“Tidak pantas dipanggil ayah?” Axel terdiam sedari tadi di tempat yang sama dengan memutar ucapan yang sama di dalam otaknya berkali-kali. Dia tak bisa membantah jika itu memang benar. Sebelumnya bahkan dia pun tak tahu kalau ada makhluk bernama Angkasa yang notabennya adalah putranya. Hasil dari pernikahan singkat dengan Permata. Kepulan asap mobil Denial sudah tidak terlihat, tapi setiap ucapan lelaki itu akan menancap di dalam dasar hatinya. Sekarang, bahkan cara sembunyi-sembunyi yang dilakukan untuk bertemu dengan Angkasa saja, sudah tidak bisa dilakukan. Tidak ada lagi cara lain selain dengan terang-terangan datang ke rumah Permata jika ingin bertemu dengan putranya. Bahkan kemungkinan untuk ditolak pun sangat besar. Axel meninggalkan sekolah setelah itu dan kembali ke kantornya. Tumpukan dokumen di atas mejanya menyambutnya dan membuat kepalanya ingin meledak. “Pak, Bapak ada pertemuan dengan Mr. Evgen untuk meeting.” Alvan melaporkan jadwal.Benar, dia bahkan melupakan ten
Suara Axel terdengar mantap dan penuh keyakinan. Desas-desus selalu mengatakan jika Axel adalah lelaki dengan banyak pesona. Dia selalu tampak wibawa dan mengintimidasi saat berhadapan dengan orang lain. Auranya bahkan selalu terasa kelam seperti kelamnya malam. Mario mungkin juga merasakan itu sekarang. “Jodoh tidak ada yang tahu. Siapa pelabuhan terakhir Berlian, dan bagaimana Tuhan akan menggiring kita pada sebuah takdir yang sudah ditentukan. Selama janur kuning belum melengkung, saya akan tetap berusaha. Kecuali Berlian yang mendorong saya pergi, maka saya akan tetap mendekatinya.” Diakhiri dengan sebuah senyum kecil, Mario lantas meneruskan langkah. Tak peduli Axel menatapnya dengan kebencian besar, dan mungkin saja lelaki itu merutukinya. Seperti yang Mario bilang, dia berbicara kepada Axel bukan untuk meminta izin. Tapi mengatakan kepada lelaki itu jika dia siap menjadi ayah sambung putranya jika Permata menerimanya.Axel berdiri dengan kedua tangan masih dijejalkan ke dalam
“Apa kamu bilang?” Tak pernah sekalipun, Permata berpikir Axel akan mengeluarkan kata-kata seperti itu. meminta Permata kembali menjadi miliknya? Lelaki itu sepertinya sudah mulai gila. “Lebih baik kamu tidur dulu kalau ngantuk. Sepertinya otakmu sudah nggak waras,” jawab Permata dengan sinis. Mencoba melepaskan cekalan tangan Axel, tapi dia tak mampu melakukannya. Cekalan itu terlalu kuat di tangannya. “Aku serius.” Axel menegaskan. “Kembalilah kepadaku.” Tatapan dalam dan penuh cinta itu lagi-lagi diberikan kepada Permata. Meskipun mereka lama terpisah, tapi Permata masih bisa mengartikan tatapan Axel yang seperti itu berarti lelaki tidak sedang bercanda. Permata menyeringai tajam seolah mengeluarkan olokannya. “Seorang Axel mau bersama dengan perempuan yang dulu dibuangnya? Itu hanya akan melukai harga dirimu, Tuan.” Entah kenapa, tiba-tiba saja perasaan Permata terasa tak karuan. Dia ingat kejadian lima tahun lalu di saat Axel mengungkapkan perasaan kepadanya. Lelaki itu jug
