Karena ibu tidak kunjung membuka gembok sumur maka, mau tak mau aku dan suami terpaksa memesan setandon air yang akan kami gunakan untuk mandi dan cuci. Ketika mobil tandon datang, aku dan suamiku sibuk menadah air dan mengisi ember ember kami."Woah, pesan tandon rupanya," ujar ibu mertua yang tidak pernah absen mengurusi hidup kami. Karena merasa tidak penting menanggapinya, aku hanya diam dan sibuk mewadahkan air. Rima putriku sedang asyik bermain sendiri dengan ornamen balita yang kami gantung tepat di atas kepalanya."Berapa satu tandon?" tanya mertua pada tukang air."Lima puluh ribu, Bu.""Hmm, gaya sekali beli beli air, kayak gak punya sumur," ujarnya dengan sewot, sepertinya ia ingin cari muka pada tetangga yang memperhatikan dan pada tukang air itu."Saya gak akan beli kalau sumurnya tidak digembok dan airnya dibatasi," jawabku tidak kalah ketusnya. Tukang tandon terperanjat, tetangga juga sama, sedang ibu langsung mendelik dan pergi dari depan rumahku. Skak mat!"Dik, kaka
"Aku sudah pergi ke dukun, dukunnya bilang kalau pencuri dompetku ada di lingkungan ini," ucapnya yang ujug-ujug datang sambil berkacak pinggang menyambangiku yang sedang menyapu teras di pagi hari.Entah kenapa wanita gila ini sangat antusias untuk pamer dan mengancam orang lain."Oh ya, lalu siapa orangnya?""Ya, pasti di antara kalian, mantuku yang lain tidak ada yang berkonflik denganku jadi kesimpulanku mengerucut pada dirimu, tentu saja iya, aku yakin!""Oh, hahahah, lucu sekali ibu ini.""Apanya yang lucu, wanita itu tambah melotot.""Apakah dukun memperlihatkan bukti kalau saya yang sudah mencurinya, apakah dia memperlihatkan ke mata batin Ibu bagaimana proses saya mencurinya?""Ya tidak ... tapi dia orang pintar!" Mata Ibu berputar-putar menunjukkan tanda kegelisahannya, jelas wanita itu berbohong."Dan yang mendatangi adalah orang bodoh yang ingin minta pendapat ke orang pintar!"Seketika saja tangan besar ibu ingin melayang dan menamparku, mungkin sangat tersinggung, tapi a
Dengan berat hati, kulangkahkan kaki ke rumah bergaya minimalis dengan cat toska terang itu. Pintu rumah nampak terbuka sementara anak Kak Dani nampak duduk di terasnya."Assalamualaikum," ucapku sambil menelan ludah, aku sungguh khawatir dia melaporkan masalah ini ke kantor polisi.Bukankah, bukan hal sulit untuk melacak pelaku dan menyelidiki bukti?"Hmm, aku benar-benar tegang," gumamku sendiri."Walaikum salam," suara jawaban Kak Dani terdengar dari dalam.Ah, aku sungguh malas menjumpainya, malas menatap wajah yang dulu sering menyeringai jahat dan menertawakan kepolosanku, sikapnya sama jahatnya dengan kak Yanto yang suka membentak dan berteriak pada diri ini, sejak pertama aku menginjakkan kaki lingkungan mereka."Masuklah," ujar kak Tina yang mengikuti dari belakang."Baik, Kak," balasku lirih. Ketika ku injakan kaki ke lantai ubin berwarna marmer coklat itu, kak Dani nampak menoleh dari kasurnya yang dihamparkan di depan Tivi."Masuklah Zahra," ujarnya memberi isyarat."Terim
