Larasati yang baru saja membuka mata, meringis merasakan sakit di bagian kepalanya. Wanita itu memindai sekitar dan menyadari bahwa saat ini dia berada di sebuah kamar perawatan. Baru saja wanita muda itu hendak menekan tombol untuk memanggil perawat, pintu kamar terbuka dan muncullah Abimana dengan senyuman seringai di wajahnya.
"Mama Lara sudah sadar?" tanya Abimana seraya berjalan mendekat. Pria berkumis tipis itu nampak berjalan dengan pincang karena kaki kanannya terjepit body mobil yang ringsek di bagian depan kanan, akibat menabrak pembatas jalan.
Abimana kehilangan kendali karena tawanya yang lepas ketika menyetir mobil di jalan bebas hambatan. Akibatnya, mobil yang dia kemudikan oleng lalu menabrak pembatas jalan. Beruntung, mobil Abimana tidak terguling atau pun ditabrak oleh mobil-mobil lain di belakangnya yang juga melaju kencang sehingga Abimana dan Larasati selamat dari kecelakaan.
Abimana yang kakinya sempat terjepit, masih sadar ketik
Mendengar suara yang sangat familiar di rungunya, Abimana menoleh ke arah sumber suara. Diikuti oleh sang papa, beserta tiga orang yang tadi datang bersama orang tua Abimana. Mantan suami Larasati itu sangat terkejut, melihat siapa yang berjalan mendekat ke arahnya."Pak Bara?""Benar, Mas Abi. Saya datang ke sini untuk menggagalkan pernikahan Mas Abi dengan Larasati karena dia tidak mau kembali bersama Anda, Mas!" tegas Bara dengan sangat tenang.Abimana terkekeh. "Jangan sok tahu, Pak Bara! Tentu saja Larasati bersedia rujuk dengan saya karena ada Nanda di antara kami," balasnya. "Dia masih sangat mencintai saya, asal Anda tahu, Pak Bara!" lanjut Abimana, penuh percaya diri."Bukankah Anda sudah melihat sendiri tadi pagi, bagaimana Larasati meninggalkan Anda dan memilih bersama kami?" imbuh Abimana dengan senyuman mengejek."Itu dia lakukan karena Anda mengancamnya, Mas Abi!""Saya tidak mengatakan apa pun, apalagi mengan
Tepat setelah Abimana yang membawa paksa Larasati melewati Bara, pria tampan itu memukul ayah Nanda dengan sangat keras di bagian tengkuknya. Alhasil, Abimana terhuyung lalu jatuh tersungkur ke lantai rumah sakit yang dingin. Larasati yang masih terlihat lemah, berhasil melepaskan diri ketika cengkeraman tangan Abimana melemah lalu ditangkap oleh Bara.Pria tampan itu membawa Larasati dalam pelukan, mencoba memberikan ketenangan pada sang calon istri. "Syukurlah kamu tidak apa-apa, Dik. Kalau sesuatu hal yang buruk terjadi padamu, aku tidak akan pernah bisa memaafkan diriku sendiri," bisik Bara, membuat Larasati merasa sangat berharga.Wanita muda yang wajahnya masih terlihat pucat itu mendongak, menatap netra elang Bara. "Mas Bara mengkhawatirkan Rara?" tanya Larasati dengan begitu polos."Tentu saja aku mengkhawatirkan kamu, Dik. Aku mencintaimu, sangat mencintaimu." Tanpa sadar, Bara mengeratkan pelukan dan Larasati membalas pelukan tersebut
Larasati menangis sejadi-jadinya sambil memeluk sang putra yang sudah tidak lagi bernyawa. Putra kecil yang baru beberapa saat dia lihat dan Larasati sudah dipaksa untuk mengikhlaskan kepergian Nanda. Duka yang mendalam dia rasakan hingga membuat Larasati merasa bahwa dia tidak sanggup untuk menanggung semua penderitaan yang seolah tiada henti menyambanginya."Kenapa Rara harus mengalami semua ini, Mas? Kenapa? Rasanya, ini tak adil untuk Rara! Kenapa harus Nanda yang dipanggil? Kenapa bukan dia saja! Kenapa bukan dia saja yang mati!" Larasati yang mendekap sang putra, merasa bahwa hidup ini tidak adil untuknya.Ya. Setelah cukup lama tim dokter berusaha untuk menolong Nanda, putra Larasati akhirnya tidak berhasil diselamatkan. Bocah itu meregang nyawa karena mengalami komplikasi. Penyakit kronis yang pernah Nanda derita ketika baru berusia beberapa minggu, kambuh dan merembet ke organ tubuhnya yanh lain.Mengetahui tim dokter menyerah, Larasat