“Dia pasti sudah gila!” Itu adalah tanggapan pertama yang dikeluarkan oleh Almeda saat sadar dari keterkejutannya. semua orang yang ada di sana bahkan tidak bersuara dan mengeluarkan ekspresi bodohnya. Alunan musik klasik masih terdengar seolah menjadi soundtrack dalam sebuah drama. Sedangkan pelakunya, dia hanya terus menatap Permata dari tempatnya berdiri. Keterlaluan. Benar-benar keterlaluan. Axel bertindak tanpa tanpa berpikir. Permata yang juga menatap ke arah Axel tidak memberikan reaksi apa pun kecuali hanya mematung di tempatnya dengan tatapan dingin. Dia bahkan tak bisa mengeluarkan suaranya dari mulutnya. Semua kata-katanya hilang begitu saja. Axel sudah siap mati. Itulah yang ada di dalam pikiran Permata sekarang. Gema yang ada di dekat Axel merasa tubuhnya menegang tanpa bisa digerakkan. Semua orang membeku karena sebuah ‘pengakuan’ yang dilontarkan oleh Axel barusan.“Permata Berlian, aku sungguh-sungguh.” Suara Axel muncul lagi. Tapi lelaki itu tak berani mendekat ke
Tidak ada yang tahu tujuan Permata meminta Axel untuk masuk ke rumahnya. Apakah perempuan itu akan marah atau sebaliknya. Apa dia akan menyalahkan Axel atau tidak tentang tindakan bodoh yang sudah dilakukan lelaki itu. Waktu sudah berjalan lima menit setelah lima orang itu duduk berhadapan. Tapi tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut permata. Perempuan itu seolah menikmati keheningan yang diciptakannya sendiri. “Aku akan mengatakan kepada Angkasa jika Axel adalah ayahnya.” Setelah menunggu beberapa waktu, itulah yang dikatakan oleh Permata kepada empat orang yang ada di ruang tamu bersamanya. Axel segera menatap Permata yang berada tepat di samping kanannya. Namun perempuan itu tidak menatap ke arahnya sama sekali. Denial yang lebih dulu bereaksi. “Apa yang sedang kamu pikirkan, Permata? Kamu … akan memperkenalkan Angkasa kalau Axel adalah ayahya? Gila. Ini benar-benar gila.” Denial marah. Itu wajar. Baginya, Permata sudah mengambil keputusan yang salah. Axel tidak panta
“Gue harus apa sekarang, Gem?” Pertanyaan itu keluar dari mulut Axel dengan suara putus asa. Setelah mereka keluar dari rumah Permata, tidak ada dari mereka yang bersuara dan kini saat Axel berbicara, dia mengeluarkan kesakitannya. Gema yang sejak tadi hanya menjadi saksi bisu dari kejadian yang menggetarkan hatinya itu pun tidak tahu harus mengatakan apa.Angkasa. Bocah itu begitu luar biasa di usianya yang masih sangat kecil. Sebentar lagi dia sudah berusia lima tahun dan kepintarannya akan bertambah. Itu otomatis, akan lebih menyulitkan Axel mendekati putranya. Semua hal itu masuk ke dalam pikiran Axel dengan cara yang menyakitkan. “Oh, sial!” umpat Gema. “Kejadian di pesta tadi sudah masuk berita.” Gema melihat ponselnya dengan kengerian yang luar biasa. “Sekarang aku nggak tahu harus bantu gimana lagi, bahkan aku terbawa dalam berita ini.” Posisi Axel dan Gema sekarang masih ada di dalam mobil dan mereka ada di taman. Axel menolak untuk pulang sedangkan Gema adalah satu-satuny
Sekarang berita sudah menyebar seperti api melalap habis kayu. Semua orang sudah berpikir tentang ini dan itu tentang dirinya dan bahkan tentang Permata. Sekalian saja dia mengatakan dengan jelas tujuannya untuk kembali kepada Permata. Dan dengan begitu, Mario tidak berada di dalam hubungan antara dirinya dan Permata. Di tempat lain, Permata baru saja membuka chat dari Gema dan melihat kekacauan di dalam apartemen Axel dan juga wajah menyedihkannya lelaki itu. Permata hanya melihat itu dalam diam. Sejak semalam, dia masih terus mencerna ucapan Angkasa tentang ayahnya dan itulah yang diinginkan. Dia tak pernah mengajarkan Angkasa untuk mengatakan semua itu, tapi memang otak anak itu terlalu cerdas untuk mencerna sebuah situasi.“Hai, Mami!” Pintu kamar Permata terbuka menunjukkan Angkasa yang sudah siap berangkat sekolah. “Hai, Sayang. Putra Mami ini sudah siap sekolah.” Angkasa naik ke atas ranjang dan duduk di samping Permata. Raut wajah bocah itu tak seceria biasanya. Permata tak