Mendengar teriakan ayah mertua yang sangat melolong di antara magrib dan isya tentu saja penghuni pekarangan kami keluar semua dari rumah mereka. Tak pelak mereka yang mendapati ayah tertancap parang langsung terbelalak panik, menghambur dan mencoba menolong."Astaga, Pak, kenapa bisa begini?" tanya Kak Yanto.dengan paniknya."Aku tergelincir lantai licin dan entah kenapa bisa begini, dasar Setan!"""Ayah jangan mengumpat begitu, tidak baik, itu ujian untuk ayah," ucapku yang tersirat mengejeknya."Ngomong apa sih kamu?" bentak Kak Yanto."Barusan ayah sendiri yang bilang padaku, bahwa masalah dan kesakitan apapun yang terjadi dalam hidup seseorang itu hanya ujian, bukan disebabkan oleh kesalahan orang lain, benar kan Ayah?" tanyaku pada pria yang kini menangis dan lemas."Tolong bawa aku ke mantri kesehatan atau puskesmas, aku akan mati, aku akan mati ....""Jangan bilang begitu, Yah, mati tidaknya Tuhan yang tentukan," balasku."Diam kamu, An****! tak bisakah mulutmu yang cerewet
Bismillah Sebelumnya aku makasih banget buat para pembaca yang masih setia ngikutin cerita ini sampai sekarang. Love you all.**Keesokan pagi, kudengar kabar bahwa ayah mertua akan dibawah pulang karena disarankan untuk dirawat jalan di rumah saja. Kebetulan, katanya beliau sendiri juga tak betah ada di rumah sakit dan terus rewel minta pulang.Dari teras rumah, kulihat kedua iparku dan ibu mertua sibuk membersihkan rumah induk dan menyiapkan kedatangan ayah dari rumah sakit.Mbak Devi terlihat menyapu halaman dan Mbak Tania mengepel, aku yakin rumah mereka akan ramai karena ayah mertua cukup dihormati, jadi tetangga dan orang orang yang mengenalnya pasti akan datang.Kudekato mereka sambil membawa anakku do gendongan, kutawarkan diri untuk membantu mengepel, tapi Kak Tania menolak."Tidak usah mengepel, keberadaanmu disini akan membuat Ibu marah, sebaiknya bantu kak Devi menyapu halaman, itupun andai kau bisa," ujar Kak Tania yang kebaikannya sama seperti Kak Tina, sekalipun sua
Kedua iparku terkejut, tertegun dan langsung bangun dari tempat duduk mereka. Mbak Devi segera memanggil sang suami sedang kak Tania segera mengambilkan air. "Sudah saya bilang gasnya bocor," ucapku lirih."Iya, itu bukan salahmu," jawab Kak Tania yang sibuk mewadahkan air di gelas.Mbak Devi mencoba menyadarkan ibu sementara Kak Yanto dan Aidil langsung panik melihat wajah ibu yang merah dan perlahan melepuh bengkak."Kenapa bisa begitu?""Kelihatannya gasnya bocor," jawab Kak Tania."Astaghfirullah untung tidak meledak dan tidak memakan korban lain," ujar Kak Aidil."Aku masih syok, Kak, aku benar benar tegang," balasku."Bawa ke rumah sakit atau panggilkan bidan desa," ujar suamiku pada kakaknya."Panggil bidan saja, aku khawatir ibu malah tidak betah di rumah sakit.""Tapi mungkin lukanya bisa dibersihkan dengan baik," jawabku lirih."Kamu kenapa gak bilang ke ibu kalau ada bau gas!" tuding kak Yanto dengan amarahnya."Selalu saya yang disalahkan, saya sudah bilang tapi ibu tida
"Jangan fitnah saya dengan tuduhan yang tidak tidak, Saya tidak tahu menahu baru datang ketika kompor itu baru akan meledak. Saya termasuk jarang datang ke rumah induk jangankan untuk masuk ke dapur ke pelataran saja tidak termasuk terinjak olehku.""Jangan coba-coba bohong bilang saja kamu dendam dan kamulah yang telah mencelakakan Dani dan bapak!""Saya capek membela diri atas tuduhan yang tidak masuk akal! Silakan hadir kan bukti kalau ingin menuntut saya saya benar-benar muak dengan keluarga ini!" Balasku tanpa ketakutan sedikitpun. Mereka tidak bisa menyalahkanku, sementara aku punya alibi yang kuat, ditambah diri ini tidak pernah kemana-mana dan berada dalam kondisi lemah."Sebelumnya di dalam keluarga ini tidak ada malapetaka yang beruntun seperti ini, sepertinya musibah ini adalah musibah yang disebabkan oleh manusia, bukan semata kecelakaan.""Kalaupun iya, apakah hanya aku sasaran kalian? Aku hanya wanita yang baru melahirkan dan masih lemah, bahkan ketika kalian mengeroyok
