Mendengar penghinaannya aku ingin sekali menjawab dengan jawaban yang lebih pedas. Aku benar-benar tidak terima pria itu menyebut nenekku dengan sebutan tua bangka yang merepotkan. Sesungguhnya orang yang sering merepotkan orang tuanya dan seluruh keluarga adalah dirinya."Hanya satu ... Sepuluh tua bangka pun bukan urusanmu, yang repot dan sibuk memberi mereka makan adalah aku, bukan kamu!""Tapi, uangnya dari uang ibuku!"Aku hanya tertawa sinis mendengarnya. "Kau pikir suamiku tidak punya upah selama bekerja di kebun, dari upah itulah kami menyambung hidup dan makan." Aku melengos pergi meninggalkan pria yang terus menggangguku itu."Dasar mental miskin," ucapnya.Mendengar hinaan itu, emosiku langsung membuncah, ingin kubalikkan badan untuk menampar dirinya dan mempermalukannya di depan anggota keluarga. Tapi, aku menahan semua dorongan itu. Bukan saja aku yang akan ikut malu, tapi Inaq juga, tidak enak padanya yang baru datang dari desa kami. Kuhela napas sambil mengucapkan i
Ternyata ucapanku tadi tak serta merta membuat Kak Yanto sadar dan berhenti mengganggu diri ini. Kupikir sedikit tidaknya dia tersentil dan tahu diri bahwa aku sudah muak diganggu olehnya.Namun, harapanku jauh dari kenyataan, karena kini, di jam makan malam, setelah makanan terhidang dan kami duduk di tikar untuk makan, tiba tiba saja dia datang dan mengetuk pintu."Aidil, Zahra, buka pintunya," ucapnya."Iya Kak, ada apa?""Apa kalian tidak akan membiarkan aku masuk?"Aku dan suamiku saling berpandangan, Kak Aidil mengernyitkan alisnya sedang aku mulai merasa tidak nyaman. Sekali lagi suara ketukan pintu kembali terdengar, Inaq mulai merasa heran dengan kami yang tidak kunjung bangun untuk membuka pintu."Kenapa pintunya tidak dibuka Zahra?""Uhm, i-itu hanya ....""Biar aku saja," ujar suamiku sembari bangkit dari tempat duduknya.Ketika pintu rumah terbuka pria garang itu langsung mendorong suamiku dan merangsek masuk seenaknya saja. Melihat kami yang sedang duduk mengelilingi m
Tentu saja aku tidak takut karena aku sudah tahu skenarionya. Semalam dia sengaja membuat alasan ingin mengunjungi Rima padahal sebenarnya dia sudah meletakkan dompet yang berisi uang Ibu senilai Rp2.000.000 di bawah kasur tempat tidur kami."Hmm, pria bodoh, dia tidak tahu bahwa kini aku tidak sebodoh dulu."Dia pikir aku dungu dengan mengajak ibunya untuk memeriksa rumahku. Aku tahu kak Yanto ingin mempermalukanku, dia tidak tahu bahwa aku sudah lebih dahulu mengatur langkah dibanding dirinya."Ayo kita ke rumahmu," ujarnya sambil menarik lenganku dengan kasar."Lepaskan, kau tidak perlu menyeretku, aku bukan binatang.""Tentu saja, tapi kau lebih licik dari siapa pun. Kau mencuri!""Jika tidak terbukti, apa yang akan kau lakukan?!" tantangku."Aku tidak takut untuk minta maaf bahkan bersujud di kakimu, tapi kau harus buktikan bahwa kau tidak salah.""Kakak tidak punya akal ya ... kakak tahu bahwa nenekku ada di sini, kakak sengaja mengintimidasi untuk membuatku malu di hadapan n