Meskipun Bara telah mengungkap semua fakta tentang perbuatan Abimana, tetapi mantan suami Larasati itu tetap tidak merasa bersalah dan tidak mau kalah. Pria berkumis tipis tersebut masih saja ngoceh tidak karuan. Beruntung, kedua tangannya sudah dipegang dengan kuat oleh dua orang petugas dari kepolisian sehingga hanya sebatas omongan yang bisa dia lontarkan."Semua itu salahmu, Ra! Karena keegoisanmu Nanda meninggal! Kamu benar-benar ibu yang egois!" kecam Abimana.Semakin dilawan dengan kata-kata, Abimana semakin menggila. Bara akhirnya hanya diam saja dan tidak lagi meladeni ocehan Abimana. Sementara Larasati, nampak tertunduk dengan air mata yang terus mengucur deras. Sepertinya, ada perkataan Abimana yang berhasil menyentil sisi hatinya.'Benarkah Nanda pergi karena aku egois?' Larasati hanyut dalam pikiran dan terus menyesali diri sendiri."Sudah, Dik. Jangan dengarkan ocehannya," bisik Bara, kala melihat wajah sendu sang calon istri.&nb
Sikap Larasati masih saja sama meskipun Bu Dini sudah mengajak wanita muda itu berbicara. Perkataan Abimana kala di rumah sakit, tidak hanya membekas di hatinya. Namun, membuat Larasati dihantui rasa bersalah terhadap sang putra.Imbasnya, wanita berhijab tersebut terus larut dalam kesedihan. Bukan hanya itu, Larasati juga senantiasa menghindar dari ayahnya Bram hingga membuat Bara kebingungan. "Kamu kenapa, sih, Dik?" keluh Bara, setelah pria tampan itu kembali tidak berhasil mendekati Larasati.Bara hanya dapat melihat wanita cantik itu dari kejauhan, ketika pagi ini Larasati mengajak sang putra bermain di taman belakang. Ingin sekali Bara mendekat, tetapi dia khawatir Larasati akan semakin menjauhinya. Akhirnya, Bara hanya bisa menghela napas berat."Kenapa, Bara? Apa, Nak Rara belum mau bicara denganmu?" tanya Bu Dini, mengagetkan sang putra.Bara menggeleng. "Dia terus menghindar, Ma," kata pria tampan itu yang terdengar putus asa.&
Larasati yang tengah menyuapi Bram makan sore, mengerutkan dahi kala melihat Bu Dini terlihat panik sendiri. Mamanya Bara itu nampak mondar-mandir, seraya berteriak memanggil sopir pribadi. Bu Dini juga menyerukan nama Bi Mimin, asisten senior di kediaman sang putra yang sudah sangat lama mengabdi."Ada apa, Ndoro Putri?" tanya Bi Mimin yang tergopoh-gopoh datang, ketika mendengar sang majikan memanggil namanya dengan teriakan. Disusul sopir keluarga yang langsung berdiri di samping asisten senior tersebut.Wajah asisten senior itu nampak cemas, begitu pula pria paruh baya di sampingnya. Bi Mimin dan Mang Ucup sepertinya dapat menebak bahwa sesuatu hal yang buruk pasti telah terjadi. Sebab, tidak biasanya sang majikan memanggil dengan seruan yang lantang."Bi. Aku mau ke rumah sakit, Bara mengalami kecelakaan. Tolong, Bibi bantu Rara mengawasi Bram," pinta Bu Dini dengan netra berkaca-kaca. Telihat dengan jelas bahwa wanita anggun tersebut sang
