(Pov Heru)
Tak perlu waktu lama, aku sudah sampai di rumah sederhana yang aku kontrak untuk tinggal bersama Ranisa. Rumah ini memang jauh dari kata mewah. Tapi, saat itu aku hanya berpikir bahwa Ranisa akan tinggal sementara di rumah ini. Setelah aku mengatakan kebenaran tentang status kami pada Winda, dan aku yakini Winda akan menerima meski sedikit terluka, Ranisa bisa kuboyong ke rumah mewah milik Winda itu.
Namun, kenyataan tak selalu sesuai dengan harapan. Bukan hanya Ranisa yang tak bisa masuk ke rumah mewah itu, bahkan aku pun tak bisa lagi tinggal di dalamnya.
Tok..tok..tok..
Aku mengetuk pintu kayu di depanku dengan kuat. Meski ini rumah kontrakan, tapi tidak berdempetan dengan rumah tetangga lainnya.
Setelah dua kali aku mengetuk dan memanggil Ranisa, wanita dengan perut membelendung itu membukakan pintu untukku.
"Mas..." sapanya dengan senyum mengambang saat aku menunjukkan sebungkus martabak telor spesi
(Pov Winda) Setelah kejadian semalam, aku lebih was-was lagi dengan keadaan sekitarku. Aku tak ingin lengah sedikit pun. Setelah kupastikan semua aman, baru aku keluar rumah dengan tenang. Pagi ini aku sengaja datang lebih awal, karena tak bisa tidur dengan nyenyak semalaman. Jadi, aku berniat untuk istirahat di Butik saja. Jam 7 kurang aku sudah membuka Butik. Aku mengangsur membersihkan toko yang awalnya kubuka hanya untuk mencari kesibukan dan meneruskan hobby. Tidak kusangka, kini hari-hariku aku habiskan di Butik yang sederhana ini. Sementara perusahaan ayahku, aku alihkan pada Direktur yang sudah bekerja selama belasan tahun dengan ayahku. Sebenarnya, Om Burhan sudah sering memperingatiku tentang Mas Heru. Mata nurani orang tua tentu tak bisa didustai, karena ia sudah banyak makan asam garam kehidupan. Sudah bertemu dan melihat beratus-ratus sifat dan tabiat manusia. Akan tetapi, selama itu pula aku tak pernah mau mempercayainya. Aku meno
Jam 9 malam, semua karyawanku sudah pulang. Aku pun sudah bersiap untuk pulang, saat tiba-tiba ponselku berdering. Panggilan dari Mami masuk ke ponselku. Tumben sekali Mami menelponku. Setelah beberapa bulan pergi tanpa kabar, sekarang baru ingat lagi punya anak? "Hallo.." sapaku ketus saat panggilan itu terhubung. "Hai, Sayang. Apa kabarmu?" suara Mami terdengar sangat serak dari ujung telepon. "Baik, bagaimana dengan Mami? Apakah Mami sedang sakit?" tanyaku lagi. Meski bagaimana pun Mami telah menyakiti hatiku dan meninggalkanku, dia tetaplah ibuku. Di dalam rahimnya aku berada selama 9 bulan 10 hari. Atas perjuangannya pula lah aku bisa lahir ke dunia ini. Tentu saja ikatan batim itu akan tetap ada meski tidak terlalu erat. "Mami baru datang dari Swiss kemarin sore. Tapi, pagi ini tiba-tiba Mami merasa tidak enak badan. Apa kamu bisa mengantarkan Mami ke Rumah Sakit?" "Tentu. Aku akan menjemput Mami sebentar lagi. Bersia
Hari ini setelah aku membuka butik dan menitipkan segalanya pada Putri, aku kembali ke rumah. Aku ingin merawat Mami yang sedang tidak sehat hari ini. Bagaimana pun, ini hari pertama Mami tinggal kembali di rumah ini. Sedikit banyak nya tentu Mami akan merasa canggung dan tak terbiasa. Sebelum kembali ke rumah, aku menyempatkan mampir ke toko Sahabat Buah. Aku membeli beberapa macam buah-buahan yang sekiranya Mami sukai. Karena jujur, aku sama sekali tidak tau apa pun tentang kesukaan atau pun yang tidak Mami sukai. Setelah aku rasa cukup, aku kembali ke mobil. Saat tiba di dalam mobil, aku ingin memesan bubur yang kemarin pagi aku pesan. Aku segera membuka aplikasi Lezat Foods dan memesan menu yang sama dengan yang kemarin aku beli. Bedanya, kali ini aku meminta kurir nya langsung mengantar ke alamat rumahku. Bergegas aku pulang menuju rumah. Akan tetapi, alangkah terkejutnya aku saat memasuki pekarangan rumahku. Ada mobil Mas Heru di sana. Kenapa? Ada apa d
