"Astaga, apa yang membuatmu menangis nyai?" tanya Pak Haji dengan wajah gemas."Aku benar benar tidak pernah diperlakukan sekasar ini, kalian mempermalukanku," balasnya di sela Isak tangis."Siapa yang mempermalukan dirimu Nyai di sini tidak ada orang lain selain aku dan menantu!""Kau menginjak wibawaku di depannya dan membuat dia tidak akan takut lagi denganku, kau keterlaluan sekali haji," ucapnya sambil menutupkan tangan ke wajah. Wanita itu menangis, nada tangisnya makin lama makin meninggi dan terdengar pilu, seakan ia ingin mengundang orang orang untuk datang kemari dan melihat dia meratap-ratap."Bu, pelankan suara ibu, kita bisa malu," ucapku "Diam kamu, pergi kamu dari sini!""Saya tidak akan pergi kalau ibu belum mandi, ibu harus ganti pakaian karena pakaian yang itu sudah lengket oleh darah dan nanah.""Sudah tahu aku sakit, tapi kalian malah menyakiti hati dan mengejek diriku," keluhnya."Maafkan kami, Bu. Sekarang saya mohon, ayo bangun Bu, saya harus memandikan Ibu se
Sepanjang melangkahkan kaki pulang ke rumah aku tidak sanggup membendung air mata yang terus menetes, diri ini sesunggukan karena menahan rasa sesak oleh penghinaan yang ibu mertua lakukan. Andai bisa ku mengulang waktu rasanya aku tidak perlu berbakti kepada orang yang tidak menghargai usahaku. Percuma saja aku bersikap baik Kalau di hati Ibu tidak pernah tersentuh dengan ketulusanku. Uang merah yang dilemparkan masih kugenggam di tangan, sambil menggendong Rima kusembunyikan air mata agar ketika berpapasan dengan Mbak Devi dan Kak Tania aku tidak perlu terlihat bersedih atau menonjolkan air mata.Rupanya di rumah Kak Aidil sudah pulang, suamiku terlihat sedang makan di meja makan dengan lahapnya. Karena tak tega mengganggu dia yang sedang makan akhirnya kuputuskan masuk sambil menunduk dan mengucapkan salam dan langsung saja ke bawah Rima kamar."Assalamualaikum," ucapku sambil segera pergi ke kamar."Waalaikumsalam kamu dari tempat ibu, dik?""Iya, dari tempat Ibu," jawabku menaha
"Panggil siapa saja, kepalaku sakit dan aku tidak bisa menahannya!" "Mau kupanggilkan Mantri kesehatan saja Kak?""Terserah, kepalaku berdenyut sakit minta ampun, segera atasi atau aku akan mengamuk, Devi.""Sabar Mas, jangan berteriak seperti itu, Mas harus berdoa." Iparku yang berlatar belakang suku Jawa itu terdengar sangat halus membujuk suaminya. Dari awal dia memang kakak ipar yang baik dan lembut hati, sehingga aku sangat mengaguminya."Panggilkan dokter agar menyuntikkan obat pereda nyeri, kepalaku sakit, Devi!""Iya, tapi sementara saya memanggil Pak Dokter, sebaiknya Mas tenangkan diri sambil terus mengucapkan istighfar.""Jangan mengajariku hal demikian sekarang ini Devi, aku akan mati! Buruan!" Mendengar teriakan Kak Yanto, aku dan Kak Aidil hanya bisa saling memandang sambil mengelus dada. "Kak, cobalah pergi ke tempat kakakmu dan tenangkan dia, bantu dia untuk meredakan sakitnya, Kak.""Memangnya aku bisa apa? Dalam keadaan murka dan sakit begitu sebaiknya tidak seor
