Haedar tengah menikmati secangkir teh di teras balkon yang lumayan luas. Semilir angin bagai menjadi peneman. Mendadak hatinya dicekam rasa rindu.
“Papa, aku sudah memberikan hak Kak Gerald. Aku kembalikan apa yang seharusnya menjadi miliknya. Namun, aku merasa ada yang salah dengan semua ini,” lirihnya. Perlahan ia meletakkan cangkir teh. Membiarkannya masih penuh. Aroma teh yang menyeruak terasa menggoda hidung. Sayangnya, bahkan meski asap tipis muncul karena teh itu masih panas, selera Haedar lenyap tak berbekas, seperti halnya asap itu. “Janganlah kau terlalu berpikir berat, Hae. Keputusanmu menyerahkan posisi CEO pada Gerald sudah tepat.” Seorang wanita bersanggul, dengan baju sederhana berwarna merah mendekati pria itu. “Kenapa, Ma? Apa aku memang sangat tak layak? Apa kerja keras yang selama ini aku lakukan kurang?” tanyanya, pada sang mama yang kini berdiri di belakSeorang pria tengah asyik menelepon. Langkahnya cepat menuju ke lift. Ditekannya tombol. “Ah, tidak. Aku akan segera kembali ke Jakarta. Mungkin tengah malam nanti,” ujarnya. Kala pintu terbuka, pria asing itu dibuat terkejut. Sesosok tubuh meringkuk di lantai dengan darah yang mengotori lantai. “Oh, Tuhan!” Pria berjas hitam itu segera mengakhiri perbincangan dan memasuki lift. “Hei, kau baik-baik saja?” Ia mencoba membangunkan Melinda yang terpejam. “Astaga! Dia terluka parah!” Matanya membulat melihat perut Melinda terluka. “Buka matamu! Kau tak boleh pingsan. Hei, buka mataku!” Ditepuknya pelan pipi Melinda dua kali. Karena tak ada reaksi, bergegas diambilnya ponsel Melinda di dekat kaki, lantas mengangkat tubuh itu dan membawanya pergi. Tak berselang lama, pria itu sudah pun sampai di rumah sakit dan membawa Melinda ke ruang UGD. Satu jam ia menunggu dengan cemas.
“Kau tak perlu melakukan ini. Perutku yang sakit, tanganku baik-baik saja.” Melinda menolak saat sang suami akan menyuapi. Walaupun sudah diizinkan pulang, kondisi Melinda belum benar-benar stabil. Gara-gara insiden penusukan, mereka terpaksa masih berada di hotel untuk sementara, sampai keadaan Melinda membaik. “Aku tahu, tapi kau keras kepala. Disuruh makan saja sudah seperti anak kecil yang perlu dibujuk. Ayo, buka mulutmu!” Gerald mendekatkan sendok, berniat menyuapi. Melinda memalingkan wajahnya. Selera makannya hilang bersamaan dengan pikirannya yang tak tenang. Masih memikirkan dua pria yang tega menusuknya dengan dalih dirinya adalah pelakor. “Jangan membuatku kesal!” Gerald meletakkan sendok ke piring dengan kasar hingga berbunyi. Jiddan yang memerhatikan dari dekat pintu, hanya menghela napas hingga dadanya sedikit membusung. Hampir sepuluh menit, tapi Melinda tetap menolak makan.
Melinda turun dari mobil dengan perlahan. Dibantu sang suami yang telaten merawat dan menjaganya selama dua hari berada di Malang. “Kau tak usah memegangi tanganku seperti anak kecil. Aku bisa berjalan sendiri,” kata Melinda. Bukannya merasa senang diperlakukan sedemikian rupa, ia malah merasa risih. “Nanti aku dianggap tidak baik, kalau aku diam. Serba salah menghadapi orang sepertimu,” keluh Gerald. “Ya, ya, ya. Aku akan menurut. Terima kasih banyak atas kebaikanmu, Suamiku. Jasamu tak akan pernah bisa kubayar. Kau malaikat penolongku.” Melinda sedikit membungkuk. Melihat sikap sang istri, Gerald tak tahan untuk diam saja. Dipukulnya kepala Melinda perlahan. “Aduh!” Wanita itu mendesis, menendang kaki sang suami. “Kau selalu membalas apa yang aku lakukan. Kau memang wanita keras, jahat, juga kasar.” Gerald melangkah mendahului, membiarkan Melinda berjalan di belakangnya bersama Jiddan.
