Pesan Damian membuat Dony emosi. "Brengsekh!""Kenapa aku harus menuruti berandalan ini? Jika bukan karena kakek Luhan, aku tak akan melakukannya."Damian memutuskan untuk pulang. Di tengah keheningan malam yang terkoyak tiba-tiba derai hujan turun debgan lebatnya. Damian menyusuri jalan yang sepi setelah mengirim pesan terakhir. Langit seolah menangis bersamanya, membasahi bumi dengan air mata yang tak terbendung. Dalam keadaan murung, ia menderu mengemudikan jeep-nya melintasi jalanan yang mulai tergenang.Kenangan buruk pada masa lalu seakan-akan terbawa angin, membuatnya semakin menekan pedal gas, dalam upaya putus asa untuk segera mencapai perlindungan apartemennya. Setiap tetes hujan yang jatuh bagaikan bisikan lara dari masa lalu yang terlupakan, memacu jantungnya untuk berdetak lebih cepat dalam dingin yang menyergap.Hufh.Keringat dingin membanjiri tubuhnya yang basah. Tangan memegangi wastafel kamar mandi dengan gemetar. Namun, tatapan tajam tertuju pada kaca kamar mandi, m
Andy pikir cukup memberikan garis besar tentang pengertian jarak antara Demian dan Yura yang berstatus istri Dony. Andy menggoyang goyangkan tubuh Damian dan memanggil berkali-kali, "Tuan Damian.""Tunggu! Aku rasa, lebih baik jangan dibangunkan. Kita biarkan saja dia tidur," sela Yura, ketakutan.Andy tak peduli, terus membangunkan hingga dirinya putus asa. "Tuan Damian, Nyonya Yura sudah datang," bisik Andy sambil terus mengguncang tubuh Damian.Anehnya, mendengar nama Yura, Damian membuka mata perlahan. Tatapannya membulat saat melihat Yura yang kini berdiri di hadapannya.Make up natural dengan lipstik pink cherry. Rambut lurusnya digerai indah dihiasi penjepit di sisi kanan, seperti gadis korea kebanyakan. Yang membuat Damian semakin terpesona adalah dress peach selutut dipadu blazer coklat muda yang di pakai. Damian menelisik dari atas ke bawah dimana sepatu pantofel coklat sebagai pelengkapnya.Yura sendiri mundur selangkah melihat Damian yang berdiri dari duduknya. Gerakan ref
Yura tersenyum manis sambil berkata, "Ayolah! Kamu bukan anak kecil."Damian hanya mengangguk lemah dan kembali menutup mata, terlalu sakit untuk berkata-kata. Dia juga berusaha meredam api kecemburuan serta keraguan tentang kejadian semalam. Kembali membuka mata saat ada gerakan di ranjang dan menandang lemah pada Yura yang berjalan ke dapur, memastikan sup sudah matang sempurna. Setelah yakin dengan rasa dan khasiatnya, ia menuang sup ke dalam mangkuk dan membawanya ke kamar dengan hati-hati.Yura uduk di samping Damian, memegang nampan berisi sup dan memberikannya. "Makanlah selagi hangat."Damian menggeleng pelan, membuat Yura kesal. Dia sudah bersusah payah membuatnya tapi lelaki itu menolaknya."Kenapa tidak mau? Sup ini bisa meredakan mabuk yang kamu derita saat ini."Damian masih mengurut keningnya sedangkan Yura memilih untuk pergi membawa nampan. Tiba-tiba .…SrekhTangan Yuna digengam erat Damian. Tangan Damian yang berkeringat dingin menghentikan Yura, seketika khawatir ji
