Denial terdiam dengan tatapan mengarah lurus pada mata Crystal. Tidak pernah menduga jika gadis itu akan mengeluarkan kata-kata yang mengejutkannya. Tidak ada yang salah ketika seorang perempuan menyatakan cintanya kepada lelaki yang disukainya lebih dulu. Tapi Denial tentu merasa aneh. Dua saudaranya …. Tidak. Jika Denial terus membandingkan semua wanita dengan Permata dan Almeda, itu benar-benar menyusahkan. Jelas, karakter orang berbeda. Yang menjadi pertanyaannya sekarang adalah, apakah dia juga memiliki perasaan yang sama dengan Crystal?Denial meraba hatinya yang terdalam dan mencari jawaban yang dibutuhkan. Ada ketidakyakinan yang muncul di sana. Sebelum ini dia tidak pernah menjalin hubungan cinta dengan siapapun. Apakah dia bisa membuat orang lain bahagia ada di sampingnya? “Kamu nggak perlu menjawab perasaanku.” Tiba-tiba saja Crystal kembali bersuara membuyarkan lamunan yang muncul di dalam kepala Denial. “Aku hanya mengatakannya. Nggak menuntut apa pun dari kamu. Perasaa
“Semoga aku bisa menjadi orang yang bisa membuatmu tersenyum dan bahagia.” Kata-kata itu terngiang di telinga oleh Crystal membuatnya harus tersenyum sepanjang hari. Dia semalam sudah tidak tidur, tapi siang ini dia bahkan pergi ke butiknya untuk bekerja. Perasaannya sedang luar biasa baik dan dia merasa bisa mengembangkan segala imajinasinya untuk menggambar. Hampir sore ketika dia keluar dari butik dan mendapati Radit menunggunya di luar butik. Lelaki itu tampak menatapnya dengan dingin dan tak bersahabat. Melangkah mendekat pada Crystal, lalu berdiri tepat di depan gadis itu. “Ikut denganku!” perintahnya seolah dia memerintahkan seorang karyawannya. “Aku ingin bicara denganmu.” “Bicara tentang apa?” tanya Crystal enggan. “Aku rasa nggak ada yang harus kita bicarakan.” “Nggak ada yang perlu dibicarakan? Kamu pikir masalah kita sudah selesai?” Radit adalah lelaki yang mudah sekali tersulut emosi. Terlebih lagi ketika keinginannya tidak dipenuhi. Crystal sudah terbiasa dengan em
Denial mengatakan jika dia akan berbicara serius kepada dua saudara perempuannya. Dia bertanya di mana mereka harus bertemu dan rumah Denial lah yang akan menjadi tempat pertemuan itu. Namun ketika mereka datang bersama dengan keluarganya, Denial justru tidak ada di rumah. Dia hanya mengatakan kepada bibi jika dia akan segera kembali. Satu jam berlalu dan Denial datang dengan membawa Crystal bersamanya. Keterkejutan yang ditunjukkan oleh tamu-tamunya tampak tak main-main. Gerak-gerik yang ditunjukkan oleh Denial memang tidak berubah. Tapi keberadaan Crystal dengan lelaki itu tentu menjawab semua pertanyaan di dalam setiap kepala yang ada di sana. “Sorry lama. Nggak tahu kalau di jalan macet padahal weekend.” Begitu kata Denial setelah duduk satu sofa dengan Crystal.Ditatap begitu intens oleh empat orang dewasa dengan tatapan tanya dan kecurigaan yang mendalam, tentu saja membuat Crystal gugup luar biasa. Tangannya dingin dan jantungnya berdetak begitu keras. Demi apa pun, Permata d
