Aku merasa ini tak adil bagiku, 200 tahun aku terkurung di dalam perjanjian manusia, aku dipenjara didalam lembah kotor, 100 tahun aku memulihkan kekuatanku dan kenapa setelah aku mengalami segala kesulitan itu justru sekarang aku dipertemukan kembali dengan seorang gadis yang persis seperti Sulastri kekasihku yang dulu.
Tidak ... Aku tidak mau Dwi setyani bernasib seperti Sulastri, aku harus membuang rasa ini, aku akan menyayanginya sebatas sahabat, dan aku berjanji apapun kesulitan Dwi aku akan membantunya."
Seperti biasa dikala hati Satrio gundah dia memainkan irama musik klasik yang tidak ada di alam manusia, namun bisa di dengar oleh manusia yang memiliki Indra keenam.
Keesokan harinya di rumah Dwi setyani.
"Bu ... Boleh nggak Dwi bantu ibu kerja bungkus tempe?"
"Nggak usah nduk? Katanya kamu mau kerumah Ani mau meminta brosur tentang sekolah pramugari."
"Eemmm ... Bu? Sebenarnya Dwi sudah mempunyai brosurnya? Tapi Dwi nggak berani menunjukan brosur itu kepada bapak dan ibu."
"Lah memang kenapa nduk? Mana? ibu mau lihat brosurnya?" tanya ibu penasaran
"Nggak kenapa-kenapa Bu? Hanya saja Dwi berubah pikiran? dan brosur sudah Dwi buang," Jawab Dwi berbohong padahal penyebabnya adalah biaya sekolah pramugari itu cukup mahal sekitar 35 juta, itu biaya pendidikan nya saja, belum untuk kost makan dan lain sebagainya.
"Pasti ada alasannya kan? ibu tau watakmu, apakah karena uang? Sebab kalau dilihat postur tubuh dan tinggi badan bukannya kamu itu tinggi ya? dan pasti bisa memenuhi syarat sekolah pramugari, Lihat ... Ibu aja tingginya hanya sebatas telingamu!" Ibu berkata sambil membandingkan tinggi badannya, dan memang benar tinggi ibu hanya sebatas telinga Dwi saja.
"Iya Bu ... Tinggi Dwi 165 berat 55 sebenarnya sudah pas, hanya saja Dwi mau kerja saja ikut mbaknya Ani?" jawab Dwi masih menyembunyikan keinginannya.
"Kerja di pabrik ya nduk?"
"Iya Bu? Gajinya lumayan besar kok."
"Ya udah mana yang menurutmu bagus ibu ikut saja? Oh iya kamu dirumah saja nggak usah ikut ibu, hari mau hujan nanti nggak ada yang angkat jemuran ibu pergi dan hati-hati dirumah ya?"
Benar saja setengah jam ibu pergi hujan turun dengan derasnya, setelah mengangkat dan melipat jemuran Dwi masuk ke kamar, mengambil brosur sekolah pramugari lalu duduk di meja belajar.
Seandainya biaya nggak semahal ini aku pasti bisa meminta uang ke ayah dan ibu? Seandainya aku kerja di pabrik aku juga nggak tau butuh waktu berapa puluh tahun untuk bisa menabung dengan nominal yang ada di brosur ini Dwi bergumam lirih.
Tanpa sadar Dwi mengeluarkan kalung pemberian Satrio yang tersembunyi di balik baju, dia menatap liontinnya dan berkata lirih.
"Mas Satrio ... Dimana kamu berada? Kamu bilang kamu akan datang menemui kalau aku mengusap liontin dan menyebut namamu, kamu bilang kamu bisa tau apa yang aku pikirkan, kenapa kamu bohong Lee min hoo? Apakah karena kamu tau kalau aku mencintaimu hingga kamu pergi meninggalkan aku?"
Tanpa sadar air mata menetes membasahi pipi dan jatuh ke liontin itu, dan tanpa Dwi sadari sebenarnya dari tadi Satrio memperhatikan semua gerak gerik Dwi, ingin rasanya dia masuk ke kamar menemui Dwi tapi takut tidak bisa menahan perasaan rindu yang sudah lama dia pendam.
"Dwi setyani ... Akupun merindukanmu" ucap Satrio lalu pergi.