Kenan tengah berbincang santai dengan beberapa rekan kerja di salah satu hotel, di mana pesta diadakan. Pesta yang juga dimanfaatkan untuk bertemu banyak orang penting, termasuk Haedar yang juga datang. Ia lebih dulu membicarakan tentang perusahaan sebelum yang lain datang. “Jadi, kau ke Jakarta untuk mengurus bisnis keluarga?” tanyanya. Kenan yang tengah menikmati segelas bir hanya mengangguk, sedikit menikmati minuman. “Lebih tepatnya, aku meneruskan. Pindah ke sini rasanya benar-benar luar biasa,” jawab Kenan. “Kau terlihat sangat muda. Berapa umurmu? Kalau Haedar pasti baru 30-an. Aku sendiri 37 tahun.” Seorang pria memegang piring kue bertanya. Ia menikmati hidangan sembari berbincang tanpa canggung. “Aku 27 tahun bulan depan.” Kenan menjawab seraya melambaikan tangan pada beberapa tamu yang baru saja datang. Beberapa orang ada yang mengobrol bisnis, percintaan, bahkan ada yang langsung menikmati hi
Kenan menatap kepergian mobil Gerald. Ia tersenyum lebar. “Aku merasa seperti ada hal tak beres di antara mereka,” lirihnya. Setelah beberapa saat ia menjadi saksi bagaimana Melinda diolok-olok, tatapan sang suami seperti ingin menerkamnya. Kenan yakin hubungan keduanya tak seindah yang ditampilkan. “Semua baik-baik saja? Apa tidak apa-apa kalau kita membiarkan mereka dipermalukan seperti tadi?” Baskoro mendekat. “Biarkan saja. Bukankah mereka terlihat menikmati acaranya? Kita juga hanya bercanda,” ucap Kenan. Keinginannya untuk merebut Melinda sepertinya akan semakin membara. Ia ingin tahu, apa yang sebenarnya terjadi dalam rumah tangga mereka. Satu atap dengan dua istri adalah hal mustahil. “Aku akan mencari cara untuk mengetahui kehidupan mereka.” Kenan bicara dalam hati. Kabar tentang alasan pernikahan Gerald dan Melinda serta penyebabnya sudah ia ketahui.
Melinda tengah menyapu saat Naura mengawasi dari lantai atas. Wanita itu memegang pisau berukuran kecil. Melinda yang melihatnya turun dari tangga ingin sekali bertanya mengenai warna tosca yang sangat dibenci suaminya. Namun, dia merasa ada yang janggal. “Kakak mau ke mana?” tanyanya, melihat tangan Naura memegang pisau dengan erat. “Ke taman samping,” jawab Naura. “Boleh aku ikut? Kebetulan aku sudah selesai menyapu.” Tiba-tiba saja Melinda merasa tertarik ingin mengetahui apa saja yang ada di taman samping. Selama ini ia hanya bisa melihatnya dari atas balkon. Menurutnya, Naura adalah pecinta tanaman. Berbagai jenis tanaman hias memenuhi pekarangan rumah yang lumayan luas itu. “Tidak bisa. Dari awal kau masuk ke rumah ini, bukankah aku sudah melarangmu ke sana?” Naura tersenyum paksa. Senyum yang tampak seperti penghinaan. Tak ada re
Gerald pulang membawa oleh-oleh. Kali ini hanya untuk Melinda. Dia ingin meminta maaf karena telah berlaku kasar. Lagi pula, Melinda tak tahu kalau dirinya tak suka warna tosca. “Kau masih marah? Sudah, lupakan saja. Ini, aku belikan gaun baru untuk menggantikan gaun yang aku bakar.” Gerald menyodorkan paper bag, tapi Melinda bergeming. “Apa kau melakukan ini setiap Kak Naura marah? Kau akan bersikap manis, memberi hadiah, lalu berharap dapat membujuk? Sayangnya, aku bukan dia.” Diletakkannya ponsel, lantas ia bangkit. Kata-kata Melinda yang menyinggung membuat Gerald menarik napas panjang. “Heh! Beraninya dia membandingkan aku dengan dirinya yang kampungan itu! Awas saja. Tunggu sampai aku membuatmu kehabisan napas untuk berkata-kata sembarangan!” Naura yang mendengar semua dengan jelas karena mengawasi lewat CCTV, mulai meninggalkan ruangan pribadinya tanpa melanjutkan apa yang dapat dilihat di laptop.