Yura berjalan menuju ruang kerja Madam Sherly, dengan amplop coklat yang berisi informasi penting tentang Damian di tangannya. Tangannya sedikit gemetar dan tak bisa disembunyikan. Setibanya di depan pintu, ia mengetuknya perlahan.Tok, tok."Masuk," terdengar suara Madam Sherly dari dalam.Dengan langkah mantap, Yura membuka pintu dan memasuki ruangan tersebut, seraya memberikan hormat. "Madam Sherly, ini informasi yang Anda minta tentang Tuan Damian," ucapnya, sambil menyerahkan amplop tersebut.Madam Sherly, yang duduk di balik meja kerjanya yang besar, mengangguk dan menerima amplop itu. Ia membukanya dengan teliti, memeriksa setiap lembaran yang Yura berikan. Matanya menyapu cepat setiap detail yang tercatat, dari aktivitas Damian hingga jadwal kantor yang akan datang."Kerja yang baik, Yura," puji Madam Sherly, setelah beberapa saat mempelajari isi amplop tersebut. "Ini sangat membantu. Terima kasih telah menyelesaikan ini dengan cepat dan akurat."Yura merasa lega, senyumnya ki
"Halo.""Di mana kamu?""Aku ada di kediaman madam Sherly, ah maksudku, ibuku.""Baiklah. Aku akan mengirim supir untuk menjemputmu.""Untuk apa? Aku akan pulang sendiri.""Sudahlah jangan banyak alasan, cepat keluar dan ikuti perintahku!""Baik."Panggilan berakhir.Yura menghela napas berat. Terlepas dari Dony, terjebak oleh Damian. Ya, beginilah nasib Yura sekarang. Kehidupannya berputar putar dari kehidupan kakak beradik itu. Sampai kapan seperti ini? Entahlah, Yura sendiri tak bisa menjawabnya. Semua tergantung dari kesembuhan sang Ayah. Ya, dibandingkan semua itu, Ayahnya yang terpenting bagi Yura.Sebuah taksi menunggu di depan kediaman Sherly. Yura segera turun dan keluar rumah. Namun, langkah terhenti saat panggilan dingin menyapanya."Sudah di jemput ya," ucap Sherly yang kini duduk di ruang tamu dengan lampu dipadamkan."Madam. Kenapa Anda belum tidur?""Aku tak bisa tidur. Kamu mau ke mana? Lalu taksi itu?""Ah, aku memutuskan untuk pulang ke kediaman Dony. Taksi itu aku y
"Kenapa dibeli semua?""Karena aku ingin," jawab Damian dingin dan melangkahkan kakinya pergi, meninggalkan Yura sendirian."Apa kamu tak mau pergi?" teriak Damian menyadari Yura terpaku."Ah iya."Yura berlari ngos ngosan hingga tepat di samping Damian. Tubuhnya ambruk akibat kelelahan. Melihat itu, Damian merasa kasihan tapi ingin sekali lagi mengerjainya.Ekhem"Bangunlah!""Sebentar, aku kehabisan napas.""Dasar lelet. Baru berlari sebentar saja sudah ngos ngosan. Mulai besok, kamu harus berolahraga."Akh"Apa yang kamu lakukan? Turunkan aku?" teriak Yura saat tubuhnya diambil paksa, di taruh di atas pundak seperti memikul sekarung beras.Damian tak peduli, terus menggendong hingga sampai pada mobil jeep miliknya.Bugh"Aku tidak sabar untuk mengungkungmu di apartemenku!" ucap Damian sambil menatap tajam. Yura merasa ngeri, takut, dan cemas. Hatinya berdebar kencang saat meresapi kalimat yang baru saja keluar dari mulut Damian.'Apa yang akan terjadi padaku? Bagaimana jika keadaan
"Bicaranya nanti saja. Urus dulu cacing-cacing di perutmu itu!"Damian tersenyum memikirkan kelakuan Yura barusan. Sungguh konyol. Diikuti gadis yang telah diubahnya menjadi wanita itu, memeluk dari belakang hingga Yura kembali terkejut. Dihirup ceruk leher hingga membuatnya kembali meremang."Kenapa tidak makan? Bukankah kamu lapar?"Yura tersentak, menutupi rasa kecewa sekaligus bersyukur atasnya. Dengan gugup duduk di meja. Damian memandang tajam, lengkap dengan senyum devilnya. "Duduk manis di situ. Aku akan memasak untukmu."Damian dengan cekatan membuat omelet karena menurutnya makanan itu yang cukup mudah dibuat dan ada unsur karbo yang bisa mengganjal perutnya. Tak hanya itu proses memasak juga cukup singkat, tinggal kocok dan masuk teflon. Seperti sesimpel kita menjalani kehidupan. Cukup jalani, syukuri dan nikmati prosesnya maka semua akan terlewati meski tak mudah."Makanlah!"Damian menyodorkan sepiring omelet di depan Yura. Berjalan pelan sampai di belakang Yura, dengan ce