Setelah hujan reda Dwi memutuskan pergi kerumah Ani teman sekolahnya, dia mau menanyakan apa saja syarat untuk bisa kerja di pabrik, keputusan Dwi sudah bulat bahwa dia tidak melanjutkan pendidikan dan akan bekerja, biarlah impian keliling dunia dia pendam, kalau dipikir sayang juga dengan nilai bagus yang dia raih, namun apa daya ekonomi keluarga tidak mendukung Dwi nggak mau merepotkan ibu dan bapak sebab Dwi masih memiliki dua adik yang sedang membutuhkan banyak biaya.
Dwi pergi memakai speda, rambutnya yang panjang sebatas pinggang dia biarkan terurai, sesekali rok panjang yang dia kenakan menari mengikuti irama dayung speda, di tengah jalan Dwi menghentikan speda sebab mendengar suara yang tak asing memanggilnya.
"Dwi setyani ... Tunggu ...?"
Dia menoleh menatap sang pemilik suara, dilihatnya disana Lee min hoo sedang mengayuh sepeda memakai kaos putih dan celana olah raga berwana biru, sungguh ketampana Lee min hoo selalu membuat jantung Dwi akan melompat keluar.
"Hai Dwi ... Kamu mau kemana?"
"Aku mau kerumah Ani?" Jawab Dwi sambil menunduk, angin sepoi-sepoi memainkan rambut Dwi, hingga menambah pesona gadis desa yang lugu ini.
"Boleh aku ikut?" Satrio menawarkan diri.
"A ... Apa? Kamu ikut, Dwi bertanya sambil membulatkan mata tak percaya.
"Iya ikut ... Sebelum aku ikut boleh nggak kalau aku tau tujuanmu kerumah Ani?"
Seperti biasa Dwi tidak pernah bisa menutupi semua masalahnya kepada Satrio.
"Kita minggir dibawah pohon itu dulu yuk baru aku bercerita" ucap Dwi sambil menunjuk pohon besar yang berjarak kurang lebih 100 meter dari tempat mereka sekarang.
"Okey ... Kita lomba ya? Siapa yang kalah maka dia akan membantu kesusahan yang menang setuju?" jawab Satrio.n
"Setuju ... Siapa takut? Kecil-kecil gini aku jago main sepeda kok." Jawab Dwi jumawa.
"Heeemmmm ... Kamu mulai sombong ya? Aku hitung sampai tiga lalu kita berangkat. Satuuu ... duaaa ... Tiga gooo!!"
Dengan riang Satrio dan Dwi saling mengejar, dua meter mendekati pohon besar nan rindang Satrio melambatkan laju speda sengaja memberi kesempatan agar Dwi menang.
"Ayoooo mas Satrio ... Kejar aku ...." Dwi menyalip sepeda Satrio dengan tawa penuh kemenangan. Satrio bahagia melihat keceriaan wajah Dwi, dia pura-pura kelelahan dan turun dari sepeda batinnya bicara, "Dwi ... Dwi ... Hanya dengan melihat tawamu saja segala dukaku hilang."
"Horeeee ... Aku menang ... secara reflek Dwi turun dari speda dan berlari kearah Satrio lalu memeluk Satrio dengan senang.
Kenapa Dwi bisa memelukku? Dan kenapa aku bisa dipeluknya? Apakah Dwi ini Sulastri? Owh iya aku ingat karena liontin pemberianku penyebab Dwi bisa bersentuhan denganku.
Satrio tidak berani membalas pelukan Dwi dan itu membuat Dwi merasa sangat malu.
"Ma ... Maaf mas ... Dwi refleks" muka Dwi berubah merah padam, lalu pergi berlari ke arah pohon besar menunggu Satrio.
Satrio tersenyum melihat polah tingkah Dwi setyani, lalu berjalan sambil menuntun sepeda mengikuti Dwi, setelah mereka sampai dibawah pohon dan karena melihat Dwi masih nampak malu akhirnya Satrio membuka percakapan.
"Jadi ada tujuan apa kamu ke rumah Ani? Apakah kalian mau kuliah pramugari bersama?" tanya Satrio sambil menatap Dwi dengan senyum terkulum.
"Enggak mas ... Tapi aku dan Ani mau menyusul mbak nya ke Bandung terus melamar kerja di pabrik sepatu" Dwi menjawab dengan muka di tekuk karena masih merasa malu.
"Aku nggak salah dengar ya? Bukannya hari itu dengan semangat kamu bercerita mau melanjutkan pendidikan pramugari?"
"Iya mas ... Tapi Dwi nggak tega sama orang tua? Sebab biayanya sangat mahal?" Dwi nampak sedih saat mengutarakan maksudnya.
