Seminggu sudah aku lalui tanpa gangguan Mas Heru. Entah mengapa, meskipun ia tak menggangguku beberapa hari ini, aku merasakan kecemasan yang tidak biasanya aku rasakan sebelumnya.
Dan kebetulan, hari ini sidang pertama kami di pengadilan agama. Aku sudah bersiap-siap untuk pergi. Setelah membuka butik, aku berpesan pada seluruh karyawan agar terus waspada.
Aku juga berpesan, jika Mas Heru datang dan membuat keributan, segera menelponku. Atau laporkan pada polisi jika memang sangat membahayakan.
Aku menjemput Nia di rumahnya. Karena memang, Nia lah pengacaraku dalam kasus perceraian ini. Ferdi turut serta menemaniku dengan mengatakan akan datang menyusul setelah selesai mengantarkan berkas penting ke Kantor Dinas Perlindungan Anak. Kebetulan, Ferdi sedang membantu pihak terkait dalam mengurus kasus kekerasan pada anak di bawah umur.
Aku dan Nia terlebih dahulu memasuki ruang persidangan. Nia duduk di sampingku. Dan tak lama kemudian Ferdi masuk ke dal
Setelah mengantarkanku, lalu Ferdi mengantarkan Nia pulang. Meski awalnya, Nia berniat dan menawarkan diri untuk menamaniku di rumah. Tapi, aku menolaknya secara halus. Saat ini, yang aku butuhkan hanyalah sebuah ketenangan. Sidang pertama tadi membuat otak dan tubuhku sangat lelah. Aku tidak sabar lagi untuk membaringkan tubuh di atas ranjang empukku. [Kak, tolong jangan menyalahkanku atas semua yang telah terjadi. Mas Heru lah yang menawarkan diri padaku. Aku sama sekali tidak pernah menggodanya!] Sebuah pesan masuk ke ponselku, saat aku baru saja akan memejamkan mata. Ranisa, nama pengirim pesan itu. Tentu saja, siapa lagi jika bukan dia. Pelakor yang telah merusak rumah tanggaku. [Kamu juga sangat bersalah, Ranisa. Sejak awal kamu sudah tau bahwa dia adalah suamiku. Kenapa kau masih mencoba menyelamatkan diri sendiri, pelakor?] aku membalas dengan tersenyum happy karena pasti dia tak terima aku panggil pelakor. [Aku buk
"Aku sudah di depan, bisa kau buka pagarnya?" tanya Ferdi saat teleponnya aku angkat. "Ba-baik." jawabku ragu-ragu karena sedikit takut untuk keluar dari kamar. "Jangan takut. Sudah ada aku di sini, okey?" "Oke. Jangan matikan telponnya. Biarkan aku tetap mendengar suaramu." pintaku sambil memutar kunci pintu dan menarik kenopnya perlahan. Aku berjalan menyusuri lorong rumah dengan langkah cepat. Lampu-lampu menyala otomatis saat aku berada di ruangan itu. Dengan sedikit berlari aku menuruni anak tangga. "Jangan berlari, jalan saja dengan santai. Jangan sampai kamu jatuh terguling dari tangga," titah Ferdi seolah bisa tau bahwa saat ini aku sedang menuruni anak tangga. "Ya, aku sudah di bawah. Aku akan membuka pintu sebentar lagi. Aku lupa dimana meletakkan remot pagar," jawabku sambil berusaha mencari-cari dimana terakhir aku meletakkan remot pagarku itu. Aku sempat berpikir, jika pagarku saja menggunakan remot khusus, b
Hari ini adalah sidang ke 3 dari kasus perceraianku dan Mas Heru. Tidak disangka, sebulan telah berlalu. Meski selalu diberikan surat panggilan dari pengadilan, Mas Heru tidak pernah hadir sekali pun. Setelah beberapa teror yang aku terima, sementara waktu aku tinggal di rumah Nia dan dilengkapi dengan cctv dan beberapa orang aparat yang menjaga sekeliling rumah itu. Saat kami bepergianmu, dua orang tentara selalu mengawasi kami dari jarak dekat dengan berpakaian casual. Sehingga, orang-orang yang melihat tidak akan mengira bahwa aku dan Nia sedang dijaga ketat. Kali ini aku ke pengadilan sendirian, karena Nia ada urusan yang harus dia kerjakan. Setelah mengantarkan Nia, aku segera menuju ke gedung pengadilan agama. "Apakah Saudara Heru tidak hadir?" tanya Jaksa yang bertugas. "Tidak, Saya sebagai Pengacara yang ditunjuk akan mewakili klien." ucap Pengacara Mas Heru sambil berdiri. "Baik, karena pasangan ini tidak mencapai kesepakatan