“Andy, pergilah ke apartemen dan pastikan Yura masih ada di sana.”“Apa? Anda dan Yura, bos, kalian?”“Sudahlah. Pergi dan pastikan keberadaan Yura. Jika masih di apartemen, segera usir dia.”“Apa? Mengusirnya Bos?”“Iya, apakah kamu tuli, hah?”“I–iya Bos. Saya akan mengusirnya sekarang juga.”Andy segera pergi ke apartemen Damian. Setelah sampai, dia hampir mengetuk pintu apartemen, tapi hal itu di urungkannya. Dia tahu kode sandi apartemen itu sehingga Andy berpikir tak perlu mengetuk pintu. Segera membuka dan masuk ke dalam apartemen. Dengan tegas, raut wajah tegang dan sikap serius, Andy mendekati Yura yang kini syok melihatnya.“Kamu?” ucap Yura kaget. “Ya, ini saya.” Andy tidak membuang waktu untuk berbasa-basi. "Maaf, Nyonya Yura. Tuan Damian meminta Anda untuk segera meninggalkan apartemen ini," ucap Andy dengan nada tegas dan langsung.Yura terkejut dan kebingungan terpancar dari wajahnya. "Tapi, mengapa? Saya belum siap untuk pergi," katanya dengan suara gemetar, matanya
"Oh ya, mengenai Yura, apakah ada info terkini tentangnya?""Kami masih menyelidiki lebih dalam, Tuan. Namun, keluarga Sherly tampak begitu berhati-hati dan menyimpan banyak misteri.""Baiklah, kalau begitu, terus gali sampai kamu mendapatkan informasi tentangnya.""Baik, Tuan."Setelah menutup telepon, Damian menarik napas dalam-dalam. Pikirannya melayang memikirkan pertemuan yang akan terjadi besok. Dia tahu ini tidak akan mudah, tetapi hal itu harus disampaikan, untuk memastikan semua yang terlibat.Esok hari.Sherly berjalan gontai menuju kediaman Damian, setiap langkahnya terasa berat, tangan dinginnya terus mengusap peluh yang bermunculan di dahinya. Dia tak tahu, mengapa Damian tiba-tiba memintanya bertemu?Firasat mengatakan jika ada yang tidak beres. Begitu berhadapan dengan Damian, raut wajahnya pucat pasi."Kau menyuruh Yura mendekatiku, bukan?" tanya Damian dengan nada tinggi, tanpa memberi kesempatan Sherly untuk menarik napas.Sherly menelan ludah, dia mencoba mengumpulk
“Aku ….”Yura merasa sangat bingung dan terjepit dalam situasi yang sulit. Bagaimana ia bisa mengatakan yang sebenarnya kepada Damian, bahwa di balik semuanya, adalah Sherly yang telah memaksanya untuk mendekati pria itu? Setiap bayangan kebenaran itu menghantuinya, sementara di sisi lain, ia juga berpikir tentang nyawa ayahnya yang kini terancam jika ia tidak menuruti Sherly. "Apakah aku benar-benar harus melakukan ini? Mengkhianati seseorang demi melindungi orang yang kucintai?" gumam Yura dalam hati. Merasa terpojok, keberanian yang ia kumpulkan menjadi goyah. "Ini tak bisa terus berlarut begitu saja, aku harus memilih," batinnya.Dengan ragu, Yura akhirnya mengakui kepada Damian bahwa Sherly adalah dalang di balik semua yang terjadi. "Ibuku, Madam Shetly yang menyuruhku mendekatimu.""Apa?" tanya Damian, merasa sangat terpukul.Dia menatap Yura dengan mata yang menyala-nyala, wajahnya merah padam seolah-olah darahnya mendidih dalam kemarahan. "Jadi, ini semua permainan ibumu?" sua