"Memang berapa biayanya?"
"35 juta mas, dan itu hanya untuk biaya saja belum untuk biaya kost selama 6 bulan"
"Kalau aku yang bayarin apakah kamu mau melanjutkan mimpimu menjadi pramugari biar bisa keliling dunia?."
Dwi menatap Satrio dengan wajah bingung tak percaya.
"Ti ... Tidak usah mas, biar Dwi kerja saja nanti Dwi berusaha menabung"
"Kamu lupa ya ... Sebelum lomba speda tadi kita ada janji kan?"
"I ... Iya ... Dwi ingat, siapa yang kalah harus membantu kesusahan yang menang! Tapi ...! Bukan kesusahan ini yang Dwi maksudkan lagian uang 35 juta itu sangat banyak lho mas."
"Ya sudah kalau kamu nggak mau di kasih bagaimana bila aku pinjami saja, nanti kamu boleh bayar dengan sistem menyicil"
"Berapa cicilan per bulannya mas?" Jawab Dwi dengan sumringah, nampaknya dia tertarik dengan penawaran Satrio.
"Ha ... Ha ... Ha ... Aku bukan tukang kredit kali? Terserah semampumu saja, ingat ya kamu boleh mulai nyicil kalau kamu udah sukses keliling dunia dan bantu orang tuamu?"
"Nggak mau gitu lah mas ...." ucap Dwi kurang setuju.
"Jadi maumu gemana?" Satrio bingung
"Aku nggak mau lama-lama berhutang, aku mulai nyicil sejak gaji pertama sudah keluar saja" jawab Dwi sambil tersenyum dan menatap Satrio.
"Ya sudahlah ... Mas ngikut saja yang penting kamu bahagia! Jadi kapan kamu mau daftar?"
"Kalau sudah ada uang Dwi mau langsung daftar"
"Okey ... Nanti malam aku kerumah mu ya? Nganter uangnya!"
"Secepat itu mas?"
"Ya iyalah masa nunggu tahun depan"
"Ihhhh ... Mas bisa aja" Satrio menatap Dwi yang sedang menunduk tersipu malu.
"Ayo sekarang mas anter kamu ke rumah Ani ya? Tapi ingat jangan lama-lama, dan kamu kesana main aja nggak usah nanya-nanya masalah kerjaan di pabrik"
"Iya mas ...." Dwi menjawab dengan semangat.
Dwi dan Satrio naik speda sambil beriringan, sekali-kali Dwi mencuri pandang menatap wajah Satrio, sebenarnya Satrio tahu namun dia pura-pura nggak nampak.
"Apa masih jauh rumah Ani?" Tanya Satrio memecah kesunyian.
"Itu mas yang rumah hijau itu" Dwi menunjuk ke arah rumah Ani.
"Oowh aku nganter sampai sini saja ya? Dan aku tunggu kamu disini nanti kita pulang bareng lagi"
"Loh kenapa mas?"
"Mas takut nanti Ani naksir sama mas, dan kamu patah hati"
Satrio menjawab sambil berbisik di telinga dwi."Ishhhh ... Mas Satrio gitu dech" muka Dwi merah padam mendengar godaan Satrio lalu dengan cepat Dwi menuju ke rumah Ani.
Ternyata Ani sudah menunggu Dwi, dia duduk di kursi panjang yang ada di terasnya.
"Kupikir kamu nggak jadi datang wi?"
"Jadi lahhh ... Kan janji harus di tepati, oh iya An aku kesini buru-buru nich dan aku cuma mau bilang kayaknya aku nggak jadi ikut kerja di pabrik sepatu deh!"
"Loh kenapa?." Ani kaget sebab kemaren Dwi semangat banget ingin kerja tapi kenapa hari ini tiba-tiba Dwi berubah pikiran.
"Aku masih bingung An? Aku masih kepikiran sekolah pramugari, aku mau nyoba ijin sama ayahku dulu" jawab Dwi berbohong.
"Oh iya gak papa wi? Lagian sayang juga kalau kamu gak wujudkan cita-citamu, kamu pintar dan cantik tinggimu juga memungkinkan untuk kamu jadi pramugari"
"Bukan masalah itu An? Aku ingin menyekolahkan adik-adikku dan bantu orang tua, doakan aku berhasil ya An?"
