“Eh. Hmm, Maaf.” Cepat-cepat ia menurunkan tangannya. "Aku hanya panik saja, jadi refleks menyentuhmu.""Iya, nggak apa-apa. Kita kan saudara, aku paham kalau kamu mengkuatirkanku, makasih ya."“Kau istirahatlah, Rania biar aku yang urus,” katanya lagi seraya membawa Rania masuk ke dalam rumah. “Eh cucu oma sudah pulang sekolah.” Mama mengalihkan perhatiannya dari TV saat Arman masuk rumah sembari mengucap salam.“Kenapa?” tanya Mama melihat Rania yang lemas di gendongan Arman.“Rania demam Ma,” sahut Arman.“Walah, langsung bawa ke kamar, Man.”“Biar di kamar Arman saja Ma, Nadia juga agak demam, biar dia istirahat.”“Lho Nadia sakit juga, to!” Mama menempelkan tangannya di keningku. “Ya sudah istirahat sana, Mama carikan obat turun panas ya.”Tak lama setelah aku berbaring di kamar, Mama datang membawa obat dan segelas air putih ke kamarku. “Minum obat dulu Nad.”“Makasih, Ma.” Segera aku minum obat yang diberikan Mama. Sungguh aku merasa bersyukur punya Mama. Meski Mas Arya telah
“Kenapa tak boleh? Saya ingin memberikan sesuatu untuk anak kamu,” ujarnya memaksa.“Besok saja Pak, di kantor.” Aku menjawab.“Sakitnya sekarang kok ngasihnya besok!” gerutunya.“Ya sudah kalau gitu bapak titipin kurir aja ya. Pokoknya jangan ke sini.” Aku bersikeras menolak dikunjungi, tak enak sama Mama dan Arman.“Jadi kamu lebih suka bertemu kurir daripada bertemu saya? Memang kalau ke sana kenapa sih?”“Aduuh, Pak!” Aku bingung mencari alasan.“Gini, Bapak kan artis terkenal.” Ketika mengatakan ini rasanya aku mual-mual.“Nanti kalau ada tetangga lihat bakalan heboh, hidup bapak bakal nggak tenang dikejar pengemar.”“Ah, udah biasa!”“Dih sombong! Udah deh Pak pokoknya gitu, demi keamanan Bapak, JANGAN KE SINI!” tegasku.“Ya sudah biar kurir yang ke sana.” Galang mengalah. Aku bernapas lega. Akhirnya dia nurut juga.“Kirim alamat ya. Saya panggil kurir sekarang.”“Oke, Pak.”Setelah mengirimkan alamat rumah pada Galang, cepat-cepat aku menyambar jilbab yang tergantung di belaka
POV Arman Akhirnya Nadia menurut, mengikutiku ke dapur. “Siapa yang masak?” tanyanya ketika melihat sepanci sayur sop di atas kompor. Seperti tak yakin dengan ucapanku barusan bahwa aku yang memasak untuknya. “Aku yang masak. Tidak percaya?" “Kamu bisa masak? Baru tahu aku!” serunya. “Cuma sop aja, semua kalo diajarin juga pasti bisa.” Aku mengambil semangkuk lalu kuletakkan di atas meja makan, yang terletak bersebrangan dengan meja dapur. “Makanlah,” kataku. Nadia menyendok sayur sopnya, “Ugh panas," ditiup-tiupnya makanan yang ada di sendok. “Tidak boleh ditiup, tunggulah sebentar sampai dingin,” kataku sambil mengipasi sup Nadia dengan piring plastik yang ada di atas meja. “Eh kalian berdua di sini.” Tiba-tiba Mama datang. “Mama juga mau dong nyobain masakan Arman, kaya apa sih rasanya.” "Oh, boleh, Ma. Ayo kita makan sama-sama." Nadia sigap mengambilkan semangkuk sup untuk Mama. “Hmmm enak…” kata Mama setelah mencicipi satu sendok. Nadia ikut menyendokkan sop buatanku l
