“Angkasa!” Axel dibuat terkejut oleh Angkasa yang tiba-tiba berada di depannya meskipun itu hanya sebuah video call. Bagaimana bisa? Itu adalah pertanyaan yang sekarang tengah menyerang Axel tiada ampun. Perasaan bahagia dan keterkejutan itu bercampur menjadi satu. Mulutnya yang sejak tadi cemberut itu pun tampak mengeluarkan senyum lebar. “Angkasa, anak Papa, Angkasa baik-baik saja?” tanyanya. “Beberapa hari ini, Angkasa tidak bisa ditemui. Angkasa sehat?” Axel benar-benar memberondong Angkasa dengan pertanyaan bertubi-tubi. Bocah yang kini wajahnya memenuhi layar ponsel Axel itu mengangguk-anggukkan kepalanya. “Angkasa baik-baik saja.” Axel merasa kerinduannya sedikit terobati setelah melihat Angkasa ada di depannya. Ingin sekali Axel memeluk bocah itu. Wajah Angkasa benar-benar tampak tampan sekali. Membuat senyum Axel ta menghilang. “Angkasa sekarang ada di mana?” tanya Axel. “Papa akan menemui Angkasa sekarang.” Angkasa lantas segera menggeleng. “Angkasa sekarang ada di ban
“Permata sudah mampu menginjak gue. Permata sudah bisa menjauhkan gue dari anak gue. Permata benar, uang dan harta gue nggak ada artinya setelah Angkasa jauh dari gue. Gue kalah, Gem. Gue kalah.” Gema merasa ruangannya memanas meskipun hembusan udara dingin dari AC menyala kencang. Seandainya waktu bisa terulang, dan dia tahu kejadian lima tahun yang lalu lebih awal, dia pasti akan menahan Axel untuk tidak melakukannya. Sekarang semua sudah berlalu dan dia tak bisa membantu Axel. Yang bisa dilakukan oleh Gema sekarang, tentu saja menemani Axel. hanya itu. Lelaki itu berdiri dari kursinya dan berjalan mendekati Axel. Duduk di samping Axel tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Persis malam itu. Malam di mana Axel membuat kekacauan di apartemennya. Gema ingin berada di sisi Axel untuk menemani. Dia tak bisa membantu Axel di masa lalu, setidaknya dia bisa membantu Axel untuk waktu selanjutnya. Membiarkan Axel dengan kesedihannya, Gema hanya perlu duduk diam tanpa mengatakan apa pun. Sek
“Apa?” Denial pasti tidak menyangka kalau Permata akan mengatakan kalimat seperti itu. Saat mereka harus buru-buru pergi ke Paris karena pekerjaan Permata, perempuan itu tak mengatakan apa pun kecuali hanya bilang jika dia ingin merayakan ulang tahun Angkasa di sana. Bahkan mereka bingung kenapa tidak di Indonesia saja. Bahkan, Angkasa saja sudah antusias untuk merayakan ulang tahunnya bersama dengan teman-temannya. Sayangnya, saat Angkasa ulang tahun nanti, Permata tidak bisa pulang karena pekerjaannya pasti belum selesai. Angkasa dibujuk oleh Permata dan bocah itu merasa kesal. Bahkan dalam keadaan kesal pun, dia sempat mengingat Axel. Dan merengek kepada ibunya untuk menghubungi sang ayah. Maka dengan seizin Permata, Sus Dian yang menghubungi Axel. Bocah itu mengucapkan selamat tinggal kepada Angkasa karena dia mengira mereka memang akan kembali dan tinggal di Paris. “Setidaknya sampai dia SD.” Permata melanjutkan tak memedulikan kalau Denial masih menatapnya dengan tanda tanya