"Tenang wi aku akan selalu do'akanmu"
"Ya sudah gitu aja ya An aku mau pamit"
"Loh kamu nggak minum dulu? Kamu baru nyampai lho"
"Nggak usah An, aku buru-buru, Assalamualaikum" Dwi mengucap salam sambil berlari ke arah sepeda nya.
Entah kenapa baru sebentar Dwi meninggalkan Satrio rasa rindu sudah bergelayut manja di hatinya, dia selalu ingin berada di dekat kekasih hatinya itu, meski Satrio tidak pernah mengucapakan kata cinta namun benih cinta didalam hati Dwi semakin hari semakin tumbuh subur dan bersemi.
Dwi tersenyum saat melihat sang pujaan hati dengan setia masih menunggunya, akhirnya merekapun pulang bersama, naik speda saling bercerita dan tertawa ceria.
Sesampai di rumah Dwi senyum-senyum sendiri, membayangkan semua kekonyolan tadi, saat bayang wajah Satrio melintas Dwi langsung tutup mata menyembunyikan rona merah di pipinya, nampaknya Dwi benar-benar telah jatuh cinta kepada Satrio mahluk penghuni hutan Pinus.
Dwi ingat nanti sore Satrio akan datang, buru-buru Dwi mandi berdandan cantik dan memakai baju yang menurut Dwi paling indah.
Begitu juga dengan Satrio sepulang mengantar Dwi tak henti-hentinya dia bersiul mendendangkan lagu, dia membayangkan wajah Dwi saat tersipu malu, namun bayang itu buru-buru Satrio hapus sebab dia telah berjanji tidak akan pernah mencintai Dwi, sebab takut cintanya hanya akan mengahancurkan kehidupan Dwi.
Menjelang malam Satrio datang, dia begitu tampan dengan tampilannya yang sederhana namun terkesan modis seperti opa-opa Korea, saat Dwi menyuruh masuk ke rumah bertemu kedua orang tuanya Satrio tidak mau masuk dengan alasan buru-buru Satrio hanya mengantar amplop coklat tebal sambil berpesan.
"Jangan kasih tau siapapun kalau uang ini dari aku, bilang saja kamu kuliah gratis sebab nilaimu bagus jadi kamu dapat kesempatan sekolah pramugari dengan gratis aku pergi dulu ingat pesan mas tadi ya?"
"Iya ... Baik mas ...."
Setelah menyerahkan uang itu mas Satrio langsung pergi, ada sedikit penyesalan di hati sebab dengan gampang aku mengiyakan tawaran mas Satrio, bagaimana nanti aku membayarnya? Aku masih mematung di teras rumah dan tiba-tiba ibu mengejutkan aku."Kamu bicara sama siapa tadi Wi?""Em itu ... anu bu, tadi Dwi bicara sama Ani?" Aku menjawab dengan gugup."Apa itu?" Selidik ibu sambil menunjuk amplop coklat yang aku pegang."I-ini berkas lamaran untuk melamar kerja Bu? Maaf Dwi kedalam dulu mau mempersiapkan lamaran kerja buat besok" kenapa aku berbohong aku merutuki diri sambil memukul-mukul mulut sendiri.Buru-buru aku masuk ke kamar, menutup pintu setelah memastikan semuanya aman ku buka amplop itu, mataku membulat dengan sempurna saat menatap satu gepok uang seratus ribuan, masih baru dan terdapat segel resmi Bank Indonesia sebesar lima puluh juta!.Apa? ... Lima puluh juta? Aku bertanya pada diri sendiri, ya ampun kenapa sebany
Dwi memejamkan mata sebab yang dirasa dia bagaikan terbang melayang di udara, ternyata disamping mas Satrio pemuda yang tampan, penyayang juga romantis mas Satrio juga seperti Falentino Rosi, bagaikan sedang berlaga di gelanggang circuit motor Satrio meliuk-liuk kesana kemari, Dwi benar-benar nggak berani membuka matanya, justru semakin mempererat pelukannya takut terjatuh."Wi ... Sampai kapan kamu mau memeluk mas? Emang nggak takut ya dilihatin banyak orang"Dwi membuka mata sambil melihat ke sekeling, ternyata motor sudah berhenti di bawah pohon pelataran gedung lembaga pendidikan penerbangan."Loh ... Sudah sampai ya mas?""Udah ...."Lalu Dwi turun dari motor, mas Satrio melepaskan helem yang dipakai Dwi."Kamu kok pucat banget wi?" Ucap Satrio sambil memegang kening Dwi, kamu nggak pernah naik motor ya?."Bukan mas ... Tadi mas Satrio ngebut kaya terbang, sekarang perut Dwi jadi mual nich""Ya am