"Kami sudah bercerai!" ucapku yakin dan tegas. Terlihat wajah Mami sangat kaget dan begitu pula dengan Mas Heru. Aku tak peduli lagi. Aku tak akan menyembunyikan kebenaran ini lebih lama. Beberapa saat setelah kata-kata itu lolos dari tenggorokanku, semua masih tetap diam di posisinya masing-masing. Mami yang tadinya ingin kembali beristirahat, kini terlihat kembali mengatur duduk dan menyandar pada kepala kasur yang empuk. Mami masih terlihat pucat dan terlebih lagi dengan yang baru saja ia dengar. Wajah syoknya terlihat jelas bagiku. Aku mendekati Mami dan memegang tangan Mami dengan lembut. Aku sungguh tak ingin membuat Mami salah paham dan kecewa. Apalagi, hubungan kami baru saja membaik setelah belasan tahun berlalu. Meski aku tau, Mami selalu menyayangi dan sangat peduli padaku. "Mi, semua tidak semudah dan seindah yang aku bayangkan. Semua tak sebaik yang Mami lihat dan pikirkan. Pria itu, dia telah mengkhianatiku!" lirihku tak be
Sekali lagi, Mami memelukku setelah Mas Heru benar-benar telah pergi dari rumah kami. Mami meneteskan air mata kesedihannya. Aku tak kuasa pula menahan tangis setelah apa yang baru saja terjadi di kamar ini. Mas Heru akhirnya benar-benar pergi setelah aku mengancam akan memanggil pihak keamanan untuk menyeretnya keluar dari rumah ini. "Maafkan kecerobohan Mami, Sayang. Mami buta karena keramahan dan kelembutannya. Mami tertipu oleh sikap baiknya yang ternyata adalah kepalsuan," lirih Mami dengan sisa-sisa tenaga yang ia punya. "Nggak masalah, Mi. Mami nggak usah mikirin hal itu lagi. Sekarang Mami istirahat aja, ya. Nanti saat Mami benar-benar pulih, kita bicara lagi." titahku sambil membaringkan tubuh Mami di ranjang. Menyelimutinya dengan lembut. Kemudian aku mencium kening Mami lembut, meski sempat ragu sebelumnya. Mami melanjutkan tidurnya yang tertunda karena pertengkaran dengan Mas Heru tadi. Aku pun segera keluar dari kamar Mami dengan la
Pov Heru Aku mendengar bahwa Mami Merry, yang tak lain adalah ibu kandung Winda sudah kembali ke negara ini. Aku harus merahasiakan perceraianku dengan Winda darinya. Jika tidak, Mami dan Mr Jason akan sangat marah besar. Belum lagi Mr Jason yang terkenal sangat kejam di balik sikap dingin dan lembutnya itu. Aku tak mau mencari masalah dengan pria bule kekasih Mami mertuaku itu. Mungkin sekarang lebih tepatnya mantan mertuaku. Pagi ini aku mendatangi apartemen Mami, tapi tidak ada jawaban setelah berkali-kali aku memencet bel nya. Kemudian aku putuskan untuk menghubungi Mami saja. Mungkin, dia sedang keluar atau sedang di hotel bersama Mr Jason. Setelah menunggu beberapa saat, panggilan telepon dariku diangkat oleh Mami. "Morrning, Mom. Apa kabarmu pagi ini? Apa benar Mami sudah pulang ke Indonesia?" tanyaku seramah dan sewajar mungkin seperti sikapku biasanya. "Mami sedang tidak enak badan, Her. Tapi Winda sudah membawa M
Pov Heru Setelah Mami membukakan pagar otomatis yang dulu tak pernah ada itu, aku melesat masuk dan memarkirkan mobil di pekarangan depan rumah. Sengaja tak kuparkirkan di dalam garasi. Biar saat Winda pulang nanti, ia bisa langsung melihat dan tau bahwa aku ada di rumahnya saat ini. Aku turun dari mobil dan segera membuka pintu utama. Tapi sayangnya pintu itu tidak bisa aku buka. Aku yakin, Winda sudah mengganti semua kunci pintun di rumah ini agar aku tak bisa menyelinap masuk seperti dulu lagi. Cerdas juga wanita itu. Kembali ku telepon Mami sambil terus mengawasi sekeliling rumah. Terlihat banyak sekali kamera pengintai atau CCTV yang terpasang di setiap sudut rumah ini. "Winda...Winda...segitu takutnya kah kamu jika aku kembali ke sini?" ucapku dengan tawa yang miris. Tak berselang lama, pintu kembali terbuka. Aku masuk dengan langkah santai. Nampak Mami sedang berdiri di sudut kursi sambil meletakkan kembali remot ya
Pov Heru "Ini pesanannya, Pak." ucap seorang pelayan wanita yang baru saja mengantarkan seporsi makan siang padaku. "Baik, terima kasih," jawabku seraya mengambil sepiring nasi berisi lauk pauk itu dengan cepat. Perutku sudah sangat lapar. Saat keluar dari rumah Winda tadi, jam sudah menunjukkan pukul 1 siang. Tentu saja perutku keroncongan karena lapar. Terlebih lagi karena pagi tadi aku tidak sempat sarapan di rumah, karena bergegas ingin bertemu Mami. Namun, siapa sangka semua malah menjadi petaka yang tak bisa kuhindari. Aku keluar dari rumah itu dengan penghinaan yang bertubi-tubi. Aku di usir dan dicaci maki oleh Mami dan Winda. Harga diriku serasa dipijak-pijak oleh kedua wanita itu. Telepon yang terus berdering tak lagi ku hiraukan. Aku tau, Ranisa menelpon hanya untuk menanyakan masalah di rumah Winda tadi. Aku sudah muak mendengar ocehannya yang tak pernah habis. Aku melajukan mobil dan berakhir di Rumah Makan