“Kamu pergi kemana seharian kemarin?” tanya Kaivan yang begitu saja membuka pintu kamar. Khayra menoleh ke arahnya. Dia baru saja bangun dari tidurnya. “Aku pergi ke pemakaman orang tuaku,” jawab Khayra. “Sampai larut malam?” tanya Kaivan. “Ya, aku butuh waktu untuk menenangkan diri. Bagaimana pun, sebentar lagi kita akan menikah dan aku masih trauma dengan masalah yang sebelumnya menimpaku. Aku butuh waktu untuk menenangkan diri,” jawab Khayra. “Benarkah seperti itu?” tanya Kaivan. “Ya.” Kaivan menganggukkan kepalanya. “Bersiaplah, kita berangkat ke kantor bersama. Pulang kerja nanti, kita ada janji untuk fiting baju pengantin,” tutur Kaivan. “Baiklah,” jawab Khayra. Kaivan kembali menutup pintu kamar dan meninggalkan Khayra di dalam kamar sendiri. Wanita itu mengusap wajahnya gusar. Dia kembali mengingat kejadian kemarin. Tidak disangka, ternyata banyak sekali hal yang baru
“Bagaimana rasanya jadi kekasih dari bos galak?” tanya Nita saat Kaivan tidak ada di ruangannya karena sedang meeting. “Aku juga sangat penasaran. Apa dia suka marah-marah juga?” tanya Sunny. “Kalau pak Kaivan datang, dan melihat kalian mengepoin kehidupan pribadinya lagi, kalian akan kena tegor,” kekeh Khayra. “Pelit nih, cepat katakan bagaimana,” tanya Nita. “Kami pun sebenarnya sangat penasaran,” seru Cecep membuat ketiga wanita itu menoleh ke arah Cecep yang ternyata mengamati mereka dengan tatapan penuh rasa penasaran. “Si Cecep saja penasaran. Dia bahkan merasa tersisihkan sekarang, karena tidak bisa menemani pak Kaivan lagi pergi lapangan,” kekeh Nita. “Yang jelas, dia tidak semenyeramkan di kantor,” jawab Khayra. “Beneran? Apa dia romantis?” tanya Sunny. Khayra termenung beberapa saat. Dia jadi teringat bagaimana Kaivan mengurusnya, memasak, merawatnya saat sakit, menjadi alarm saat Khayr
“Hujan turun dengan sangat deras,” gumam Khayra melihat keluar jendela. Saat ini dia berada di rumah Kaivan, sedangkan pria itu sedang ada urusan keluar. Khayra jadi teringat obrolan mereka di kantor. Saat itu, Khayra sama sekali tidak bisa menjawab pertanyaan Kaivan mengenai apa yang dia pendam. Bukan tidak ingin berbagi cerita, hanya saja, dia tidak mau membebani Kaivan terlalu banyak. “Hujan selalu mewakilkan hatiku yang merasa kesepian dan gundah gulana,” gumamnya. Khayra memutuskan untuk bermain hujan. Karena dibawah guyuran hujan, dia bisa menangis sepuasnya dan sesak di dadanya akan sedikit berkurang. Wanita itu berjalan menembus hujan yang sangat deras. Dia berdiri di dekat kolam renang dengan merentangkan kedua tangan dan kedua matanya yang terpejam. Dia membiarkan tubuhnya terguyur hujan. ‘Dulu, aku sangat suka bermain hujan, karena terasa menyenangkan, hingga rasanya ingin menari di bawah guyuran hujan. Tetapi berb