Saking asiknya mereka bermain, tanpa sadar hari sudah malam, Satrio mengajak Dwi pulang."Wi? Kita mau nginap disini atau pulang saja?""Kalau bisa pulang kita pulang saja mas?""Meskipun naik motornya ngebut nggak papa?""Iya mas nggak papa? Kalau nginap disini kita mau tidur dimana? Masa tidur diatas motor""Kalau mas Satrio sih bisa tidur dimana saja tapi kasian kamu nanti kedinginan, atau kita cari penginapan aja ya?"Dwi menatap wajah Satrio, mau pulang takut kemalaman, kalau nggak pulang mau tidur dimana, dia menilik jam tangan ternyata jam menunjukan angka sembilan."Kira-kira berapa jam kita sampai mas?""Kalau mau cepat setengah jam sampai, tapi kamu takut nggak naik motor lebih cepat dari berangkat tadi, dan kamu harus pegangan erat-erat ya?""Kalau gitu pulang saja mas, nanti Dwi pegangan erat-erat."Akhirnya mereka pulang, Satrio mengeluarkan tenaga ekstra agar mereka cepat sampai, kurang dari 30
Biasanya kamu ngoceh terus tumben selama makan kok diam saja, nggak seru kalau kamu nggak bawel atau jangan-jangan lagi kesambet setan pendiam ya?". Satrio memecah kekakuan sikap Dwi, dia berfikir apakah tadi salah bicara sehingga Dwi tiba-tiba berubah."Em ... Anu ... Enggak mas, Dwi sedang menikmati buah-buahan ini, rasanya enak banget beda sama buah yang selama ini Dwi makan.""Ini kan hutan wi? Jadi buah-buahan semua masih alami belum kena obat seperti yang kalian para manusia biasa pakai?""Maksud mas ...?""Oh ... Itu maksudnya para petani biasanya ngasih obat buat tanamannya kan?.""Oh iya ... Mereka memakai itu biar buah dan sayuran tidak dimakan hama,.""Padahal menurut saya hama itu bagus buat tanaman lho? Kalau hama makan daun yang kena obat mati bisa-bisa manusia juga mati""Ya beda lah mas ... Hama makan daun secara langsung kan? Sedang kita memakai proses cuci dan masak?.""Iya juga ya? Kamu pinter.""Ah ..
Satrio bernafas lega saat melihat Dwi sudah masuk kerumah, melihat bapak ibu Dwi menyambut dengan ramah, setelah semua dirasa aman Satrio berbalik arah menuju ke istananya. Hati Satrio saat ini sangat bahagia, kebahagiaannya melebihi yang dirasakan saat bersama Sulastri, dulu, kisah cinta Sulastri dan Satrio mengalir bagaikan air, berawal dari sebuah persahabatan dan akhirnya timbul perasaan cinta, beda dengan bersama Dwi pertama kali Satrio memandang langsung Satrio jatuh cinta. Keceriaannya, manjanya, bawelnya, emosionalnya semua itu yang membuat Satrio tidak betah berlama-lama jauh dari Dwi. Seperti saat ini, baru saja mereka berpisah Satrio langsung merindukan Dwi, membayangkan polah tingkah Dwi membuat Satrio senyum-senyum sendiri. "Kamu baru pulang Satrio!?" Suara ayah mengagetkannya, tumben ayah langsung menyambutku, biasanya mau berapa tahun aku nggak pulang ayah nggak bakal mencari, dan saat aku kembali ayah juga nggak langsung
