“Om Axel.” Pintu kamar Axel tiba-tiba terbuka dan memunculkan Angkasa di sana. Bocah itu tampaknya sedikit takut berada di tempat baru. Dia tadinya bisa tidur karena Axel ada di sana. Tapi saat dia bangun, ayahnya tidak ada berada di kamar, memunculkan ketakutan di dalam dirinya. Ketegangan yang terjadi beberapa saat lalu antara Permata dan Axel terputus dan dua orang itu menatap pada Angkasa yang berjalan mendekat. Angkasa duduk di antara kedua orang tuanya dan mengusap matanya. Axel mengelus kepala Angkasa dengan lembut. “Angkasa takut di kamar sendiri?” tanyanya.“Angkasa kaget. Om tiba-tiba nggak ada di samping Angkasa.” “Papa baru saja makan. Jadi Papa bangun. Angkasa mau tidur lagi?” “Nggak. Angkasa mau main. Mami, es krim Angkasa mana?” tanyanya. Permata seolah tidak mendengarkan suara Angkasa. Dia masih mencerna ucapan terakhir Axel sebelum Angkasa muncul dan menghentikan obrolan serius mereka. Axel menatap Permata yang tengah melamun. Angkasa pun bahkan hanya menatap ibu
“Angkasa, siapa yang mengajari Angkasa mengatakan itu?” Beruntung, lampu merah menyala sehingga Permata bisa menatap putranya. Dia tak memarahi bocah itu, hanya saja ini adalah kalimat ‘aneh’ yang Angkasa katakan kepadanya. “Apa itu bad word, Mami?” Bukannya menjawab, dia bahkan kembali bertanya. “Angkasa melihat itu di televisi. Saat itu Angkasa diam-diam menontong bersama Uncle.” “Film apa yang Angkasa tonton?” “Satu keluarga Mami. Ada ibu, ayahnya, dan juga anaknya.” Semakin besar, Angkasa semakin mahir berbicara. Dia semakin kritis dan pintar. “Lalu apa yang mereka lakukan?” Permata belum lega jika dia tidak menuntaskan semuanya. Kini dia segera menjalankan lagi mobilnya ketika lampu hijau sudah menyala. Sambil mendengarkan penjelasan tentang film yang pernah ditonton oleh Angkasa dan Denial. “Ayah itu bertanya kepada ibu si anak apakah dia tidak mencintainya lagi sehingga dia ingin berpisah? Dan si ibu bilang dia tidak mencintai si ayah lagi. Apakah Mami dan Om Axel juga s
Axel berpikir, sepertinya ini adalah waktu yang tepat untuk mengatakan semuanya kepada Angkasa. Tidak perlu menunggu di acara ulang tahun bocah itu. Kebenaran harus segera terungkap agar dia segera tahu bagaimana reaksi yang akan Angkasa berikan saat itu. Axel melihat jam di pergelangan tangannya. Dia ada meeting pagi ini dan tidak bisa ditinggalkan.“Angkasa, Papa ada meeting sebentar lagi. Papa janji akan menjawab semua pertanyaan Angkasa setelah itu. Bisa?” “Angkas boleh ikut meeting, Om?” “Tentu. Angkasa boleh perhatikan jalannya meeting. Karena suatu saat nanti kalau Angkasa sudah dewasa, Angkasalah yang akan menggatikan Papa mengurus perusahaan ini.” “Siap.” Angkasa lantas menunda dulu rasa penasarannya sampai nanti dia bisa mendapatkan semua jawaban yang dia inginkan. Setelah itu, Alvan memberitahukan jika rapat akan segera dimulai. Semua orang sudah berkumpul di ruang meeting. Ketika Axel masuk ke dalam ruangan rapat dan membawa serta Angkasa, seluruh orang di dalam ruanga