“Nona, semuanya sudah selesai,” seru makeup artist yang membantu Khayra mengenakan gaun pernikahannya yang sangat cantik dan elegan. Malam ini akan diadakan acara resepsi pernikahannya dengan Kaivan, di mana ada 10 ribu undangan yang di sebar. Karena banyaknya kolega dari keluarga Kaivan, keluarga jauh, teman kantor dan teman-teman lainnya. Pernikahan telah selesai siang tadi dan sekarang Khayra sudah menyandang status sebagai Nyonya Kaivan Dirgantara. Keluarga pesohor di Indonesia yang kekayaannya tidak akan habis walau tujuh turunan. Awal kenyataan kalau Tuhan tidak tidur. Saat rencana pernikahannya dengan Yuda dulu, semua Khayra yang mengaturnya, keluarga Yuda ingin pernikahan sederhana yang tidak banyak diketahui banyak orang. Pernikahan sederhana yang disiapkan dari uang Khayra, karena Yuda masih diatur oleh orang tuanya. Tetapi sekarang, pernikahannya dengan Kaivan. Sangat megah, mewah dan bahkan disiarkan di saluran televisi yan
“Maaf aku mengatakan ini lewat pesan. Aku butuh waktu sendiri, jadi beri aku waktu selama dua hari saja. Aku akan segera kembali.” Itulah pesan yang dikirimkan Khayra pada Kaivan melalui pesan teks di ponsel. “Apa-apaan ini,” keluhnya Kaivan mengacak rambutnya yang sudah berantakan karena bangun tidur. Semalam, setelah kembali acara resepsi, mereka tidak berbincang lagi dan pergi ke kamar masing-masing. “Bagaimana bisa dia pergi honeymoon sendiri tanpa aku,” gumamnya. Kaivan mengecek gps di ponselnya dan entah itu sengaja atau tidak, Khayra mengaktifkan gpsnya membuat Kaivan mengetahui di mana wanita itu berada. “Kamu pikir bisa pergi honeymoon sendiri?” gumam Kaivan dengan seringainya. Dia beranjak menuruni ranjang dan masuk ke kamar mandi. Selang beberapa menit, pria itu menenteng tas ransel kecil berisi pakaiannya dan meletakkannya di jok belakang mobil sport miliknya. Kemudian dia masuk ke dalam mobil
“Khayr?” panggil Kaivan yang baru saja bangun dari tidurnya. Dia tidak menemukan Khayra di sampingnya. Tubuh pria itu masih di balut oleh selimut dan tidak memakai apa pun di dalamnya. Kaivan meraih pakaiannya yang berserakan di sekitarnya dan segera mengenakannya. Saat dia hendak bangkit, dia melihat bercak merah di seprai. Dan pria itu sadar kalau dialah yang pertama untuk Khayra. Ada rasa bahagia dan bangga, tetapi ada rasa bersalah juga di dalam hatinya. Setelah mengenakan pakaiannya, Kaivan berjalan keluar dari tenda di mana langit sudah cerah. Suara burung berkicauan terdengar begitu merdu. Netranya dia alihkan ke kanan dan kiri mencari sosok istrinya. Kaivan berjalan mencari Khayra, sampai dia bertemu Khayra yang baru saja keluar dari kamar mandi perempuan, wanita itu terlihat sudah segar, dengan sudah berganti pakaian, dan rambut yang dibalut dengan handuk kecil. “Kamu kenapa di sini? Apa mau ke kamar mandi juga?” tanya Khayra
“Aku tidak bisa, kamu saja kalau mau naik,” tolak Kaivan saat Khayra memaksa pria itu untuk naik permainan playing fox yang jauhnya sekitar 700 meter. “Ayolah, kamu tadi berjanji akan menemaniku menaiki wahana di sini,” bujuk Khayra. “Aku menawarkan naik bebek, bukan ini,” seru Kaivan sudah memucat melihat pemandangan playing fox dan area yang akan dilewatinya. Tepat di bawahnya ada jurang yang penuh dengan tumbuhan berwarna hijau. “Kamu saja, ya. Aku tunggu di sini saja,” tolak Kaivan. “Aku maunya kamu ikut. Aman kok, pegang tanganku dengan erat,” ucap Khayra terus membujuk Kaivan. “Kenapa kamu terus memaksaku?” tanya Kaivan. “Lihat mereka yang naik wahana itu. Mereka melawan rasa takut dan berteriak sekencangnya untuk membuat beban di dalam hati plong. Dan itu juga yang ingin aku lakukan,” seru Khayra. Kaivan melihat orang-orang yang naik wahana playing fox di sana. Memang benar, mereka seperti lepas dan