Aku yang merasa kurang yakin akan pendengaranku dari dapur, merasa perlu untuk segera maju dan memastikan kabar yang terdengar."Ada apa?""Yanto terjatuh saat memetik kelapa, Nyi," jawab Bapak itu dengan gelisah. Mbak Devi langsung histeris mendengar suaminya terkena musibah. Segera wanita itu meninggalkan luka ayah yang belum selesai diperban untuk menyusul suaminya ke kebun."Apakah suami saya sadar Pak?""Tidak tahu, Nyi, pingsan dianya ....""Allah, jangan sampai terjadi apa apa pada suamiku," ujar wanita itu dengan tangis tertahan. Dengan cepat dia berlari ke rumahnya untuk mengambil tas dan jilbab. Sementara aku masih berdiri dengan keadaan tak tahu harus berbuat apa."Apa yang kau tunggu segera balut dulu ke ayahmu!" Aku yang tidak mau beradu argumen segera mendekat untuk mengobati luka ayah. Perlahan kulepas lilitan perban yang ternyata lengket dengan darah, agak sulit memang membukanya tapi aku berusaha pelan pelan."Pelan-pelan, aku kesakitan!" ujar Pak Haji dengan geram.
"Baru sebentar Nek," Jawa Erlin."Dua jam Aku mau memanggil untuk meminta air minum, kenapa kau malah duduk santai di sini?" Dua jam apanya, Erlin bahkan belum duduk selama sepuluh menit. Aneh sekali wanita tua yang semakin hari semakin temperamen ini."Ibu Dia baru saja datang dan sekedar mengobrol denganku sebentar...""Aku juga sudah bilang padanya untuk tidak meninggalkan rumah jauh-jauh dan sulit kujangkau. Aku membutuhkan dia sepanjang waktu."Aduh penting untukku untuk menegaskan batasan tentang ibu yang semakin hari semakin seperti penjajah saja."Ibu dia juga manusia, dia butuh berinteraksi mendapatkan dukungan dari keluarganya dan sedikit pencerahan Apa salahnya jika dia mengobrol dengan salah satu anggota keluarga dan meninggalkan Ibu sebentar saja. Alih alih marah gara gara telat ambilkan air, Kenapa Ibu tidak ambil air sendiri saja lalu semuanya tuntas?'"Tuntas katamu?""Ya.""Ya ampun ...." Ibu mertua hanya menggeleng sambil membuang nafasnya kasar, dia tertawa sih ini
"udahlah jangan terlalu dipikirkan perkara ibu yang minta anak laki-laki darimu beliau tidak tahu seberapa keras kita berusaha hanya saja Tuhan belum mengizinkan, jadi jangan terlalu, dibawa santai saja," jawab Kak Aidil sambil tersenyum."Aku sedikit prihatin dan khawatir tentang keponakan baru kita.""Dia pasti bisa mengatasinya wanita itu punya daya dan keluarga yang mendukungnya jadi kamu tidak perlu khawatir. Ibu pasti juga akan berpikir dua kali untuk menyakiti anak itu.""Yang terjadi hari ini tidak akan kau percayai, Kak, Ibu melempar piring dan menghujat masakan Erlin.""Sungguhkah itu terjadi Apakah ibu melakukannya kepada menantu baru yang keluarganya sangat terpandang dan dihormati?""Aku sudah bilang bahwa Ibu tidak pandang bulu.""Astaghfirullah, biar aku yang bicara nanti.""Sejak kapan ibu akan mendengar kata-katamu, Kak?" Aku tergelap sambil menggelengkan kepala sementara Ia hanya menghela nafas sambil mendecak kecil. Aku tahu bahwa dia sangat dimanjakan ibu tapi jika
