Hari ini, Alma sudah siap pulang, tetapi Inara masih menemui dokter untuk membahas kondisi terakhirnya.
Sementara itu, Damian tetap di ruang rawat, menemani putrinya yang tengah duduk di ranjang dengan wajah berbinar, penuh semangat.“Papa ... Papa ikut Alma dan Bunda pulang ke rumah Oma, kan?” tanya Alma tiba-tiba, menatap sang papa penuh harap.Damian terdiam sejenak. Ada jeda singkat sebelum akhirnya dia menggeleng pelan. “Papa tidak bisa ikut pulang ke sana, Sayang.”Alma mengernyit, penasaran. “Terus Papa bobo di mana?”“Papa bobo di apartemen, Sayang.” Damian tersenyum, berusaha terlihat baik-baik saja di depan putrinya. “Nanti kapan-kapan kalau Alma mau, bisa bobo di apartemen Papa.”Namun, bukannya senang, wajah Alma malah berubah cemberut. Bocah perempuan itu menyilangkan tangan di dada. “Kenapa Papa tidak ikut pulang aja? Papa bertengkar sama Bunda, ya?”Damian menghela napas, menatap mata putrinya lekat. Dia tSuasana di dalam mobil itu cukup sunyi. Rafa duduk tenang sambil melipat tangan di dada. Damian fokus menyetir, sesekali melihat ke arah Inara dan Alma yang berada di jok tengah. Inara terus menatap ke kuar jendela, wajahnya tampak muram, seakan tak suka berada di situasi ini.Tiba-tiba, suara kecil Alma memecah keheningan.“Bunda ...,” panggilnya seraya menyentuh lengan Inara membuat wanita itu sontak menoleh.“Iya, Sayang. Kenapa?” Inara bertanya lembut.“Kalau Papa udah enggak bikin salah lagi, Bunda mau tidak, maafin Papa?”Inara sedikit terkejut mendengar pertanyaan polos putrinya. Ia menelan ludah, seolah mencari jawaban yang tepat.Sementara itu, Damian melirik mereka dari spion tengah sambil tersenyum kecil, menunggu jawaban dari mantan istrinya tersebut.“Kenapa Alma tiba-tiba bertanya seperti itu?” Inara mengangkat alis. Dalam hati, rada kesal pada Damian. Pasti pria itu sudah mengatakan hal
Hari berganti, bulan pun berubah. Pagi itu, Inara baru saja duduk di kursinya ketika ketukan terdengar dari balik pintu. “Masuk,” ujarnya sambil menyalakan laptop berlogo apel bekas digigit itu. Pintu terbuka, dan Rangga, Head of Production Mahacitra melangkah masuk dengan tampangnya yang serius. Pria berusia pertengahan 30-an itu mengenakan jas rapi, tetapi garis tegang di wajahnya memberi tanda bahwa ada sesuatu yang penting. “Ada waktu sebentar, Bu Inara? Saya perlu membahas sesuatu yang cukup mendesak.” Inara menghela napas pelan, mengangkat kepala menatap serius ke arah Rangga, lalu memberi isyarat agar pria itu duduk di kursi seberang. “Ya, katakanlah.” Rangga meletakkan beberapa dokumen di atas meja. “Ini soal produksi koleksi terbaru kita, Bu.” Inara langsung fokus. Koleksi ini krusial bagi Mahacitra. Sebuah rangkaian modest wear yang dirancang dengan desain modern tetapi tetap fungsional. Sebagai merek fast fashion di pasar mass market, efisiensi produksi dan rantai p
Walaupun sangat malas berurusan dengan sesuatu yang berhubungan dengan Damian, Inara tak punya pilihan lain. Ketersediaan bahan baku sangat krusial untuk memastikan desain terbaru Mahacitra tetap bisa diproduksi sesuai rencana. Ia pun meminta asistennya segera menghubungi sang mantan untuk membahas detail kerja sama. Kini, ia bersandar di kursinya, sesekali memijat pelipis yang terasa berdenyut. Sejak pagi, ia tenggelam dalam revisi final sketsa koleksi terbaru, memilih palet warna, dan menyesuaikan tekstur bahan yang paling sesuai dengan konsep desainnya. Dokumen-dokumen berserakan di atas meja, catatan tentang tren mode terbaru, referensi desain, serta revisi sampel kain yang masih belum mencapai standar yang ia inginkan. Laptopnya masih menyala dengan email dari pemasok dan laporan dari tim produksi yang menunggu keputusan akhir darinya. Sebuah helaan napas terdengar dari mulutnya, memejamkan mata sebentar ketika tiba-tiba ponselnya yang tergeletak di atas meja berdering. D