“Kamu sudah siap?” tanya Kaivan membuka pintu kamar Khayra. “Ya, aku sudah siap. Kita berangkat sekarang?” tanya Khayra. “Yuk,” ajak Kaivan. Sore itu, Kaivan dan Khayra sedang bersiap untuk makan malam di rumah kakek Kaivan. Sebelumnya, sesuai adat istiadat keluarga Dirgantara, menantu harus tinggal di rumah mertua sekurang-kurangnya tiga bulan. Tetapi Kaivan hanya akan menginap di sana setiap weekend. Kaivan mengambil keputusan itu, untuk melindungi Khayra. Saat ini, Kaivan dan Khayra sudah berada di dalam mobil, menuju ke kediaman Dirgantara. “Besok, sepulang dari kantor, kita belanja keperluan untuk ke Turki. Apa yang mungkin kamu butuhkan?” tanya Kaivan. “Um, aku tidak tau. Kurasa, tidak ada yang perlu dibeli lagi,” ucap Khayra. “Koper atau pakaian, mantel, sudah ada semua? Setauku saat ini di Turki sedang musim dingin,” ucap Kaivan. “Mungkin mantel, aku tidak punya yang tebal. Kalau pakaian, aku masih ada,” jawab Khayra. “Baiklah.”Tak terasa, mobil pun sudah memasuki ge
Lima Tahun Kemudian ... “Wah, kita naik pesawat!” seru Sasa heboh saat mereka berada di pesawat pribadi milik keluarga Dirgantara. Saat ini Kaivan, Khayra dan kedua anak-anak mereka Saga dan Sasa akan pergi liburan ke Maldives sesuai keinginan Khayra. “Kalian senang?” tanya Khayra. “Tentu saja. Kita gak pernah naik pesawat,” seru Sasa. “Kita pernah naik pesawat. Hanya saja saat itu kalian masih bayi,” kekeh Khayra. “Saga, kenapa diam saja?” tanya Kaivan. “Nggak apa-apa. Sasa berisik,” keluh Saga yang terkenal pendiam. “Ih, dasar gak seru,” keluh Sasa. Kalian dan Khayra bersama anak-anak mereka, Saga dan Sasa, tiba di Maldives untuk menghabiskan waktu bersama keluarga. Mereka menginjakkan kaki di pantai berpasir putih yang lembut, dengan air laut yang jernih dan pemandangan yang sangat indah. "Wow, ini sungguh indah!" seru Khayra sambil memandangi keindahan pantai. “Y
“Hati-hati,” ucap Kaivan saat membantu Khayra menuruni brankar. Hari ini Khayra dan kedua bayi kembarnya sudah diperbolehkan untuk pulang. “Di sana Genny dan Rossa sudah menggendong bayi, masing-masing satu. “Kamu duduk di kursi roda,” ucap Kaivan menggendong Khayra dan mendudukkannya di atas kursi roda. “Semuanya sudah siap? Tidak ada yang ketinggalan lagi?” tanya Genny. “Sudah, koper sama tas bayi, aku yang bawa,” ucap Aerline. “Sebagian sama Papa.” “Ya sudah kalau begitu, mobil sudah siap di bawah,” ucap Tommy. Mereka pun berjalan beriringan meninggalkan rumah sakit, setelah berada di rumah sakit selama satu minggu. Saat sampai di lobi rumah sakit, terlihat dua buah mobil suv berwarna putih dan hitam sudah terparkir di sana dengan seorang sopir yang berdiri di dekat mobil, membukakan pintu penumpang. Kaivan membawa Khayra dan Rossa masuk ke dalam mobil putih, sedangkan Tommy, Genny dan Aerlin
