“Aku pulang duluan,” pamit Nita sedangkan Khayra baru saja menyelesaikan pekerjaannya. “Belum selesai, Khay?” tanya Cecep. “Baru saja selesai,” jawab Khayra. “Baiklah, kalau begitu aku keluar lebih dulu,” ucap Cecep. Rizal pun berpamitan hingga hanya tersisa Khayra sendiri yang sedang membereskan barang-barangnya. “Sudah selesai?” tanya seseorang saat Khayra sudah akan keluar dari ruangan divisi. Adit baru saja keluar dari ruangannya. “Ya, sudah, Pak,” jawab Khayra. “Saya pulang dulu, Pak.” “Tunggu Khayra!” Adit berjalan mendekati wanita itu. “Kita keluar bersama,” ucap Adit mempersilahkan Khayra dengan tangannya. Tanpa kata, Khayra pun berjalan lebih dulu dan mereka sama-sama berjalan menuju lift. Adit melihat cincin yang melingkar di jari manis Khayra saat menekan tombol lift. “Maaf kamu sudah bertunangan?” tanya Adit melihat cincin di jari manis Khayra membuat gadis itu melihat ke tempat yang sama.
“Kamu ke mana kemarin, Kak? Kenapa tidak pulang?” tanya Ziya yang langsung mengajukan rentetan pertanyaan pada Yuda yang baru saja sampai. “Aku lelah. Apa tidak ada pertanyaan lain? Bukannya membuatkanku minum, malah mengajukan pertanyaan yang tidak penting,” jawab Yuda terlihat kesal dan melepaskan satu per satu kancing kemejanya. “Aku ini istri kamu, Kak. Kenapa aku tidak boleh menanyakan hal itu? kamu bahkan tidak mengabariku?” tanya Ziya. Yuda mengabaikannya dan berjalan masuk ke dalam kamar mandi dengan melepaskan kemejanya dan melemparkannya asal, dia masuk ke kamar mandi. Ziya hanya bisa menghela napas dengan tatapan nanar menatap punggung lebar Yuda yang menghilang dibalik pintu. ‘Kenapa kamu terus mengabaikanku? Kenapa kamu perlakukan aku seperti ini? bukan aku yang ingin hamil anakmu,’ batin Ziya benar-benar merasa sangat terluka karena sikap Yuda. Ziya memunguti setiap helai pakaian yang dilemparkan Yuda di lantai dan me
“Apa kamu sangat ingin menolongnya?” tanya Kaivan. “Ya, kalau ada cara untuk membantunya. Jujur saja, saat melihatnya di rumah sakit, dia seakan kehilangan semangat hidupnya. Menurut Sunny, dia tidak mau makan, minum dan bicara. Dia terus diam dan selalu gelisah setiap ada orang yang datang,” ucap Khayra. “Mereka para orang kaya, tidak memikirkan dampak yang mereka perbuat dan bisa membunuh manusia. Apa karena mereka orang berada dan memiliki segalanya, bisa menindas orang-orang di kalangan bawah?” tanya Khayra dengan tatapan berkaca-kaca. “Aku tidak habis pikir dengan mereka yang tutup mata akan nasib orang di bawah,” keluh Khayra. “Jalur hukum sudah pasti tidak akan membantu. Mungkin baru memasukkan laporannya saja, pihak kepolisian akan langsung menolaknya. Bagaimana pun zaman sekarang, hukum berlaku bagaimana uang,” ucap Kaivan membuat Khayra menghela napasnya. “Setidak adil itukah dunia ini?” gumam Khayra. “Tap
“Selamat pagi,” sapa Kaivan saat Khayra keluar dari kamarnya. “Pagi,” jawab Khayra mendekati Kaivan dengan mengenakan setelan rapi. “Sarapan dulu,” ucapnya. “Aku tidak sempat memasak, ini aku membeli nasi kuning di depan apartemen. Rasanya enak,” ucap Kaivan meletakkan dua piring berisi nasi kuning dan dua gelas air minum yang sudah lebih dulu di sajikan di minibar. “Lain kali, biar aku yang siapkan. Aku memang tidak bisa memasak, tetapi zaman sudah canggih, semua resep masakan ada di ponsel, bukan.” Khayra menjawab dengan senyuman kecilnya. “Bukan aku tidak percaya dengan masakanmu. Tapi aku tidak mau kamu kelelahan, aku tahu pekerjaanmu di kantor cukup berat dan rumit. Aku tidak mau membuatmu kesulitan juga di rumah,” ucap Kaivan. “Memangnya kamu tidak lelah? Aku tahu, pekerjaanmu juga tidak mudah. Um, begini saja. Bagaimana kalau kita berbagi tugas karena yang tinggal di rumah ini juga kita berdua,” usul Khayra.