“Bu, Ibu harus segera ke butik. Ada masalah di sini.” Crystal yang tadinya ingin beristirahat itu mengurungkan niatkan karena panggilan dari salah satu pegawainya. Dia bergegas menuju butiknya dan melihat apa yang terjadi. Perasaannya tiba-tiba merasa ada yang tak beres mengingat betapa paniknya pegawainya saat menelponnya. Dalam perjalanan, mati-matian gadis itu berkonsentrasi menyetir agar sampai dengan selamat ke butiknya. Saat dia sampai di tempat itu, untuk sekilas tidak ada yang aneh dari. Saat dia masuk ke dalamnya, jantungnya hampir mencelos keluar. Semua gaun-gaun yang dipajang tidak berbentuk. Ada robekan baju di mana-mana. “Ibu!” Para karyawannya mendekat dan wajahnya menunjukkan kepanikan yang luar biasa. “Apa yang terjadi? Kenapa butik kita seperti ini?” “Ada seseorang yang sengaja menghancurkan butik kita, Bu.” Seorang karyawan laki-laki mendekat. “Saya sudah mengecek CCTV. Tapi CCTV sengaja mereka rusak.” Crystal tak bisa berkata-kata lagi setelah melihat betapa m
“Terima kasih. Aku nggak tahu apa yang bisa aku lakukan untuk membalasnya.” Crystal menunduk takzim. “Maaf kalau harus menyeret kamu dalam masalahku.” “Aku sudah bersedia bersama denganmu. Aku pikir kita bisa berbagi apa pun termasuk masalah. Aku akan ada di dekatmu dan menerima kamu seperti kamu menerimaku.” Ucapan itu membuat Crystal merasa ketergantungannya pada sosok Denial semakin merajalela. Perasaan yang dia miliki terasa semakin tumbuh menjadi besar setiap waktu. Satu hal yang dia takutkan adalah ketika Denial pergi dari hidupnya. Bagaimana kalau ada sosok perempuan lain yang mungkin saja akan lebih menarik hati Denial? Tangan Crystal saling menguat ketika perasaan takut itu muncul di dalam hatinya. Denial berani lebih dari sebelumnya. Menarik tangan Crystal, lalu merangkumnya ke dalam genggaman tangannya yang besar. Melingkupinya dengan hangat.“Jangan berpikir sesuatu yang buruk yang hanya akan membuat perasaanmu kacau. Jangan pikirkan nanti akan bagaimana, hadapilah saja
“Ibu, saya sudah membuat yang baru dan sudah dalam proses jahit. Saya bisa pastikan tiga hari sebelum acara, saya sudah menyelesaikannya sehingga Ibu bisa mengenakannya di hari pernikahan Ibu.” Crystal sudah membeli bahan baru yang harganya bahkan tidak murah. Kalau itu dibatalkan dia benar-benar tidak tahu bagaimana caranya untuk menyelamatkan butik miliknya. Crystal benar-benar ketakutan dan itu bisa dilihat oleh Denial bagaimana dia meyakinkan kliennya tersebut. “Saya tidak mau mengambil resiko dengan membuat hal buruk pada akhirnya. Saya batalkan saja semuanya dan untuk DP-nya, kamu bisa mengambilnya.” “Ibu, ini bukan masalah uang. Tapi saya benar-benar bisa mengerjakannya. Saya bisa pastikan itu, Bu.” “Jangan memaksaku!” Perempuan itu menolak dengan tegas dan tampak geram. “Aku nggak mau lagi. Jadi sudahlah. Aku berada di sini karena rekomendasi dari seseorang. Terlebih lagi, dulu yang aku tahu kamu juga membuat gaun untuk acara Permata dan Axel. Ternyata kamu tidak bisa dipe
“Crystal, apa yang kamu katakan? Memangnya apa yang aku lakukan?” Pertanyaan itu benar-benar membuat Crystal ingin sekali memuntahkan segala emosi yang menggulungnya. Sayangnya, dia sudah berjanji pada Denial untuk menghadapi Radit dengan cara yang lebih elegan. Dia mengatakan bagaimana dulu, Permata dan Almeda menyingkirkan musuh-musuh yang menyerangnya.Ya, Denial pasti akan selalu membuat dua perempuan itu menjadi contoh untuknya. Menarik napas panjang, Crystal mencoba melakukan apa yang disarankan oleh Denial. Maka dengan anggun dia duduk di sofa. Menumpukan kaki kanannya di kaki kirinya, sebelum dia menatap Radit yang sejak tadi menatapnya lekat. “Butikku hancur. Ada orang-orang yang masuk tanpa izin dan membuat kekacauan. Aku mengalami kerugian yang nggak sedikit. Dia juga menghancurkan CCTV sehingga tidak ada barang bukti yang ditemukan.” Crystal tidak melihat perubahan ekspresi pada wajah Radit. Lelaki itu mendengarkan ucapan Crystal dengan seksama seolah bukan dia yang mel