“Apa yang kamu lakukan? Pergi dariku!” Yura beringsut dan mundur, tapi Dony lebih cekatan, segera memeluk paksa Yura. Dony hampir saja mengungkung Yura jika ponselnya tak bergetar.Drrt! Drrt“Sial! Siapa sih yang menghubungi di saat seperti ini?” gumam Dony penuh kekesalan.Dony segera melihat siapa yang memanggil? ternyata Damian yang memanggil.“Halo, Dony? Ini Damian. Kamu harus segera ke perusahaan sekarang. Ada hal penting yang perlu kita bicarakan mengenai bisnis.”Dony mengernyit bingung. “Bisnis? Sekarang? Kenapa begitu mendadak, Kak? Aku bahkan belum sarapan.Damian terdengar marah. “Tak peduli, ini penting. Aku butuh kamu di sini secepatnya. Jangan buang-buang waktu lagi, segera datang ke perusahaan.”“Baik. Aku ke sana sekarang!”Selesai panggilan, Dony mendekati Damian, ingin melanjutkan aksinya. Namun, Yura segera menggeleng dan meyakinkan Dony. “Kamu harus segera ke perusahaan, kenapa masih mengulur waktu?”“Aku ingin bersenang senang dahulu.”Dony segera mengungkung Yu
Yura berdiri untuk saat yang lama di depan kediaman Dony yang megah, memberanikan diri mengatasi apapun yang akan terjadi.Teringat akan ucapan Damian. "Kuperingatkan sekali lagi, kamu hanya milikku dan tak ada yang boleh menyentuhmu selain aku, bahkan Dony. Awas saja jika Dony berhasil menyentuhmu, akan aku cincang tubuh kesayangan ini. Kamu mengerti, kelinci kecil?"Ancaman Damian sungguh nyata, berdengung terus di telinga membuat Yura menggeleng kuat. Dia sungguh takut dengan ancaman Damian tapi Dony adalah suami sahnya. Terlebih Damian mau menerima Jenny sebagai istrinya. Otak Yura benar-benar bingung saat ini.KrekhDi buka perlahan pintu rumah, suasana sangat sepi dan gelap. Namun, terdengar suara aneh dari sudut ruangan. Yura memutuskan untuk naik ke lantai dua, kamar tidurnya berada. Baru menaiki tangga, terdengar suara yang mengganggu indera pendengarannya. Yura tersenyum kecut, menyadari jika Dony sedang bersenang senang saat ini.Dengan siapa?Tentu saja dengan kekasih gela
Semua berkumpul untuk menyaksikan acara inti dari perusahaan Kakek Luhan. Saat ini dia menyerahkan wewenangnya kepada Dony, bukan Damian. Semua orang yang datang merasa kecewa karena investor terbesar adalah Damian dan mereka berharap bisa bekerja sama dengan Damian. Jika saja Luhan menggabungkan kekuatan dengan Damian, pasti perusahaan mereka tak akan tertandingi di kota ini. Namun, Damian tak mau dan berdiri sendiri.Pesta telah usai dan Sherly membawa Yura serta Yola pulang ke kediamannya. Yura menatap Sherly dengan mata yang penuh ketakutan saat mereka memasuki rumah megah itu. Sherly, dengan langkah cepatnya, segera memerintahkan Yura dan Yola untuk berdiri setengah kaki, dengan lutut menumpu lantai yang dingin dan keras.“Diam di sana dan jangan bergerak sesuai perintahku!”Sherly kemudian mengambil cambuk yang tergantung di dinding, tangannya menggenggam erat gagang cambuk tersebut seolah-olah itu adalah senjata yang akan menghukum kesalahan fatal.Tanpa peringatan, cambukan ke
“Apa?”Yura sama sekali tak memikirkan kemungkinan ini. Dirinya tersentak saat Damian lagi lagi mencengkeram dagunya. Tangan berusaha sekuat tenaga untuk lepas.“Bagaimana kalau Dony lihat kau berada di bawah tubuh seorang pria, saat ini? Itu akan lebih menyenangkan, bukan?”Yura berontak, berusaha melepaskan diri dari kekuasaan Damian.“Ku telepon dia sekarang. Kuminta dia naik ke sini. Bagaimana?”Damian mengambil ponsel dan Yura segera merebutnya. “Aku memang mau membalas Dony, tapi … aku tidak mau melibatkan Anda, Tuan. Kalau tersebar rumor, hal ini akan merusak nama baik Tuan Damian.”Damian tersenyum, “mulutmu memang manis. Kuharap kamu berkata jujur. Jika tidak, kau akan mati.”Damian perlahan menurunkan dress yang dikenakan Yura, menyentuh kulit seputih susu itu dan bersiap mengungkungnya. Namun, detik berikutnya …Damian mengembalikan tali lengan gaun itu ke asal dan berniat pergi meninggalkan Yura. Namun, Yura malah mencium mesra Damian. Hanya sepersekian detik, Yura menarik