“Apalagi yang kamu mau?” tanya Khayra menepis tangan Yuda. “Masuk ke dalam mobil!” ajak Yuda memaksa Khayra untuk masuk ke dalam mobil hingga dia meringis karena lengannya dicengkeram kuat oleh Yuda. Khayra ingin kembali keluar tetapi pintu dikunci. Dan Yuda naik ke dalam mobil di bagian kemudi. “Apa mau kamu, Yuda? Aku mau dibawa ke mana?” tanya Khayra sangat kesal. “Kamu meninggalkanku karena aku tidur dengan Ziya. Sekarang akan aku tunjukkan bagaimana busuknya suamimu!” ucap Yuda menyetir mobil. “Apa kamu sudah gila! Aku tidak mau tahu dan peduli dengan masa lalu Kaivan,” ucap Khayra. “Tapi aku peduli! Kamu terus mengolok-ngolok dan menolakku. Aku hampir gila karena kamu, Khayra!” umpat Yuda menyetir mobil dengan kecepatan tinggi. Khayra merogoh tasnya dan mengeluarkan ponselnya. Dia hendak menghubungi Kaivan tetapi Yuda merebut ponselnya dan dengan seenaknya melemparkan ponsel keluar jendela mobil memb
“Kamu tidak apa-apa, kan?” tanya Kaivan menatap Khayra dengan seksama, dan saat melihat luka lebam dan sudut bibirnya yang sobek, darah Kaivan mendidih. “Aku baik-baik saja. Aku senang melihatmu di sini,” ucap Khayra benar-benar bahagia melihat kehadiran Kaivan di sana. Di saat bersamaan, sebuah mobil berhenti di hadapan mereka dan sang empu menuruni mobil. Menyadari Yuda yang datang, Khayra langsung bersembunyi di belakang tubuh Kaivan. “Masuk ke mobil,” perintah Kaivan. Khayra pun langsung naik ke dalam mobil. Sedangkan Kaivan berjalan mendekati Yuda yang juga berjalan mendekatinya. “Gue gak nyangka lu akan selancang ini, Yuda. Ternyata gue terlalu murah hati selama ini sama lu,” ucap Kaivan menatap Yuda dengan sangat tajam. “Sejak awal Khayra milik gue. Lu yang sudah rebut dia dari gue, Bang!” ucap Yuda dengan penuh penekanan. “Lu pikir gue bodoh, gue tahu sejak lama lu naruh hati sama Khayra!” “Kalau m
Khayra terbangun dari tidurnya. Dia berada di pelukan hangat pria yang selalu melindunginya. Terasa begitu nyaman dan hangat, tidak bisa dipungkiri kalau keadaan ini benar-benar membuat hatinya menghangat. “Jangan bergerak, atau kamu akan menyesal,” bisikan itu membuat Khayra mengernyitkan dahinya bingung. “A-aku harus kerja,” jawab Khayra. Kaivan bergerak mengubah posisinya dan kini dia berada di atas tubuh Khayra tanpa menindihnya. Tetapi Kharya dapat merasakan sesuatu di bawah sana yang menusuk area perut bawahnya. “Kamu tahu alasannya kenapa aku melarangmu bergerak,” bisik Kaivan. Khayra tidak bisa berkata apa-apa selain tatapan mereka terpaut satu sama lain. “Dan aku tidak akan melepaskanmu,” bisik Kaivan menenggelamkan wajahnya di lekukan leher Khayra. Kegiatan pagi yang panas, menggairahkan dan membakar hasrat di antara kedua terjadi lagi. Kali ini Kaivan seakan tidak sungkan melakukan apa yang dia suka, dan Khayra sen