Bismillah.Kupikir aku tak akan bisa memenangkan hati ibu dalam waktu dekat, mungkin jalannya tidak akan lama lagi, yang penting aku mau bersabar dan memahami sikap keras ibu mertua.Usai kusiapkan sarapan segera kuantarkan hidangan itu ke hadapan ibu dan ayah. Sebelum sampai ke ruang tengah, sejenak aku tertahan di depan pintu melihat Ayah menggendong Rima sambil membercandai cucunya, sementara ibu tersenyum-senyum melihat anakku yang tumbuh mulai gemuk dan molek."Lihat Nyai, betapa lucunya dia," ucap Ayah yang tanpa mereka sadari sudah kudengarkan."Iya, dia mirip Aidil ketika kecil," jawab Nyai sambil tersenyum tipis, terkesan memaksakan diri tapi tak mengapa, dari pada tidak sama sekali."Harusnya kau mengendongnya agar dia merasakan kehangatan neneknya," usul Ayah."Ah, tidak usah, aku sedang sakit.""Iya, benar juga. Maafkan aku," ucap Ayah terkekeh pelan.Aku segera masuk, meletakkan nampan dekat ayah lalu menuangkan air minum untuknya."Ini makanannya Ayah," ucapku pada
"Jadi ibu berteriak padaku?""Iya, kamu membuatku pusing, sudah tahu aku sedang sakit dan tubuhku mengalami perih dan panas kau malah berteriak-teriak dan cari masalah," balasnya."Bukan seperti itu, aku hanya tidak suka ayah dan Ibu akrab, terlalu dekat!""Lantas kenapa? Kau tidak suka hah? bagaimana kalau aku benci saja pada istri dan anak anakmu, apa kau akan suka, Yanto?""Ibu ... bukannya ibu sendiri yang menanamkan hal ini padaku?""Kapan aku mengajarimu kurang ajar, kapan hah? menjauhkan dari sini!""Iya aku tidak akan datang lagi!" Teriak kak Yanto tak kalah sengit. " ... awas saja kalau ibu masih mengharap bantuanku," geramnya sambil tertatih keluar dari rumah induk. Mendengar ancaman anaknya ibu makin berang, dengan teriaka. Penuh emosi wanita itu merutuk dan mengomel dengan suara kerasnya."Dasar bikin malu, tidak berguna dan cari masalah!" gumam ibu.Melihat semua itu dari celah jendela membuatku tertawa bahagia karena kini giliran Kak Yanto yang berkonflik dengan ibu m
Bismillah Melihat wajah Ayah yang merah padam karena menahan amarah tentu saja Kak Yanto menjadi ciut dan terpaksa mengalah. Dengan mendengus dan mendelik padaku pria itu lantas kembali ke dalam rumahnya dengan langkah tertatih-tatih."Lihat saja nanti," gumamnya pelan, terdengar olehku dan cukup membuatku bergidik juga."Zahra ayo masuk," suruh Kak Aidil."Aku harus antar jatah makanan," balasku."Antarkan segera dan kembali ke rumah," jawab Kak Aidil.Mungkin peristiwa yang terjadi sekarang, bukan hanya tentang dendam dan rasa tersinggung, tapi, tentang sebuah kedengkian karena aku yang menantu bungsu malah disuruh untuk membagikan jatah makan semua orang. Secara teknis, harusnya Mbak devi yang akan melakukan itu, tapi karena kemarin ketiga iparku berhalangan dengan alasan masing-masing, maka akulah yang kemudian didapuk oleh ibu mertua untuk mengambil alih tugasnya. Jelas saja itu bukan salahku karena yang menyuruhku untuk mengamankan kunci gudang adalah ibu mertua sendiri, ketua
Mendengar penghinaannya aku ingin sekali menjawab dengan jawaban yang lebih pedas. Aku benar-benar tidak terima pria itu menyebut nenekku dengan sebutan tua bangka yang merepotkan. Sesungguhnya orang yang sering merepotkan orang tuanya dan seluruh keluarga adalah dirinya."Hanya satu ... Sepuluh tua bangka pun bukan urusanmu, yang repot dan sibuk memberi mereka makan adalah aku, bukan kamu!""Tapi, uangnya dari uang ibuku!"Aku hanya tertawa sinis mendengarnya. "Kau pikir suamiku tidak punya upah selama bekerja di kebun, dari upah itulah kami menyambung hidup dan makan." Aku melengos pergi meninggalkan pria yang terus menggangguku itu."Dasar mental miskin," ucapnya.Mendengar hinaan itu, emosiku langsung membuncah, ingin kubalikkan badan untuk menampar dirinya dan mempermalukannya di depan anggota keluarga. Tapi, aku menahan semua dorongan itu. Bukan saja aku yang akan ikut malu, tapi Inaq juga, tidak enak padanya yang baru datang dari desa kami. Kuhela napas sambil mengucapkan i