“Lo jangan bicara sembarangan, Gem.” Reaksi yang dikeluarkan oleh Axel adalah matanya memicing tajam dan suaranya terdengar dingin. Bagaimana bisa Gema tahu tentang itu sedangkan dia tak begitu dekat dengan Permata. Terlebih lagi, Permata adalah perempuan yang tertutup. Dia tak akan membagikan rencananya kepada orang lain jika orang itu tidak ada kaitannya dengan dirinya. “Gue cuma bercanda.” Gema nyengir ketika mengatakan itu dan dia benar-benar bersikap seolah-olah tak bersalah. “Ya kali gue tahu tentang hidup mereka, Xel. Lo tahu sendiri Berlian orang yang seperti apa.” “Gila lo!” Axel menggeplak kepala Gema bagian belakang sebelum dia membuka kaleng minuman dan meneggaknya dengan kasar. Gema hanya mengusap kepalanya karena rasanya benar-benar sakit. Hanya dengan lelucon gila sahabatnya saja dia merasa sudah hampir mati saja. Bagaimana jika benar terjadi. Bagaimana kalau Angkasa benar-benar disembunyikan oleh Permata? Pikiran Axel dipenuhi oleh pertanyaan-pertanyaan yang tid
“Memangnya sekarang sesakit apa, Axel? Aku nggak bisa merasakan kesakitanmu,” jawaban Permata cukup ringan. “Aku nggak tahu apakah sakitmu sekarang sebanding dengan sakitku di masa lalu. Karena yang aku tahu, aku dulu bahkan ingin sekali mati.” Permata menatap dinding putih di depannya seolah dia sedang menonton adegan lima tahun yang lalu. Kini memorinya seolah terus memutar adegan demi adegan yang pernah dialami. Rasa sakit itu, kecewa, putus asa, semua bercampur menjadi satu menyelubungi Permata tiada ampun. “Sudahlah, kamu nggak perlu tahu bagaimana aku dulu merasakan sakit itu. Karena kamu nggak akan bisa membayangkannya. Sudah malam. Aku harus istirahat.” Tanpa kata-kata lagi, Axel berdiri dan pergi begitu saja dari rumah Permata tanpa pamit. Permata bahkan sama sekali tak menoleh ke belakang hanya sekedar melihat bagaimana menyedihkannya Axel. Permata tetap berada di tempatnya dengan lamunan panjang. Dia tak berminat beranjak dari sana dan segala macam hal buruk kini mengeru
“Apa … maksudmu, Permata?” Axel tergagap karena ucapan tiba-tiba Permata yang mengguncang ketenangannya. Apa itu benar? Apakah benar, Permata sudah memaafkannya? Bayangan rasa senang itu sudah mengambang di dalam pikiran Axel. “Aku akan memaafkanmu. Tapi menikahlah dengan orang lain. Kamu tidak perlu menungguku.” Axel menggenggam tangan Permata yang ada di pipinya dan tak mengizinkan perempuan itu melepaskannya. Axel menggeleng dengan pelan saat mendengar kelanjutan ucapan Permata. “Aku benar-benar akan menunggumu tak peduli apa. Aku juga sudah pernah mengatakan kalau memang kamu nggak ingin menikah lagi, maka aku juga akan melakukan hal yang sama.” Permata mencoba menarik tangannya, tapi Axel menggenggamnya lebih erat lagi. Jari-jari panjang lelaki itu terus menggenggam jari-jari panjang Permata seolah itu adalah miliknya. Tatapan mereka saling bertemu dan tidak ada yang ingin memutusnya. Seandainya, kesalahan Axel tidak begitu besar, mungkin saja Permata akan memaafkannya. Tapi
“Saya rasa, namanya akan langsung naik.” Permata yang tadinya asyik melihat anak-anak yang sedang berlatih melenggak-lenggok di satu jalur lurus itu mengalihkan tatapannya pada asal suara. Di sana ada Johan yang juga menatap anak-anak kecil tersebut. Permata tak segera menjawab dan tatapannya kembali pada bocah-bocah berusia lima tahun di sana. Masih sangat muda untuk melakukan semua itu. Tapi memang itulah tujuan Flame. Mendidik sedari dini. “Saya suka sekali anak-anak. Tapi sampai sekarang, Tuhan belum mempercayakan saya memilikinya.” Ada nada getir yang keluar dari mulut Johan. Ekspresi lelaki itu juga tampak sedikit kusut. “Semoga saja Bapak bisa segera mendapatkannya.” Permata terkadang selalu bersyukur karena sejak awal dia tidak melenyapkan janin yang ada di dalam kandungannya saat dia merasa marah kepada Axel. Setidaknya sekarang dia memiliki alasan untuk tetap hidup dan bahagia bersama dengan Angkasa. “Terima kasih.” Terkadang ucapan sederhana seperti itu berguna untuk