“Pernikahan itu tak akan pernah terjadi lagi.” Ucapan Axel itu terus berputar di dalam kepala Permata meskipun pembicaraan itu sudah berlalu beberapa jam. Malam sudah larut, tapi Permata tak bisa memejamkan matanya barang sedikitpun. Akhir-akhir ini, atau lebih tepatnya saat Axel dan Angkasa kembali dari Paris, perubahan Axel sangat signifikan. Tidak ada lagi Axel yang pemaksa, tidak ada lagi Axel yang seenaknya sendiri, dan seolah semua sifat buruknya hilang begitu saja. Permata sudah berusaha mengenyahkan semua itu dalam pikirannya seolah dia tak terpengaruh, tapi dia benar-benar tidak bisa. Dia berusaha terus meraba perasaannya apakah jentik-jentik cinta yang ada di dalam hatinya masih ada untuk Axel atau tidak, tapi dia bahkan tidak tahu jawabannya. Hari-hari selanjutnya berjalan dengan lancar tanpa ada halangan apa pun. Dan acara ulang tahun Angkasa akhirnya tiba. Ulang tahun itu diadakan di sebuah restoran mewah VIP dengan beberapa orang yang diundang. Alvan, Gema, dan kedua
“Kamu mau turun?” Axel segera bersuara ketika melihat Permata berjalan melewatinya. Perempuan itu bahkan sudah melepaskan sepatu high heelsnya dan mulai menuruni tempat itu. Tempat itu tidak ada tangga buatan atau sejenisnya. Hanya ada tanah-tanah dengan bebatuan yang keras sebelum disambut dengan padang rumput. Karena Permata tidak menjawab, Axel mengikuti Permata ke sana dan mereka berakhir di bawah pohon yang tinggi dan sejuk. Tak peduli kalau gaun hitamnya akan kotor, Permata justru duduk di atas rumput dan menarik napasnya panjang-panjang. Axel menjaga jarak yang sedikit lebih jauh takut kalau Permata akan terganggu dengan keberadaannya. Tidak ada yang berbicara lebih dulu dan mereka hanya diselimuti keheningan yang menyenangkan. Entah kenapa, meskipun tidak ada dari mereka yang berbicara, mereka justru tampak menikmati. Bahkan Permata juga. “Kamu tahu, kalau akhir-akhiri ini aku takut kepadamu, Axel?” Suara Permata membuyarkan lamunan Axel. Lelaki Itu menoleh pada Permata den
“Kamu yakin?” Permata balik bertanya. Bukankah dia tadi yang memberi Axel kesempatan? Tapi saat Axel menyetujuinya, justru dia lah yang tampak ragu. Axel terkekeh. “Aku tahu kamu ragu, Permata. Tidak perlu diteruskan. Kita lakukan saja seperti sebelumnya.”“Aku nggak akan memberikanmu kesempatan tanpa ada keyakinan di dalamnya. Aku hanya nggak mau saat aku bersungguh-sungguh, justru kamu berbalik dan memutuskan untuk pergi.” “Itu nggak mungkin,” sanggah Axel. “Aku akan memegang teguh ucapanku.” Dan saat itulah, pada akhirnya hubungan itu kembali terjalin. Axel dan Permata mencoba untuk kembali bersatu. Semua itu demi Angkasa. Demi putra mereka yang tidak bersalah hadir di dunia ini. Tak seharusnya mereka memberikan kehidupan yang buruk padanya. Pembicaraan itu berakhir. Mereka pergi dari tempat itu menuju rumah orang tua Axel. Axel meminta orangnya untuk mengambil mobil Permata agar mereka bisa ke rumah orang tuanya bersama-sama. Di dalam mobil itu penuh dengan keheningan. Tidak a
“Kita bisa tidur bertiga.” Kata-kata itu terdengar menggelikan bagi yang mendengar. Bukan hanya Permata yang salah tingkah, tapi orang tua Axel bahkan sudah terkekeh karena ucapan polos cucu mereka. “Doakan mami dan papa bisa bersatu lagi sehingga Angkasa bisa tidur bertiga. Bersama mami dan papa.” Begitu kata ibu Axel setelahnya. Angkasa hanya mengangguk saja setelah itu. Permata segera pamit atau dia akan terjebak dengan semua pertanyaan yang barangkali akan kembali dilontarkan Angkasa kepadanya. Bocah itu tengah dipenuhi rasa penasaran yang begitu tinggi sehingga dia membutuhkan banyak penjelasan yang bisa dimengerti. “Langsung pulang atau mau mampir ke mana dulu?” tanya Axel saat mobil sudah berjalan. Permata melihat jam tangan kecil yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Sudah pukul sepuluh malam. Beberapa waktu lalu, Almeda dan Denial menanyakan keberadaannya dan memastikan dia baik-baik saja. Permata tidak bisa membayangkan bagaimana reaksi dua sahabatnya itu saat t
