”“Hah?!” Risma melongo, yang lain juga pada ikut melongo. Sesekali bertukar pandang, seolaa bertanya maksud perkataanku satu sama lain. Tapi, tak ada yang berani membuka suara. “Kami kegep mesum di mobil,” ungkapku semb
Beberapa bulan kemudian. Aku sengaja datang agak siang ke kantor hari ini. Berhubung, tadi pagi-pagi aku sudah sibuk di rumah, menata perlengkapan bayi bersama ibu mertua. Maklum karena aku sudah mendekati HPL. Jadi, segala sesuatunya harus disiapkan biar kalau adek bayi sudah launching, gak ribet lagi. Turun dari mobil yang mengantar ke kantor, aku melangkah sesekali membalas senyum karyawan yang berpapasan denganku di lantai dasar. Menghampiri resepsionis lebih dulu sekadar untuk menanyakan barangkali ada titipan atau mungkin informasi penting untukku yang dititipkan pada resepsionis. “Ada info?” tanyaku pada wanita berambut panjang terurai itu. “Iya, Bu. Informasinya soal Pak Nizar, beliau sudah datang dari tadi dan mungkin sekarang sudah di ruang CEO.” Aku mengerutkan dahi mendengar perkataan wanita itu. Mas Nizar ke sini kenapa tadi gak bilang ke aku kalau mau ke sini? Tiba-tiba banget datang ke kantor. “Oh, ya sudah. Aku langsung ke atas kalau begitu.” “B
Setelah beberapa saat terdiam, Pak Santoso kembali melanjutkan kalimatnya. “Waktu itu, di lokasi anak itu ditemukan, memang terbilang minim sekali kendaraan yang lewat, tempatnya juga masih susah diakses, bahkan jaringan internet pun belum merata. Jadi, agak susah untuk mendapatkan pertolongan.”“Tanpa mempertimbangkan asal usul, saya dan istri mau-mau saja membantu anak itu, apalagi di sana memang tidak ada yang mengenalinya. Kasihan juga, jika dia terlambat mendapat pertolongan hanya karena kami menolak menolongnya. Berharap setelah dia sadar, kami bisa mengantarnya pulang menemui keluarganya. Hanya saja ....”Kami menatap Pak Santoso penuh tanya, sama-sama menunggu apa yang akan dikatakan selanjutnya?“Setelah sadar, anak itu tidak mengingat asal usulnya, bahkan tak mengingat namanya sendiri. Dokter mengatakan, kalau dia terkena amnesia retrograde, di mana dia melupakan semua ingatan sebelum kecelakaan, meski dengan faktor eksternal dia mungkin masih bi
“Maaf, apa Pak Bima mengenal orang di foto itu?” tanya Dev dengan sirat penuh pengharapan.Namun, Papa bukannya langsung menjawab, justru buru-buru memalingkan muka. Sempat kulihat matanya berkaca-kaca.Papa menangis? Benarkah?Ya Tuhan, aku semakin tak mengerti melihat situasi ini. Sebenarnya ada apa?“Apa kamu benar-benar tidak ingat apa-apa tentang foto ini?” tanya Papa lagi, “setidaknya sedikit saja.”Kulihat Dev tampak berpikir, tapi bersamaan dengan itu terdengar pula isakan tangis Bunda. Aku pun beralih menggenggam tangannya dan memeluk erat tubuh yang masih lemah itu dengan maksud untuk menenangkan.“Bun, ada apa?” tanyaku, yang tanpa direspons olehnya hingga pelukan kami terurai.“Saya hanya bisa ingat sekilas memiliki adek balita saat itu. Namun, saya tidak mengingat nama dan bagaimana rupanya? Mungkin sekarang sudah sebesar Divya. Terus terang, ketika melihat Divya, saya merasa cukup dekat padanya. Seperti per
BRAK!Pintu tiba-tiba terbuka dengan keras. Aku dan Nizar kompak menoleh, melihat siapa yang datang?Ya. Mereka adalah ibu mertuaku dan Putri. Keduanya kini berdiri di ambang pintu dengan raut cemas. Ibu mertua langsung berjalan cepat menghampiri kami. Napasnya terengah dan tanpa basa-basi bertanya padaku. “Vy Sayang ... apa yang terjadi, Nak? Kamu gak apa-apa, kan?” Dia meraba pipiku barangkali memastikan aku baik-baik saja. “Kenapa bisa pingsan, sih, Sayang?” Ibu Hanna kembali bertanya, bahkan sebelum satu pertanyaannya kujawab.Selang beberapa detik, beliau menatap Nizar dengan tatapan mencurigai. “Kamu kali yang gak becus jagain istri, sampai menantu Ibu pingsan segala?”Aku tersenyum hangat. Beralih menggenggam tangan ibu mertuaku itu. “Ivy baik-baik aja, Bu. Gak ada yang perlu dikhawatirkan. Aku cuma sedikit kecapean dan syok aja dengar kabar Bunda kecelakaan.”“Tapi, Aunty Sayang, Ibu lebih syok dengar Aunty dib