“Gila.”Begitu tanggapan Permata saat mendengar celotehan tak berguna yang dilontarkan sahabatnya. Bukan hanya Permata, Almeda pun merasa lelah menghadapi masalah bertubi-tubi yang menyerang mereka. Lebih tepatnya menyerang Permata. Itulah kenapa Permata ingin menyerah. Kehidupannya yang dulu terasa damai harus terusik saat dia memutuskan untuk muncul di depan Axel.Ya, Axel dan Axel. Lelaki satu itu memang selalu menjadi laki-laki yang sanggup melukai Permata. Sekarang, Axel menunjukkan penyesalannya di depan Permata. Tapi apakah lantas Permata mempercayai lelaki itu setelah semua hal yang pernah dilakukan di masa lalu? Sepertinya tidak. Permata tak bisa menjabarkan bagaimana perasaannya kepada mantan suaminya itu. Apakah masih ada sisa-sisa cinta di dalam hatinya atau tidak, Permata tidak bisa menjelaskan.Permata dan Almeda sudah kembali bekerja. Meskipun hari ini berita tentangnya dan Axel sedang santer terdengar, tapi Permata tidak begitu terpengaruh. Meskipun ada bisik-bisik yan
Angkasa tidak tahu sejak kapan matanya selalu ingin melihat gadis itu. Gadis yang tampak tidak begitu bersahabat dengan orang lain dan lebih suka ke mana-mana sendiri. Beberapa temannya bahkan segan dengan gadis itu. Angkasa juga tidak tahu, kenapa dia suka berdiri di tempat di mana dia bisa memerhatikan gadis itu dalam diam. Ada getaran aneh yang dirasakan ketika suatu hari dia bersisipan jalan dengan gadis itu. Namanya Semesta, dia satu angkatan dengannya. Gadis itu benar-benar cuek dan memiliki dua saudara yang super posesif. Dia mendengar, mereka memang kembar tiga. “Lo suka sama dia, Ka?” Kesenangan Angkasa harus terputus karena temannya mendekat dan membuyarkan lamunannya. “Gue tahu kok, lo selalu berdiri di sini hanya untuk menatap Semesta.” Angkasa menarik napasnya panjang. Sepanjang hidupnya, dia hidup belum sekalipun dia merasakan jatuh cinta. Kalau sekarang getaran itu dirasakan, apa benar getaran itu adalah tanda jika dia sedang jatuh cinta? Ya, pertanyaan temannya itu
Angkasa berdiri dengan membawa dua adiknya di dalam gendongannya. Membawanya masuk ke dalam rumah sehingga membuat dua adiknya itu tertawa-tawa. “Abang, ayo kita putra-putar.” Rembulan berteriak tepat di telinga Angkasa membuat Angkasa sedikit menjauhkan kepalanya. Tapi tidak bisa karena Moza ada di punggungnya. “Astaga, anak-anak ini.” Almeda menggeleng pelan. “Turun anak-anak. Kasihan abangnya dong.” “Nggak mau!” Suara itu keluar dari mulut Moza dan Rembulan secara bersamaan. “Abang, ayo kita mutar.” Rembulan mengimbuhi tak peduli dengan Almeda yang sudah menatap mereka memeringatkan. Melihat Almeda yang sudah mengerutkan kening, Angkasa segera bersuara. “Biarin aja Onty Al. Lagi menghibur yang mau adik.” Almeda mengerti, maka dia hanya diam pada akhirnya. Akhirnya Almeda kembali ke dapur. Bapak-bapak yang ada di belakang rumah tentu saja tidak tahu kelakuan anak-anak mereka. Membiarkan anak-anaknya berbuat seenaknya. Sedangkan Permata dan Crystal yang melihat dari dapur