Damian mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan, senyumnya melebar, tampak penuh arti. “Kita makan malam dulu, Ra. Aku lapar soalnya. Kamu tau sendiri kalau tidak ada yang menyiapkan makan malam di rumah.”Inara meliriknya sekilas, lantas kembali mengabaikannya. “Menyedihkan sekali,” gumamnya, nyaris tak terdengar, tapi cukup didengar oleh Damian.Alih-alih tersinggung, pria itu justru tertawa kecil. “Sayang, kan? Restoran bintang lima begini, tapi kita tidak menikmati makanannya?”Ada sesuatu dalam mata Damian. Pria itu jelas punya niat lain selain sekadar membahas urusan bisnis.Sebuah helaan napas diberikan Inara, mulai jengah. Namun, dengan sangat terpaksa meraih buku menu di atas meja. Memilih makanan dengan cepat, tanpa benar-benar memperhatikannya.“Setelah ini, awas aja kalau kamu tidak langsung membahas inti pertemuan kita,” cecarnya, tatapannya tajam menusuk.Hanya saja, Damian sama sekali tak merasa terintimidasi oleh t
Lega, Inara melangkah keluar restoran setelah pertemuannya dengan Damian selesai.Tadinya, pria itu menawarkan diri untuk mengantarnya pulang. Namun, ia menolak dan beralasan bahwa supirnya akan segera datang menjemput. Nyatanya, hanya tak ingin terlalu larut dalam kehadiran Damian.Kini, wanita itu berdiri di depan restoran, menunggu jemputan ketika sebuah suara terdengar.“Sendiri saja, Bu Inara.”Kening Inara langsung berkerut saat menoleh dan mendapati seorang pria dengan perut buncit, kepala gundul menatapnya dari atas sampai bawah, tersenyum penuh maksud yang membuat bulu kuduknya meremang.Belum sempat Inara berbicara, pria itu kembali membuka suara. “Dengar-dengar, sekarang Bu Inara sudah kembali pada keluarga karena berpisah dari suami.” Entah apa maksudnya membahas persoalan pribadinya, tetapi Inara melihat pandangan penuh minat pria itu padanya.“Sayang sekali, wanita secantik kamu malah jadi janda.”
Sadar, posisinya terancam oleh ancaman Damian, pria yang rambutnya tak ada—entah sengaja dibabat habis atau mungkin rontok, hanya bisa mengepalkan tangan kuat-kuat di sisi tubuh. Rahangnya menegang, bukan karena malu, melainkan karena geram. Ia ingin membela diri, tetapi otaknya dengan cepat memperhitungkan risikonya.Sial! Jika Damian benar-benar menghentikan kerja sama mereka. Itu akan jadi masalah besar untuk perusahaannya.Pak Gunawan mendengus kasar. Namun, akhirnya dengan sisa harga diri yang dimiliki, ia memilih berbalik dan melangkah cepat meninggalkan tempat itu tanpa menoleh lagi Damian menatap punggung pria itu hingga tenggelam dalam mobilnya. Kemudian, ia mengalihkan pandangan ke arah Inara. Jelas, ada raut kekhawatiran di matanya. “Kamu baik-baik saja?” tanyanya dengan nada lembut.Inara mengangguk pelan. “Hm. Aku baik-baik saja.”“Kalau dia menganggumu lagi, beritahu aku.” Damian berusaha menjadi pelindung untuk I