“Terserah kamu mau bilang apa. Aku akan tetap mengantarkanmu.” Aksi Axel selanjutnya adalah menarik Permata dalam pelukannya, dan merangkul pinggang perempuan itu. Disaksikan banyak staf Flame, mereka justru mengira jika Axel tidak main-main dengan usahanya. Ada yang berkata itu terlalu manis, romantis, dan beberapa kata menggelikan lainnya untuk mengomentari adegan yang baru saja mereka lihat.Permata shock dan tenaga Axel jauh lebih besar dari dirinya. Dan sialnya, bau parfum Axel menggelitik hidungnya sampai membuat Permata terasa diombang-ambingkan oleh keadaan yang membingungkan. Jujur saja, tubuhnya tidak menolak saat Axel menarik dan memeluknya. Benar-benar sial. Permata duduk di dalam mobil Axel dengan perasaan kesal luar biasa. Kesal pada keadaan, kesal pada dirinya sendiri, dan kesal pada makhluk hidup bernama Axel. “Ayo kita berkencan!” Benar, kan. Saat ada kesempatan seperti ini, Axel pasti akan memanfaatkannya dengan baik. Permata benar-benar keledai karena bisa kalah
Angkasa tidak tahu sejak kapan matanya selalu ingin melihat gadis itu. Gadis yang tampak tidak begitu bersahabat dengan orang lain dan lebih suka ke mana-mana sendiri. Beberapa temannya bahkan segan dengan gadis itu. Angkasa juga tidak tahu, kenapa dia suka berdiri di tempat di mana dia bisa memerhatikan gadis itu dalam diam. Ada getaran aneh yang dirasakan ketika suatu hari dia bersisipan jalan dengan gadis itu. Namanya Semesta, dia satu angkatan dengannya. Gadis itu benar-benar cuek dan memiliki dua saudara yang super posesif. Dia mendengar, mereka memang kembar tiga. “Lo suka sama dia, Ka?” Kesenangan Angkasa harus terputus karena temannya mendekat dan membuyarkan lamunannya. “Gue tahu kok, lo selalu berdiri di sini hanya untuk menatap Semesta.” Angkasa menarik napasnya panjang. Sepanjang hidupnya, dia hidup belum sekalipun dia merasakan jatuh cinta. Kalau sekarang getaran itu dirasakan, apa benar getaran itu adalah tanda jika dia sedang jatuh cinta? Ya, pertanyaan temannya itu
Angkasa berdiri dengan membawa dua adiknya di dalam gendongannya. Membawanya masuk ke dalam rumah sehingga membuat dua adiknya itu tertawa-tawa. “Abang, ayo kita putra-putar.” Rembulan berteriak tepat di telinga Angkasa membuat Angkasa sedikit menjauhkan kepalanya. Tapi tidak bisa karena Moza ada di punggungnya. “Astaga, anak-anak ini.” Almeda menggeleng pelan. “Turun anak-anak. Kasihan abangnya dong.” “Nggak mau!” Suara itu keluar dari mulut Moza dan Rembulan secara bersamaan. “Abang, ayo kita mutar.” Rembulan mengimbuhi tak peduli dengan Almeda yang sudah menatap mereka memeringatkan. Melihat Almeda yang sudah mengerutkan kening, Angkasa segera bersuara. “Biarin aja Onty Al. Lagi menghibur yang mau adik.” Almeda mengerti, maka dia hanya diam pada akhirnya. Akhirnya Almeda kembali ke dapur. Bapak-bapak yang ada di belakang rumah tentu saja tidak tahu kelakuan anak-anak mereka. Membiarkan anak-anaknya berbuat seenaknya. Sedangkan Permata dan Crystal yang melihat dari dapur