Ternyata ucapanku tadi tak serta merta membuat Kak Yanto sadar dan berhenti mengganggu diri ini. Kupikir sedikit tidaknya dia tersentil dan tahu diri bahwa aku sudah muak diganggu olehnya.Namun, harapanku jauh dari kenyataan, karena kini, di jam makan malam, setelah makanan terhidang dan kami duduk di tikar untuk makan, tiba tiba saja dia datang dan mengetuk pintu."Aidil, Zahra, buka pintunya," ucapnya."Iya Kak, ada apa?""Apa kalian tidak akan membiarkan aku masuk?"Aku dan suamiku saling berpandangan, Kak Aidil mengernyitkan alisnya sedang aku mulai merasa tidak nyaman. Sekali lagi suara ketukan pintu kembali terdengar, Inaq mulai merasa heran dengan kami yang tidak kunjung bangun untuk membuka pintu."Kenapa pintunya tidak dibuka Zahra?""Uhm, i-itu hanya ....""Biar aku saja," ujar suamiku sembari bangkit dari tempat duduknya.Ketika pintu rumah terbuka pria garang itu langsung mendorong suamiku dan merangsek masuk seenaknya saja. Melihat kami yang sedang duduk mengelilingi m
"Baru sebentar Nek," Jawa Erlin."Dua jam Aku mau memanggil untuk meminta air minum, kenapa kau malah duduk santai di sini?" Dua jam apanya, Erlin bahkan belum duduk selama sepuluh menit. Aneh sekali wanita tua yang semakin hari semakin temperamen ini."Ibu Dia baru saja datang dan sekedar mengobrol denganku sebentar...""Aku juga sudah bilang padanya untuk tidak meninggalkan rumah jauh-jauh dan sulit kujangkau. Aku membutuhkan dia sepanjang waktu."Aduh penting untukku untuk menegaskan batasan tentang ibu yang semakin hari semakin seperti penjajah saja."Ibu dia juga manusia, dia butuh berinteraksi mendapatkan dukungan dari keluarganya dan sedikit pencerahan Apa salahnya jika dia mengobrol dengan salah satu anggota keluarga dan meninggalkan Ibu sebentar saja. Alih alih marah gara gara telat ambilkan air, Kenapa Ibu tidak ambil air sendiri saja lalu semuanya tuntas?'"Tuntas katamu?""Ya.""Ya ampun ...." Ibu mertua hanya menggeleng sambil membuang nafasnya kasar, dia tertawa sih ini
"udahlah jangan terlalu dipikirkan perkara ibu yang minta anak laki-laki darimu beliau tidak tahu seberapa keras kita berusaha hanya saja Tuhan belum mengizinkan, jadi jangan terlalu, dibawa santai saja," jawab Kak Aidil sambil tersenyum."Aku sedikit prihatin dan khawatir tentang keponakan baru kita.""Dia pasti bisa mengatasinya wanita itu punya daya dan keluarga yang mendukungnya jadi kamu tidak perlu khawatir. Ibu pasti juga akan berpikir dua kali untuk menyakiti anak itu.""Yang terjadi hari ini tidak akan kau percayai, Kak, Ibu melempar piring dan menghujat masakan Erlin.""Sungguhkah itu terjadi Apakah ibu melakukannya kepada menantu baru yang keluarganya sangat terpandang dan dihormati?""Aku sudah bilang bahwa Ibu tidak pandang bulu.""Astaghfirullah, biar aku yang bicara nanti.""Sejak kapan ibu akan mendengar kata-katamu, Kak?" Aku tergelap sambil menggelengkan kepala sementara Ia hanya menghela nafas sambil mendecak kecil. Aku tahu bahwa dia sangat dimanjakan ibu tapi jika