Damian membuka pintu apartemennya begitu tiba. Sunyi. Tidak ada suara teriakan anak kecil yang menyambutnya ketika pulang, juga tidak ada senyuman manis wanita tercintanya yang selalu membuatnya ingin segera pulang ke rumah.Sekarang, yang menyambutnya hanya sepi.Lelah, ia berjalan ke sofa, menjatuhkan tubuh, lalu menyandarkan kepala pada sandaran sofa.Matanya perlahan terpejam, mencoba mengusir semua sesak yang bergelayut di dadanya sejak tadi.Damian kini meraih ponsel. Jemarinya membuka galeri. Menatap foto-foto keluarga kecilnya. Sudut bibirnya tertarik ke belakang, tipis, tetapi perlahan memudar, berganti sesak bagai pisau yang menusuknya tanpa ampun kala melihat senyum Inara di sisinya dalam foto itu. Alma dalam gendongannya. Mereka bertiga sangat bahagia, layaknya keluarga cemara.Namun, sekarang semuanya sudah hancur.Semua bermula karena kehadiran masa lalunya.Semula Damian pikir, wanita itu benar-benar membu
Pagi itu, keluarga Wardhana tengah berkumpul, menikmati sarapan. Aroma kopi dan roti panggang menguar. Inara duduk di samping Alma, membantu putrinya mengambil makanan. Di tengah mereka menikmati sarapan, Ayah tiba-tiba membuka topik pembicaraan. “Inara, bagaimana pekerjaanmu, Nak? Apa ada perkembangan?” Inara mengangkat kepala, menelan makanannya lebih dulu sebelum menjawab, “Secara keseluruhan lancar, Yah. Ya ... walaupun kemarin sempat ada masalah, tapi bisa diatasi.” Ayah mengangguk. Ekspresinya terlihat sangat puas. “Bagus. Kamu harus serius mengembangkan karirmu. Ke depannya, kamu harus siap untuk tanggung jawab yang lebih besar. Seperti yang pernah Ayah katakan sebelumnya, Papa ingin kamu mulai mempersiapkan diri untuk posisi lebih tinggi.” Inara tersenyum tipis. Melirik Rafiq yang duduk di seberang meja. “Biar Kak Rafiq saja, Yah. Aku sudah nyaman diberi tanggung jawab yang sekarang.” Mendengar itu, sang ibu yang sedari tadi menyuapi Alma, ikut berkomentar. “No ... ti
Deru mobil berhenti mendadak di depan gerbang sekolah. Andrew buru-buru turun dan membuka pintu untuk sang atasan. Damian turun lebih dulu, walau kakinya masih sedikit sakit, ia tetap siaga menyambut Inara turun dari mobilnya. Dia kasihan, wajah wanita itu pucat. Matanya sembap, bahkan tubuhnya sangat lemas seolah jiwanya ikut melayang bersama hilangnya sang putri.Mereka berganung dengan Arvin, Genta, Suster Liana, dan yang lainnya yang lebih dulu tiba.Melihat kedatangan Inara, guru Alma terlihat sangat gelisah. Wajahnya memdadak pucat.“Bu Inara, saya mohon maaf … saya benar-benar tidak menyangka kalau kejadiannya bakal seperti itu.” Suara wanita itu terdengar berat. “Orang itu bilang utusan papanya Alma, terus Alma percaya saja, dan saya pikir Alma mengenalnya. Tidak taunya malah seperti ini. Saya sangat bersalah dan menyesal, Bu. Saya tidak teliti.”Inara menunduk, tak bisa berkata-kata. Lututnya lemas. Damian refleks menopangnya, m
Mobil hitam yang membawa tubuh kecil Alma itu melaju cepat membelah teriknya matahari siang.Sesekali, bocah perempuan itu menoleh ke kiri dan ke kanan, memperhatikan jalanan yang makin asing dalam pandangannya. Alis kecilnya bertaut seketika, setidaknya ada rasa takut yang tiba-tiba muncul di hatinya.“Om!” panggilnya pelan. Dia mulai menggeser posisinya ke dekat jendela. Berusaha memastikan ada lokasi yang mungkin diketahuinya, tetapi nihil. Akhirnya, ia pun memberanikan diri bertanya pada dua pria yang duduk di depan. “Kita mau ke mana, sih? Ini bukan jalan ke rumah Papa … apalagi ke kantor Papa, kantor Papa mah deket toko roti yang enak itu.”Pria yang duduk di kursi penumpang depan melirik ke belakang. “Mau ketemu Papa kamu, Alma. Sabar, dong. Sebentar lagi kita sampai.”Alma cemberut, matanya menyipit curiga. “Tapi, Papa tidak pernah lewat jalan begini. Ini mah bukan jalan pulang. Om bohong ya sama Alma?” “Jangan-jangan .