“Aku mengambil keputusan itu bukan tanpa alasan.” Permata menjawab tegas. “Aku sudah mempertimbangkan matang-matang dan inilah keputusannya. Aku benar-benar berharap kalian akan menerimanya.” “Bagaimana kalau kami tetap tidak menerimanya?” Denial bersikeras. “Kamu akan tetap bersama dengannya?” “Aku akan tetap bersama dengannya.” Jawaban itu terdengar kolot dan tak ingin dikalahkan. “Angkasa menyayangi Axel begitu besar sekarang, dan aku juga bisa merasakan jika Axel sudah berubah sepenuhnya.” “Bukankah memang seperti itu? Untuk mendapatkan sesuatu, dia akan tampak bersungguh-sungguh dan dia akan meninggalkanmu setelah mendapatkan apa yang dia inginkan.” Permata juga pernah memikirkan tentang itu. Berkali-kali bahkan sampai bertahun-tahun. Tapi sekarang dia sudah mengambil keputusan dan dia berharap tidak ada yang perlu disesali. “Bukannya kita sudah melihat perubahannya? Kamu selama ini juga sudah melihat bagaimana dia sungguh-sungguh merawat dan begitu menyayangi Angkasa. Aku
Angkasa tidak tahu sejak kapan matanya selalu ingin melihat gadis itu. Gadis yang tampak tidak begitu bersahabat dengan orang lain dan lebih suka ke mana-mana sendiri. Beberapa temannya bahkan segan dengan gadis itu. Angkasa juga tidak tahu, kenapa dia suka berdiri di tempat di mana dia bisa memerhatikan gadis itu dalam diam. Ada getaran aneh yang dirasakan ketika suatu hari dia bersisipan jalan dengan gadis itu. Namanya Semesta, dia satu angkatan dengannya. Gadis itu benar-benar cuek dan memiliki dua saudara yang super posesif. Dia mendengar, mereka memang kembar tiga. “Lo suka sama dia, Ka?” Kesenangan Angkasa harus terputus karena temannya mendekat dan membuyarkan lamunannya. “Gue tahu kok, lo selalu berdiri di sini hanya untuk menatap Semesta.” Angkasa menarik napasnya panjang. Sepanjang hidupnya, dia hidup belum sekalipun dia merasakan jatuh cinta. Kalau sekarang getaran itu dirasakan, apa benar getaran itu adalah tanda jika dia sedang jatuh cinta? Ya, pertanyaan temannya itu
Angkasa berdiri dengan membawa dua adiknya di dalam gendongannya. Membawanya masuk ke dalam rumah sehingga membuat dua adiknya itu tertawa-tawa. “Abang, ayo kita putra-putar.” Rembulan berteriak tepat di telinga Angkasa membuat Angkasa sedikit menjauhkan kepalanya. Tapi tidak bisa karena Moza ada di punggungnya. “Astaga, anak-anak ini.” Almeda menggeleng pelan. “Turun anak-anak. Kasihan abangnya dong.” “Nggak mau!” Suara itu keluar dari mulut Moza dan Rembulan secara bersamaan. “Abang, ayo kita mutar.” Rembulan mengimbuhi tak peduli dengan Almeda yang sudah menatap mereka memeringatkan. Melihat Almeda yang sudah mengerutkan kening, Angkasa segera bersuara. “Biarin aja Onty Al. Lagi menghibur yang mau adik.” Almeda mengerti, maka dia hanya diam pada akhirnya. Akhirnya Almeda kembali ke dapur. Bapak-bapak yang ada di belakang rumah tentu saja tidak tahu kelakuan anak-anak mereka. Membiarkan anak-anaknya berbuat seenaknya. Sedangkan Permata dan Crystal yang melihat dari dapur
