Rosa beranjak dari duduknya dan menunjuk Almeda yang ada di depannya. “Kamu udah membuat Mama mengakhiri hidupnya. Kamu adalah anak yang paling jahat di dunia ini. Bukan Mama yang seharusnya meninggal, tapi kamu!” Rosa terengah karena terus mengeluarkan semua kata-katanya dengan teriakan. Ini di makam, tidak seharusnya dia mengatakan semua dan menyalahkan Almeda. Namun Almeda hanya tersenyum miring seolah menghina Rosa. “Kamu seharusnya tahu, dia melakukan ini karena dia tak tahan hidup dalam tekanan. Dia bahkan takut kamu nggak terima dia lagi setelah dia keluar dari penjara.”“Bedebah! Mama nggak perlu memikirkan itu. Aku putrinya, jadi aku akan tetap menerima bagaimanapun keadaannya.” Almeda menyerahkan surat dari Marta. Memberikan kode kepada Rosa agar dia menerimanya dan membacanya. Tapi Rosa terlalu bebal untuk melakukan itu. Maka Almeda segera berbicara. “Surat ini dari ibumu. Kamu pasti hapal betul tulisannya. Jadi, kamu bisa membacanya.” Dan segera, Rosa menyahut surat t
“Kamu yakin sanggup hamil dan melahirkan lima orang anak?” tanya Gema pada akhirnya. Gema tidak bisa membayangkan betapa repotnya Almeda mengurus lima anak. Katakanlah dua tahun sekali anak mereka lahir ke dunia. Maka dalam waktu sepuluh tahun, Almeda hanya akan menghabiskan waktunya untuk hamil dan melahirkan. Entah kenapa, Gema bergidik ngeri. Tidak, tentu saja dia senang-senang saja memliki banyak anak. Dia hanya memikirkan Almeda yang akan kesulitan dan repot dengan anak-anak mereka yang kecil-kecil.Satu anaknya minta ini, yang lainnya minta itu. Gema menggelengkan kepalanya dan itu membuat Almeda mengernyitkan dahinya. “Kamu nggak mau?” “Bukan nggak mau, Yang. Kamu harus pertimbangkan lagi. Lima anak itu nggak sedikit. Aku hanya nggak mau kamu kerepotan. Fulltime jadi ibu rumah tangga dengan lima anak itu benar-benar nggak mudah. Coba kamu bayangin dulu deh.” Almeda keluar dari pelukan Gema. Menegakkan tubuhnya dan menatap ke arah Gema. “Kalau aku punya lima anak, di rumah pa
Makan siang telah usai. Beberapa tamu sudah ada yang meninggalkan rumah Gema. Tak peduli laki-laki, mereka kini tengah membereskan bekas makanan dan membawanya ke dapur. Bahkan Axel pun ikut serta melakukan kegiatan beres-beres itu. Moza ada di gendongan sang kakek, sedangkan Angkasa tengah mengejar katak yang ada di luar rumah. Masih dalam pantauan Sus Dian. Orang tua Gema juga masih ada di sana tengah duduk di sofa sambil menatap orang-orang yang tengah ‘gotong royong’ untuk membersihkan bekas makan siang mereka. “Yang, Angkasa mana?” tanya Axel pada Permata. Putranya itu tidak terlihat pada pandangannya. “Main di luar kan? Sama Sus Dian.” Axel keluar mencari keberadaan putranya dan memintanya masuk. “Abang masuk. Panas begitu.” Angkasa tampak berkeringat karena bermain dengan katak di tempat panas. “Papa, kita bawa kataknya ya.” “Nggak-nggak, kotor. Nanti Papa belikan ikan cupang.” “Tapi mau kodok ini, Pa.” “Nggak, Abang. Ayo masuk. Cuci tangan!” Meskipun wajahnya tertekuk
Untuk sejenak, Almeda terdiam. Dia menatap ibu mertuanya itu dengan tatapan lekat. Semua orang yang pernah ditolak, lalu suatu waktu orang yang menolakmu justru mendekatimu. Tentu saja hal itu sedikit aneh. Tapi Almeda tetap tenang. Karena lampu lalu lintas sudah berubah hijau, dia kembali mengemudi. “Mama mau menjadi ibuku? Menganggap aku seperti anak Mama sendiri?” Almeda hanya penasaran jawaban seperti apa yang akan diberikan oleh Bu Risti saat pertanyaan itu terlontar dari mulutnya. “Kalau kamu menganggap aku tidak bisa menjadi ibumu, kenapa kamu memanggilku Mama?” Berhenti sejenak sebelum dia kembali membuka mulut untuk berbicara. “Mama salah sudah menolak kamu karena latar belakang keluarga kamu. Setiap malam, Mama selalu berpikir apa yang harus Mama lakukan untuk meminta maaf sama kamu. Mama malu sudah mengeluarkan kata-kata kasar di masa lalu hanya untuk membuat kamu meninggalkan Gema. Bahkan menggunakan cara kotor.” Mereka sampai di sebuah mal besar dan Almeda mengarahkan