Sebulan sudah setelah aku resmi bercerai dengan Mas Heru. Terus terang aku katakan, masih sulit bagiku menghapus bayang-bayang dirinya di dalam ingatanku. Mungkin, aku bebas sekarang. Sudah tidak harus menderita karena telah dibohongi dan dikhianati. Tapi, di satu sisi aku juga merasa sangat kehilangan. Setelah kepergian kedua orang tuaku, Mas Heru lah yang menjadi tempat sandaranku. Kini, dia pun telah pergi. Karena aku yang mengusirnya dari hidupku. Kesalahannya sunggu tak dapat aku maafkan. Biarlah, akan aku coba menata hati perlahan-lahan. Membiasakan diri. Dan sepertinya, satu bulan ini dia tidak pernah lagi datang mengusikku. Tidak ada lagi teror meneror yang seperti saat itu dia lakukan. Aku bersyukur karena hal itu. Karena sekarang aku bisa tinggal dengan akan dan nyaman di rumah peninggalan orang tuaku. Semua harta benda yang pernah aku beli bersamanya selama masa pernikahan, telah aku lelang. Bagiannya aku transfer ke rekeningnya. Dan bagianku
"Win, dia nggak ada ganggu kamu kan hari ini?" tanya Ferdi setelah kami selesai makan siang bersama di butik ku. "Tidak. Mana berani lagi dia. Ada kalian yang selalu menjagaku, takutlah dia. Cuma, barusan istrinya telpon aku," jawabku dengan jujur. "Ngapain lagi pelakor itu nelpon-nelpon kamu?" tanya Nia sedikit emosi. "Lucu sekali gundiknya itu, dan cukup tebal muka juga dia. Dia meminta aku mengirimkan uang pada Heru." "Apa? Tidak salah? Apa dia sudah gila? Aku rasa, dia benar-benar perlu test kejiwaan!" Aku hanya bisa tersenyum tipis menanggapi pertanyaan Nia. Aku memang sudah lelah menghadapi masalah yang tak pernah ada habisnya ini. Jadi, setelah kupikir-pikir lagi, biarlah mereka menjalani hidupnya sendiri. Sebab itu aku menjual semua barang yang pernah aku beli saat bersama Mas Heru. Meski hatiku sakit, masih tersisa sedikit jiwa kemanusiaan di dalam diriku sebagai seorang wanita. Meski aku belum pernah hamil dan mel
Jam sudah menunjukkan pukul 11 malam saat Winda baru menutup pintu kaca butiknya dari luar dan menggemboknya. Para karyawan sudah lebih dulu pulang jam 10 tadi. Karena tadi siang butik tutup agak lama karena kedatangan Ferdi dan Nia, maka Winda dan karyawannya harus lembur untuk membereskan isi butiknya setelah kedatangan beberapa pelanggan yang berbelanja. Setelah semua karyawannya pulang, Winda masih harus melihat lagi stok barang keluar dan sisanya. Serta mencocokkan uang masuk dengan item barang yang keluar. Karena itu, Winda tinggal lebih lama di butik setelah semua karyawannya pulang. Saat masuk ke dalam mobil, dari kaca spionnya Winda dapat melihat seorang dengan jaket tebal berwarna hitam, topi hitam, masker hitam, dan juga kacamata hitam sedang berdiri di belakang mobilnya. "Siapa orang yang berdiri di belakang mobilku itu?" lirih Winda sambil terus melirik ke kaca spion. Winda bergegas menyalakan mesin mobilnya, tapi tidak bisa bergerak. Kar