Sepanjang perjalanan di taksi aku merenung, salahkah ia menyukaiku?Jelas salah! Aku menjawab sendiri pertanyaanku dalam hati. Aku istri kakaknya, kenapa dia tega diam-diam menyukaiku. Jadi, selama ini ia memandangku sebagai perempuan yang Disukai nya bukan kakak iparnya. Lalu saat Mas Arya tiada, sedihkah ia? Atau malah gembira karena itu artinya bisa memperjuangkan lagi cintanya? Tapi, bukankah perasaan itu datang dengan sendirinya? Sisi hatiku yang lain membelanya. Toh selama ini dia tidak pernah macam-macam denganku malah cenderung menjaga jarak saat mas Arya masih ada. Itu artinya ia menghargai aku sebagai istri kakaknya.Argh, jadi pusing sendiri aku memikirkannya.“Mama kok kita ngga bareng sama Paman, sih?” Pertanyaan Rania membuyarkan lamunanku.“Paman lagi buru-buru mau langsung ke kantor,” jawabku asal.“Tadi Paman bilang, sebental mau cuci tangan dulu, tlus antel Lan ke cekoyah.”Aku tersernyum, memeluk dan mengusap kepala Rania. “Iya kapan-kapan kita bareng Paman lagi,
“Rania, mau makan apa?” tanya Galang pada Rania saat kami berjalan keluar dari arena bermain.“Nggak usah aneh-aneh deh Pak, nanti kalau ada yang kenal Bapak gimana?” sahutku.“Cari tempat yang sepi, dong!”“Yang sepi biasanya makanannya nggak enak!”“Asal makannya sama kamu kan jadi enak!”“Aduh!” Dia mengaduh karena aku menginjak sepatunya dengan keras.“Makanya jangan ngomong yang aneh-aneh!” kataku ketus.Akhirnya kami meluncur ke sebuah kafé yang menurut pengamatanku setelah beberapa kali datang ke sana, suasananya tenang, tidak terlalu ramai.Saat kami tengah menunggu pesanan, seorang lelaki datang mendekati meja kami. “Nadia kan!” Ia menunjukku sambil tersenyum. “Kak Dito?” Ternyata ia Kak Dito, kakak kelas satu tingkat di atasku saat SMA, ketua ekskul jurnalistik sebelum aku. “Apa kabar Kak, sama siapa ke sini?”“Sama temen, lagi ada kerjaan motret,” jawabnya.“Eh duduk kak, duduk,” kataku mempersilakan. Ia lalu menarik kursi duduk di samping Galang.“Halo.” Ia menyapa Galang
Mbak, ada yang mau bertemu pimpinan kafé, katanya mau mengajukan proposal kerjasama,” ujar Andri seorang waiter yang mendapat shift pagi hari ini. “Pak Wira belum datang, Mas Galang juga.” katanya lagi. “Biar aku yang temui Ndri, minta dia menungguku sebentar ya,” jawabku. “Siap mbak,” jawabnya, lalu meninggalkan ruangan karyawan tempatku bekerja. Sebelum keluar menemui tamu, aku menyimpan dokumen yang sedang kukerjakan di laptop dan membereskan berkas referensi yang berserakan di meja. “Selamat pagi,” sapaku ramah pada pemuda yang menungguku di salah satu meja kafé. Proposal kerjasama apa yang akan ia tawarkan? Agak aneh melihat pemuda ini berpenampilan casual serta membawa gitar. “Oh pagi Mbak.” Ia berdiri dan menganggukkan kepalanya. “Saya Fabian.” “Nadia.” Aku ikut menyebutkan nama. “Silakan.” Lalu mempersilakannya duduk kembali. “Begini Mbak Nadia, saya seorang pemusik, mau mengajukan kerjasama dengan kafé ini. Mbak bisa baca dulu CV saya.” Ia menyerahkan sebundel kertas be
“Mama ....”Pukul tiga sore lebih sedikit, tiba-tiba Rania muncul di depan kafe.“Lho, Rania?” Aku memeluknya. Kupikir Arman akan menjemputku dulu baru menjemput Rania.“Kok jemput Rania dulu? Bolak-balik dong,” kataku pada Arman. Jarak sekolah Rania ke rumah, kan lebih dekat daripada ke kafé.“Biar kita nggak cuma berdua aja,” jawabnya sambil berjalan ke arah mobil. Menggandeng Rania, aku mengekorinya. “Biasanya juga berdua, kan?” tanyaku heran. Sampai di depan mobil, Arman membuka pintu untukku. “Kalau cuma berdua, yang ketiga setan, ya kecuali ...” Kalimatnya terhenti.“Kecuali apa?” tanyaku penasaran.“Nggak ah, nanti kamu marah lagi.” Ia menutup pintu.“Kecuali apa sih? Aku malah marah kalau kamu nggak jawab!” cecarku saat ia sudah memasuki mobil lalu mengenakan seat belt.“Nggak apa-apa kalau kamu marahnya ngomel gini, aku tenang. Tapi kalau diem seperti kemarin, aku takut.”“Takut kenapa?”“Hmm, kenapanya pikir sendiri, ya!” Ia lantas melajukan mobil tanpa peduli rasa penasar