“Kamu masih bisa bertahan, kan?” tanya Kaivan. “Ya, Mas.” Khayra menjawab dengan napas tersenggal. Kaivan pun tidak peduli betapa sakitnya kedua lutut dan kedua tangannya. Menggendong Khayra yang sedang mengandung bayi kembar, dia tetap akan berjuang demi keselamatan istri dan kedua anaknya. “Bertahanlah, aku akan memastikan kalian selamat,” bisik Kaivan. Begitu sampai di rumah sakit, Khayra segera ditangani oleh para perawat dan dibawa ke ruangan khusus. Beruntung dokter yang biasa merawat Khayra, Dr. Windi, juga sedang praktek di rumah sakit itu. Khayra merasa lega, karena ia tidak mau ditangani oleh dokter lain selain Dr. Windi. “Sus, kalau saya ingin istri saya kembali ditangani dokter Windi, bisa?” tanya Kaivan. “Bisa, Pak. Kebetulan Dokter Windi ada jadwal hari ini. Tetapi untuk tindakan operasi caesar, akan ada biaya penambahan penanganan dokter,” jelas suster tersebut. “Tidak masalah, Sus. Istri saya terbiasa dir
“Mas, nanti siang aku bawakan makan siang untuk Mas, ya,” ucap Khayra yang sedang membantu memasang dasi di kerah kemeja Kaivan. “Tidak usah, Sayang. Kamu kan sedang hamil besar, istirahat saja, ya. Aku khawatir kamu kelelahan,” tolak Kaivan. “Biasanya juga kamu mau diantarkan makan siang sama aku. Kenapa sekarang gak mau? Ada apa? kamu ada rencana makan siang dengan orang lain, atau seorang wanita? Siapa itu, sampai menolak niat baik istri sendiri?” tanya Khayra memborong penuh kecurigaan dan rasa cemburu. Ya, sejak hamil, Khayra memang semakin lengket dengan Kaivan, dia seakan tidak mau berjauhan dengan suaminya. Ditambah dia juga sangat cemburuan, dan selalu salah paham dan overthinking. “Bukan begitu, Sayang. Aku mengkhawatirkan kamu, kamu sedang hamil besar dan waktu HPL kamu sebentar lagi. Aku sama sekali tidak ada janji makan siang dengan siapa pun, apalagi perempuan,” jelas Kaivan. “Tetap saja, mencurigakan! Kamu meno
“Kamu sudah datang, Mas,” ucap Khayra tersenyum manis ke arah Kaivan yang masih membeku di tempatnya. Kaivan terpana saat melihat Khayra yang tampil anggun dalam gaun indah yang membalut lekuk tubuhnya yang sedang hamil. Rambut Khayra ditata apik dan jatuh membingkai wajahnya yang berseri-seri. Sorot mata Kaivan tak mampu terlepas dari istrinya itu. Tak ada kata yang mampu terucap dari bibir Kaivan saat ia menyaksikan Khayra berjalan perlahan mendekatinya. Wajah Kaivan terlihat terpesona, seolah tak percaya dengan kecantikan istrinya yang sedang mengandung buah hati mereka. “Umm ... Mas Kaivan,” tegur Khayra sekali lagi membuat Kaivan tersadar dari lamunannya. "Khayr, kamu sangat cantik," ucap Kaivan akhirnya, dengan suara gemetar dan mata yang tak bisa berhenti menatap Khayra. Khayra tersenyum malu di depan Kaivan, hingga terlihat roda merah di kedua pipinya. Dia menjawab, "Terima kasih, Mas. Aku juga senang melihatmu begitu terpu
“Bagaimana pekerjaanmu hari ini? bagaimana respon para pemegang saham? Mereka menyambutmu dengan baik, kan?” tanya Khayra saat membuka pintu rumahnya. Kaivan yang melihat Khayra menyambutnya dengan ceria, membuat rasa lelahnya hilang seketika. Tanpa kata, Kaivan langsung memeluk Khayra. “Nyaman sekali,” ucap Kaivan. “Apa terjadi sesuatu? Apa ada hal yang tidak berjalan dengan baik?” tanya Khayra semakin khawatir di sana. Kaivan melepaskan pelukannya dan tersenyum manis pada Khayra. “Semuanya berjalan dengan lancar,” ucapnya tersenyum merekah, membuat Khayra tidak bisa menyembunyikan senyumannya. “Lalu kenapa kamu malah membuatku khawatir tadi,” keluh Khayra. “Maaf. Aku tadi hanya merasa gemas dengan sikapmu. Selain itu aku juga sangat merindukanmu,” ucap Kaivan tersenyum merekah membuat Khayra membalas senyuman suaminya. “Kalau begitu kita masuk,” ajak Khayra dan mereka berjalan bersama dengan Ka