(Pov Heru) Sudah lama rasanya, aku sengaja menghilang dari kehidupan Winda. Aku ingin memberinya sedikit ketenangan, sebelum memberikan kejutan besar ini. Rasa sakit atas sikap angkuh dan sombongnya itu, tak akan pernah aku lupakan seumur hidupku. Sejak siang tadi, aku sudah mengawasi gerak-geriknya. Akhir-akhir ini sepasang sahabatnya itu terlihat sering mengunjunginya ke butik. Memhuat rencananaku mengerjainya selalu gagal. Sebelum sidang perceraian, beberapa kali aku melakukan teror padanya. Aku ingin wanita itu takut dan mencariku untuk melindunginya. Seperti dulu saat masih bersamaku. Atau setidaknya, jika dia tau aku yang menerornya, dia akan datang dan memohon padaku untuk menghentikan semua itu. Aku akan memintanya mencabut gugatan cerai itu sebagai syaratnya. Tapi, ternyata Winda cukup keras kepala. Belum lagi hari-hari yang aku jalani bersama Ranisa tidak seindah yang aku bayangkan. Gadis kecil yang kusangka lugu dan polos itu, ternyata suda
(Pov Heru) Tak perlu waktu lama, aku sudah sampai di rumah sederhana yang aku kontrak untuk tinggal bersama Ranisa. Rumah ini memang jauh dari kata mewah. Tapi, saat itu aku hanya berpikir bahwa Ranisa akan tinggal sementara di rumah ini. Setelah aku mengatakan kebenaran tentang status kami pada Winda, dan aku yakini Winda akan menerima meski sedikit terluka, Ranisa bisa kuboyong ke rumah mewah milik Winda itu. Namun, kenyataan tak selalu sesuai dengan harapan. Bukan hanya Ranisa yang tak bisa masuk ke rumah mewah itu, bahkan aku pun tak bisa lagi tinggal di dalamnya. Tok..tok..tok.. Aku mengetuk pintu kayu di depanku dengan kuat. Meski ini rumah kontrakan, tapi tidak berdempetan dengan rumah tetangga lainnya. Setelah dua kali aku mengetuk dan memanggil Ranisa, wanita dengan perut membelendung itu membukakan pintu untukku. "Mas..." sapanya dengan senyum mengambang saat aku menunjukkan sebungkus martabak telor spesi
Terima ksih tak terhingga aku ucapkan pada semua pembaca setia karya-karyaku di Good Novel. Baik itu yang membaca dengan koin gratis dan harus sedikit berjuang + bersabar agar bisa membaca kelanjutan bab nya, maupun yang bela-belain top up koin demi bisa buka bab bergembok. Selama ini aku selalu mengatakan terima kasih untuk pembaca royalku, itu bukan sekedar untuk pembaca yang buka bab dengan koin hasil top up. Tapi kata-kata itu juga aku tujukan pada pembaca pejuang koin gratis dan untuk semua yang sudah royal meluangkan waktunya untuk membaca hasil ketikan jari jemariku ini. Aku mohon jangan ada lagi yang salah paham dan berkecil hati. Siapa pun kalian, dimana pun kalian berada, meski hanya buka bab pertama dari novelku saja, aku sudah mencintai kalian. Sayang sekali novel ini sudah harus tamat. Tapi, terus dukung dan baca karyaku yang lainnya, ya. Semoga aku secepatnya bisa menambah daftar karya terkontrakku lagi di Good Novel. Sekali
Pov AuthorWaktu begitu cepat berlalu, dan saat ini di dalam ruangan bersalin Winda sedang berjuang untuk melahirkan anak keduanya. Winda baru masuk sekitar 15 menit yang lalu. Kondisi saat ini jauh berbeda dengan saat ia melahirkan anak pertamanya dulu. Anak kedua ini lebih di permudah prosesnya. Winda ditemani oleh Hanan di dalam ruangan. Sementara itu, di luar sudah menunggu Mami Mery, Diana, Cantika, Jason, Nia, dan juga Ferdi. Anak mereka titipkan pada orang tua Ferdi."Oma, apa Bunda baik-baik aja?" tanya Cantika sambil memeluk Mami Mery."Iya, Sayang. Bunda baik-baik aja kok di dalam. Itu Bundanya kan sedang berjuang ngelahirin dedek bayi. Kita berdoa sama-sama, ya. Semoga Bunda dan dedek bayi sehat dan selamat," jawab Mami Mery sambil menciumi putri semata wayangnya. "Oma dan Om Jason kok ga punya adek bayi kayak Bunda? Itu, Tante Nia sama Om Ferdi juga mau punya bayi lagi." Cantika yang lucu dan menggemaskan berkata dengan polosnya."Sayang, Oma udah tua