Melinda tengah berbincang dengan Haedar lewat telepon. Mereka masih membahas mengenai bunga beracun tadi. “Aku jadi curiga. Bagaimana kalau ternyata Kak Naura sengaja melakukannya? Walau bagaimanapun, kau madunya,” ujar Haedar. “Aku sudah curiga sejak gaun tosca itu. Dia yang bilang aku pantas dengan warna lain, jadi aku pilih warna tosca. Nyatanya, Mas Gerald tak suka sampai marah-marah.” Melinda menceritakan saat ia memilih gaun di mall. Cara Naura memintanya untuk memilih warna lain harusnya ia curigai sejak awal. Tidak mungkin sang istri tak tahu apa saja yang tak disukai suaminya. Terdengar Haedar mengeluh. Ia yakin Naura diam-diam merencanakan sesuatu. Menurut Saroon yang hampir dimadu, ia merasa sangat kesal, apalagi seperti Naura yang sampai membiarkan istri kedua tinggal seatap. “Kau wajib waspada, Kak. Kita mungkin bisa menyelami laut paling dalam, tapi tak bisa mengetahui apa yang ada dalam ha
Melinda dan Gerald berdiri menatap Lily Hotel di depannya yang sudah beroperasi beberapa bulan terakhir. Hotel baru yang langsung menjadi pusat perhatian dan populer di berbagai kalangan. Keduanya melangkah sambil memasuki tempat itu dengan senyuman. Para karyawan kompak menyambut kedatangan mereka yang sudah dikabari sejak beberapa hari lalu. Setelah pernikahan ulang dilaksanakan, Melinda dan sang suami semakin mesra. Ke mana-mana selalu bersama. Kali ini mereka datang untuk menikmati fasilitas hotel yang ada. Layaknya pasangan muda-mudi yang bulan madu. “Pokoknya aku mau lima ronde!” kata Gerald, memasuki salah satu kamar VVIP. “Ingat umur, Mas! Mana bisa tenagamu mengimbangiku?” ledek Melinda, menutup pintu dan menguncinya. “Jangan remehkan aku. Sebelum ke sini, Mama Zaskia sudah membuatkan aku jamu kuat. Dia bilang, aku akan sanggup sampai lima ronde sekali pun!” Geral
“Mama?” Baru saja kata itu terucap, seorang wanita mengeluarkan pistol dari dalam tas, lalu mengarahkannya kepada mereka. Melinda menganga, terkejut melihat kehadiran Zaskia tiba-tiba. “Kau pikir aku akan diam saja? Aku akan menuntut balas. Aku tak bisa datang saat kematian Naura, tapi aku datang saat kematian kalian.” Zaskia mengarahkan pistol kepada Gerald. Segera Melinda berdiri di depannya, menghalangi. “Sebelum kau membunuhnya, bunuh aku lebih dulu. Aku tak bisa hidup tanpa suamiku,” ujar Melinda. “Tidak! Bunuh aku saja. Mama pasti marah dan benci karena aku memilih Melinda, kan? Kalau begitu, bunuh saja aku, jangan dia.” Gerald mendorong Melinda ke samping. Berganti menjadi pelindung bagi sang istri. Melinda menggeleng. Digenggamnya tangan sang suami. Jika harus mati, maka dia lebih memilih mati bersama daripada harus kehilangan.