“Kaivan?” panggil seseorang membuat mereka berdua menoleh ke sumber suara. Khayra mengenal sosok wanita ini, dia adalah wanita yang berbincang dengan Kaivan saat fitting baju pengantin. “Medina?” seru Kaivan. “Ternyata kalian sedang di sini. Ini istri kamu?” tanya wanita itu tersenyum. “Iya, dia istriku, Khayra.” “Halo, Khayra. Aku Medina,” sapa wanita itu. “Halo,” sapa Khayra di mana saat ini dia dan Kaivan sedang menikmati makan malam di sebuah restoran. “Kamu datang dengan siapa, Medin?” tanya Kaivan. “Oh, aku datang dengan suamiku. Dia sedang ke kamar mandi. Baiklah, aku tidak akan mengganggu waktu kalian. Aku pergi dulu, bye.” Medina berlalu pergi meninggalkan meja Khayra dan Kaivan. “Dia teman sekolahku,” ucap Kaivan tanpa di tanya. “Aldric, Joel, Lyman dan Medina teman SMA ku, kami berpisah karena study kami, walau komunikasi masih tetap berjalan,” jelas Kaivan. “Lyman
Lima Tahun Kemudian ... “Wah, kita naik pesawat!” seru Sasa heboh saat mereka berada di pesawat pribadi milik keluarga Dirgantara. Saat ini Kaivan, Khayra dan kedua anak-anak mereka Saga dan Sasa akan pergi liburan ke Maldives sesuai keinginan Khayra. “Kalian senang?” tanya Khayra. “Tentu saja. Kita gak pernah naik pesawat,” seru Sasa. “Kita pernah naik pesawat. Hanya saja saat itu kalian masih bayi,” kekeh Khayra. “Saga, kenapa diam saja?” tanya Kaivan. “Nggak apa-apa. Sasa berisik,” keluh Saga yang terkenal pendiam. “Ih, dasar gak seru,” keluh Sasa. Kalian dan Khayra bersama anak-anak mereka, Saga dan Sasa, tiba di Maldives untuk menghabiskan waktu bersama keluarga. Mereka menginjakkan kaki di pantai berpasir putih yang lembut, dengan air laut yang jernih dan pemandangan yang sangat indah. "Wow, ini sungguh indah!" seru Khayra sambil memandangi keindahan pantai. “Y
“Hati-hati,” ucap Kaivan saat membantu Khayra menuruni brankar. Hari ini Khayra dan kedua bayi kembarnya sudah diperbolehkan untuk pulang. “Di sana Genny dan Rossa sudah menggendong bayi, masing-masing satu. “Kamu duduk di kursi roda,” ucap Kaivan menggendong Khayra dan mendudukkannya di atas kursi roda. “Semuanya sudah siap? Tidak ada yang ketinggalan lagi?” tanya Genny. “Sudah, koper sama tas bayi, aku yang bawa,” ucap Aerline. “Sebagian sama Papa.” “Ya sudah kalau begitu, mobil sudah siap di bawah,” ucap Tommy. Mereka pun berjalan beriringan meninggalkan rumah sakit, setelah berada di rumah sakit selama satu minggu. Saat sampai di lobi rumah sakit, terlihat dua buah mobil suv berwarna putih dan hitam sudah terparkir di sana dengan seorang sopir yang berdiri di dekat mobil, membukakan pintu penumpang. Kaivan membawa Khayra dan Rossa masuk ke dalam mobil putih, sedangkan Tommy, Genny dan Aerlin
“Kamu masih bisa bertahan, kan?” tanya Kaivan. “Ya, Mas.” Khayra menjawab dengan napas tersenggal. Kaivan pun tidak peduli betapa sakitnya kedua lutut dan kedua tangannya. Menggendong Khayra yang sedang mengandung bayi kembar, dia tetap akan berjuang demi keselamatan istri dan kedua anaknya. “Bertahanlah, aku akan memastikan kalian selamat,” bisik Kaivan. Begitu sampai di rumah sakit, Khayra segera ditangani oleh para perawat dan dibawa ke ruangan khusus. Beruntung dokter yang biasa merawat Khayra, Dr. Windi, juga sedang praktek di rumah sakit itu. Khayra merasa lega, karena ia tidak mau ditangani oleh dokter lain selain Dr. Windi. “Sus, kalau saya ingin istri saya kembali ditangani dokter Windi, bisa?” tanya Kaivan. “Bisa, Pak. Kebetulan Dokter Windi ada jadwal hari ini. Tetapi untuk tindakan operasi caesar, akan ada biaya penambahan penanganan dokter,” jelas suster tersebut. “Tidak masalah, Sus. Istri saya terbiasa dir