“Bunda, kapan Rembulan punya adik?” Pertanyaan itu dilontarkan oleh bocah berusia lima tahun yang sudah memasuki sekolah Paud. Dia baru saja pulang dari sekolah, lalu berlari untuk bertemu dengan ibunya di kantor Crystal Fashion. Di belakangnya, ada Mbak Susi – si pengasuh. Crystal yang tengah menunduk dan tengah menggambar itu segera mendongak. Memberikan senyuman kecil untuk putrinya, lalu meninggalkan pekerjaannya untuk sementara. “Putri Bunda sudah pulang.” Pelukan Crystal mengerat pada putrinya. “Lho itu bawa apa?” “Telur gulung.” Crystal hampir menjatuhkan rahangnya ketika melihat bungkusan plastic berisi telur gulung yang dibawa oleh Rembulan. Crystal menatap Mbak Susi untuk meminta penjelasan kenapa putrinya harus makan-makanan seperti itu. Bukan masalah makanannya, yang dikhawatirkan oleh Crystal adalah makanan itu dibeli di sembarang tempat dan tidak higienis. “Itu bersih kok, Bu.” Tahu kalau dia harus memberikan penjelasan, maka Mbak Susi segera bersuara. “Di samping
Bu Cintya memutus tatapan mereka dan berjalan mendekat ke arah Om Rudy. Lebih tepatnya ke arah pintu yang ada di belakang lelaki itu. Tidak ada sapaan sama sekali. Dia masuk begitu saja, lalu tersenyum ketika melihat anggota keluarga yang lain kumpul. “Angkasa!” Bocah yang menginjak remaja itu mendongak dan tersenyum. Hanya senyum kecil. Tubuhnya menempel pada tubuh Denial dengan tangan sibuk bermain tab. Peraturan masih sama, karena hari libur, maka dia bisa bermain benda elektronik itu. “Kalian makan malam di sini sekalian, ya. Kita masak sama-sama.” Mereka saling pandang sebelum mengangguk bersamaan. Tentu saja, itu membuat Bu Cintya bahagia luar biasa. Perempuan itu duduk di sofa tepat di samping Almeda dan memangku Elang dengan lembut. Sedangkan Moza yang sudah bisa berjalan itu tak mau diam. Axel harus terus memantaunya agar tidak jatuh. Gema masuk dan segera menyergap bocah kecil itu kemudian mengangkatnya tinggi-tinggi. Tawa renyah keluar dari mulutnya. “Cantiknya siapa?”
“Ma, besok mau ajak Rembulan ke rumah Almeda. Ayah mau ketemu katanya.” Pagi ini, saat sarapan, Denial memberitahu ibunya tentang keinginannya untuk pergi ke rumah Almeda. Ini untuk pertama kalinya Rembulan akan diajak pergi keluar setelah dia pulang dari rumah sakit. Ya, sudah tiga bulan memang usia Rembulan sekarang. Bocah kecil itu sudah bisa tersenyum. Bu Cintya tidak langsung menjawab dan justru menatap ke arah Denial dan Crystal bergantian. Seolah tidak memberinya izin. Dan benar, jawaban itu menunjukkan penolakan. “Masih terlalu kecil untuk dibawa keluar, Den. Mama nggak setuju. Mama akan izinkan kalian ajak Rembulan pergi kalau udah enam bulan.” “Ayah pengen lihat, Ma. Setelah pulang dari rumah sakit waktu itu ‘kan belum pernah ketemu lagi. Cuma lihat dari foto atau video aja.” “Ya tapi Rembulan masih kecil. Mama nggak izinkan.” Penolakan itu jelas dan lugas. Ini bukan karena Bu Cintya tidak mengizinkan si mantan suami itu bertemu dengan cucu mereka. Tapi semua demi cucu
“Kondisi Rembulan sudah sangat baik, Bu. Anak ini sudah sehat sepenuhnya.” Kelegaan membanjiri hati Crystal dan keluarganya. Dia langsung memeluk Denial yang ada di sampingnya saat kabar itu diberikan kepadanya. Hari-hari buruk yang mereka lalui sudah berakhir dan tinggal rasa bahagia yang datang. “Silakan, Bu.” Seorang suster menyerahkan Rembulan kepada Crystal sudah mengeluarkan air matanya. Dengan tangan sedikit bergetar, dia menerima bayinya dan menciumnya dengan sayang. Denial tersenyum lega. Tangannya terulur mengelus tangan Rembulan. Meskipun dia pun sudah pernah menggendongnya, tapi dia merasakan hari ini lebih dari special. Denial tentu lebih berpengalaman dalam soal mengurus bayi dibandingkan Crystal. Dan setelah mereka pulang ke rumah nanti, dia yang akan mengambil alih untuk tugas Crystal semisal Rembulan bangun di tengah malam. “Terima kasih, Dokter. Saya sungguh-sungguh berterima kasih. Berkat Dokter, bayi kami sehat dan sehat.” Crystal bisa merasakan, tubuh putriny