"Ah, aku mendengar Ibu, aku paham setiap makna kalimat yang ibu lontarkan.""Bicarakan hal itu kepada Erlin dan lain kali jangan membuat dia membantahku karena kau Aku tidak tahan Aku tidak akan segan-segan untuk menamparnya. Juga aku tidak mau mendengar dia memprotes apapun.""Iya Bu."Ah, hidup di antara lingkungan rumah Nyai hatima seperti hidup dalam penjara, banyak aturan dan tidak bisa bebas sekehendak hati. Sebenarnya aku juga penasaran, kami ini dianggapnya pembantu atau menantu. Kenapa terkadang perlakuan ibu begitu kasar dan sulit diterima oleh akal sehat, sulit diterima oleh hati nurani yang sudah terbiasa mendapatkan perlakuan lembut, tiba-tiba mendapatkan kekasaran Itu menyakitkan sekali."Pergilah!" Ucapnya sambil mengibaskan tangan di udara."Baiklah, Bu, Erlin sedang memasak makanan lain, sudah kutitipkan pesan padanya jika sudah selesai dia harus segera mengantarnya pada ibu.""Cepat sedikit, aku lapar!""Baik Ibu sabarlah sedikit!""Dari dulu hanya kau saja yang se
Usai menyapu bekas pecahan piring, kutemui keponakanku Erlin di dapur, ia tengah memotong daging dengan air mata yang masih membasahi kelopak matanya. Gadis itu terisak dengan kesedihan yang tak mampu ia sembunyikan.Aku paham, dia belumlah kuat mental sepertiku, dia masih baru di lingkungan ini dan mungkin latar belakang keluarganya yang lemah lembut membuat dia merasa sangat kaget ketika diperlakukan dengan keras. Ah, ibu mertua memang sangat tidak bijaksana."Sabar ya, semua akan membaik.""Tapi, kok Nenek bisa segitunya ....""Ah, sayang, nanti Nenek dengar, sebaiknya kau lanjutkan memasak, lihat tutorialnya di YouTube dan kau pasti bisa. Sementara bibi akan kembali ke rumah untuk menyiapkan makan siang.""Bi ... Aku butuh kehadiranmu untuk tetap di sini karena belakangan ini aku merasakan ketegangannya belum pernah ku alami sebelumnya." Wanita muda itu menahan lenganku dengan tatapan membalas dan aku bisa melihat jelas bahwa dia ketakutan dengan ibu mertua."Dengar Nak, sebenarny
Akhir bulan Syawal pun tiba, ferdi yang sudah tak sabar lagi untuk segera meminang kekasihnya akhirnya diluluskan keinginannya oleh ibu mertua untuk menikah lebih cepat, menikah sebelum musim penghujan dan sebelum orang orang akan repot dengan urusan pekerjaan dan kebun mereka.Seminggu setelah pernikahan, Ferdi memboyong sang istri Erlin untuk pindah ke lingkungan kami. Ke rumah induk tentunya, bersama dengan ibu mertua. Sebenarnya aku sudah ngeri membayangkan apa yang akan terjadi namun, aku mencoba berpikir positif dengan segala logika dan harapan terbaik, semoga ibu mertua bersikap baik pada cucu menantu.Hari-hari bergulir, kebiasaan dan adat rumah ini mulai terlihat, mantu mulai kaget dan heran akan pembagian kaku air yang harus dijatah setiap harinya. Setiap pagi, setiap kali aku mengantarkan jatah makanan dari gudang gadis itu akan mengernyit dan tidak paham tentang apa yang terjadi. dia selalu memasang wajah tak nyaman dengan sekeranjang makanan yang kini jadi tugasku untuk
Aku kembali dari rumah induk dengan perasaan hati yang sudah tidak menentu. Aku khawatir kejadian yang pernah kualami akan terulang pada gadis lain yang baru bergabung ke rumah ini.Namun Gadis itu adalah wanita kaya dan juga anak orang baik-baik, ibu mertua akan berpikir dua kali untuk menyakiti dan mengerjainya, jadi kurasa kekhawatiranku sama sekali tidak beralasan. "Tapi, bagaimana jika itu terjadi. Dia akan dijatah dengan makanan yang harus belajar ia cukupkan dan seember air setiap harinya? Apakah dia bisa?" Konon menjatah anak menantu dengan seember air adalah kebiasaan dari para tetua keluarga ibu mertua yang ingin membimbing menantu mereka untuk hidup disiplin dan pandai menjaga harta serta mengelola hidup.Aku tak mau mencampuri atau berkomentar miring tentang kebiasaan itu, semuanya adalah hak orang tua untuk melakukannya, tapi, pada posisi tertentu, misalnya, di saat melahirkan atau sakit rasanya seember air itu sangat tidak cukup. Sanggupkah nanti, calon istri Ferdi yang
