“Gila.”Begitu tanggapan Permata saat mendengar celotehan tak berguna yang dilontarkan sahabatnya. Bukan hanya Permata, Almeda pun merasa lelah menghadapi masalah bertubi-tubi yang menyerang mereka. Lebih tepatnya menyerang Permata. Itulah kenapa Permata ingin menyerah. Kehidupannya yang dulu terasa damai harus terusik saat dia memutuskan untuk muncul di depan Axel.Ya, Axel dan Axel. Lelaki satu itu memang selalu menjadi laki-laki yang sanggup melukai Permata. Sekarang, Axel menunjukkan penyesalannya di depan Permata. Tapi apakah lantas Permata mempercayai lelaki itu setelah semua hal yang pernah dilakukan di masa lalu? Sepertinya tidak. Permata tak bisa menjabarkan bagaimana perasaannya kepada mantan suaminya itu. Apakah masih ada sisa-sisa cinta di dalam hatinya atau tidak, Permata tidak bisa menjelaskan.Permata dan Almeda sudah kembali bekerja. Meskipun hari ini berita tentangnya dan Axel sedang santer terdengar, tapi Permata tidak begitu terpengaruh. Meskipun ada bisik-bisik yan
“Kesempatan?” Permata menatap perempuan paruh baya itu dengan kening mengernyit. Ruang tamu itu tiba-tiba saja terasa mencekam. Ibu Axel masih menggenggam tangan Permata dengan lembut, enggan melepaskan. “Kami tahu tidak mudah membesarkan anak seorang diri di tengah-tengah kemelut perasaanmu yang pasti saat itu sangat membenci Axel. Seandainya kami tahu tentang kamu, tentang bagaimana Axel memperlakukan kamu, tentang pernikahan kilat yang kalian lakukan, kami pasti tidak akan membiarkan semua berlarut seperti ini.” “Ibu diminta Axel untuk berbicara seperti ini kepada saya?” Kecurigaan Permata muncul begitu saja. Tatapannya terlempar tak bersahabat. Ibu Axel segera menggeleng cepat. “Tentu saja bukan, Berlian. Ini atas kemauan Ibu sendiri. Anak ibu sudah melakukan kesalahan besar ke kamu. Itulah kenapa kami ingin sekali menebus kesalah tersebut.” Sejujurnya, Permata tidak ingin begitu menanggapi ucapan perempuan itu. Tapi melihat tatapan tulus yang diberikan oleh Rita kepadanya, d
“Pergi bersama?” Permata tertegun mendengar permintaan putranya. Tatapannya lurus pada mata Angkasa dan pengharapan besar keluar dari sorot mata bocah itu. “Bagaimana kalau dengan Uncle?” Denial menawarkan diri. “Dan Sus Dian.” Jujur saja, Denial tidak suka melihat Angkasa sudah mulai membukakan hati untuk Axel. Sedikitnya, dia merasa cemburu. “Tapi, Uncle, Angkasa mau pergi dengan Mami.” Begitulah jawaban Axel. Tatapan bocah itu tampak polos. Selama ini, Angkasa tidak pernah meminta banyak permintaan. Tapi setiap dia menginginkan sesuatu, tatapan matanya penuh dengan pengharapan. Itulah yang membuat Permata tidak bisa menolak. Denial mengeratkan rahangnya kuat. Namun Axel tidak bereaksi apa pun. Dia seolah menikmati pemandangan di depannya tanpa ingin mengganggu. Axel sebenarnya terkejut karena Angkasa mengajak Permata. Saat mereka berbicara kepada Axel tadi, dia bahkan tidak membicarakan tentang melibatnya Permata di dalamnya. Tapi, itu akan lebih baik karena dengan begitu, akan