“Benar, itu saya.” Perempuan bernama Crystal itu tersenyum lebar. Tampak merasa lega karena dia benar-benar bertemu dengan orang baik.Denial hanya mengangguk setelah memasukkan perkakas mobil yang digunakan untuk mengganti ban. Ekspresinya masih tampak tak acuh seperti biasa. “Masuk dan pulanglah. Saya akan menunggu.” Crystal tampak tergagap mendengar ucapan Denial. Dia tidak fokus dan hanya terus menatap Denial dengan pikiran bercabang ke mana-mana. “Ini sudah larut malam.” Denial kembali berbicara, menatap ke sekeliling yang sudah benar-benar sepi. “Atau mau saya antarkan?” Jangan berpikiran Denial sedang menggoda atau sebangsanya. Dia benar-benar peduli. Mengingat dia memiliki dua ‘adik’ perempuan, dia tak bisa mengabaikan Crystal begitu saja. Kalau Permata atau Almeda yang ada di posisi Crystal, dia pasti juga akan merasa panik. “Oh, nggak perlu. Saya berani pulang sendiri.” Akhirnya Crystal bersuara. “Terima kasih sudah membantu saya. Lain kali, saya akan mentraktir untuk t
“Jauhi dia.” Begitu kata lelaki itu dengan nada tak senang. “Dia kekasihku. Dan akan segera menjadi istriku.” Denial tak pernah terlibat dengan masalah remeh temeh seperti ini sebelumnya dan dia harus merasakannya kali ini. Mengedikkan bahunya tak acuh. Denial menjawab santai. “Saya tidak pernah mendekatinya, jadi tidak ada alasan buat saya untuk menjauhinya. Kalau kalian ada masalah, jangan libatkan saya. Saya sungguh tidak memiliki urusan apa pun dengannya. Saya rasa kamu tidak perlu memeringatkan saya.” Denial pergi begitu saja setelah mengatakan itu. Membuat lelaki asing itu menggeram marah. Menatap Denial dengan kejam seolah dia ingin menghajar sampai babak belur. Berbeda dengan lelaki yang tidak dikenal oleh Denial tersebut, Denial juga melupakan pertemuan dan percakapan itu begitu saja seolah dia tidak pernah terlibat apa pun dengan lelaki itu. Di balik harinya yang tidak menyenangkan, sebuah kabar baik datang dari Almeda. Dia diminta untuk datang ke rumah Gema untuk menden
Denial memesan satu kopi sebelum ke kantor. Malam sudah menghitam dan waktunya dia bekerja. Lelaki itu semakin menyukai keheningan. Awalnya rasa sepi terasa menyesakkan, tapi dia mulai menikmatinya. “Sepertinya, kita lebih sering bertemu sekarang.” Lelaki paruh baya itu lagi. Tapi sekarang bersama dengan Crystal di sampingnya. Apa lelaki itu adalah ayah Crystal? Pertanyaan itu muncul di kepala Denial tapi tak disuarakan. “Baru pulang kerja?” tanya lelaki paruh baya itu. “Baru mau berangkat.” Ada keterkejutan yang ditunjukan oleh lelaki itu, terlebih lagi Crystal. Jawaban itu tentu saja mengejutkan. “Baru mau bekerja di malam hari?” Denial hanya mengangguk dan segera pamit setelah mendapatkan kopi pesanannya. Crystal dan lelaki paruh baya itu terus mengikuti perginya Denial dari balik dinding kaca kafe melalui tatapannya. Ada ketertarikan yang kental dari tatapan yang diberikan oleh Crystal. Dan itu disadari oleh lelaki paruh baya yang ada di depannya. Lelaki itu menyeringai. “
Denial berdiri di depan Crystal saat Randi merangsek maju dengan amarah membara di wajahnya. Denial tidak akan membiarkan lelaki itu menyakiti Crystal. Tentu ini bukan karena dia sudah mulai menaruh rasa. Tapi dia tidak akan membiarkan perempuan disakiti di depan wajahnya. Randi yang tadinya menunjukkan kemarahannya itu akhirnya tertawa sinis. “Kamu benar-benar ingin berurusan denganku? Kamu tidak tahu siapa aku?” Denial tidak menjawab. Jika Randi berpikir Denial akan takut padanya, maka lelaki itu salah besar. Lagi pula, siapa lelaki itu pun tidak penting baginya. Denial tidak membutuhkan informasi apa pun tentang lelaki itu. Tapi Randi menjelaskan dirinya sendiri. “Aku adalah pemilik perusahaan JR Grup. Aku bisa menghabisimu tanpa menyentuhmu.” Denial masih tidak terlihat takut sehingga membuat Randi merasakan puncak kemarahannya tak bisa dibendung. Kepalan tangannya menguat bersiap untuk menghajar lelaki yang ada di depannya. Selama ini, tidak ada yang berani melawan dirinya. T