"Ah, aku mendengar Ibu, aku paham setiap makna kalimat yang ibu lontarkan.""Bicarakan hal itu kepada Erlin dan lain kali jangan membuat dia membantahku karena kau Aku tidak tahan Aku tidak akan segan-segan untuk menamparnya. Juga aku tidak mau mendengar dia memprotes apapun.""Iya Bu."Ah, hidup di antara lingkungan rumah Nyai hatima seperti hidup dalam penjara, banyak aturan dan tidak bisa bebas sekehendak hati. Sebenarnya aku juga penasaran, kami ini dianggapnya pembantu atau menantu. Kenapa terkadang perlakuan ibu begitu kasar dan sulit diterima oleh akal sehat, sulit diterima oleh hati nurani yang sudah terbiasa mendapatkan perlakuan lembut, tiba-tiba mendapatkan kekasaran Itu menyakitkan sekali."Pergilah!" Ucapnya sambil mengibaskan tangan di udara."Baiklah, Bu, Erlin sedang memasak makanan lain, sudah kutitipkan pesan padanya jika sudah selesai dia harus segera mengantarnya pada ibu.""Cepat sedikit, aku lapar!""Baik Ibu sabarlah sedikit!""Dari dulu hanya kau saja yang se
Usai menyapu bekas pecahan piring, kutemui keponakanku Erlin di dapur, ia tengah memotong daging dengan air mata yang masih membasahi kelopak matanya. Gadis itu terisak dengan kesedihan yang tak mampu ia sembunyikan.Aku paham, dia belumlah kuat mental sepertiku, dia masih baru di lingkungan ini dan mungkin latar belakang keluarganya yang lemah lembut membuat dia merasa sangat kaget ketika diperlakukan dengan keras. Ah, ibu mertua memang sangat tidak bijaksana."Sabar ya, semua akan membaik.""Tapi, kok Nenek bisa segitunya ....""Ah, sayang, nanti Nenek dengar, sebaiknya kau lanjutkan memasak, lihat tutorialnya di YouTube dan kau pasti bisa. Sementara bibi akan kembali ke rumah untuk menyiapkan makan siang.""Bi ... Aku butuh kehadiranmu untuk tetap di sini karena belakangan ini aku merasakan ketegangannya belum pernah ku alami sebelumnya." Wanita muda itu menahan lenganku dengan tatapan membalas dan aku bisa melihat jelas bahwa dia ketakutan dengan ibu mertua."Dengar Nak, sebenarny
Akhir bulan Syawal pun tiba, ferdi yang sudah tak sabar lagi untuk segera meminang kekasihnya akhirnya diluluskan keinginannya oleh ibu mertua untuk menikah lebih cepat, menikah sebelum musim penghujan dan sebelum orang orang akan repot dengan urusan pekerjaan dan kebun mereka.Seminggu setelah pernikahan, Ferdi memboyong sang istri Erlin untuk pindah ke lingkungan kami. Ke rumah induk tentunya, bersama dengan ibu mertua. Sebenarnya aku sudah ngeri membayangkan apa yang akan terjadi namun, aku mencoba berpikir positif dengan segala logika dan harapan terbaik, semoga ibu mertua bersikap baik pada cucu menantu.Hari-hari bergulir, kebiasaan dan adat rumah ini mulai terlihat, mantu mulai kaget dan heran akan pembagian kaku air yang harus dijatah setiap harinya. Setiap pagi, setiap kali aku mengantarkan jatah makanan dari gudang gadis itu akan mengernyit dan tidak paham tentang apa yang terjadi. dia selalu memasang wajah tak nyaman dengan sekeranjang makanan yang kini jadi tugasku untuk
Aku kembali dari rumah induk dengan perasaan hati yang sudah tidak menentu. Aku khawatir kejadian yang pernah kualami akan terulang pada gadis lain yang baru bergabung ke rumah ini.Namun Gadis itu adalah wanita kaya dan juga anak orang baik-baik, ibu mertua akan berpikir dua kali untuk menyakiti dan mengerjainya, jadi kurasa kekhawatiranku sama sekali tidak beralasan. "Tapi, bagaimana jika itu terjadi. Dia akan dijatah dengan makanan yang harus belajar ia cukupkan dan seember air setiap harinya? Apakah dia bisa?" Konon menjatah anak menantu dengan seember air adalah kebiasaan dari para tetua keluarga ibu mertua yang ingin membimbing menantu mereka untuk hidup disiplin dan pandai menjaga harta serta mengelola hidup.Aku tak mau mencampuri atau berkomentar miring tentang kebiasaan itu, semuanya adalah hak orang tua untuk melakukannya, tapi, pada posisi tertentu, misalnya, di saat melahirkan atau sakit rasanya seember air itu sangat tidak cukup. Sanggupkah nanti, calon istri Ferdi yang