“Tapi satu anak itu nggak seru, Mas. Aku nggak punya saudara aja rasanya juga sepi ‘kan.” Crystal menyanggah pendapat suaminya. Menyamankan baringnya tanpa mengalihkan sedikitpun tatapannya pada sang suami. “Ada banyak temannya nanti. Ada sepupu-sepunya yang akan nemeni dia.” Denial memang kini tengah berpendapat, tapi dia seolah memberikan keputusan. Melihat bagaimana sang istri kepayahan saat hamil muda seperti ini, membuat Denial merasa trauma dan tidak ingin mengulangi lagi. Kasihan dengan Crystal. “Aku bisa, kok. Aku__” “Aku yang nggak bisa, Sayang,” putus Denial. “Aku melihat kamu kepayahan begini rasanya pengen gantiin aja kalau bisa. Jadi, kita lihat nanti bagaimana perkembangannya.” Crystal menarik napasnya panjang mendengar ucapan sang suami yang bernada final. Padahal Crystal sudah membayangkan setiap dua tahun dia akan melahirkan satu bayi yang lucu. Setidaknya punya tiga anak. Tapi si pasangan justru trauma. Maka lebih baik dia tak membantah dan akan melihat saja per
Dua minggu berlalu dan Crystal kembali ke rumah sakit bersama dengan Gema. Mereka berharap kandungan Crystal sudah lebih baik dan setidaknya dia full bedrest. Pengecekan itu akhirnya dilakukan untuk mengetahui hasilnya. Dan hasilnya tidak berubah. Crystal masih tetap harus bedrest. Namun tidak ada hal yang parah dan masih stabil. Crystal hanya diminta untuk tetap hati-hati dan tidak melakukan pergerakan yang tidak perlu. “Maafkan aku, Ma. Aku sudah membuat Mama dan Mas repot.” Crystal merasa tidak enak hati karena sudah membuat keluarganya harus fokus menemani dirinya. Padahal ada banyak pekerjaan yang harus diurus. “Crystal, nggak ada yang perlu dimaafkan. Kamu adalah putri Mama dan sudah menjadi tugas Mama untuk merawat kamu kalau sakit, menemani kalau kamu butuh teman, dan semua itu Mama lakukan dengan tulus. Kamu tidak perlu memikirkan itu karena yang penting kamu sehat, janin di kandunganmu juga sehat. Masalah lain, kamu nggak perlu pikirkan.” Crystal merasa sangat sensitif ka
Denial setengah berlari untuk memasuki rumah. Dia ingin segera sampai dan melihat kondisi istrinya. Dia sudah mendapatkan informasi dan sang bunda jika Crystal baik-baik saja. Tapi tentu saja tak puas jika tidak melihatnya secara langsung. “Mas udah pulang.” Crystal tengah duduk di atas ranjang sambil memegang tab di tangannya. Menggambar banyak design untuk rancangan Crystal fashion. “Kok kerja sih, Sayang?” Denial duduk setelah mengecup puncak kepala Crystal. “Kamu harus istirahat.” “Mas, aku ini istirahat. Aku nggak kerja berat, juga nggak berpikir berat. Aku cuma gambar dan nggak akan terjadi hal-hal yang buruk. Kalau aku nggak ngapa-ngapain justru akan stress. Ohya, tadi Mbak-mbak dua itu datang. Barusan pulang.” Denial mengangguk sambil menatap lekat ke arah Crystal. “Kamu yakin nggak papa? Aku seharian khawatir mikirin kamu tahu nggak sih.” “Nggak papa, Mas-ku. Aku tadi juga jalan-jalan pelan, baca buku, ngobrol sama Mama dan Mbak-mbak. Aku baik-baik aja. Dia kuat kok.” C