“Erna memberitahuku tentang kegiatan di hari Ayah, makanya aku datang.” Arman menjelaskan tanpa kuminta. Ya, saat menerima informasi kegiatan hari ini, aku sedang marahan sama Arman, jadi gengsi mau minta tolong dia untuk datang.“Ayo, Ran!” Arman menggamit satu tangan Rania. Jadi sekarang, tangan kanan Rania digandeng Galang, sementara tangan kirinya digandeng Arman.“Pak, kita ke kantor.” Aku memberi kode pada Galang agar ia segera ke mobil. “Saya datang lebih dulu,” katanya menoleh pada Arman.“Tapi saya pamannya, saya yang harus menggantikan tugas ayahnya.”“Tanya saja pada Rania, mau ditemani siapa masuk kelas.” Galang tetap tidak mau kalah."Udah, Pak, ayo. Biar Rania dengan pamannya," bisikku pada Galang. Sementara Rania nampak bingung, ia menoleh pada Arman dan Galang bergantian."Ran, mau sama Om, kan?" Galang membungkukkan tubuhnya di samping Rania, tak peduli dengan ucapanku barusan."Ayo, Ran, ikut Paman!" Arman menarik pelan tangan Rania agar ikut bersamanya."Kita ... m
"Serius, Ra, kamu mau berhenti kuliah?" Mata Andini membulat. Apalagi setelah Kinara menjawabnya dengan sebuah anggukan. "Ra, kita baru beberapa bulan kuliah, sayang tauk uang masuknya. Galang yang suruh?" Kinara menggeleng. "Nggak, Ndin." Memang bukan karena permintaan Galang. Justru lelaki itu sama terkejutnya dengan Andini saat Kinara mengutarakan niatnya berhenti kuliah. "Kenapa, Flo?" Galang mengusap mulutnya dengan serbet, menjauhkan piring makan yang telah kosong di depannya. "Bukannya kuliah itu cita-cita kamu dari dulu?" "Hmm, bukannya kamu seneng kalau aku nggak kuliah, nggak ketemu Mas Jagad lagi di sana." "Iya, aku memang cemburu, tapi nggak usah sampai berhenti juga, Sayaang." Galang mencubit gemas pipi Kinara. Aww. "Setelah kupikir-pikir, Lang." Kinara mengusap-usap pipinya yang dicubit Galang tadi. "Aku hanya ingin fokus belajar fotografi, di kuliahan pelajarannya macam-macam." "Nah, kalau alasan ini masuk akal. Oke, aku akan carikan sekolah fotografi terbaik bua
Otak Kinara memerintahnya untuk berlari kencang namun otot kakinya menegang, sulit bergerak. Ia hanya mampu berjalan mundur, selangkah demi selangkah, lalu ... "Astaghfirullah." Tiba-tiba kakinya menginjak genangan air hingga ia jatuh terduduk. Kinara menoleh ke kanan dan ke kiri. Kenapa jalanan ini sepi sekali. Ditambah lagi hujan mulai turun rintik-rintik, membuat suasana semakin mencekam. "Oh, kamu rupanya. Sepertinya kita pernah berjumpa, ya." Hendri mengulurkan tangan, seolah mau membantu Kinara bangun dari jatuhnya. Namun Kinara menggeleng. Sedikit pun ia enggan menyentuh lelaki itu. "Mau terus-terusan di sini? Ayo ...." ujar lelaki itu, lembut tapi terdengar menyeramkan. "Kenapa, ha?" Ia mulai membentak, satu tangannya mencengkram kuat pipi Kinara. "Apa yang kau dengar?" Lagi-lagi Kinara hanya sanggup menggeleng tanpa suara. "Biarkan dia, kita bicara di tempat lain!" seru Malya yang nampak gusar. Ia tak mau berada di tempat ini berlama-lama namun merasa perlu menyelesaik