“Bunda, kapan Rembulan punya adik?” Pertanyaan itu dilontarkan oleh bocah berusia lima tahun yang sudah memasuki sekolah Paud. Dia baru saja pulang dari sekolah, lalu berlari untuk bertemu dengan ibunya di kantor Crystal Fashion. Di belakangnya, ada Mbak Susi – si pengasuh. Crystal yang tengah menunduk dan tengah menggambar itu segera mendongak. Memberikan senyuman kecil untuk putrinya, lalu meninggalkan pekerjaannya untuk sementara. “Putri Bunda sudah pulang.” Pelukan Crystal mengerat pada putrinya. “Lho itu bawa apa?” “Telur gulung.” Crystal hampir menjatuhkan rahangnya ketika melihat bungkusan plastic berisi telur gulung yang dibawa oleh Rembulan. Crystal menatap Mbak Susi untuk meminta penjelasan kenapa putrinya harus makan-makanan seperti itu. Bukan masalah makanannya, yang dikhawatirkan oleh Crystal adalah makanan itu dibeli di sembarang tempat dan tidak higienis. “Itu bersih kok, Bu.” Tahu kalau dia harus memberikan penjelasan, maka Mbak Susi segera bersuara. “Di samping
Bu Cintya memutus tatapan mereka dan berjalan mendekat ke arah Om Rudy. Lebih tepatnya ke arah pintu yang ada di belakang lelaki itu. Tidak ada sapaan sama sekali. Dia masuk begitu saja, lalu tersenyum ketika melihat anggota keluarga yang lain kumpul. “Angkasa!” Bocah yang menginjak remaja itu mendongak dan tersenyum. Hanya senyum kecil. Tubuhnya menempel pada tubuh Denial dengan tangan sibuk bermain tab. Peraturan masih sama, karena hari libur, maka dia bisa bermain benda elektronik itu. “Kalian makan malam di sini sekalian, ya. Kita masak sama-sama.” Mereka saling pandang sebelum mengangguk bersamaan. Tentu saja, itu membuat Bu Cintya bahagia luar biasa. Perempuan itu duduk di sofa tepat di samping Almeda dan memangku Elang dengan lembut. Sedangkan Moza yang sudah bisa berjalan itu tak mau diam. Axel harus terus memantaunya agar tidak jatuh. Gema masuk dan segera menyergap bocah kecil itu kemudian mengangkatnya tinggi-tinggi. Tawa renyah keluar dari mulutnya. “Cantiknya siapa?”
“Ma, besok mau ajak Rembulan ke rumah Almeda. Ayah mau ketemu katanya.” Pagi ini, saat sarapan, Denial memberitahu ibunya tentang keinginannya untuk pergi ke rumah Almeda. Ini untuk pertama kalinya Rembulan akan diajak pergi keluar setelah dia pulang dari rumah sakit. Ya, sudah tiga bulan memang usia Rembulan sekarang. Bocah kecil itu sudah bisa tersenyum. Bu Cintya tidak langsung menjawab dan justru menatap ke arah Denial dan Crystal bergantian. Seolah tidak memberinya izin. Dan benar, jawaban itu menunjukkan penolakan. “Masih terlalu kecil untuk dibawa keluar, Den. Mama nggak setuju. Mama akan izinkan kalian ajak Rembulan pergi kalau udah enam bulan.” “Ayah pengen lihat, Ma. Setelah pulang dari rumah sakit waktu itu ‘kan belum pernah ketemu lagi. Cuma lihat dari foto atau video aja.” “Ya tapi Rembulan masih kecil. Mama nggak izinkan.” Penolakan itu jelas dan lugas. Ini bukan karena Bu Cintya tidak mengizinkan si mantan suami itu bertemu dengan cucu mereka. Tapi semua demi cucu
“Kondisi Rembulan sudah sangat baik, Bu. Anak ini sudah sehat sepenuhnya.” Kelegaan membanjiri hati Crystal dan keluarganya. Dia langsung memeluk Denial yang ada di sampingnya saat kabar itu diberikan kepadanya. Hari-hari buruk yang mereka lalui sudah berakhir dan tinggal rasa bahagia yang datang. “Silakan, Bu.” Seorang suster menyerahkan Rembulan kepada Crystal sudah mengeluarkan air matanya. Dengan tangan sedikit bergetar, dia menerima bayinya dan menciumnya dengan sayang. Denial tersenyum lega. Tangannya terulur mengelus tangan Rembulan. Meskipun dia pun sudah pernah menggendongnya, tapi dia merasakan hari ini lebih dari special. Denial tentu lebih berpengalaman dalam soal mengurus bayi dibandingkan Crystal. Dan setelah mereka pulang ke rumah nanti, dia yang akan mengambil alih untuk tugas Crystal semisal Rembulan bangun di tengah malam. “Terima kasih, Dokter. Saya sungguh-sungguh berterima kasih. Berkat Dokter, bayi kami sehat dan sehat.” Crystal bisa merasakan, tubuh putriny