Setelah kejalam tadi Satrio mengajak Dwi pulang."Ayo mas anter pulang ke kos-kosan kamu" Satrio menggandeng tangan Dwi untuk mengajak pulang ke kosan."Dwi ingin ngobrol disini dulu mas, Dwi butuh penjelasan mas kemana saja mas selama ini, pergi tanpa pamit dan sekarang datang tak di undang bagaikan jailangkung" Dwi menghempaskan tangan Satrio lalu berdiri di hadapannya dan ngomel-ngomel."Ha ... ha ... ha, masa cowok seganteng ini disamain jailangkung sih, kamu ini dalam keadaan kaya gini masih aja sempat bercanda" sebenarnya Satrio kaget juga melihat sikap Dwi yang tidak seperti biasanya."Dwi nggak bercanda! ngapain mas datang kesini!" Jawab Dwi sewot."Apa kedatangan mas mengganggu mu? apa Dwi sudah nggak mengharapkan mas? kalau itu benar mas akan pergi mungkin lebih baik mas nggak menampakan diri dihadapanmu lagi."Satrio bicara dengan putus asa."Dasar laki-laki nggak peka! Pergi saja sana sesuka hatimu, pergi semaumu nggak usah pamit
Sepulangnya mereka dari rumah Larasati, Satrio ijin ke kamarnya dengan alasan lelah, padahal Satrio berniat akan menemui Dwi Satrio khawatir Dwi akan mencari dan menunggunya, setelah bertemu Dwi Satrio langsung mengajak Dwi pulang ke kosannya."Dwi ... Kayaknya besok mas tidak bisa menjemput kamu ya? besok mas ada tambahan materi praktek mekanik mas langsung pulang. Kamu hati-hati nanti malam jangan begadang lihat itu mata Dwi sudah kaya mata panda, okey mas pulang ya" sambil menepuk-nepuk pipi Dwi Satrio langsung pamit pulang.Dwi bingung dengan sikap Satrio yang tiba-tiba dingin, baru sekali ini Satrio bersikap seperti ini, hati Dwi berkata bahwa ada sesuatu yang Satrio sembunyikan.Namun Dwi nggak berani bertanya, takut dikira terlalu kepo dan membuat Satrio tersinggung, akhirnya Dwi hanya bisa mengangguk sambil menatap punggung Satrio yang semakin jauh meninggalkannya.Satrio meninggalkan Dwi sendiri, sebenarnya Satrio tahu Dwi masih ingin ngobrol, na
Satrio tidak percaya dengan semua yang terjadi, dia pikir Dwi akan berteriak histeris dan lari meninggalkannya, atau justru Dwi akan pingsan setelah siuman nggak mau lagi mengenal dirinya, tapi nyatanya seburuk apapun rupa yang dia tunjukan pada Dwi itu sama sekali tidak berpengaruh untuk Dwi, justru Dwi menyambut dengan senyum dan pelukan.Satrio terharu, inikah yang namanya cinta sejati, perbedaan bukan jadi penghalang paras tampan bukan jadi patokan.Satrio membalas pelukan Dwi dengan mesra tanpa terasa air mata menetes di pipinya, terimakasih Dwi sebab mencintai aku apa adanya, ucap Satrio dalam hati.Sejak kejadian itu Dwi dan Satrio semakin akrab, untuk menjaga nama baik Dwi bila mereka bersama di kerumunan Satrio menutupi Dwi agar tidak nampak oleh mata manusia, Satrio takut Dwi akan dianggap gila oleh teman-temannya.Enam bulan sudah berlalu, hari ini Dwi lulus dari pendidikan pramugari dengan nilai yang gemilang, selama enam bulan Dwi juga sudah
Saat Dwi Setyani dan Satrio sedang asik bercengkrama sambil menikmati semilir angin di pinggir hutan pinus, tiba-tiba seekor bangau putih datang mendekat, bangau itu duduk bertengger di samping Satrio, sesekali kepala bangau itu bersandar di lengan Satrio mesra, seolah bangau sedang mengungkapkan kerinduan yang sangat dalam kepada Satrio."Larasati kenapa kamu datang kemari." Bisik Satrio kepada sang Bangau."Oh... Ternyata kanda masih mengenaliku, meskipun aku memakai wujud seperti ini.""Heeemmm meskipun kamu berubah wujud menjadi apa saja aku akan tetap mengenalimu, pergilah jangan ganggu kami." Ucap Satrio lirih."" Kanda! Kenapa kami seperti nya sangat membenci aku?" Tanya Larasati memelas."Aku tidak pernah mbembencimu Larasati, namun, tingkah dan sikapmu dulu yang membuat aku harus bersikap tegas kepadamu, sebab sudah berulang kali kamu berusaha mencelakakan Dwi Setyani."