Setelah mengalami kejang-kejang akibat reaksi obat pasca operasi kakinya yang patah, keadaan Bara kembali membaik. Duda satu anak itu juga sudah siuman dan pagi ini telah dipindahkan ke ruang perawatan. Ruangan VVIP yang luas dengan fasilitas terbaik di rumah sakit tersebut.Semalam, Bu Dini, ditemani Fredy dan Dhani dengan setia menunggui Bara. Mereka bertiga menunggu di ruang tunggu yang berada di samping ruang observasi. Sementara Jali disuruh langsung pulang agar jika Larasati butuh sesuatu, sopir pribadi Bara itu siap menemani.Benar saja, pagi-pagi sekali Larasati sudah menyiapkan Bram dan minta diantarkan ke rumah sakit. "Ayo, Mas Jali!" ajak Larasati dengan tidak sabar, membuat Bi Mimin yang ikut mengantarkan sampai teras tersenyum."Hati-hati, Mas Jali," pesan Bi Mimin dan sopir setia Bara itu mengangguk, patuh."Bi. Kami berangkat dulu," pamit Larasati, seraya melambaikan tangan.Sepanjang perjalanan menuju rumah s
Waktu terus berlalu. Kini, kondisi Bara sudah dinyatakan membaik dan sudah diperbolehkan pulang, setelah dirawat selama seminggu. Larasati yang setiap hari dengan setia menunggui Bara bersama Bu Dini, menyiapkan semua meski Bara masih saja mengabaikan wanita muda itu."Mbak Rara, ini obat yang harus diminum Pak Bara, ya. Jangan lupa, setiap pagi ajak Pak Bara berjemur untuk mempercepat pemulihan kesehatan beliau," terang suster sambil menyerahkan obat untuk pasiennya itu."Baik, Sus. Akan saya perhatikan," balas Larasati, seraya melirik Bara. Namun, pria yang dilirik memasang tampang dingin dan sama sekali tidak tertarik mendengar perkataan ibu susu sang putra.Larasati hanya bisa menghela napas panjang kemudian. Nampaknya, wanita muda itu harus menambah stok sabarnya. Telah seminggu Larasati mencoba untuk mendekati Bara, tetapi duda satu anak tersebut masih saja bersikap dingin padanya.Sementara Bu Dini yang menyaksikan semua, kemudian
Keesokan harinya, baik Larasati maupun Bara telah bersiap di kamar màsing-masing. Sementara di ruang tamu yang luas, Bu Dini nampak bersemangat menyambut tamu undangan yang jumlahnya terbatas. Ya, Bu Dini hanya mengundang kerabat terdekat dan beberapa rekan bisnis sang putra yang sudah sangat lama menjalin hubungan kerja dengan Bara.Fredy dan pengacara pribadi Bara pun, terlihat ikut sibuk membantu Bu Dini. Mereka harus memastikan bahwa pernikahan dadakan Bara dan Larasati, dapat berjalan dengan lancar. Pengacara Bara juga tetap menyiapkan tim pengamanan karena tidak ingin hal buruk kembali menimpa klien dan keluarganya.Tepat pukul sepuluh pagi, penghulu datang dengan diiringi oleh Jali yang diminta Bu Dini untuk menjemput. Melihat kehadiran penghulu, Bu Dini lalu meminta Fredy untuk memanggil sang putra di ruang kerjanya. Ya, Bara lebih memilih menunggu di ruang kerjanya karena pagi ini, kamar utama sedang didekorasi oleh orang suruhan sang mama.&
Setelah kedua tamunya pulang, Bara meminta pada sang mama untuk berbicara empat mata. Bu Dini lalu mengambil alih kursi roda sang putra dari tangan Larasati karena kebetulan Bram rewel dan mencari ibu susunya. Di sinilah mereka berdua saat ini berada, duduk berhadapan di ruang kerja Bara."Ada apa, Bara? Apa kamu mau request hotel untuk malam pengantin kalian besok? Akan mama siapkan," tanya Bu Dini seraya tersenyum menggoda sang putra.Bara hanya membalas dengan decakan. Pria tampan itu masih diam dan belum ingin membuka suara."Mau barapa hari kalian menginap di hotel, hem?"lanjut Bu Dini seraya menelisik wajah putranya."Ma! Kenapa mama ngomongnya udah jauh banget, sampai bahas menginap di hotel segala, sih? Bara 'kan, belum setuju jika pernikahan kami dipercepat seperti keinginan mama tadi!""Kamu pasti setuju, Son, mama tahu itu." Bu Dini masih saja mengulas senyuman menggoda pada sang putra.Bara men