Aku mengerjap pelan, mencoba mengamati sekeliling. Hal pertama yang kulihat, ruangan serba putih yang cukup asing dalam pandangan.Aroma obat-obatan pun seketika menguar menusuk indra penciumanku.Sesaat kesadaranku sudah terkumpul, aku merasakan sebuah tangan menggenggam erat tangan ini, ibu jarinya sesekali mengusap-usap lembut punggung tanganku. Aku menoleh ke samping kanan, ternyata kekasih hatiku duduk di sana sambil mengutak-atik ponsel. Rupanya, ia belum menyadari kalau istrinya yang cantik jelita inj sudah bangun dan kini sedang menatapnya. Lagipula, kenapa aku bisa tiba-tiba berada di rumah sakit segala?Ah! Seingatku, tadi memang sempat lemas banget di kantornya Pak Dev karena kepalang syok mendengar kabar Bunda kecelakaan, tapi setelahnya aku tak mengingat apa-apa lagi.Ngomong-ngomong soal Bunda. Bagaimana keadaannya sekarang? “Mas ...,” lirihku.Begitu mendengar suaraku, Nizar sedikit tersentak,
Sampai di ruangan, aku hanya duduk diam sambil menatap tumpukan berkas di meja yang seolah menatapku balik tanpa memberikan solusi. Sesekali memijat kening, mengingat perkataan Adrian yang beberapa saat lalu masih terngiang-ngiang jelas di benak ini. Mungkin, dia memang datang ke kantorku hanya untuk itu.Sekarang, aku merasa kalimat-kalimatnya seperti sebuah ancaman serius. Bagaimana kalau perusahan yang telah dirintis orang tuaku dari nol ini jatuh padanya? Kalau itu benar, tentu saja aku memutuskan untuk keluar dari perusahaan karena tak sudi satu kantor dengan Adrian. Namun, di sini yang menjadi taruhan adalah para karyawan yang telah setia menemani setiap proses TalentVista hingga sekarang.Bagaimana jika mereka benar-benar dikeluarkan setelah akuisisi? Bagaimana dengan nasib mereka?Akan tetapi, kalau aku memutuskan untuk tetap bertahan, maka yang ada hari-hari yang kujalani akan sangat buruk kalau be
Huft!Aku menghentakkan kaki seraya mengembuskan napas berat begitu duduk di dekat Nizar yang tengah sibuk menggerak-gerakkan jemarinya di atas ipad di taman dekat kolam renang rumah kami.Suasana di sini memang cukup adem, sehingga mendukung untuk bekerja meski cuaca di luar sana sangat menyala. Hari libur begini, sebenarnya tadi Nizar mengajakku jalan-jalan, tapi aku lagi malas karena memang badan cepat lelah semenjak hamil.Jadi, aku memilih quality time di rumah bersama keluarga mertua.Menyadari kedatanganku, Nizar melirik sekilas. “Kenapa kayak gitu? Kesal sama aku?” tanyanya.Aku menoleh padanya yang mulai meletakkan ipad-nya ke meja bundar di hadapan kami. “Gak ada,” ketusku.“Ya terus kenapa itu tadi datang-datang dan buang napasnya kayak orang kesal?” Nizar kini menatapku dengan serius. “Mau jalan-jalan? Atau pengen ditemani jajan? Mau nonton? Atau apa?” Belum satu pun pertanyaannya kujawab, dia kemb
Sore ini, aku memutuskan melakukan konferensi pers untuk menyampaikan pengumuman resmi tentang berita akuisisi yang memang sedang santer diperbincangkan akhir-akhir ini. Dengan maksud dan tujuan untuk meluruskan kebenarannya biar tidak menimbulkan berita simpang siur dan spekulasi-spekulasi pribadi tak berdasar. Sebab, kabar tersebut kini tak hanya ramai di area kantor, tetapi juga di luar kantor, bahkan di media sosial sudah rame.Media dan wartawan kini sudah berkumpul di lobi gedung, siap untuk meliput. Ruangan konferensi pers dipenuhi oleh sorot kamera dan mikrofon yang siap merekam apa saja yang akan kukatakan nantinya. Didampingi sekretarisku, aku masuk ke sebuah ruangan dan duduk pada tempat yang memang sudah disiapkan. Kamera wartawan yang sedari tadi menyoroti, sebenarnya membuatku risih. Tapi aku juga gak boleh protes dan menghalangi mereka untuk bekerja.Suasana berubah hening seketika.Sambil te
Ah, aku sampai lupa kalau dulu pernah terjebak dalam kata-katanya yang cukup menyakinkan kala itu. Nyatanya, semua hanyalah bualan semata. Lihatlah, sekarang! Dia tak jauh berbeda. Bisa-bisanya dia menyembunyikan masalah keuangan perusahaannya yang saat ini melanda? Setelah beberapa menit, kini giliran suamiku tercinta dan tersayang yang unjuk rasa, eh ... unjuk gigi. Maksudku, unjuk diri. Hari ini, dia terlihat begitu tampan dengan kacamata bening yang membingkai kedua matanya. Aku pernah bertanya padanya, kenapa tiba-tiba mengenakan kacamata? Padahal aslinya dia tidak ada masalah pada penglihatan. Ya, katanya ... karena dia hanya ingin mengubah penampilan di 2 tahun terakhir ini dan agar tidak ada yang terlalu mengenalinya ketika sedang menguntitku. Tapi, ya juga. Dulu saat pertemuan perdana kami, saat itu dia menolongku dari Adrian yang mau berbuat jahat pa