Tanpa pikir panjang, Inara langsung menelepon Daffa. Curiga kalau pria itu yang sengaja balas dendam padanya menggunakan Alma.Tidak butuh waktu lama hingga panggilan itu terhubung.“Inara?” Suara Daffa terdengar di seberang. Agak terkejut, tetapi juga sangat senang. Suaranya sangat lembut ketika berkata, “Akhirnya kamu mau bicara denganku juga. Aku pikir kita bisa obrolin baik-baik soal kejadian kemarin. Aku—”“Aku menelepon pun bukan untuk itu, Kak Daffa!” potong Inara tegas. Muak sekali mendengar pembelaan diri Daffa yang seolah-olah sangat percaya diri tidak bersalah.“Tolong katakan padaku di mana kamu bawa Alma?” tanya Inara tanpa ingin basa-basi.Sejenak, Daffa terdiam di seberang. Berusaha mencerna pertanyaan Inara.“Apa maksudmu?” tanyanya bingung. “Inara, aku tidak mengerti. Memangnya Alma ke mana? Kenapa kamu malah bertanya ke aku?”“Jangan bohong!” bentak Inara. “Aku tau kita ada masalah, Kak Daffa. Tapi, tol
Pria itu tersenyum tipis, walau wajah tertutup masker, tetapi terlihat matanya yang menyipit. “Ah, papanya Alma katanya rindu, jadi menyuruh Om untuk jemput Alma. Mau tidak ikut ke rumah Papa?”Alma yang polos pun langsung mengangguk. Lagipula, ia sebenarnya juga ingin bertemu papanya untuk meminta datang ke acara sekolah pekan depan bersama sang bunda. Namun, bundanya belum ada waktu menemani dan juga tidak membolehkan Alma ke rumah sang papa sendiri selama pria itu masih dalam pemulihan, takut merepotkannya dengan kehadiran Alma.“Oke, Om! Alma ikut. Alma pulang, ya, Bu Guru.” Alma mencium tangan wanita itu takzim. “Iya, Alma. Hati-hati, ya.”Sambil melambai-lambai ceria pada Bu Guru, Alma mengikuti langkah pria yang tidak dikenalinya itu ke mobil.Ibu Guru hanya bisa mematung sesaat. Merasa ada yang aneh, tetapi ia cepat-cepat menggeleng. Berusaha berpikir positif dan menganggap tak ada yang salah dari semua ini.Al
Setelah memutuskan hubungan dengan Daffa, Inara berpikir semuanya sudah selesai, ternyata tidak. Bahkan, kini mobil mewah Daffa tampak berhenti di pelataran depan mansion. Pria itu turun dengan tampang percaya diri seolah semuanya baik-baik saja. Ia membawa sebuket bunga lili putih dan paper bag berisi makanan yang dibawah khusus untuk Inara. Bibi Asih, kepala pelayan di keluarga Wardhana itu buru-buru membukakan pintu depan dan menyambut pria yang dikenal sebagai calon suami dari Nona Mudanya itu dengan sedikit membungkuk. “Selamat siang, Tuan Daffa.” “Selamat siang, Bi. Nona Muda ada? Saya ingin bertemu dengannya. Saya sudah menghubunginya, tetapi ponselnya tidak aktif. Saya mencarinya ke kantor, ternyata kata asistennya dia tidak masuk. Apa Inara baik-baik saja?” Bibi Asih menunduk sopan. “Mohon tunggu sebentar. Saya akan menyampaikan pada Nona Muda.” Daffa mengangguk, berjalan perlahan ke r
Seperginya Inara, Daffa kembali ke rumahnya. Rambutnya acak-acakan. Pintu dibanting keras. Dengan napas yang memburu, langsung menyapu meja konsol di dekat pintu. Vas bunga, figura, dan pajangan kristal berjatuhan ke lantai, pecah berkeping-keping.Tangannya gemetar marah saat meraih hiasan lain dan melemparnya ke dinding. “Sialan!” teriaknya sambil terus mengobrak-abrik isi ruangan.Satu per satu benda pecah berserakan. Suara kaca pecah menggema ke seluruh rumah. Dalam waktu singkat, ruang tamu itu berubah menjadi ladang kekacauan menunjukkan ada amarah dan rasa frustrasi yang membara di dada pemiliknya.ART dan beberapa karyawan rumah terkejut berhamburan datang. Mereka berdiri terpaku di ambang ruangan, menunduk ketakutan.Tak lama, Daffa menoleh tajam ke arah mereka, napasnya tersengal dengan mata menyala marah.“Saya sudah bilang, jangan biarkan siapa pun masuk ke rumah ini!” bentaknya sambil menunjuk mereka satu per satu.