"Kamu tahu dia siapa?" bisik Arash ketika Hendri sudah jalan menjauh. "Hah, siapa, Kak?" Kinara sedikit mencondongkan badan mendekat pada Arash. "Dia produser yang disebut Marini." "Ma-maksudnya yang menghamili Marini?" Arash mengangguk. "Hem, begitu menurut pengakuannya." "Tuntutannya belum diajukan, Kak?" Kinara ingat beberapa waktu lalu saat ke rumah sakit tempat Marini dirawat, perempuan itu sempat menunjukkan surat tuntutan. "Para korban pelecehan menolak menandatangi surat tuntutan. Marini pun akhirnya berubah pikiran. Aku tidak bisa memaksa." Kinara menelan ludah. Tak semudah itu memang mengakui kasus pelecehan seksual meski kita sebagai korban. "Tapi aku masih tetap berusaha. Ada seorang korban lagi yang sedkit demi sedkit mulai menguak kebusukannya." "Siapa, Kak?" "Ada, seorang aktris pendatang baru. Maaf, aku tidak bisa sebut nama. Tapi kemungkinan kamu pun tidak tahu. Debutnya baru sebatas pemeran figuran. Ia ditawari casting untuk sebuah film dan dilecehkan ketika
Meski sudah kembali ke ibu kota, bukan berarti kesibukan Kinara berkurang. Jadwal syuting yang berbenturan dengan jam kuliah membuatnya terpaksa membolos lagi dan lagi. Saat hanya menjadi asisten, asalkan sudah mempersiapkan segala keperluan Galang, ia santai saja ijin barang beberapa jam untuk mengikuti perkuliahan, lalu setelahnya akan menyusul kembali ke lokasi syuting. Ah, ia jadi paham kenapa Galang sampai sekarang belum juga lulus kuliah. "Kinara, ntar sore jam empat, jangan lupa, lu dan Galang ada talkshow di podcast." Nah, belum lagi undangan wawancara sana-sini. Bagi Kinara sebagai artis pendatang baru, undangan wawancara terdengar mengerikan, bagaimana kalau dia sampai salah bicara. "Datang tepat waktu, promosikan sinetron kita, dan kalau ditanya soal Malya, jawab aja nggak tahu." "Oke, Bang, siap!" Karena Kinara diam saja, akhirnya Galang yang menjawab arahan Bang Sut. "Sayang, santai aja," bisik Galang begitu melihat wajah Kinara yang berubah tegang. "Hah, santai?" Ki
"Cut!" teriak Sutradara. Namun Galang bergeming. Bahkan ia memeluk Kinara erat dan semakin erat. "Woy, cut! Selesai! Udah! End!" Bang Sut mengulangi instruksinya hingga membuat Galang sadar dan melepaskan pelukan. "Eh, udah? Gini aja?" Galang menoleh. "Ya, emang udah, lo nggak baca naskahnya?" "Maksud gue, kaya ... nanggung gitu, Bang. Kan bisa diimprove, ditambah adegan kissing mungkin!" "Edan!" Bang Joel yang baru datang menoyor kepala Galang. "Mau merusak moral anak bangsa, lo?" "Jangan didengerin, Bang!" Bang Joel menoleh pada Sutradara. "Otaknya lagi rada-rada korslet!" Lelaki itu menempelkan telunjuk dengan posisi miring di dahinya. Bang Sut tertawa sembari geleng-geleng kepala. Setelahnya ia memberi instruksi untuk break syuting. "Jam setengah tujuh tet kita ganti lokasi, siap-siap, ya!" Mendengar perintah sang sutradara, para kru segera membereskan peralatan, sementara talent kembali ke kamar masing-masing. Ini hari ketiga mereka di Bandung. Revisi naskah membuat merek
"Dia, asisten lo kan, Lang? Kita pakai dia!" "Pakai? Saya?" Kinara menunjuk dirinya sendiri dengan raut wajah bertanya-tanya, menoleh pada Galang dan Bang Sut si sutradara secara bergantian. "Maksudnya, Bang?" "Elo jadi artis." Ucapan Bang Sut lebih seperti perintah yang harus disetujui daripada sebuah tawaran. "Cup! Urus dia!" katanya pada sang asisten. "Siap, grak!" "Eh, eh, kita mau kemanaa?" teriak Kinara ketika Ucup si asisten sutradara menarik tangannya. "Heh, Cup! Lu main tarik is-ehm asisten gue sembarangan aja!" Galang pasang badan menghadang langkah sang astrada. "Emangnya dia bersedia?" "Gini, ehm. Ki ... Kinara." Bang Sut maju menengahi. "Bener nama lo Kinara, kan?"Kinara mengangguk. "Karena Malya ngilang dan ntah kapan bisa syuting lagi, sementara sinetron kita kejar tayang, kita terpaksa mengubah jalan ceritanya. Jadi Malya bakal dibuat mendadak mati karena kecelakaan. Terus Galang yang ada di mobil yang sama dengan Malya saat kecelakaan diselamatkan orang. Nah,