“Kamu berani mengancamku?” Radit mungkin tidak pernah berpikir jika seseorang yang selalu dianggap rendahan itu mampu mengeluarkan kata-kata ancaman. Kekuasaan seperti apa yang dia miliki sehingga bisa melakukan sesuatu di luar nalar? Sangat tidak masuk akal. Radit tidak bisa diperlakukan seperti itu dengan orang yang bahkan status sosialnya ada di bawahnya. “Ini bukan ancaman. Tapi peringatan. Kamu barusan juga menuduhku melakukan sesuatu yang tidak aku lakukan. Aku tidak akan pernah mengakui kejahatan yang bukan aku yang melakukan.” “Lalu kamu berpikir itu aku?” Radit menunjuk dirinya sendiri. Menatap Denial sengit seolah siap menguliti lelaki itu. “Crystal.” Alih-alih menjawab pertanyaan Radit, Denial justru menatap kekasihnya. “Percuma kita berbicara dengan orang-orang yang bebal seperti ini. Ada cara lain untuk mengeluarkan pelakunya.” Crystal tidak bersuara sejak Denial datang. Dia memilih diam seolah menyerahkan semuanya kepada lelaki itu. Keberadaan Denial di sisinya bena
Angkasa tidak tahu sejak kapan matanya selalu ingin melihat gadis itu. Gadis yang tampak tidak begitu bersahabat dengan orang lain dan lebih suka ke mana-mana sendiri. Beberapa temannya bahkan segan dengan gadis itu. Angkasa juga tidak tahu, kenapa dia suka berdiri di tempat di mana dia bisa memerhatikan gadis itu dalam diam. Ada getaran aneh yang dirasakan ketika suatu hari dia bersisipan jalan dengan gadis itu. Namanya Semesta, dia satu angkatan dengannya. Gadis itu benar-benar cuek dan memiliki dua saudara yang super posesif. Dia mendengar, mereka memang kembar tiga. “Lo suka sama dia, Ka?” Kesenangan Angkasa harus terputus karena temannya mendekat dan membuyarkan lamunannya. “Gue tahu kok, lo selalu berdiri di sini hanya untuk menatap Semesta.” Angkasa menarik napasnya panjang. Sepanjang hidupnya, dia hidup belum sekalipun dia merasakan jatuh cinta. Kalau sekarang getaran itu dirasakan, apa benar getaran itu adalah tanda jika dia sedang jatuh cinta? Ya, pertanyaan temannya itu
Angkasa berdiri dengan membawa dua adiknya di dalam gendongannya. Membawanya masuk ke dalam rumah sehingga membuat dua adiknya itu tertawa-tawa. “Abang, ayo kita putra-putar.” Rembulan berteriak tepat di telinga Angkasa membuat Angkasa sedikit menjauhkan kepalanya. Tapi tidak bisa karena Moza ada di punggungnya. “Astaga, anak-anak ini.” Almeda menggeleng pelan. “Turun anak-anak. Kasihan abangnya dong.” “Nggak mau!” Suara itu keluar dari mulut Moza dan Rembulan secara bersamaan. “Abang, ayo kita mutar.” Rembulan mengimbuhi tak peduli dengan Almeda yang sudah menatap mereka memeringatkan. Melihat Almeda yang sudah mengerutkan kening, Angkasa segera bersuara. “Biarin aja Onty Al. Lagi menghibur yang mau adik.” Almeda mengerti, maka dia hanya diam pada akhirnya. Akhirnya Almeda kembali ke dapur. Bapak-bapak yang ada di belakang rumah tentu saja tidak tahu kelakuan anak-anak mereka. Membiarkan anak-anaknya berbuat seenaknya. Sedangkan Permata dan Crystal yang melihat dari dapur