Pagi-pagi sekali aku sudah bangun dan menyiapkan sarapan untuk Mas Hanan dan Cantika. Hanya menu sederhana saja hari ini yang bisa aku buat, karena ternyata stok di kulkas tidak mencukupi lagi untuk membuat bubur ayam favorite Mas Hanan dan Cantika. Jadilah pagi ini aku hanya membuat nasi goreng spesial ala-ala cheff rumahan. Di rumahku sudah ada seorang asisten rumah tangga yang mulai bekerja seminggu yang lalu. Dia adalah ibu-ibu yang aku temui sedang mendorong gerobak menjajakan pisang yang ternyata juga punya orang lain. Hanya demi bisa membeli beras hari itu, ia rela berpanas-panasan berkeliling menjualkan pisang milik tetangganya. Menurut ibu itu, jika laki 1 sisir, maka ia akan mendapat 5 ribu rupiah sebagai untungnya. Sementara sejak pagi, baru laku 2 sisir. Untuk membeli sekilo beras saja belum cukup. Apalagi membeli telor sebagai lauknya makan. Di rumah ada dua orang anaknya yang sedang menunggu dengan perut lapar karena sudah sejak semalam belum makan nasi. Ha
Setelah petugas keamanan komplek datang, wanita itu segera dibawa bersama dengan seorang Dokter wanita. Mungkin karena tadi Mas Hanan mengatakan ia sedang dalam keadaan hamil besar, jadi untuk berjaga-jaga mereka juga membawa seorang Dokter. Dan ternyata itu juga sangat membantu. Wanita itu mengamuk awalnya karena bersikeras tak ingin pergi dan menganggap Mas Hanan adalah suaminya yang benama Jaka itu.Jalan terakhir yang dipilih Dokter adalah memberikannya suntik penenang. Dan setelah menunggu selama lima menit, akhirnya dia benar-benar tenang dan akhirnya tertidur. Mereka semua membawa wanita itu untuk ditangani oleh ahli kejiwaan dan akan mencari tau tentang informasi keluarganya.Sampai saat aku dan Mas Hanan sudah berada di dalam kamar, kami masih saja heran dengan bagaimana wanita itu bisa masuk ke rumah kami dan menganggap Mas Hanan adalah suaminya.Aku bahkan sempat membaca secarik kertas yang dia lemparkan pada Mas Hanan saat baru datang itu. Itu adalah surat d
Aku sangat terkejut dengan kedatangan wanita hamil yang tiba-tiba saja marah dengan melempar kertas pada suamiku itu. Entah apa maksudnya. Mas Hanan juga terlihat sangat heran. Kemudian dia berjalan lebih dekat pada Mas Hanan. Seketika itu juga, wanita hamil itu menghambur ke dalam pelukan suamiku. Dia memeluk Mas Hanan dengan sangat erat.Mas Hanan tampak semakin bingung dan berusaha menjauhkan wanita itu dari tubuhnya. Tapi, pelukannya terlihat semakin erat. Aku yakin Mas Hanan sangat takut berbuat kasar karena kondisi wanita itu yang sedang hamil besar."Mas, tega sekali kamu ninggalin aku demi perempuan ini? Apa kurangnya aku, Mas? Lihat ini, Mas. Aku juga bisa hamil, Mas. Aku bisa seperti dia. Tinggalin dia, Mas. Kembali padaku. Ini anak kita. Dia akan segera lahir ke dunia ini, Mas," ucap wanita itu dengan isak tangis yang tak bisa ia tahan.Sementara aku? Aku yang tadinya sudah berdiri, lantas kembali terduduk di atas kursi yang untungnya sangat lembut itu. Tubuh