Pagi yang sepi. Ditemani semilir angin dan dedaunan yang berguguran. Hujan baru saja reda saat pemakaman Naura dilangsungkan. Melinda, Gerald, Jiddan, serta lainnya menyempatkan diri untuk datang. Menyaksikan bagaimana tubuh fana itu mulai ditutupi tanah yang lumayan berlumpur. Kabar kematiannya yang benar-benar mengenaskan baru terdengar menjelang pagi. Polisi mengatakan kematiannya karena bunuh diri. Overdosis obat penghilang cemas. Tubuhnya yang lemah, tak mampu menahan. “Seminggu lagi dia akan dieksekusi mati, tapi ternyata memilih mengakhiri hidup.” Begitulah yang Gerald dengar dari polisi yang datang untuk mengabari. “Kami menemukan surat di dalam kantong celananya. Mungkin Tuan berkenan menerimanya.” Polisi menyerahkan selembar kertas yang dilipat pada Gerald yang terkejut dengan kabar buruk itu. Tangannya bergetar saat menerima surat itu. "Di
“Di mana otakmu, hah? Kau ingin membakar anak kecil demi memuaskan egomu? Kau benar-benar sudah tidak waras!” Gerald merasa dadanya mulai bergetar, saking amarahnya tak bisa dibendung. “Aku tak peduli! Biar dia mati sekalian. Kalau dia mati, kau akan menderita bersama wanita itu. Aku akan tertawa sepuas hati,” jawab Naura, tersenyum lebar. Dilihatnya Melinda mengusap wajah Lily yang basah karena bensin. Rasanya Naura sudah gelap mata. Dia ingin hari ini juga, ada yang mati di antara mereka. Siapa pun itu, pokoknya hanya ada satu yang bisa tenang, dan itu adalah dirinya. “Kau sangat mencintai mereka, kan? Itulah kenapa kau menceraikan aku,” kata Naura, perlahan melangkah ke samping, di mana korek api yang terlempar tadi berada di rumput. “Itu semua karena kesalahanmu! Kau serakah! Kau egois! Kau penjahat yang hanya bisa menghancurkan hidup orang lain!” kecam Gerald, menunjuk wajah Naura. Tak jauh darinya,
Haedar berlari di Bandara. Semalam ia mendapat telepon dari temannya bahwa anak Gerald diculik mantan istrinya yang kabur dari penjara. Karena panik, Haedar izin kembali ke Indonesia. Pria itu berlari mendekati Radit yang menunggu dengan senyuman. Majikannya kembali. Walaupun mungkin hanya sebentar, setidaknya dia tampak baik-baik saja. “Selamat datang, Tuan,” sapa Radit, membungkuk hormat. “Lily sudah ditemukan?” tanya Haedar, memasuki mobil yang pintunya dibuka. “Tadi pagi saat saya ke sana, katanya mereka sudah menemukan keberadaan Lily. Ada Kenan dan Suzy yang membantu Nyonya Naura,” tutur Radit. Ia memasuki mobil, lantas segera membawa majikannya ke bandara. Sengaja tak memberi tahu keluarga Gerald bahwa dirinya pulang. Hanya seminggu di Turki, tapi dia terpaksa pulang. “Aku sudah curiga. Mustahil dia akan diam saja menerima kenyataan akan dipenjara selama beberapa tahun.” Haedar men
Saat semua orang masih panik, tiba-tiba ponsel Melinda berdering. Wanita itu mengangkat telepon dari nomor asing. Tangannya sedikit bergetar saat ponsel itu didekatkan ke telinga. “Ha-halo. Siapa?” tanyanya, menggigit jari. “Apa perlu aku beri tahu siapa aku?” Melinda membulatkan mata. Suara itu milik Naura. Dia yakin seratus persen bahwa yang kini menelepon adalah mantan istri Gerald. “Sayang!” Gerald mendekat. “Apa maumu? Katakan padaku, di mana Lily? Kau yang menculiknya, kan? Katakan, Naura!” Melinda membekap mulut, menahan isak tangisnya. Gerald meletakkan kedua tangannya ke pundak sang istri. Ikut mendengarkan apa yang akan Naura katakan. “Aku akan memberimu anak ini, asal kau datang ke alamat yang akan aku sebutkan. Sampai kau membawa orang lain, apalagi Mas Gerald ataupun polisi, aku tak jamin Anakmu akan bernapas.”