"Ibu ... Aku ingin bicara tapi sebelumnya ibu harus tenang dan mendengarkan semua pembicaraanku. Setidaknya beri aku kesempatan untuk menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi baru Ibu berkomentar dan menghakimiku."Itu yang kukatakan ketika pada malam harinya aku pergi menemui ibu mertua untuk menyerahkan kembali uangnya yang sudah diselipkan Kak Yanto di bawah kasur tempat tidur kami. Tentunya ... atas sepengetahuan dan izin suamiku."Aku jadi bingung, memangnya kamu mau bilang apa?""Ini uang ibu ... Kak Yanto menyelipkannya di bawah tempat tidurku.""Apa? kok bisa? apa maksud kamu? Kalau kamu memang tidak mencuri kenapa uangnya ada padamu , lalu apa kabar kehebohan yang terjadi siang tadi sampai-sampai putraku harus bersujud di kakimu. Aku benar-benar bingung." Seperti biasa ibu yang tidak sabaran selalu saja langsung emosi dan tidak mampu mengendalikan diri."Dia datang ke rumahku, memaksa masuk untuk membuai rima padahal sebelumnya Kak Yanto tidak pernah sama sekali mau menyent
Kususuri jalan setapak yang di kanan kirinya terdapat kebun dan sawah penduduk. Bunyi gemericik air yang mengalir di saluran irigasi sedikit menenangkan suasana hatiku yang galau karena baru saja ditinggal Inaq. Riak air yang jernih dan terlihat menyejukkan membuatku menerawang dan berpikir mengapa kehidupanku tidak mengalir saja seperti air yang tidak tersandung masalah dan hanya membawa kesejukan."Ah, andai saja."Sesampainya di rumah, ku letakkan payung di sudut teras lalu merogoh kunci dari dalam saku dan membuka gembok pintu. Tiba tiba saja dari pinggir kanan teras Kak Yanto muncul sambil menopangkan dagunya pada pagar teras."Jadi katakan padaku, di mana uang itu?""Pasti Kakak sangat heran kan karena tidak menemukan uang yang kakak selipkan!" jawabku tertawa.Dia yang yang merasa di skakmat oleh ucapanku langsung terkesiap dan menyurutkan wajahnya, alisnya mengernyit dan kemudian dia tertawa."Wanita licik," gumamnya sambil menggeleng dan memasang ekspresi melecehkanku."Uang
"Apa kau baik baik saja?" tanya Kak Aidil segera setelah kak Yanto pergi. Wajahnya nampak khawatir dan tegang memegangi lenganku yang masih menggendong Rima."Iya, aku baik baik saja," jawabku sambil menyeka sedikit darah yang mengering di sudut bibir, bekas tamparan kakaknya."Apa dia memukulmu lagi?""Selalu," jawabku."Ah, aku ingin sekali membunuhnya andai dia bukan kakakku," ucap suamiku geram."Jangan Kak, kendalikan dirimu," balasku sembari mengajaknya masuk dan menutup pintu. Kami sudah terlalu sering mencuri perhatian warga dan tetangga. Aku tak bisa menyebut bahwa wajahku sudah tebal menahan malu, tapi itulah kenyataannya. Semuanya jadi canggung."Kenapa bisa sampai bertengkar?" lanjut Kak Aidil seraya menyodorkan air padaku. Kuterima airnya lalu meneguknya, kemudian kuajak Rima berbaring lalu menyusuinya."Dia terus menyalahkanku tentang uang ibu. Jadi kuberitahu yang sebenarnya dan dia menggila," jawabku."Entah kenapa tuhan tidak menimpakan azab dan peringatan bagi Kakak,
Jadi pindahlah kami keesokan harinya, dengan sebuah mobil bak terbuka kubawa beberapa perlengkapan rumah, pakaian dan bahan makanan. Setelah berpamitan dengan ibu kunaiki mobil dan duduk di dekat supir sambil menggendong Rima sementara dari kejauhan pria yang kepalanya masih ada perban menatapku dengan sejuta makna.Mungkin dia puas bisa mengusirku dari rumah, atau mungkin juga makin gencar ingin melancarkan gangguan dan permusuhannya."Bismillah, kepindahan ini mudah-mudahan adalah awal yang baru," gumamku di dalam hati."Sudah semua Mbak?" tanya supir."Sudah Kak.""Bang Aidilnya mana?""Sudah jalan duluan pake motor," jawabku."Oh, baiklah."Perlahan mobil itu bergerak meninggalkan halaman rumah Pak haji dan Nyai Hatima. Kupandangi teras rumah dengan perasaan sedih karena memilih mengalah dan tersisih dengan cara terpaksa seperti ini. Memang tempat iju bagus, rumahnya sudah permanen meski berukuran kecil tapi tidak ada kenyamanan untuk tinggal dan mencari keamanan, segalanya se