“Apa itu membutuhkan seumur hidupku untuk menebus satu kesalahanku?” Axel bertanya dalam nada yang cukup rendah. Tatapan matanya tak beralih sedikitpun dari wajah cantik Permata. Perempuan itu sudah memiliki satu anak dan usianya baru 26 tahun. Saat pernikahan itu terjadi, Permata baru berusia 21 tahun dan bahkan masih belum lulus kuliah. Ada rasa penasaran yang mengalir di dalam hati Axel untuk bertanya tentang semua itu, tapi dia menahannya.Bagaimana pada akhirnya Permata sampai di Paris dan melarikan diri di tempat sejauh itu. Axel menyadari, setelah kejadian malam itu, dia sama sekali tak mencari keberadaan Permata. Bahkan memastikan Permata baik-baik saja pun tidak dilakukan. Tapi seolah tahu apa yang sedang dipikirkan oleh Axel, Permata menanyakan hal tersebut.“Setelah kejadian itu, pernahkah kamu merasa menyesal dan mencoba mencariku?” Pertanyaan itu seketika saja membuat Axel meneguk ludahnya susah payah. Bukan hanya itu, tatapan yang diberikan oleh Permata seperti sedang
“Kita hanya bisa menaiki untuk dua orang saja, Sayang.” Axel menjawab sambil berjongkok. “Apa Angkasa ingin naik bersama Mami?” Sepertinya, keberanian Angkasa sedikit menciut saat melihat kuda-kuda di depannya. Permata yang menyadari itu segera meyakinkan kepada putranya.“Sayang, sebelum naik kuda, ada pengamannya. Lagi pula, Angkasa nggak sendirian. Jadi Angkasa jangan khawatir.” Angkasa tidak segera memberikan jawaban dan justru menunduk. Dia masih anak-anak dan hal-hal seperti ini sangat wajar terjadi. Terkadang keberanian itu muncul begitu saja, lalu menghilang tak tersisa. Permata bisa memahami hal tersebut. Dan dengan bijak, dia kembali baersuara. “Angkasa pasti ingin melihat Mami naik kuda. Itu benar?”“Mami bisa?” Angkasa segera tertarik. Bukan hanya Angkasa, Axel pun menatap Permata mencoba meyakinkan pendengarannya.“Sedikit. Mami akan menunjukkan kepada Angkasa.” “Hem.” Angkasa mengangguk dengan antusias dan segera saja, dua kuda dikeluarkan. Trudy dan Tetsu. Trudy ada
“Ayo kita menikah.” Tiga kalimat itu seketika membuat pikiran Permata berkelana pada kejadian lima tahun yang lalu. Di mana dengan tergesa-gesa, Axel memintanya menikah dengannya dengan beralasan ini dan itu. Tapi yang terjadi selanjutnya adalah, Axel membuangnya seolah dia manusia tak berguna. Mengingat itu, alih-alih merasa marah, Permata hanya mendengus kesal. “Sepertinya otakmu sedang tidak waras.” Permata duduk di sofa berwarna putih gading itu kemudian melipat kakinya dengan anggun. Tatapannya mengarah pada Axel yang masih berdiri di tempatnya dengan tatapan mencela. “Kali ini, apa lagi yang ingin kamu dapatkan? Saham mana lagi yang ingin kamu peroleh? Atau barangkali ada seseorang yang menginginkan kehancuranku dan kamu sedang membantunya? Lalu setelah kamu mendapatkannya, kamu akan membuangku lagi.” “Kamu berpikir aku semurahan itu?”“Bukankah dari dulu kamu memang murahan?” ucap Permata enteng. “Kalaupun kamu tidak murahan, kamu hanyalah orang yang menghalalkan segala ca
“Jangan mengatakan hal yang tidak masuk akal.” Permata menjawab dengan ketus. Tampaknya dia sudah benar-benar merasa jika Axel sudah menjebak dirinya dan juga Angkasa. Namun Axel tidak peduli dengan ucapan Permata, karena dia segera melanjutkan. “Kalau Angkasa mau, papa akan mengajak Angkasa jalan-jalan ke mal. Angkasa bisa membeli apa pun yang Angkasa inginkan. Bagaimana?” Mal. Tempat itu memang tidak asing bagi Angkasa. Saat di Paris dulu, dia sering sekali pergi ke mal bersama dengan Denial dan Almeda. Bahkan bersama dengan Permata. Tapi sejak di Indonesia, Permata segera diserang oleh banyak pekerjaan dan mereka tidak pernah datang lagi ke pusat perbelanjaan tersebut. Axel tampaknya tahu celah yang harus dia masuki sehingga dia tahu apa yang harus dia perbuat setelahnya. Angkasa tampak berbinar saat mendengar itu. Mungkin itulah yang disebut ikatan batin antara ayah dan anak. Angkasa bahkan mudah sekali luluh dengan Axel. “Kita akan pulang sekarang, Angkasa. Kita akan ke mal