“Kamu gugup, tidak?” tanya Khayra. “Sedikit,” jawab Kaivan tersenyum. “Tapi aku yakin, bisa menghadapi mereka semua.” Khayra tersenyum melihat kepercayaan penuh dari suaminya. “Mama Rossa kembali ke Tangerang?” tanya Kaivan. “Iya, aku meminta sopir untuk mengantarnya. Katanya ada yang mau melihat-lihat rumah,” jawab Khayra. Kaivan berdiri tegak di depan Khayra yang sedang memasangkan dasi suaminya. Kemudian, Khayra mengambilkan jas hitam dan membantu memasangkan jas di tubuh Kaivan. Dia mengusap kedua pundak lebar Kaivan dengan senyuman manisnya. Kaivan mengernyitkan dahinya melihat Khayra. “Kenapa?” tanya Kaivan. Khayra tersenyum dengan rona merah di pipinya. Matanya tak henti-hentinya memandang sosok yang terlihat begitu elegan dan tampan di hadapannya. Dalam balutan setelan kerja lengkap dengan jas hitam yang terpasang rapi, Khayra tak bisa menyangkal bahwa hari ini suaminya tampak lebih mempesona dari biasanya.
“Menjauh kalian!” teriak Danang masih menempelkan ujung pisau di leher Khayra. Kaivan khawatir, tetapi berusaha tenang. Tatapannya terpaut dengan Khayra seakan mereka berdiskusi melalui tatapan. Kaivan bergerak mendekat. “Paman sangat membenciku, bukan?” tanya Kaivan. “Jangan mendekat!” “Bagaimana kalau aku saja yang Paman tawan, lepaskan Khayra,” ucap Kaivan membuat Khayra mengernyitkan dahinya. “Kamu pikir, Paman bodoh! kamu bisa berkelahi, jangan berusaha menipu Paman!” amuk Danang. “Baiklah begini saja, aku akan ikat kedua tanganku di belakang. Paman tawan aku saja dan lepaskan Khayra,” ucap Kaivan. “Mas,” seru Khayra tidak rela bertukar posisi. “Kalau begitu ikat kedua tanganmu!” perintah Danang. Khayra meminta bantuan polisi untuk meminjamkan borgolnya dan memborgol kedua tangan Kaivan di punggung. “Sekarang lepaskan Khayra,” ucap Kaivan berjalan mendekati Danang yang sed
Puput menatap Danang yang berjalan mondar-mandir di depannya. Pria itu terlihat sangat gelisah, dan berkali-kali mengusap kedua tangannya. “Bisakah kau berhenti mondar-mandir? Membuatku pusing,” keluh Puput. “Diam!” bentak Danang membuat Puput terpekik kaget. Tidak biasanya Danang berkata kasar begitu. “Ada apa denganmu, Pa? Biarkan saja kalau mereka mau melakukan autopsi pada tubuh Ayah,” ucap Puput. “Yang harus kita pikirkan adalah Yuda, bagaimana caranya kita menolong Yuda untuk segera keluar dari sana.” “Diam! Aku bilang diam!” amuk Danang di sana membuat Puput kaget sekaligus kebingungan. “Apa yang terjadi denganmu? Kamu seperti ketakutan. Sebenarnya apa yang sedang kamu sembunyikan dariku, Pa?” tanya Puput bangkit dari duduknya dengan kesal. “Apa kamu tidak bisa tutup mulut?” tanya Danang terlihat sangat frustrasi. “Sebenarnya apa yang sedang kamu sembunyikan? A-apa ini ada hubungannya dengan kematia