Hari ini, Dwi Setyani dan Satrio berkunjung ke dusun randu alas, dimana keluarga Dwi Setyani tinggal, rumah Dwi Setyani nampak sepi, seperti biasa ayah Dwi bekerja dan adik-adiknya sekolah, Dwi Setyani dan Satrio datang dengan mobil mewahnya."Tok, tok, tok ... Assalamu'alaikum bu, cklek" Setelah mengucap salam Dwi membuka pintu rumah yang tidak di kunci, rumah mereka masih seperti dulu, rumah kayu sederhana beralas ubin, padahal sudah beberapa kali Dwi Setyani menyuruh kedua orang tua mereka untuk merenovasi rumah, uang renovasi juga sudah Dwi kasih, namun sepertinya kedua orang tua Dwi belum berkeingjnan untuk memugar rumah itu, dengan alasan rumah masih layak di huni, dan lain sebagainya.Setelah Dwi masuk dia berjalan mengitari ruang tamu, ruang tamu juga tidak ada perubahan sama sekali, di sudut ruang tamu sebelah kursi kayu, ada tanamaan Sri Rejeki, konon kabarnya apabila tanaman Sri rejeki daunnya banyak bercak warna
Satu bulan sudah Satrio dan Dwi Setyani menjadi murid Akademi Kerajaan, suka dan duka dalam mempelajari materi kerajaan mereka lalui bersama, sekarang Dwi Setyani sudah mulai sedikit bisa memahami tulisan bangsa Jin, hubungan Dwi Setyani dengan putri Kencana masih juga belum bisa klop, meskipun Dwi Setyani banyak mengalah untuk putri Kencana, namun di mata putri Kencana Dwi Setyani selalu salah."Putri Kencana, Dwi ingin bicara sama putri." Suatu sore saat mereka sedang duduk di gasebo asrama, kebetulan mereka berdua memiliki tugas yang harus di kerjakan bersama-sama, tugas menyulam dan menenun kain agak sedikit aneh memang, kenapa calon permaisuri raja kok di beri tugas menyulam dan menenun kain."Bicara saja!" Jawab putri Kencana dengan tatapan mata tetap tertuju pada kain tenunnya.""Sudah satu bulan kita bersama, tapi kenapa putri Kencana seolah tidak bisa menerima kehadiran saya, kalau saya l
Pagi hari menurut alam jin, semua murid Akademi sedang mengikuti pembelajaran, hari ini materi membahas tentang kepemimpinan dan strategi perang, Dwi Setyani merasa kesusahan menyimak materi itu, sebab dia belum begitu paham dengan tulisan dan huruf-huruf alam jin, abjad mereka berbeda dengan abjad manusia, sebentar-sebentar Dwi Setyani menoleh ke arah Satrio, meminta bantuan kepada Satrio agar dia bisa mengartikan tulisan di papan tulis dengan bahasa dan abjad manusia, beruntung Satrio sudah lama mempelajari abjad dan tulisan manusia, tepatnya saat Dwi Setyani kuliah di Akademi pramugari, dan Satrio waktu itu pura-pura ikut kuliah di Akademi Penerbangan, jadi dengan mudah Satrio mengajari Dwi agar Dwi bisa memahami materi yang sedang di berikan.Kelas Akademi Kerajaan sangat luas, berisi 30 murid, tidak setiap juga murid laki-laki dan perempuan bisa berkumpul dalam satu kelas, sebab ada beberapa materi yang hanya di berikan khusus untuk calon permai
Hari ini Satrio dan Dwi Setyani di kirim ke asrama untuk mempelajari ilmu kerajaan, kamar mereka terpisah Satrio bersama teman-teman laki-laki dan semua yang disana adalah para putra mahkota dari beberapa kerajaan, sedangkan Dwi Setyani bersama para putri kerajaan dan calon Permaisuri.Satu kamar di huni oleh 2 orang, Satrio bersama putra mahkota Gunung jati bernama Sadewa, sedangkan Dwi Setyani satu kamar dengan seorang putri dari kerajaan siluman ular putih bernama, Kencana, putri Kencana memiliki tabiat yang sangat bertolak belakang dengan Dwi Setyani dia memiliki sifat temperamentalMenganggap orang lain bagaikan musuh, apalagi sejak pertama melihat Dwi Setyani putri Kencana sudah merasa tersaingi, sebab menurut putri Kencana fisik Dwi Setyani sangat lah sempurna, tanpa cacat dan celanya, kulit Dwi Setyani sangat halus dan licin, dengan rambut bergelombang ikal mayang, tubuh tinggi semampai, memiliki dua bola mata yang indah, b