"Apa ada maksud terselubung di balik itu? Apa kakak menaksir padaku tapi karena kalak tidak akan mungkin menjadikan diri ini pasangan sehingga kau murka dan iri sekali?""Jaga mulutmu, istriku bahkan 5 kali lebih cantik darimu, jangan mengada ada!""Kalau begitu apa maksudmu dengan terus menggangguku padahal aku sama sekali tidak pernah mengganggumu. Kakak bahkan tidak punya alasan untuk kesal karena aku sama sekali tidak pernah datang dan mengganggu kehidupan kalian atau membuat kekacauan di dalam rumahmu. Ada apa denganmu?" Mendengar pertanyaanku yang berani lelaki itu langsung diam saja. Dia tidak lagi banyak bicara karena setelah itu aku pun langsung masuk ke kamar.Entah apa perasaan Kak Aidil setelah aku mengungkapkan kekesalan dan apa yang terlintas di benakku. Habisnya, aku tidak habis pikir mengapa kak Yanto terus gencar mengembuskan permusuhan. Bukankah tabir antara benci dan rindu itu sangat tipis sehingga sulit dibedakan dan bisa berubah kapan saja? apakah dia menyukaiku d
"Baru sebentar Nek," Jawa Erlin."Dua jam Aku mau memanggil untuk meminta air minum, kenapa kau malah duduk santai di sini?" Dua jam apanya, Erlin bahkan belum duduk selama sepuluh menit. Aneh sekali wanita tua yang semakin hari semakin temperamen ini."Ibu Dia baru saja datang dan sekedar mengobrol denganku sebentar...""Aku juga sudah bilang padanya untuk tidak meninggalkan rumah jauh-jauh dan sulit kujangkau. Aku membutuhkan dia sepanjang waktu."Aduh penting untukku untuk menegaskan batasan tentang ibu yang semakin hari semakin seperti penjajah saja."Ibu dia juga manusia, dia butuh berinteraksi mendapatkan dukungan dari keluarganya dan sedikit pencerahan Apa salahnya jika dia mengobrol dengan salah satu anggota keluarga dan meninggalkan Ibu sebentar saja. Alih alih marah gara gara telat ambilkan air, Kenapa Ibu tidak ambil air sendiri saja lalu semuanya tuntas?'"Tuntas katamu?""Ya.""Ya ampun ...." Ibu mertua hanya menggeleng sambil membuang nafasnya kasar, dia tertawa sih ini
"udahlah jangan terlalu dipikirkan perkara ibu yang minta anak laki-laki darimu beliau tidak tahu seberapa keras kita berusaha hanya saja Tuhan belum mengizinkan, jadi jangan terlalu, dibawa santai saja," jawab Kak Aidil sambil tersenyum."Aku sedikit prihatin dan khawatir tentang keponakan baru kita.""Dia pasti bisa mengatasinya wanita itu punya daya dan keluarga yang mendukungnya jadi kamu tidak perlu khawatir. Ibu pasti juga akan berpikir dua kali untuk menyakiti anak itu.""Yang terjadi hari ini tidak akan kau percayai, Kak, Ibu melempar piring dan menghujat masakan Erlin.""Sungguhkah itu terjadi Apakah ibu melakukannya kepada menantu baru yang keluarganya sangat terpandang dan dihormati?""Aku sudah bilang bahwa Ibu tidak pandang bulu.""Astaghfirullah, biar aku yang bicara nanti.""Sejak kapan ibu akan mendengar kata-katamu, Kak?" Aku tergelap sambil menggelengkan kepala sementara Ia hanya menghela nafas sambil mendecak kecil. Aku tahu bahwa dia sangat dimanjakan ibu tapi jika