Mobil mewah milik Inara itu berhenti perlahan di depan rumah dua lantai yang tampak tak asing dalam pandangan. Keisya melirik pada Inara yang duduk di sebelahnya, wajahnya terlihat tegang juga bertanya-tanya. Kenapa dibawa ke rumah Daffa? “Keisya kenapa kita ke sini? Apa kamu pikir Daffa akan jujur kalau kita bertanya padanya langsung?” Inara tak yakin. Dia mendengus kesal. “Siapa juga yang mau jujur soal keburukannya?” Keisya mengangkat bahu. “Ikut saja.” Langsung keluar dari mobil. Inara walaupun sangat enggan, terpaksa mengikuti. Entah apa yang direncanakan wanita yang mengaku sebagai mantan kekasih calon suaminya itu? Keisya langsung mengetuk pintu dan tak lama seorang ART paruh baya membuka. Begitu melihat mereka, wajahnya tampak berubah, seperti orang panik. “Cari siapa, Non?” tanyanya. “Kak Daffa ada, Bi?” tanya Inara. “Maaf, Non ... tapi, sekarang Tuan Daf
Pada akhirnya, Inara berusaha menepis keraguan dan memutuskan pergi ke lokasi yang dikirimkan orang tersebut. Siapa pun orang ini, Inara berharap dia betul-betul tahu banyak tentang Daffa agar rasa curiga serta praduganya bisa terjawab.Kini ibu dari Alma itu sudah berada di lantai 2 kafe sesuai petunjuk lokasi pertemuan. Tempat ini cukup tenang. Lampu-lampu gantung yang menggantung rendah memancarkan cahaya kekuningan yang temaram, memantul di permukaan meja kayu dan gelas-gelas yang tertata rapi. Dia memilih duduk di pojok ruangan, membelakangi jendela besar. Pandangannya gelisah menyapu setiap orang yang melintas. Sayangnya, dia tidak tahu seperti apa rupa orang itu sehingga sulit baginya untuk mengenalinya. Dan, hingga kini belum ada satu pun orang yang menghampirinya.Ia melirik jam di ponsel, lalu kembali membuka pesan dari nomor misterius itu. Wajahnya tegang dengan segala persepsi buruk yang tiba-tiba menyerang kepalanya.Bagaim
Inara baru saja selesai bersih-bersih setelah hari yang panjang dan melelahkan. Angin malam yang sejuk masuk melalui jendela besar di kamarnya yang masih terbuka.Beberapa saat kemudian, ia memilih duduk di dekat jendela sambil memegang buku, sesekali menatap halaman mansion yang tenang. Dia baru saja membuka buku, hendak mulai membaca ketika tiba-tiba terdengar pintu kamarnya terbuka pelan.Ketika menoleh, ia mendapati gadis kecilnya melangkah mendekat. Dan, langsung memeluk pinggang ibunya erat. Inara menyimpan bukunya. Tak jadi membaca. Langsung mengangkat Alma ke pangkuannya. Mungkin bocah itu rindu bermanja dengannya.“Ada PR tidak?” tanya Inara. “Enggak ada, Bunda, tapi ada kabar seru!” Alma mengatakan itu dengan semangat, membuat Inara tersenyum. Memasang ekspresi serius, seolah siap mendengarkan. “Wah ... kabar apa, Sayang?” tanyanya sambil merapikan rambut Alma ke belakang telinganya.Alma