"Halo.""Datanglah!"Suara Damian terdengar dari seberang sana, dingin dan mendesak."Apa?""Kembali ke ruangan tadi! Yola menunggumu," ujar Damian dengan nada yang tidak dapat ditolak."Ba-- baik."Yura menelan ludah, kebingungan menyelimuti pikirannya. Ia berdiri di tengah koridor yang sepi, merasa berat untuk melangkah kembali ke ruangan dimana ia tahu Yola menunggunya dengan berbagai pertanyaan yang mungkin tidak bisa ia jawab. Namun, perintah Damian tidak bisa ia abaikan.Langkah Yura pelan namun pasti, mendekati ruangan yang tadi ia tinggalkan. Setiap detik terasa seperti jam, dan dengan setiap langkah, jantungnya berdegup kencang. Sesampainya di depan pintu, ia mengambil napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan keberanian untuk menghadapi situasi yang tidak ia ketahui.Yura menghela napas besar, mempersiapkan diri untuk segala kemungkinan yang akan terjadi setelah ini. Dengan perlahan, ia membuka pintu. Matanya langsung tertuju pada sosok Yola yang duduk bersimpuh dengan tegang
Acara perjamuanPertemuan sesama pebisnis di gedung perusahaan kakek Luhan dilaksanakan. Banyak sekali yang hadir di acara tersebut termasuk Sherly dan kedua anaknya, Yura dan Yola. Yola, inilah gadis yang akan dipertemukan dengan Damian. Mereka duduk di kursi tamu VIP dengan Sherly, sebagai besan kakek Luhan.Ruang perjamuan itu dipenuhi dengan hiruk-pikuk suara percakapan dan gelak tawa. Lampu gantung kristal yang mewah menerangi ruangan dengan cahaya lembut yang memantulkan kilauan pada gelas-gelas berisi minuman beralkohol. Meja-meja yang tersusun rapi dipenuhi dengan sajian makanan gourmet yang menggugah selera; dari hidangan laut yang segar hingga pilihan keju eksotis, semuanya disajikan di atas piring porselen yang elegan.Di sudut ruangan, sebuah panggung kecil didirikan untuk musik live yang memainkan melodi-melodi menghibur, menambah semarak suasana perjamuan tersebut. Meskipun suasana begitu meriah, Yura yang duduk di kursi VIP terlihat gelisah, mencoba menyesuaikan diri de
Haruskah aku meladeni Yura, atau sekali lagi mengingatkan dia untuk menjaga jarak?" Damian bergumam seraya merenung.Terasa berat untuk mengambil keputusan, karena bagaimanapun, ia tak ingin menyakiti perasaan siapa pun. Mata Damian terasa berat, tetapi dia tahu ini adalah langkah yang harus diambil. Untuk masa depannya, untuk kedamaian batinnya, Yura harus menjadi bagian dari masa lalu yang tak terulang kembali.Malam itu, Damian menghabiskan waktu dengan membaca buku, mencoba mengalihkan pikirannya dari segala yang berhubungan dengan Yura.Di sisi lain, Serly tampak menggenggam ponsel dengan kesal. Wajahnya pucat, bibirnya bergetar karena amarah yang tak tertahan. "Kenapa Damian tidak mengangkat teleponnya?" desisnya dengan suara serak. Yura yang berdiri di sudut ruangan hanya bisa menunduk, menahan rasa takut yang menyelimuti seluruh tubuhnya. Bagaimana tidak? Dia sudah berjanji tak akan mengganggu Damian lagi. Kini Serly malah menghubungi Damian melalui ponselnya.Serly berjalan m