Mendengar perkataan istri dari mantan suami yang sepertinya benar-benar menyesali perbuatan di masa lalu, hati Larasati mulai sedikit luluh. Wanita berhijab itu sebenarnya tidak tega juga, melihat Abimana mengalami stress berat yang kini baru dia ketahui bahwa semua terjadi akibat tekanan dari sang istri. Larasati lalu menoleh ke arah Bu Dini untuk meminta pertimbangan."Bu. Apa kita bisa bicara sebentar," pintanya kemudian dan Bu Dini mengangguk, menyetujui."Maaf Pak Kusuma, Nak Lastri. Kami mau bicara sebentar," pamit Bu Dini seraya beranjak.Larasati lalu mendorong kursi roda Bara, mengekor langkah Bu Dini menuju ruang keluarga."Kalau memang Nak Rara keberatan jika Bara mencabut tuntutannya, biarlah proses hukum untuk Abimana tetap dilanjutkan. Ya, meskipun mama tidak yakin, kalau Pak Kusuma akan diam saja dan membiarkan menantunya itu mendekam di tahanan." Bu Dini mengawali pembicaraan, setelah beliau dan Larasati duduk di so
Siang ini, istri pertama Abimana benar-benar datang ke rumah Bara untuk menemui mantan atasan suaminya. Kedatangan Lastri, tidak berselang lama setelah kepulangan Bara. Dia disambut dengan baik oleh Bu Dini dan sang putra. Sementara Larasati yang merasa tidak berkepentingan, enggan untuk ikut menemui wanita yang pernah menorehkan luka di hatinya.Lastri datang ke kediaman Bara tidak sendirian. Dia datang bersama sang ayah yang merupakan seorang pengusaha terkenal. Tentu saja kedatangan mereka berdua membuat Bara semakin penasaran."Katakan saja langsung, ada perlu apa Mbak Lastri datang menemui saya lagi?" tanya Bara bahkan sebelum sang tamu dipersilakan untuk duduk."Bara. Biarkan tamunya masuk dulu." Lembut Bu Dini mengusap lengan sang putra, meminta kesabaran putranya itu.Bara menghela napas panjang. Dia tidak ingin berbasa-basi dengan orang-orang yang tidak memiliki hati seperti wanita di hadapan. Sementara Lastri dan sang pap
Waktu terus berlalu. Kini, kondisi Bara sudah dinyatakan membaik dan sudah diperbolehkan pulang, setelah dirawat selama seminggu. Larasati yang setiap hari dengan setia menunggui Bara bersama Bu Dini, menyiapkan semua meski Bara masih saja mengabaikan wanita muda itu."Mbak Rara, ini obat yang harus diminum Pak Bara, ya. Jangan lupa, setiap pagi ajak Pak Bara berjemur untuk mempercepat pemulihan kesehatan beliau," terang suster sambil menyerahkan obat untuk pasiennya itu."Baik, Sus. Akan saya perhatikan," balas Larasati, seraya melirik Bara. Namun, pria yang dilirik memasang tampang dingin dan sama sekali tidak tertarik mendengar perkataan ibu susu sang putra.Larasati hanya bisa menghela napas panjang kemudian. Nampaknya, wanita muda itu harus menambah stok sabarnya. Telah seminggu Larasati mencoba untuk mendekati Bara, tetapi duda satu anak tersebut masih saja bersikap dingin padanya.Sementara Bu Dini yang menyaksikan semua, kemudian