“Sayang, Minggu depan ikut aku, ya,” ajak Gerald. Meletakkan tangannya pada sandaran sofa. Istrinya yang fokus menonton acara anak-anak, menoleh sekilas. “Ke mana?” tanyanya, kembali menatap layar televisi, di mana kartun lucu tengah tampil. Lily yang sangat menyukai tayangannya, tak sedikit pun menoleh. Duduk di lantai beralaskan karpet tebal di bawah keduanya, dengan sejumlah mainan yang mulai berantakan. “Kau ikut saja. Aku ada kejutan untukmu,” kata Gerald, memeluk istrinya dari samping. “Tergantung,” jawab Melinda. “Tergantung apa?” Gerald menarik telinga Lily pelan, lalu pura-pura tidak melihat saat sang anak menoleh. “Tergantung suasana hati. Kalau suasana hatiku sedang baik, mungkin aku akan ikut. Kalau tidak, ya maaf.” Melinda mengganti tayangan saat iklan. “Ih, kau ini!” Gerald berdecak. Ia mulai mengganggu Lily yang asyik menikmati camilan. “Kau kadang suka aneh. Men
Dea menambah kecepatan motornya. Merasa takut tak akan bertemu Haedar lagi. Air matanya menetes. Sungguh, dia benar-benar menyukai pria itu. Walaupun berusaha untuk melupakannya, perasaan itu kian bertambah. Semakin subur setiap saat. Dea menangis tanpa suara. Jalanan di depannya yang lumayan lengang membuat wanita dengan kaos hitam itu semakin berusaha untuk sampai lebih cepat. Di Bandara .... Haedar dan Saroon baru saja sampai. Pria itu memeluk Radit yang tampak tak mau berpisah. “Saya ikut ya, Tuan,” ujarnya. “Mana bisa? Nanti siapa yang akan membantu Kak Gerald dan Jiddan? Lagi pula, kau juga butuh tiket pesawat, Visa dan paspor. Tidak mungkin dalam satu jam kau bisa menyiapkan semua. Sudah, tenang saja.” Ditepuknya pundak Radit yang sudah seperti anggota keluarganya juga. Memeluknya erat tanda sebentar lagi akan berpisah. “Jaga rumah baik-baik, ya. Kalau ada apa-apa, hubungi kami.” Saroon
Naura langsung dibawa ke ruang UGD untuk mendapatkan penanganan medis. Dua penjaga yang mengantar pun menunggu di luar. Satu jam kemudian, dokter keluar dari ruangan dan memberi tahu keadaan Naura yang sudah membaik. “Kapan kiranya bisa pulang?” tanya penjaga bertubuh kurus. “Dua atau tiga hari sudah boleh pulang. Saya permisi dulu.” Dokter berlalu meninggalkan dua penjaga yang sepakat akan bergantian berjaga karena Naura adalah tahanan. Selang beberapa saat .... Naura membuka mata. Ia langsung bangun, memegangi perutnya yang terluka. Nyeri hebat dirasakan saat ia menyentak selang infus hingga darah dari tangannya menetes. “Aku harus segera pergi.” Naura turun dari ranjang. Perlahan ia mendekati jendela. Beruntung tadi sempat mengambil gunting yang dokter letakkan tak jauh darinya. Wanita itu pun mencungkil jendela menggunakan gunting dengan susah payah. Berusaha untuk kabur dari tempat itu ta