Bersama dengan itu, dua belas tahun berlalu, kini anakku sudah duduk di bangku kelas enam SD ya, rima berangsur tumbuh menjadi anak remaja yang cantik dan cerdas. Anak anak Kak Yanto dan Dani sudah dewasa juga, mereka sudah duduk di bangku kuliah. Bahkan Ferdi anak sulung Kak Yanto dan Mbak Devi sudah lulus universitas dan bekerja mengabdikan diri di kantor desa kampung kami. Dia tumbuh jadi pemuda baik santun, pintar dan bijak.Suatu hari ia temui kami yang sedang asyik menggelar rujak dan kue di pelataran rumah ibu. Tanpa banyak basa basi ferdi langsung mengungkapkan keinginannya untuk menikahi kekasihnya."Mama, nenek, Tante, aku ingin menikah dengan Erlin pacarku, kami sudah lama bersama dan ingin melanjutkan ke jenjang berikutnya," ucapnya."Boleh saja, tanyakan pada kekasihmu kapan kamu boleh bertandang untuk melamar," ujarku dengan penuh semangat."Wah Alhamdulillah," ujar Mbak Devi dan Kak Tania serempak."Kau tahu kan, aturan keluarga ini, anak laki laki harus memboyong ist
"Aku sengaja datang ke sini untuk bicara dengan Mbak Devi," ucapku di ambang pintu rumah kakak ipar tertuaku. Para anggota keluarga intinya beserta anaknya menoleh dan sedikit gak setuju dengan kedatanganku."Untuk apa?""Untuk meluruskan segalanya.""Aku tak butuh bicara.""Kalau begitu dendamnya akan tetap lekat di hati Mbak Devi. Kita harus bicara.""Tentang apa lagi?""Agar aku dan Mbak Devi tidak bermusuhan lagi terlepas bahwa kita akan hidup satu lingkungan atau Aku akan pergi dari tempat ini kita harus tetap bicara.""Kalau begitu bicara saja secara langsung"Mbak tidak khawatir anggota keluarga mendengarnya?""Buat apa aku khawatir jika yang terjadi di antara kalian sudah seperti rahasia umum?""Mbak, kau bicara begitu seakan aku dan kak Yanto punya skandal atau hubungan rahasia padahal kami tidak ubahnya hanya seperti orang asing yang nyaris tidak pernah saling akur." "Lalu apa kabarnya ketika aku dan dia pergi mengunjungimu ke desa? Apakah itu bukan menunjukkan bahwa kami p
"Aku sengaja datang ke sini untuk bicara dengan Mbak Devi," ucapku di ambang pintu rumah kakak ipar tertuaku. Para anggota keluarga intinya beserta anaknya menoleh dan sedikit gak setuju dengan kedatanganku."Untuk apa?""Untuk meluruskan segalanya.""Aku tak butuh bicara.""Kalau begitu dendamnya akan tetap lekat di hati Mbak Devi. Kita harus bicara.""Tentang apa lagi?""Agar aku dan Mbak Devi tidak bermusuhan lagi terlepas bahwa kita akan hidup satu lingkungan atau Aku akan pergi dari tempat ini kita harus tetap bicara.""Kalau begitu bicara saja secara langsung"Mbak tidak khawatir anggota keluarga mendengarnya?""Buat apa aku khawatir jika yang terjadi di antara kalian sudah seperti rahasia umum?""Mbak, kau bicara begitu seakan aku dan kak Yanto punya skandal atau hubungan rahasia padahal kami tidak ubahnya hanya seperti orang asing yang nyaris tidak pernah saling akur." "Lalu apa kabarnya ketika aku dan dia pergi mengunjungimu ke desa? Apakah itu bukan menunjukkan bahwa kami p