“Bunda, kapan Rembulan punya adik?” Pertanyaan itu dilontarkan oleh bocah berusia lima tahun yang sudah memasuki sekolah Paud. Dia baru saja pulang dari sekolah, lalu berlari untuk bertemu dengan ibunya di kantor Crystal Fashion. Di belakangnya, ada Mbak Susi – si pengasuh. Crystal yang tengah menunduk dan tengah menggambar itu segera mendongak. Memberikan senyuman kecil untuk putrinya, lalu meninggalkan pekerjaannya untuk sementara. “Putri Bunda sudah pulang.” Pelukan Crystal mengerat pada putrinya. “Lho itu bawa apa?” “Telur gulung.” Crystal hampir menjatuhkan rahangnya ketika melihat bungkusan plastic berisi telur gulung yang dibawa oleh Rembulan. Crystal menatap Mbak Susi untuk meminta penjelasan kenapa putrinya harus makan-makanan seperti itu. Bukan masalah makanannya, yang dikhawatirkan oleh Crystal adalah makanan itu dibeli di sembarang tempat dan tidak higienis. “Itu bersih kok, Bu.” Tahu kalau dia harus memberikan penjelasan, maka Mbak Susi segera bersuara. “Di samping
Bu Cintya memutus tatapan mereka dan berjalan mendekat ke arah Om Rudy. Lebih tepatnya ke arah pintu yang ada di belakang lelaki itu. Tidak ada sapaan sama sekali. Dia masuk begitu saja, lalu tersenyum ketika melihat anggota keluarga yang lain kumpul. “Angkasa!” Bocah yang menginjak remaja itu mendongak dan tersenyum. Hanya senyum kecil. Tubuhnya menempel pada tubuh Denial dengan tangan sibuk bermain tab. Peraturan masih sama, karena hari libur, maka dia bisa bermain benda elektronik itu. “Kalian makan malam di sini sekalian, ya. Kita masak sama-sama.” Mereka saling pandang sebelum mengangguk bersamaan. Tentu saja, itu membuat Bu Cintya bahagia luar biasa. Perempuan itu duduk di sofa tepat di samping Almeda dan memangku Elang dengan lembut. Sedangkan Moza yang sudah bisa berjalan itu tak mau diam. Axel harus terus memantaunya agar tidak jatuh. Gema masuk dan segera menyergap bocah kecil itu kemudian mengangkatnya tinggi-tinggi. Tawa renyah keluar dari mulutnya. “Cantiknya siapa?”
“Ma, besok mau ajak Rembulan ke rumah Almeda. Ayah mau ketemu katanya.” Pagi ini, saat sarapan, Denial memberitahu ibunya tentang keinginannya untuk pergi ke rumah Almeda. Ini untuk pertama kalinya Rembulan akan diajak pergi keluar setelah dia pulang dari rumah sakit. Ya, sudah tiga bulan memang usia Rembulan sekarang. Bocah kecil itu sudah bisa tersenyum. Bu Cintya tidak langsung menjawab dan justru menatap ke arah Denial dan Crystal bergantian. Seolah tidak memberinya izin. Dan benar, jawaban itu menunjukkan penolakan. “Masih terlalu kecil untuk dibawa keluar, Den. Mama nggak setuju. Mama akan izinkan kalian ajak Rembulan pergi kalau udah enam bulan.” “Ayah pengen lihat, Ma. Setelah pulang dari rumah sakit waktu itu ‘kan belum pernah ketemu lagi. Cuma lihat dari foto atau video aja.” “Ya tapi Rembulan masih kecil. Mama nggak izinkan.” Penolakan itu jelas dan lugas. Ini bukan karena Bu Cintya tidak mengizinkan si mantan suami itu bertemu dengan cucu mereka. Tapi semua demi cucu
“Kondisi Rembulan sudah sangat baik, Bu. Anak ini sudah sehat sepenuhnya.” Kelegaan membanjiri hati Crystal dan keluarganya. Dia langsung memeluk Denial yang ada di sampingnya saat kabar itu diberikan kepadanya. Hari-hari buruk yang mereka lalui sudah berakhir dan tinggal rasa bahagia yang datang. “Silakan, Bu.” Seorang suster menyerahkan Rembulan kepada Crystal sudah mengeluarkan air matanya. Dengan tangan sedikit bergetar, dia menerima bayinya dan menciumnya dengan sayang. Denial tersenyum lega. Tangannya terulur mengelus tangan Rembulan. Meskipun dia pun sudah pernah menggendongnya, tapi dia merasakan hari ini lebih dari special. Denial tentu lebih berpengalaman dalam soal mengurus bayi dibandingkan Crystal. Dan setelah mereka pulang ke rumah nanti, dia yang akan mengambil alih untuk tugas Crystal semisal Rembulan bangun di tengah malam. “Terima kasih, Dokter. Saya sungguh-sungguh berterima kasih. Berkat Dokter, bayi kami sehat dan sehat.” Crystal bisa merasakan, tubuh putriny