Kebahagiaan yang Tuhan berikan seakan tak pernah ada habisnya. Kehamilan keduaku yang awalnya membuatku agak susah makan dan beraktifitas karena mabuk berat, ternyata hanya berlaku 2 bulan saja. Setelah kehamilan memasuki 7 bulan, semua orang sudah sangat tidak sabar menantikannya lahir. Terlebih lagi, saat aku memberitahukan hasil USG tentang bayi yang ada dalam kandunganku ini berjenis kelamin laki-laki. Itulah yang membuat semua orang sangat senang dan tidak sabar menantikan kehadirannya. Malam ini, di rumahku sedang diadakan acara do'a tujuh bulanan. Sangat banyak tamu yang datang. Hampir semua orang yang aku undang, menampakkan batang hidungnya malam ini di kediamanku yang sudah semakin besar karena Mas Hanan bersikeras merenovasinya beberapa bulan yang lalu. "Selamat ya, Win," ucap Nia, sahabatku yang paling aku sayangi dan selalu ada untukku dalam kondisi apapun. "Makasih ya, Beb. Kamu juga, bentar lagi mau nujuh bulanan kan?" jawabku dan kami saling berpe
Saat aku membayar semua belanjaanku di toko roti itu, aku masih dapat mendengar pertengkaran hebat antara Ranisa dan seorang wanita yang mengaku suaminya telah diambil oleh Ranisa itu. Kerumunan yang ada di sana terlihat semakin ramai dan tidak sedikit di antara mereka yang menghadapkan kamera ponselnya ke arah dua wanita yang sedang bersiteru itu. Sungguh pemandangan yang sangat memalukan untuk ditonton. Setelah selesai, aku mengajak Cantika untuk kembali masuk ke dalam mobil. Aku sudah tak ingin tau lagi dengan semua yang menimpanya. Meski dalam hati kecilku merasa iba, karena aku sempat melihat Ranisa sedang diamuk oleh wanita itu. Rambutnya ditarik dan wajahnya ditampar berkali-kali. Mirisnya, di samping Ranisa sedang berdiri seorang anak laki-laki yang aku tau itu adalah anak Ranisa. Entah bagaimana perasaan anak itu saat melihat ibunya dimaki dan dihina, diperlakukan seperti itu di depan umum. Mungkin sekarang ia belum mengerti dengan apa yang terjadi saat ini.
Sudah tiga bulan sejak meninggalnya Mas Heru. Dan aku memang menuruti semua saran Nia. Berusaha tidak peduli lagi pada masa lalu dan memikirkannya. Aku sama sekali berhasil melupakan segalanya dengan sangat mudah. Ternyata, semua itu berasal dari niat dalam hati kita sendiri. Jika kita benar-benar ingin melupakannya, maka lakukan lah dengan sangat elegan. Tidak perlu berusaha sekuat tenaga untuk membencinya. Hari ini aku sengaja pergi ke butik karena memang sudah lama aku tidak berkunjung langsung ke sana. Diana mengurus semuanya dengan sangat baik. Dari bagi hasil yang aku berikan pada Diana, dia sudah mampu membeli rumah dan mobil pribadi. Meski tidak yang terlalu mewah. Tapi, itu cukup berharga karena dibeli dari hasil kerja kerasnya. Diana juga berhasil memasarkan produk butikku ke luar negri. Sejak saat itulah, butik selalu banjir orderan. Diana memang sangat menguasi ilmu marketing yang bagus dan mampu memikat calon pembeli dengan sangat baik. "Bunda, nant
Pov Winda Tidak ada yang bisa aku lakukan di rumah saat hari kerja seperti ini. Cantika sudah selesai aku bantu mandi dan makan. Kami juga sudah bercengkrama dan saling bertukar pikiran tentang liburan akhir bulan yang sudah direncanakan oleh Mas Hanan kemarin. Rumah dan segalanya sudah beres dan rapi. Aku merasa sedikit bosan sebenarnya. Pernah aku berniat untuk kembali mengurus butik, tapi tak tega jika setiap hari harus membawa atau meninggalkan Cantika. Keduanya sama-sama tidak akan baik untuk tumbuh kembangnya. Lagi pula, Mas Hanan tidak memberikanku izin karena saat ini kami berencana untuk menambah momongan lagi. Aku sudah tidak memakai KB lagi dalam dua bulan terakhir. Namun, sepertinya masih belum beruntung untuk bulan ini. Dengan malas, aku menggeser-geser beranda media sosialku di ponsel. Banyak sekali orang yang memberikam tag pada akunku saat ini. Aku merasa heran, tumben sekali teman-temanku menandaiku pada sebuah berita yang berjudul 'Ditemuk