"Ayok, Lang, kita main!" Kinara menarik tangan Galang usai mengunci pintu penghubung dengan kamar Bang Joel. "Main?" Galang takjub dengan ajakan Kinara, frontal juga dia, ya. "Sekarang? Langsungan, nih?" "Iya lah, keburu Bang Joel berubah pikiran ntar, kita harus manfaatkan waktu berdua." "Okee, siapa takut." Sebenarnya sempat terlintas ancaman Bang Joel tentang uang dua milyar, tapi ah, bodo amat. Ada kesempatan kenapa disia-siakan. Soal yang lain pikir belakangan. Tanpa menunggu lama, Galang membuka baju atasannya, tapi ... "Laaang, ngapain buka bajuuu?" "Lah kata kamu tadi ... main, kan?" Galang mulai ragu-ragu. "Main ini!" Kinara melemparkan papan catur ke atas tempat tidur. "Kamu tahu nggak, pas SD, semua teman udah pernah kutantangin main catur dan tidak ada yang bisa mengalahkanku. Bahkan pak guru olahraga aja kalah tanding catur denganku," ucapnya bangga. "Cuma sama kamu aja aku belum pernah main, karena terlalu gengsi mau ngajakin." Astagaaa .... Galang berdecak. "F
"Dua puluh satu ribu lima ratus, Kak," ucap seorang kasir setelah menghitung menu yang dibawa Kinara di hadapannya. "Oh, iya." Kinara tengah membuka dompetnya ketika suara seorang lelaki terdengar dari arah belakang seraya menyerahkan selembar uang lima puluh ribuan. "Ini, Mbak. Sekalian punya saya." Tentu saja hal itu spontan membuat Kinara menoleh. Mas Jagad? Udah sengaja Kinara makan di kantin fakultas sebelah, eh, masih bertemu mantan juga. Heran. "Nggak-nggak, ini aja," tolak Kinara. Cepat-cepat ia mengambil uang dari dalam dompetnya. "Uang pas," ucapnya seraya tersenyum. "Sudah, Mbak, cepetan dihitung. Uangnya sudah ada di tangan Mbak, kan." Jagad tak mau kalah. Lelaki itu merasa menang langkah karena uang lima puluh ribunya sudah di tangan si embak kasir. "Pak!" Kinara melotot. Tapi demi tidak membuat keributan di depan umum, perempuan itu memilih untuk mengalah. Ia berjalan meninggalkan meja kasir dan duduk di salah satu bangku kosong. "Gimana Ibu, Ra?" tanya Jagad y
"Mbok, biar saya yang masak." Hari ini Kinara datang lebih pagi dan langsung menuju dapur rumah Galang. Mbok War yang sedang asik mengupas bawang putih menoleh heran."Kenapa, Mbak? Masakan Mbok selama ini nggak enak, ya?" "Enak, Mbok. Saya cuma, cuma ...." Kinara mencoba mengarang-ngarang alasan. Sebenarnya dia hanya ingin seperti suami istri pada umumnya saja. Pagi-pagi menyiapkan sarapan untuk suami sebelum berangkat kerja. So sweet sepertinya. Tapi, tak mungkin ia mengutarakan itu pada Mbok War, bukan? "Kangen masak sendiri ajah," ucapnya akhirnya. "Oh ... Mbak Kinar pengen masakkin yang spesial buat Mas Galang, ya?" goda Mbok War. Sudah sejak lama perempuan tua itu merasa ada sesuatu antara majikannya dengan sang asisten. Memang sih, yang terlihat di depannya, kedua muda-mudi itu lebih sering beradu argumen. Tapi seperti ada yang beda saja, setidaknya feeling seorang ibu mengatakan demikian. Apalagi ia membersamai Galang bukan baru setahun dua tahun, melainkan semenjak majikann