“Mas, nanti siang aku bawakan makan siang untuk Mas, ya,” ucap Khayra yang sedang membantu memasang dasi di kerah kemeja Kaivan. “Tidak usah, Sayang. Kamu kan sedang hamil besar, istirahat saja, ya. Aku khawatir kamu kelelahan,” tolak Kaivan. “Biasanya juga kamu mau diantarkan makan siang sama aku. Kenapa sekarang gak mau? Ada apa? kamu ada rencana makan siang dengan orang lain, atau seorang wanita? Siapa itu, sampai menolak niat baik istri sendiri?” tanya Khayra memborong penuh kecurigaan dan rasa cemburu. Ya, sejak hamil, Khayra memang semakin lengket dengan Kaivan, dia seakan tidak mau berjauhan dengan suaminya. Ditambah dia juga sangat cemburuan, dan selalu salah paham dan overthinking. “Bukan begitu, Sayang. Aku mengkhawatirkan kamu, kamu sedang hamil besar dan waktu HPL kamu sebentar lagi. Aku sama sekali tidak ada janji makan siang dengan siapa pun, apalagi perempuan,” jelas Kaivan. “Tetap saja, mencurigakan! Kamu meno
“Kamu sudah datang, Mas,” ucap Khayra tersenyum manis ke arah Kaivan yang masih membeku di tempatnya. Kaivan terpana saat melihat Khayra yang tampil anggun dalam gaun indah yang membalut lekuk tubuhnya yang sedang hamil. Rambut Khayra ditata apik dan jatuh membingkai wajahnya yang berseri-seri. Sorot mata Kaivan tak mampu terlepas dari istrinya itu. Tak ada kata yang mampu terucap dari bibir Kaivan saat ia menyaksikan Khayra berjalan perlahan mendekatinya. Wajah Kaivan terlihat terpesona, seolah tak percaya dengan kecantikan istrinya yang sedang mengandung buah hati mereka. “Umm ... Mas Kaivan,” tegur Khayra sekali lagi membuat Kaivan tersadar dari lamunannya. "Khayr, kamu sangat cantik," ucap Kaivan akhirnya, dengan suara gemetar dan mata yang tak bisa berhenti menatap Khayra. Khayra tersenyum malu di depan Kaivan, hingga terlihat roda merah di kedua pipinya. Dia menjawab, "Terima kasih, Mas. Aku juga senang melihatmu begitu terpu
“Bagaimana pekerjaanmu hari ini? bagaimana respon para pemegang saham? Mereka menyambutmu dengan baik, kan?” tanya Khayra saat membuka pintu rumahnya. Kaivan yang melihat Khayra menyambutnya dengan ceria, membuat rasa lelahnya hilang seketika. Tanpa kata, Kaivan langsung memeluk Khayra. “Nyaman sekali,” ucap Kaivan. “Apa terjadi sesuatu? Apa ada hal yang tidak berjalan dengan baik?” tanya Khayra semakin khawatir di sana. Kaivan melepaskan pelukannya dan tersenyum manis pada Khayra. “Semuanya berjalan dengan lancar,” ucapnya tersenyum merekah, membuat Khayra tidak bisa menyembunyikan senyumannya. “Lalu kenapa kamu malah membuatku khawatir tadi,” keluh Khayra. “Maaf. Aku tadi hanya merasa gemas dengan sikapmu. Selain itu aku juga sangat merindukanmu,” ucap Kaivan tersenyum merekah membuat Khayra membalas senyuman suaminya. “Kalau begitu kita masuk,” ajak Khayra dan mereka berjalan bersama dengan Ka