“Tapi satu anak itu nggak seru, Mas. Aku nggak punya saudara aja rasanya juga sepi ‘kan.” Crystal menyanggah pendapat suaminya. Menyamankan baringnya tanpa mengalihkan sedikitpun tatapannya pada sang suami. “Ada banyak temannya nanti. Ada sepupu-sepunya yang akan nemeni dia.” Denial memang kini tengah berpendapat, tapi dia seolah memberikan keputusan. Melihat bagaimana sang istri kepayahan saat hamil muda seperti ini, membuat Denial merasa trauma dan tidak ingin mengulangi lagi. Kasihan dengan Crystal. “Aku bisa, kok. Aku__” “Aku yang nggak bisa, Sayang,” putus Denial. “Aku melihat kamu kepayahan begini rasanya pengen gantiin aja kalau bisa. Jadi, kita lihat nanti bagaimana perkembangannya.” Crystal menarik napasnya panjang mendengar ucapan sang suami yang bernada final. Padahal Crystal sudah membayangkan setiap dua tahun dia akan melahirkan satu bayi yang lucu. Setidaknya punya tiga anak. Tapi si pasangan justru trauma. Maka lebih baik dia tak membantah dan akan melihat saja per
Dua minggu berlalu dan Crystal kembali ke rumah sakit bersama dengan Gema. Mereka berharap kandungan Crystal sudah lebih baik dan setidaknya dia full bedrest. Pengecekan itu akhirnya dilakukan untuk mengetahui hasilnya. Dan hasilnya tidak berubah. Crystal masih tetap harus bedrest. Namun tidak ada hal yang parah dan masih stabil. Crystal hanya diminta untuk tetap hati-hati dan tidak melakukan pergerakan yang tidak perlu. “Maafkan aku, Ma. Aku sudah membuat Mama dan Mas repot.” Crystal merasa tidak enak hati karena sudah membuat keluarganya harus fokus menemani dirinya. Padahal ada banyak pekerjaan yang harus diurus. “Crystal, nggak ada yang perlu dimaafkan. Kamu adalah putri Mama dan sudah menjadi tugas Mama untuk merawat kamu kalau sakit, menemani kalau kamu butuh teman, dan semua itu Mama lakukan dengan tulus. Kamu tidak perlu memikirkan itu karena yang penting kamu sehat, janin di kandunganmu juga sehat. Masalah lain, kamu nggak perlu pikirkan.” Crystal merasa sangat sensitif ka
Denial setengah berlari untuk memasuki rumah. Dia ingin segera sampai dan melihat kondisi istrinya. Dia sudah mendapatkan informasi dan sang bunda jika Crystal baik-baik saja. Tapi tentu saja tak puas jika tidak melihatnya secara langsung. “Mas udah pulang.” Crystal tengah duduk di atas ranjang sambil memegang tab di tangannya. Menggambar banyak design untuk rancangan Crystal fashion. “Kok kerja sih, Sayang?” Denial duduk setelah mengecup puncak kepala Crystal. “Kamu harus istirahat.” “Mas, aku ini istirahat. Aku nggak kerja berat, juga nggak berpikir berat. Aku cuma gambar dan nggak akan terjadi hal-hal yang buruk. Kalau aku nggak ngapa-ngapain justru akan stress. Ohya, tadi Mbak-mbak dua itu datang. Barusan pulang.” Denial mengangguk sambil menatap lekat ke arah Crystal. “Kamu yakin nggak papa? Aku seharian khawatir mikirin kamu tahu nggak sih.” “Nggak papa, Mas-ku. Aku tadi juga jalan-jalan pelan, baca buku, ngobrol sama Mama dan Mbak-mbak. Aku baik-baik aja. Dia kuat kok.” C