Setelah mengalami kejang-kejang akibat reaksi obat pasca operasi kakinya yang patah, keadaan Bara kembali membaik. Duda satu anak itu juga sudah siuman dan pagi ini telah dipindahkan ke ruang perawatan. Ruangan VVIP yang luas dengan fasilitas terbaik di rumah sakit tersebut.Semalam, Bu Dini, ditemani Fredy dan Dhani dengan setia menunggui Bara. Mereka bertiga menunggu di ruang tunggu yang berada di samping ruang observasi. Sementara Jali disuruh langsung pulang agar jika Larasati butuh sesuatu, sopir pribadi Bara itu siap menemani.Benar saja, pagi-pagi sekali Larasati sudah menyiapkan Bram dan minta diantarkan ke rumah sakit. "Ayo, Mas Jali!" ajak Larasati dengan tidak sabar, membuat Bi Mimin yang ikut mengantarkan sampai teras tersenyum."Hati-hati, Mas Jali," pesan Bi Mimin dan sopir setia Bara itu mengangguk, patuh."Bi. Kami berangkat dulu," pamit Larasati, seraya melambaikan tangan.Sepanjang perjalanan menuju rumah s
Larasati yang tengah menyuapi Bram makan sore, mengerutkan dahi kala melihat Bu Dini terlihat panik sendiri. Mamanya Bara itu nampak mondar-mandir, seraya berteriak memanggil sopir pribadi. Bu Dini juga menyerukan nama Bi Mimin, asisten senior di kediaman sang putra yang sudah sangat lama mengabdi."Ada apa, Ndoro Putri?" tanya Bi Mimin yang tergopoh-gopoh datang, ketika mendengar sang majikan memanggil namanya dengan teriakan. Disusul sopir keluarga yang langsung berdiri di samping asisten senior tersebut.Wajah asisten senior itu nampak cemas, begitu pula pria paruh baya di sampingnya. Bi Mimin dan Mang Ucup sepertinya dapat menebak bahwa sesuatu hal yang buruk pasti telah terjadi. Sebab, tidak biasanya sang majikan memanggil dengan seruan yang lantang."Bi. Aku mau ke rumah sakit, Bara mengalami kecelakaan. Tolong, Bibi bantu Rara mengawasi Bram," pinta Bu Dini dengan netra berkaca-kaca. Telihat dengan jelas bahwa wanita anggun tersebut sang
Sikap Larasati masih saja sama meskipun Bu Dini sudah mengajak wanita muda itu berbicara. Perkataan Abimana kala di rumah sakit, tidak hanya membekas di hatinya. Namun, membuat Larasati dihantui rasa bersalah terhadap sang putra.Imbasnya, wanita berhijab tersebut terus larut dalam kesedihan. Bukan hanya itu, Larasati juga senantiasa menghindar dari ayahnya Bram hingga membuat Bara kebingungan. "Kamu kenapa, sih, Dik?" keluh Bara, setelah pria tampan itu kembali tidak berhasil mendekati Larasati.Bara hanya dapat melihat wanita cantik itu dari kejauhan, ketika pagi ini Larasati mengajak sang putra bermain di taman belakang. Ingin sekali Bara mendekat, tetapi dia khawatir Larasati akan semakin menjauhinya. Akhirnya, Bara hanya bisa menghela napas berat."Kenapa, Bara? Apa, Nak Rara belum mau bicara denganmu?" tanya Bu Dini, mengagetkan sang putra.Bara menggeleng. "Dia terus menghindar, Ma," kata pria tampan itu yang terdengar putus asa.&
Meskipun Bara telah mengungkap semua fakta tentang perbuatan Abimana, tetapi mantan suami Larasati itu tetap tidak merasa bersalah dan tidak mau kalah. Pria berkumis tipis tersebut masih saja ngoceh tidak karuan. Beruntung, kedua tangannya sudah dipegang dengan kuat oleh dua orang petugas dari kepolisian sehingga hanya sebatas omongan yang bisa dia lontarkan."Semua itu salahmu, Ra! Karena keegoisanmu Nanda meninggal! Kamu benar-benar ibu yang egois!" kecam Abimana.Semakin dilawan dengan kata-kata, Abimana semakin menggila. Bara akhirnya hanya diam saja dan tidak lagi meladeni ocehan Abimana. Sementara Larasati, nampak tertunduk dengan air mata yang terus mengucur deras. Sepertinya, ada perkataan Abimana yang berhasil menyentil sisi hatinya.'Benarkah Nanda pergi karena aku egois?' Larasati hanyut dalam pikiran dan terus menyesali diri sendiri."Sudah, Dik. Jangan dengarkan ocehannya," bisik Bara, kala melihat wajah sendu sang calon istri.&nb