“Maaf, aku sedikit nggak fokus.” Permata sanggup berdiri sempurna setelah beberapa saat. Tangan lelaki itu juga sudah lepas dari tangan Permata. Namun tatapannya masih memancar lurus untuk perempuan yang baru saja ditolongnya tersebut. “Kamu sendirian?” tanya Permata kepada Mario. “Aku sama manajerku. Tapi, aku baru saja dari toilet.” Mereka kembali tak bersuara. Hilir mudik orang-orang yang berada di sana seolah hanya menjadi peran pembantu dalam sebuah drama. Meskipun ‘pasangan fenomenal’ itu dikenal oleh banyak orang, mereka tampak tidak terpengaruh. Bisik-bisik juga sudah mulai terdengar membuat Permata mendesah lelah. Permata akan pamit kepada Mario ketika Axel sudah berada di sana. Menatap dua orang itu dengan ekspresi kejam miliknya seolah mereka tengah selingkuh. Tangan kanan Axel masih menggenggam tangan kecil Angkasa. Bocah itu mendongak tak mengerti apa yang sedang terjadi. Mario tampak tertarik dengan keberadaan Angkasa yang selama ini disembunyikan. “Hai, Boy.” Mar
Angkasa tidak tahu sejak kapan matanya selalu ingin melihat gadis itu. Gadis yang tampak tidak begitu bersahabat dengan orang lain dan lebih suka ke mana-mana sendiri. Beberapa temannya bahkan segan dengan gadis itu. Angkasa juga tidak tahu, kenapa dia suka berdiri di tempat di mana dia bisa memerhatikan gadis itu dalam diam. Ada getaran aneh yang dirasakan ketika suatu hari dia bersisipan jalan dengan gadis itu. Namanya Semesta, dia satu angkatan dengannya. Gadis itu benar-benar cuek dan memiliki dua saudara yang super posesif. Dia mendengar, mereka memang kembar tiga. “Lo suka sama dia, Ka?” Kesenangan Angkasa harus terputus karena temannya mendekat dan membuyarkan lamunannya. “Gue tahu kok, lo selalu berdiri di sini hanya untuk menatap Semesta.” Angkasa menarik napasnya panjang. Sepanjang hidupnya, dia hidup belum sekalipun dia merasakan jatuh cinta. Kalau sekarang getaran itu dirasakan, apa benar getaran itu adalah tanda jika dia sedang jatuh cinta? Ya, pertanyaan temannya itu
Angkasa berdiri dengan membawa dua adiknya di dalam gendongannya. Membawanya masuk ke dalam rumah sehingga membuat dua adiknya itu tertawa-tawa. “Abang, ayo kita putra-putar.” Rembulan berteriak tepat di telinga Angkasa membuat Angkasa sedikit menjauhkan kepalanya. Tapi tidak bisa karena Moza ada di punggungnya. “Astaga, anak-anak ini.” Almeda menggeleng pelan. “Turun anak-anak. Kasihan abangnya dong.” “Nggak mau!” Suara itu keluar dari mulut Moza dan Rembulan secara bersamaan. “Abang, ayo kita mutar.” Rembulan mengimbuhi tak peduli dengan Almeda yang sudah menatap mereka memeringatkan. Melihat Almeda yang sudah mengerutkan kening, Angkasa segera bersuara. “Biarin aja Onty Al. Lagi menghibur yang mau adik.” Almeda mengerti, maka dia hanya diam pada akhirnya. Akhirnya Almeda kembali ke dapur. Bapak-bapak yang ada di belakang rumah tentu saja tidak tahu kelakuan anak-anak mereka. Membiarkan anak-anaknya berbuat seenaknya. Sedangkan Permata dan Crystal yang melihat dari dapur