“Bunda, kapan Rembulan punya adik?” Pertanyaan itu dilontarkan oleh bocah berusia lima tahun yang sudah memasuki sekolah Paud. Dia baru saja pulang dari sekolah, lalu berlari untuk bertemu dengan ibunya di kantor Crystal Fashion. Di belakangnya, ada Mbak Susi – si pengasuh. Crystal yang tengah menunduk dan tengah menggambar itu segera mendongak. Memberikan senyuman kecil untuk putrinya, lalu meninggalkan pekerjaannya untuk sementara. “Putri Bunda sudah pulang.” Pelukan Crystal mengerat pada putrinya. “Lho itu bawa apa?” “Telur gulung.” Crystal hampir menjatuhkan rahangnya ketika melihat bungkusan plastic berisi telur gulung yang dibawa oleh Rembulan. Crystal menatap Mbak Susi untuk meminta penjelasan kenapa putrinya harus makan-makanan seperti itu. Bukan masalah makanannya, yang dikhawatirkan oleh Crystal adalah makanan itu dibeli di sembarang tempat dan tidak higienis. “Itu bersih kok, Bu.” Tahu kalau dia harus memberikan penjelasan, maka Mbak Susi segera bersuara. “Di samping
Bu Cintya memutus tatapan mereka dan berjalan mendekat ke arah Om Rudy. Lebih tepatnya ke arah pintu yang ada di belakang lelaki itu. Tidak ada sapaan sama sekali. Dia masuk begitu saja, lalu tersenyum ketika melihat anggota keluarga yang lain kumpul. “Angkasa!” Bocah yang menginjak remaja itu mendongak dan tersenyum. Hanya senyum kecil. Tubuhnya menempel pada tubuh Denial dengan tangan sibuk bermain tab. Peraturan masih sama, karena hari libur, maka dia bisa bermain benda elektronik itu. “Kalian makan malam di sini sekalian, ya. Kita masak sama-sama.” Mereka saling pandang sebelum mengangguk bersamaan. Tentu saja, itu membuat Bu Cintya bahagia luar biasa. Perempuan itu duduk di sofa tepat di samping Almeda dan memangku Elang dengan lembut. Sedangkan Moza yang sudah bisa berjalan itu tak mau diam. Axel harus terus memantaunya agar tidak jatuh. Gema masuk dan segera menyergap bocah kecil itu kemudian mengangkatnya tinggi-tinggi. Tawa renyah keluar dari mulutnya. “Cantiknya siapa?”
“Ma, besok mau ajak Rembulan ke rumah Almeda. Ayah mau ketemu katanya.” Pagi ini, saat sarapan, Denial memberitahu ibunya tentang keinginannya untuk pergi ke rumah Almeda. Ini untuk pertama kalinya Rembulan akan diajak pergi keluar setelah dia pulang dari rumah sakit. Ya, sudah tiga bulan memang usia Rembulan sekarang. Bocah kecil itu sudah bisa tersenyum. Bu Cintya tidak langsung menjawab dan justru menatap ke arah Denial dan Crystal bergantian. Seolah tidak memberinya izin. Dan benar, jawaban itu menunjukkan penolakan. “Masih terlalu kecil untuk dibawa keluar, Den. Mama nggak setuju. Mama akan izinkan kalian ajak Rembulan pergi kalau udah enam bulan.” “Ayah pengen lihat, Ma. Setelah pulang dari rumah sakit waktu itu ‘kan belum pernah ketemu lagi. Cuma lihat dari foto atau video aja.” “Ya tapi Rembulan masih kecil. Mama nggak izinkan.” Penolakan itu jelas dan lugas. Ini bukan karena Bu Cintya tidak mengizinkan si mantan suami itu bertemu dengan cucu mereka. Tapi semua demi cucu
“Kondisi Rembulan sudah sangat baik, Bu. Anak ini sudah sehat sepenuhnya.” Kelegaan membanjiri hati Crystal dan keluarganya. Dia langsung memeluk Denial yang ada di sampingnya saat kabar itu diberikan kepadanya. Hari-hari buruk yang mereka lalui sudah berakhir dan tinggal rasa bahagia yang datang. “Silakan, Bu.” Seorang suster menyerahkan Rembulan kepada Crystal sudah mengeluarkan air matanya. Dengan tangan sedikit bergetar, dia menerima bayinya dan menciumnya dengan sayang. Denial tersenyum lega. Tangannya terulur mengelus tangan Rembulan. Meskipun dia pun sudah pernah menggendongnya, tapi dia merasakan hari ini lebih dari special. Denial tentu lebih berpengalaman dalam soal mengurus bayi dibandingkan Crystal. Dan setelah mereka pulang ke rumah nanti, dia yang akan mengambil alih untuk tugas Crystal semisal Rembulan bangun di tengah malam. “Terima kasih, Dokter. Saya sungguh-sungguh berterima kasih. Berkat Dokter, bayi kami sehat dan sehat.” Crystal bisa merasakan, tubuh putriny