"Ah, aku mendengar Ibu, aku paham setiap makna kalimat yang ibu lontarkan.""Bicarakan hal itu kepada Erlin dan lain kali jangan membuat dia membantahku karena kau Aku tidak tahan Aku tidak akan segan-segan untuk menamparnya. Juga aku tidak mau mendengar dia memprotes apapun.""Iya Bu."Ah, hidup di antara lingkungan rumah Nyai hatima seperti hidup dalam penjara, banyak aturan dan tidak bisa bebas sekehendak hati. Sebenarnya aku juga penasaran, kami ini dianggapnya pembantu atau menantu. Kenapa terkadang perlakuan ibu begitu kasar dan sulit diterima oleh akal sehat, sulit diterima oleh hati nurani yang sudah terbiasa mendapatkan perlakuan lembut, tiba-tiba mendapatkan kekasaran Itu menyakitkan sekali."Pergilah!" Ucapnya sambil mengibaskan tangan di udara."Baiklah, Bu, Erlin sedang memasak makanan lain, sudah kutitipkan pesan padanya jika sudah selesai dia harus segera mengantarnya pada ibu.""Cepat sedikit, aku lapar!""Baik Ibu sabarlah sedikit!""Dari dulu hanya kau saja yang se
Usai menyapu bekas pecahan piring, kutemui keponakanku Erlin di dapur, ia tengah memotong daging dengan air mata yang masih membasahi kelopak matanya. Gadis itu terisak dengan kesedihan yang tak mampu ia sembunyikan.Aku paham, dia belumlah kuat mental sepertiku, dia masih baru di lingkungan ini dan mungkin latar belakang keluarganya yang lemah lembut membuat dia merasa sangat kaget ketika diperlakukan dengan keras. Ah, ibu mertua memang sangat tidak bijaksana."Sabar ya, semua akan membaik.""Tapi, kok Nenek bisa segitunya ....""Ah, sayang, nanti Nenek dengar, sebaiknya kau lanjutkan memasak, lihat tutorialnya di YouTube dan kau pasti bisa. Sementara bibi akan kembali ke rumah untuk menyiapkan makan siang.""Bi ... Aku butuh kehadiranmu untuk tetap di sini karena belakangan ini aku merasakan ketegangannya belum pernah ku alami sebelumnya." Wanita muda itu menahan lenganku dengan tatapan membalas dan aku bisa melihat jelas bahwa dia ketakutan dengan ibu mertua."Dengar Nak, sebenarny
Akhir bulan Syawal pun tiba, ferdi yang sudah tak sabar lagi untuk segera meminang kekasihnya akhirnya diluluskan keinginannya oleh ibu mertua untuk menikah lebih cepat, menikah sebelum musim penghujan dan sebelum orang orang akan repot dengan urusan pekerjaan dan kebun mereka.Seminggu setelah pernikahan, Ferdi memboyong sang istri Erlin untuk pindah ke lingkungan kami. Ke rumah induk tentunya, bersama dengan ibu mertua. Sebenarnya aku sudah ngeri membayangkan apa yang akan terjadi namun, aku mencoba berpikir positif dengan segala logika dan harapan terbaik, semoga ibu mertua bersikap baik pada cucu menantu.Hari-hari bergulir, kebiasaan dan adat rumah ini mulai terlihat, mantu mulai kaget dan heran akan pembagian kaku air yang harus dijatah setiap harinya. Setiap pagi, setiap kali aku mengantarkan jatah makanan dari gudang gadis itu akan mengernyit dan tidak paham tentang apa yang terjadi. dia selalu memasang wajah tak nyaman dengan sekeranjang makanan yang kini jadi tugasku untuk
Aku kembali dari rumah induk dengan perasaan hati yang sudah tidak menentu. Aku khawatir kejadian yang pernah kualami akan terulang pada gadis lain yang baru bergabung ke rumah ini.Namun Gadis itu adalah wanita kaya dan juga anak orang baik-baik, ibu mertua akan berpikir dua kali untuk menyakiti dan mengerjainya, jadi kurasa kekhawatiranku sama sekali tidak beralasan. "Tapi, bagaimana jika itu terjadi. Dia akan dijatah dengan makanan yang harus belajar ia cukupkan dan seember air setiap harinya? Apakah dia bisa?" Konon menjatah anak menantu dengan seember air adalah kebiasaan dari para tetua keluarga ibu mertua yang ingin membimbing menantu mereka untuk hidup disiplin dan pandai menjaga harta serta mengelola hidup.Aku tak mau mencampuri atau berkomentar miring tentang kebiasaan itu, semuanya adalah hak orang tua untuk melakukannya, tapi, pada posisi tertentu, misalnya, di saat melahirkan atau sakit rasanya seember air itu sangat tidak cukup. Sanggupkah nanti, calon istri Ferdi yang