“Bunda, kapan Rembulan punya adik?” Pertanyaan itu dilontarkan oleh bocah berusia lima tahun yang sudah memasuki sekolah Paud. Dia baru saja pulang dari sekolah, lalu berlari untuk bertemu dengan ibunya di kantor Crystal Fashion. Di belakangnya, ada Mbak Susi – si pengasuh. Crystal yang tengah menunduk dan tengah menggambar itu segera mendongak. Memberikan senyuman kecil untuk putrinya, lalu meninggalkan pekerjaannya untuk sementara. “Putri Bunda sudah pulang.” Pelukan Crystal mengerat pada putrinya. “Lho itu bawa apa?” “Telur gulung.” Crystal hampir menjatuhkan rahangnya ketika melihat bungkusan plastic berisi telur gulung yang dibawa oleh Rembulan. Crystal menatap Mbak Susi untuk meminta penjelasan kenapa putrinya harus makan-makanan seperti itu. Bukan masalah makanannya, yang dikhawatirkan oleh Crystal adalah makanan itu dibeli di sembarang tempat dan tidak higienis. “Itu bersih kok, Bu.” Tahu kalau dia harus memberikan penjelasan, maka Mbak Susi segera bersuara. “Di samping
Bu Cintya memutus tatapan mereka dan berjalan mendekat ke arah Om Rudy. Lebih tepatnya ke arah pintu yang ada di belakang lelaki itu. Tidak ada sapaan sama sekali. Dia masuk begitu saja, lalu tersenyum ketika melihat anggota keluarga yang lain kumpul. “Angkasa!” Bocah yang menginjak remaja itu mendongak dan tersenyum. Hanya senyum kecil. Tubuhnya menempel pada tubuh Denial dengan tangan sibuk bermain tab. Peraturan masih sama, karena hari libur, maka dia bisa bermain benda elektronik itu. “Kalian makan malam di sini sekalian, ya. Kita masak sama-sama.” Mereka saling pandang sebelum mengangguk bersamaan. Tentu saja, itu membuat Bu Cintya bahagia luar biasa. Perempuan itu duduk di sofa tepat di samping Almeda dan memangku Elang dengan lembut. Sedangkan Moza yang sudah bisa berjalan itu tak mau diam. Axel harus terus memantaunya agar tidak jatuh. Gema masuk dan segera menyergap bocah kecil itu kemudian mengangkatnya tinggi-tinggi. Tawa renyah keluar dari mulutnya. “Cantiknya siapa?”
“Ma, besok mau ajak Rembulan ke rumah Almeda. Ayah mau ketemu katanya.” Pagi ini, saat sarapan, Denial memberitahu ibunya tentang keinginannya untuk pergi ke rumah Almeda. Ini untuk pertama kalinya Rembulan akan diajak pergi keluar setelah dia pulang dari rumah sakit. Ya, sudah tiga bulan memang usia Rembulan sekarang. Bocah kecil itu sudah bisa tersenyum. Bu Cintya tidak langsung menjawab dan justru menatap ke arah Denial dan Crystal bergantian. Seolah tidak memberinya izin. Dan benar, jawaban itu menunjukkan penolakan. “Masih terlalu kecil untuk dibawa keluar, Den. Mama nggak setuju. Mama akan izinkan kalian ajak Rembulan pergi kalau udah enam bulan.” “Ayah pengen lihat, Ma. Setelah pulang dari rumah sakit waktu itu ‘kan belum pernah ketemu lagi. Cuma lihat dari foto atau video aja.” “Ya tapi Rembulan masih kecil. Mama nggak izinkan.” Penolakan itu jelas dan lugas. Ini bukan karena Bu Cintya tidak mengizinkan si mantan suami itu bertemu dengan cucu mereka. Tapi semua demi cucu
“Kondisi Rembulan sudah sangat baik, Bu. Anak ini sudah sehat sepenuhnya.” Kelegaan membanjiri hati Crystal dan keluarganya. Dia langsung memeluk Denial yang ada di sampingnya saat kabar itu diberikan kepadanya. Hari-hari buruk yang mereka lalui sudah berakhir dan tinggal rasa bahagia yang datang. “Silakan, Bu.” Seorang suster menyerahkan Rembulan kepada Crystal sudah mengeluarkan air matanya. Dengan tangan sedikit bergetar, dia menerima bayinya dan menciumnya dengan sayang. Denial tersenyum lega. Tangannya terulur mengelus tangan Rembulan. Meskipun dia pun sudah pernah menggendongnya, tapi dia merasakan hari ini lebih dari special. Denial tentu lebih berpengalaman dalam soal mengurus bayi dibandingkan Crystal. Dan setelah mereka pulang ke rumah nanti, dia yang akan mengambil alih untuk tugas Crystal semisal Rembulan bangun di tengah malam. “Terima kasih, Dokter. Saya sungguh-sungguh berterima kasih. Berkat Dokter, bayi kami sehat dan sehat.” Crystal bisa merasakan, tubuh putriny