“Tapi satu anak itu nggak seru, Mas. Aku nggak punya saudara aja rasanya juga sepi ‘kan.” Crystal menyanggah pendapat suaminya. Menyamankan baringnya tanpa mengalihkan sedikitpun tatapannya pada sang suami. “Ada banyak temannya nanti. Ada sepupu-sepunya yang akan nemeni dia.” Denial memang kini tengah berpendapat, tapi dia seolah memberikan keputusan. Melihat bagaimana sang istri kepayahan saat hamil muda seperti ini, membuat Denial merasa trauma dan tidak ingin mengulangi lagi. Kasihan dengan Crystal. “Aku bisa, kok. Aku__” “Aku yang nggak bisa, Sayang,” putus Denial. “Aku melihat kamu kepayahan begini rasanya pengen gantiin aja kalau bisa. Jadi, kita lihat nanti bagaimana perkembangannya.” Crystal menarik napasnya panjang mendengar ucapan sang suami yang bernada final. Padahal Crystal sudah membayangkan setiap dua tahun dia akan melahirkan satu bayi yang lucu. Setidaknya punya tiga anak. Tapi si pasangan justru trauma. Maka lebih baik dia tak membantah dan akan melihat saja per
Dua minggu berlalu dan Crystal kembali ke rumah sakit bersama dengan Gema. Mereka berharap kandungan Crystal sudah lebih baik dan setidaknya dia full bedrest. Pengecekan itu akhirnya dilakukan untuk mengetahui hasilnya. Dan hasilnya tidak berubah. Crystal masih tetap harus bedrest. Namun tidak ada hal yang parah dan masih stabil. Crystal hanya diminta untuk tetap hati-hati dan tidak melakukan pergerakan yang tidak perlu. “Maafkan aku, Ma. Aku sudah membuat Mama dan Mas repot.” Crystal merasa tidak enak hati karena sudah membuat keluarganya harus fokus menemani dirinya. Padahal ada banyak pekerjaan yang harus diurus. “Crystal, nggak ada yang perlu dimaafkan. Kamu adalah putri Mama dan sudah menjadi tugas Mama untuk merawat kamu kalau sakit, menemani kalau kamu butuh teman, dan semua itu Mama lakukan dengan tulus. Kamu tidak perlu memikirkan itu karena yang penting kamu sehat, janin di kandunganmu juga sehat. Masalah lain, kamu nggak perlu pikirkan.” Crystal merasa sangat sensitif ka
Denial setengah berlari untuk memasuki rumah. Dia ingin segera sampai dan melihat kondisi istrinya. Dia sudah mendapatkan informasi dan sang bunda jika Crystal baik-baik saja. Tapi tentu saja tak puas jika tidak melihatnya secara langsung. “Mas udah pulang.” Crystal tengah duduk di atas ranjang sambil memegang tab di tangannya. Menggambar banyak design untuk rancangan Crystal fashion. “Kok kerja sih, Sayang?” Denial duduk setelah mengecup puncak kepala Crystal. “Kamu harus istirahat.” “Mas, aku ini istirahat. Aku nggak kerja berat, juga nggak berpikir berat. Aku cuma gambar dan nggak akan terjadi hal-hal yang buruk. Kalau aku nggak ngapa-ngapain justru akan stress. Ohya, tadi Mbak-mbak dua itu datang. Barusan pulang.” Denial mengangguk sambil menatap lekat ke arah Crystal. “Kamu yakin nggak papa? Aku seharian khawatir mikirin kamu tahu nggak sih.” “Nggak papa, Mas-ku. Aku tadi juga jalan-jalan pelan, baca buku, ngobrol sama Mama dan Mbak-mbak. Aku baik-baik aja. Dia kuat kok.” C