“Kamu gugup, tidak?” tanya Khayra. “Sedikit,” jawab Kaivan tersenyum. “Tapi aku yakin, bisa menghadapi mereka semua.” Khayra tersenyum melihat kepercayaan penuh dari suaminya. “Mama Rossa kembali ke Tangerang?” tanya Kaivan. “Iya, aku meminta sopir untuk mengantarnya. Katanya ada yang mau melihat-lihat rumah,” jawab Khayra. Kaivan berdiri tegak di depan Khayra yang sedang memasangkan dasi suaminya. Kemudian, Khayra mengambilkan jas hitam dan membantu memasangkan jas di tubuh Kaivan. Dia mengusap kedua pundak lebar Kaivan dengan senyuman manisnya. Kaivan mengernyitkan dahinya melihat Khayra. “Kenapa?” tanya Kaivan. Khayra tersenyum dengan rona merah di pipinya. Matanya tak henti-hentinya memandang sosok yang terlihat begitu elegan dan tampan di hadapannya. Dalam balutan setelan kerja lengkap dengan jas hitam yang terpasang rapi, Khayra tak bisa menyangkal bahwa hari ini suaminya tampak lebih mempesona dari biasanya.
“Menjauh kalian!” teriak Danang masih menempelkan ujung pisau di leher Khayra. Kaivan khawatir, tetapi berusaha tenang. Tatapannya terpaut dengan Khayra seakan mereka berdiskusi melalui tatapan. Kaivan bergerak mendekat. “Paman sangat membenciku, bukan?” tanya Kaivan. “Jangan mendekat!” “Bagaimana kalau aku saja yang Paman tawan, lepaskan Khayra,” ucap Kaivan membuat Khayra mengernyitkan dahinya. “Kamu pikir, Paman bodoh! kamu bisa berkelahi, jangan berusaha menipu Paman!” amuk Danang. “Baiklah begini saja, aku akan ikat kedua tanganku di belakang. Paman tawan aku saja dan lepaskan Khayra,” ucap Kaivan. “Mas,” seru Khayra tidak rela bertukar posisi. “Kalau begitu ikat kedua tanganmu!” perintah Danang. Khayra meminta bantuan polisi untuk meminjamkan borgolnya dan memborgol kedua tangan Kaivan di punggung. “Sekarang lepaskan Khayra,” ucap Kaivan berjalan mendekati Danang yang sed
Puput menatap Danang yang berjalan mondar-mandir di depannya. Pria itu terlihat sangat gelisah, dan berkali-kali mengusap kedua tangannya. “Bisakah kau berhenti mondar-mandir? Membuatku pusing,” keluh Puput. “Diam!” bentak Danang membuat Puput terpekik kaget. Tidak biasanya Danang berkata kasar begitu. “Ada apa denganmu, Pa? Biarkan saja kalau mereka mau melakukan autopsi pada tubuh Ayah,” ucap Puput. “Yang harus kita pikirkan adalah Yuda, bagaimana caranya kita menolong Yuda untuk segera keluar dari sana.” “Diam! Aku bilang diam!” amuk Danang di sana membuat Puput kaget sekaligus kebingungan. “Apa yang terjadi denganmu? Kamu seperti ketakutan. Sebenarnya apa yang sedang kamu sembunyikan dariku, Pa?” tanya Puput bangkit dari duduknya dengan kesal. “Apa kamu tidak bisa tutup mulut?” tanya Danang terlihat sangat frustrasi. “Sebenarnya apa yang sedang kamu sembunyikan? A-apa ini ada hubungannya dengan kematia