Bersama dengan itu, dua belas tahun berlalu, kini anakku sudah duduk di bangku kelas enam SD ya, rima berangsur tumbuh menjadi anak remaja yang cantik dan cerdas. Anak anak Kak Yanto dan Dani sudah dewasa juga, mereka sudah duduk di bangku kuliah. Bahkan Ferdi anak sulung Kak Yanto dan Mbak Devi sudah lulus universitas dan bekerja mengabdikan diri di kantor desa kampung kami. Dia tumbuh jadi pemuda baik santun, pintar dan bijak.Suatu hari ia temui kami yang sedang asyik menggelar rujak dan kue di pelataran rumah ibu. Tanpa banyak basa basi ferdi langsung mengungkapkan keinginannya untuk menikahi kekasihnya."Mama, nenek, Tante, aku ingin menikah dengan Erlin pacarku, kami sudah lama bersama dan ingin melanjutkan ke jenjang berikutnya," ucapnya."Boleh saja, tanyakan pada kekasihmu kapan kamu boleh bertandang untuk melamar," ujarku dengan penuh semangat."Wah Alhamdulillah," ujar Mbak Devi dan Kak Tania serempak."Kau tahu kan, aturan keluarga ini, anak laki laki harus memboyong ist
"Aku sengaja datang ke sini untuk bicara dengan Mbak Devi," ucapku di ambang pintu rumah kakak ipar tertuaku. Para anggota keluarga intinya beserta anaknya menoleh dan sedikit gak setuju dengan kedatanganku."Untuk apa?""Untuk meluruskan segalanya.""Aku tak butuh bicara.""Kalau begitu dendamnya akan tetap lekat di hati Mbak Devi. Kita harus bicara.""Tentang apa lagi?""Agar aku dan Mbak Devi tidak bermusuhan lagi terlepas bahwa kita akan hidup satu lingkungan atau Aku akan pergi dari tempat ini kita harus tetap bicara.""Kalau begitu bicara saja secara langsung"Mbak tidak khawatir anggota keluarga mendengarnya?""Buat apa aku khawatir jika yang terjadi di antara kalian sudah seperti rahasia umum?""Mbak, kau bicara begitu seakan aku dan kak Yanto punya skandal atau hubungan rahasia padahal kami tidak ubahnya hanya seperti orang asing yang nyaris tidak pernah saling akur." "Lalu apa kabarnya ketika aku dan dia pergi mengunjungimu ke desa? Apakah itu bukan menunjukkan bahwa kami p
"Aku sengaja datang ke sini untuk bicara dengan Mbak Devi," ucapku di ambang pintu rumah kakak ipar tertuaku. Para anggota keluarga intinya beserta anaknya menoleh dan sedikit gak setuju dengan kedatanganku."Untuk apa?""Untuk meluruskan segalanya.""Aku tak butuh bicara.""Kalau begitu dendamnya akan tetap lekat di hati Mbak Devi. Kita harus bicara.""Tentang apa lagi?""Agar aku dan Mbak Devi tidak bermusuhan lagi terlepas bahwa kita akan hidup satu lingkungan atau Aku akan pergi dari tempat ini kita harus tetap bicara.""Kalau begitu bicara saja secara langsung"Mbak tidak khawatir anggota keluarga mendengarnya?""Buat apa aku khawatir jika yang terjadi di antara kalian sudah seperti rahasia umum?""Mbak, kau bicara begitu seakan aku dan kak Yanto punya skandal atau hubungan rahasia padahal kami tidak ubahnya hanya seperti orang asing yang nyaris tidak pernah saling akur." "Lalu apa kabarnya ketika aku dan dia pergi mengunjungimu ke desa? Apakah itu bukan menunjukkan bahwa kami p