“Tapi satu anak itu nggak seru, Mas. Aku nggak punya saudara aja rasanya juga sepi ‘kan.” Crystal menyanggah pendapat suaminya. Menyamankan baringnya tanpa mengalihkan sedikitpun tatapannya pada sang suami. “Ada banyak temannya nanti. Ada sepupu-sepunya yang akan nemeni dia.” Denial memang kini tengah berpendapat, tapi dia seolah memberikan keputusan. Melihat bagaimana sang istri kepayahan saat hamil muda seperti ini, membuat Denial merasa trauma dan tidak ingin mengulangi lagi. Kasihan dengan Crystal. “Aku bisa, kok. Aku__” “Aku yang nggak bisa, Sayang,” putus Denial. “Aku melihat kamu kepayahan begini rasanya pengen gantiin aja kalau bisa. Jadi, kita lihat nanti bagaimana perkembangannya.” Crystal menarik napasnya panjang mendengar ucapan sang suami yang bernada final. Padahal Crystal sudah membayangkan setiap dua tahun dia akan melahirkan satu bayi yang lucu. Setidaknya punya tiga anak. Tapi si pasangan justru trauma. Maka lebih baik dia tak membantah dan akan melihat saja per
Dua minggu berlalu dan Crystal kembali ke rumah sakit bersama dengan Gema. Mereka berharap kandungan Crystal sudah lebih baik dan setidaknya dia full bedrest. Pengecekan itu akhirnya dilakukan untuk mengetahui hasilnya. Dan hasilnya tidak berubah. Crystal masih tetap harus bedrest. Namun tidak ada hal yang parah dan masih stabil. Crystal hanya diminta untuk tetap hati-hati dan tidak melakukan pergerakan yang tidak perlu. “Maafkan aku, Ma. Aku sudah membuat Mama dan Mas repot.” Crystal merasa tidak enak hati karena sudah membuat keluarganya harus fokus menemani dirinya. Padahal ada banyak pekerjaan yang harus diurus. “Crystal, nggak ada yang perlu dimaafkan. Kamu adalah putri Mama dan sudah menjadi tugas Mama untuk merawat kamu kalau sakit, menemani kalau kamu butuh teman, dan semua itu Mama lakukan dengan tulus. Kamu tidak perlu memikirkan itu karena yang penting kamu sehat, janin di kandunganmu juga sehat. Masalah lain, kamu nggak perlu pikirkan.” Crystal merasa sangat sensitif ka
Denial setengah berlari untuk memasuki rumah. Dia ingin segera sampai dan melihat kondisi istrinya. Dia sudah mendapatkan informasi dan sang bunda jika Crystal baik-baik saja. Tapi tentu saja tak puas jika tidak melihatnya secara langsung. “Mas udah pulang.” Crystal tengah duduk di atas ranjang sambil memegang tab di tangannya. Menggambar banyak design untuk rancangan Crystal fashion. “Kok kerja sih, Sayang?” Denial duduk setelah mengecup puncak kepala Crystal. “Kamu harus istirahat.” “Mas, aku ini istirahat. Aku nggak kerja berat, juga nggak berpikir berat. Aku cuma gambar dan nggak akan terjadi hal-hal yang buruk. Kalau aku nggak ngapa-ngapain justru akan stress. Ohya, tadi Mbak-mbak dua itu datang. Barusan pulang.” Denial mengangguk sambil menatap lekat ke arah Crystal. “Kamu yakin nggak papa? Aku seharian khawatir mikirin kamu tahu nggak sih.” “Nggak papa, Mas-ku. Aku tadi juga jalan-jalan pelan, baca buku, ngobrol sama Mama dan Mbak-mbak. Aku baik-baik aja. Dia kuat kok.” C