Bersama dengan itu, dua belas tahun berlalu, kini anakku sudah duduk di bangku kelas enam SD ya, rima berangsur tumbuh menjadi anak remaja yang cantik dan cerdas. Anak anak Kak Yanto dan Dani sudah dewasa juga, mereka sudah duduk di bangku kuliah. Bahkan Ferdi anak sulung Kak Yanto dan Mbak Devi sudah lulus universitas dan bekerja mengabdikan diri di kantor desa kampung kami. Dia tumbuh jadi pemuda baik santun, pintar dan bijak.Suatu hari ia temui kami yang sedang asyik menggelar rujak dan kue di pelataran rumah ibu. Tanpa banyak basa basi ferdi langsung mengungkapkan keinginannya untuk menikahi kekasihnya."Mama, nenek, Tante, aku ingin menikah dengan Erlin pacarku, kami sudah lama bersama dan ingin melanjutkan ke jenjang berikutnya," ucapnya."Boleh saja, tanyakan pada kekasihmu kapan kamu boleh bertandang untuk melamar," ujarku dengan penuh semangat."Wah Alhamdulillah," ujar Mbak Devi dan Kak Tania serempak."Kau tahu kan, aturan keluarga ini, anak laki laki harus memboyong ist
"Aku sengaja datang ke sini untuk bicara dengan Mbak Devi," ucapku di ambang pintu rumah kakak ipar tertuaku. Para anggota keluarga intinya beserta anaknya menoleh dan sedikit gak setuju dengan kedatanganku."Untuk apa?""Untuk meluruskan segalanya.""Aku tak butuh bicara.""Kalau begitu dendamnya akan tetap lekat di hati Mbak Devi. Kita harus bicara.""Tentang apa lagi?""Agar aku dan Mbak Devi tidak bermusuhan lagi terlepas bahwa kita akan hidup satu lingkungan atau Aku akan pergi dari tempat ini kita harus tetap bicara.""Kalau begitu bicara saja secara langsung"Mbak tidak khawatir anggota keluarga mendengarnya?""Buat apa aku khawatir jika yang terjadi di antara kalian sudah seperti rahasia umum?""Mbak, kau bicara begitu seakan aku dan kak Yanto punya skandal atau hubungan rahasia padahal kami tidak ubahnya hanya seperti orang asing yang nyaris tidak pernah saling akur." "Lalu apa kabarnya ketika aku dan dia pergi mengunjungimu ke desa? Apakah itu bukan menunjukkan bahwa kami p
"Aku sengaja datang ke sini untuk bicara dengan Mbak Devi," ucapku di ambang pintu rumah kakak ipar tertuaku. Para anggota keluarga intinya beserta anaknya menoleh dan sedikit gak setuju dengan kedatanganku."Untuk apa?""Untuk meluruskan segalanya.""Aku tak butuh bicara.""Kalau begitu dendamnya akan tetap lekat di hati Mbak Devi. Kita harus bicara.""Tentang apa lagi?""Agar aku dan Mbak Devi tidak bermusuhan lagi terlepas bahwa kita akan hidup satu lingkungan atau Aku akan pergi dari tempat ini kita harus tetap bicara.""Kalau begitu bicara saja secara langsung"Mbak tidak khawatir anggota keluarga mendengarnya?""Buat apa aku khawatir jika yang terjadi di antara kalian sudah seperti rahasia umum?""Mbak, kau bicara begitu seakan aku dan kak Yanto punya skandal atau hubungan rahasia padahal kami tidak ubahnya hanya seperti orang asing yang nyaris tidak pernah saling akur." "Lalu apa kabarnya ketika aku dan dia pergi mengunjungimu ke desa? Apakah itu bukan menunjukkan bahwa kami p