Setelah melalui beberapa rintangan, kini Dwi Setyani bisa meneguk madu kebahagiaan bersama Satrio sang kekasih hatinya, hari-hari mereka di lalui dengan bahagia, di kerajaan hutan pinus, Dwi Setyani di juluki dengan Putri Salju, kenapa di beri julukan Putri Salju, sebab tutur kata Dwi Setyani sangat lembut, Dwi Setyani juga terkenal dengan kebaikan budi pekertinya.Seluruh rakyat kerajaan hutan pinus juga sangat menghormati Dwi Setyani, sebagai manusia yang di takdirkan memiliki akal dan hati, Dwi Setyani dengan akal nya berusaha membuat dirinya bisa di terima dengan baik oleh seluruh rakyat kerajaan hutan pinus.Apa lagi wajah Dwi Setyani sangat cantik jelita, membuat seluruh penghuni kerajaan hutan pinus mengagumi kecantikannya, bahkan banyak pemuda kerajaan ingin mengikuti jejak Satrio yaitu mempersunting manusia untuk di jadi kan pendamping hidupnya, namun apabila mereka mendengar kisah cinta dan perjuangan Satrio dalam mendapatkan r
Setelah menempuh perjalanan yang cukup melelahkan, disebabkan perbedaan waktu yang cukup panjang antara alam manusia dan alam jin membuat bapak Suprapto dan kiyai Soleh merasa lelah.Merekapun istirahat sambil menyantap hidangan yang sudah di sediakan oleh para santri, sambil menyantap hidangan sambil mengobrol tentang Dwi dan Satrio."Kang Prapto! sudah jangan disesali semua yang sudah terjadi, mungkin ini sudah kehendak takdir, sebagai orang tua sampean sudah berusaha menasehati anakmu, dia sudah dewasa sudah tahu mana yang baik dan mana yang buruk untuk masadepan dunia dan akhiratnya"Bapak Suprapto diam tak saggup menjawab apapun, sebab hatinya masih diliputi kesedihan, anak perempuan yang dia besarkan penuh kasih sayang menikah dengan pasangan yang tak lazim, memang anaknya menikah dengan seorang pangeran namun pangeran itu dari alam lain, benar dirinya kini bergelimang harta namun batinya tidak bahagia, seakan harta itu adalah bayaran atas dibelinya
Keesokan harinya pak Suprapto pergi ke pesantren kiyai Soleh, karena sudah beberapa kali kesana jadi beliau langsung disuruh masuk ke ndalem utama, setelah duduk beberapa saat kiyai Soleh datang menemui. "Ada apa lagi kang Prapto?." "Begini Romo? tadi malam Dwi dan Satrio datang kerumah saya?" "Loh ... bagus itu! terus bagaimana apakah Dwi mau pulang ke alam manusia?" Pak Suprapto menghela nafas panjang, wajahnya sayu dan sedih, matanya diselimuti mendung yang akan segera berubah menjadi hujan, pak Suprapto menggeleng lemah. "Tidak Romo! Dwi anak saya tidak kembali, dia cuma sebentar dan langsung pergi meninggalkan kami!" Jawab pak Prapto setengah terisak. Benteng pertahanan pak Suprapto jebol akhirnya airmatapun berderai membasahi kedua pipinya yang mulai keriput, terbayang jelas dimatanya bahwa Dwi kini sudah benar-benar bahagia dengan suami nya. "Kenapa kang Prapto tidak mencegah kepergian Dwi?" Romo kiyai bertanya pen
Ke esokan harinya, keluarga Dwi berpamitan untuk pulang, pesan kiyai Soleh agar keluarga Dwi tidak usah larut dalam kesedihan sebab cepat atau lambat Dwi Setyani akan kembali ke rumah mereka.Menjelang Dzuhur keluarga Dwi sampai ke rumahnya."Udah bu ... jangan nangis terus, ingat nasehat kiyai Soleh tadi agar kita jangan bersedih terus.""Bagaimana ibu nggak sedih pak? untuk kedua kalinya ibu kehilangan anak, dulu Eka sekarang Dwi"Mata bu Darmi menerawang jauh teringat anak pertamanya yang meninggal karena sakit di usianya yang masih bayi yaitu umur 8 bulan,.Kenangan masa lalu tentang Eka membuat bu Darmi menangis pilu, dia takut Dwi nggak akan pernah kembali lagi seperti Eka.Di kerajaan Genduruwo Satrio dan Dwi Setyani sedang berjalan-jalan di taman buah, mereka berjalan saling bergandengan tangan, rambut Dwi yang ikal dibiarkan terurai dan terkadang nyanyian lembut sang bayu membuat ujung rambut Dwi menari.Dwi sangat cant