“Tapi satu anak itu nggak seru, Mas. Aku nggak punya saudara aja rasanya juga sepi ‘kan.” Crystal menyanggah pendapat suaminya. Menyamankan baringnya tanpa mengalihkan sedikitpun tatapannya pada sang suami. “Ada banyak temannya nanti. Ada sepupu-sepunya yang akan nemeni dia.” Denial memang kini tengah berpendapat, tapi dia seolah memberikan keputusan. Melihat bagaimana sang istri kepayahan saat hamil muda seperti ini, membuat Denial merasa trauma dan tidak ingin mengulangi lagi. Kasihan dengan Crystal. “Aku bisa, kok. Aku__” “Aku yang nggak bisa, Sayang,” putus Denial. “Aku melihat kamu kepayahan begini rasanya pengen gantiin aja kalau bisa. Jadi, kita lihat nanti bagaimana perkembangannya.” Crystal menarik napasnya panjang mendengar ucapan sang suami yang bernada final. Padahal Crystal sudah membayangkan setiap dua tahun dia akan melahirkan satu bayi yang lucu. Setidaknya punya tiga anak. Tapi si pasangan justru trauma. Maka lebih baik dia tak membantah dan akan melihat saja per
Dua minggu berlalu dan Crystal kembali ke rumah sakit bersama dengan Gema. Mereka berharap kandungan Crystal sudah lebih baik dan setidaknya dia full bedrest. Pengecekan itu akhirnya dilakukan untuk mengetahui hasilnya. Dan hasilnya tidak berubah. Crystal masih tetap harus bedrest. Namun tidak ada hal yang parah dan masih stabil. Crystal hanya diminta untuk tetap hati-hati dan tidak melakukan pergerakan yang tidak perlu. “Maafkan aku, Ma. Aku sudah membuat Mama dan Mas repot.” Crystal merasa tidak enak hati karena sudah membuat keluarganya harus fokus menemani dirinya. Padahal ada banyak pekerjaan yang harus diurus. “Crystal, nggak ada yang perlu dimaafkan. Kamu adalah putri Mama dan sudah menjadi tugas Mama untuk merawat kamu kalau sakit, menemani kalau kamu butuh teman, dan semua itu Mama lakukan dengan tulus. Kamu tidak perlu memikirkan itu karena yang penting kamu sehat, janin di kandunganmu juga sehat. Masalah lain, kamu nggak perlu pikirkan.” Crystal merasa sangat sensitif ka
Denial setengah berlari untuk memasuki rumah. Dia ingin segera sampai dan melihat kondisi istrinya. Dia sudah mendapatkan informasi dan sang bunda jika Crystal baik-baik saja. Tapi tentu saja tak puas jika tidak melihatnya secara langsung. “Mas udah pulang.” Crystal tengah duduk di atas ranjang sambil memegang tab di tangannya. Menggambar banyak design untuk rancangan Crystal fashion. “Kok kerja sih, Sayang?” Denial duduk setelah mengecup puncak kepala Crystal. “Kamu harus istirahat.” “Mas, aku ini istirahat. Aku nggak kerja berat, juga nggak berpikir berat. Aku cuma gambar dan nggak akan terjadi hal-hal yang buruk. Kalau aku nggak ngapa-ngapain justru akan stress. Ohya, tadi Mbak-mbak dua itu datang. Barusan pulang.” Denial mengangguk sambil menatap lekat ke arah Crystal. “Kamu yakin nggak papa? Aku seharian khawatir mikirin kamu tahu nggak sih.” “Nggak papa, Mas-ku. Aku tadi juga jalan-jalan pelan, baca buku, ngobrol sama Mama dan Mbak-mbak. Aku baik-baik aja. Dia kuat kok.” C