Angkasa tidak tahu sejak kapan matanya selalu ingin melihat gadis itu. Gadis yang tampak tidak begitu bersahabat dengan orang lain dan lebih suka ke mana-mana sendiri. Beberapa temannya bahkan segan dengan gadis itu. Angkasa juga tidak tahu, kenapa dia suka berdiri di tempat di mana dia bisa memerhatikan gadis itu dalam diam. Ada getaran aneh yang dirasakan ketika suatu hari dia bersisipan jalan dengan gadis itu. Namanya Semesta, dia satu angkatan dengannya. Gadis itu benar-benar cuek dan memiliki dua saudara yang super posesif. Dia mendengar, mereka memang kembar tiga. “Lo suka sama dia, Ka?” Kesenangan Angkasa harus terputus karena temannya mendekat dan membuyarkan lamunannya. “Gue tahu kok, lo selalu berdiri di sini hanya untuk menatap Semesta.” Angkasa menarik napasnya panjang. Sepanjang hidupnya, dia hidup belum sekalipun dia merasakan jatuh cinta. Kalau sekarang getaran itu dirasakan, apa benar getaran itu adalah tanda jika dia sedang jatuh cinta? Ya, pertanyaan temannya itu
Angkasa berdiri dengan membawa dua adiknya di dalam gendongannya. Membawanya masuk ke dalam rumah sehingga membuat dua adiknya itu tertawa-tawa. “Abang, ayo kita putra-putar.” Rembulan berteriak tepat di telinga Angkasa membuat Angkasa sedikit menjauhkan kepalanya. Tapi tidak bisa karena Moza ada di punggungnya. “Astaga, anak-anak ini.” Almeda menggeleng pelan. “Turun anak-anak. Kasihan abangnya dong.” “Nggak mau!” Suara itu keluar dari mulut Moza dan Rembulan secara bersamaan. “Abang, ayo kita mutar.” Rembulan mengimbuhi tak peduli dengan Almeda yang sudah menatap mereka memeringatkan. Melihat Almeda yang sudah mengerutkan kening, Angkasa segera bersuara. “Biarin aja Onty Al. Lagi menghibur yang mau adik.” Almeda mengerti, maka dia hanya diam pada akhirnya. Akhirnya Almeda kembali ke dapur. Bapak-bapak yang ada di belakang rumah tentu saja tidak tahu kelakuan anak-anak mereka. Membiarkan anak-anaknya berbuat seenaknya. Sedangkan Permata dan Crystal yang melihat dari dapur
“Bunda, kapan Rembulan punya adik?” Pertanyaan itu dilontarkan oleh bocah berusia lima tahun yang sudah memasuki sekolah Paud. Dia baru saja pulang dari sekolah, lalu berlari untuk bertemu dengan ibunya di kantor Crystal Fashion. Di belakangnya, ada Mbak Susi – si pengasuh. Crystal yang tengah menunduk dan tengah menggambar itu segera mendongak. Memberikan senyuman kecil untuk putrinya, lalu meninggalkan pekerjaannya untuk sementara. “Putri Bunda sudah pulang.” Pelukan Crystal mengerat pada putrinya. “Lho itu bawa apa?” “Telur gulung.” Crystal hampir menjatuhkan rahangnya ketika melihat bungkusan plastic berisi telur gulung yang dibawa oleh Rembulan. Crystal menatap Mbak Susi untuk meminta penjelasan kenapa putrinya harus makan-makanan seperti itu. Bukan masalah makanannya, yang dikhawatirkan oleh Crystal adalah makanan itu dibeli di sembarang tempat dan tidak higienis. “Itu bersih kok, Bu.” Tahu kalau dia harus memberikan penjelasan, maka Mbak Susi segera bersuara. “Di samping
Bu Cintya memutus tatapan mereka dan berjalan mendekat ke arah Om Rudy. Lebih tepatnya ke arah pintu yang ada di belakang lelaki itu. Tidak ada sapaan sama sekali. Dia masuk begitu saja, lalu tersenyum ketika melihat anggota keluarga yang lain kumpul. “Angkasa!” Bocah yang menginjak remaja itu mendongak dan tersenyum. Hanya senyum kecil. Tubuhnya menempel pada tubuh Denial dengan tangan sibuk bermain tab. Peraturan masih sama, karena hari libur, maka dia bisa bermain benda elektronik itu. “Kalian makan malam di sini sekalian, ya. Kita masak sama-sama.” Mereka saling pandang sebelum mengangguk bersamaan. Tentu saja, itu membuat Bu Cintya bahagia luar biasa. Perempuan itu duduk di sofa tepat di samping Almeda dan memangku Elang dengan lembut. Sedangkan Moza yang sudah bisa berjalan itu tak mau diam. Axel harus terus memantaunya agar tidak jatuh. Gema masuk dan segera menyergap bocah kecil itu kemudian mengangkatnya tinggi-tinggi. Tawa renyah keluar dari mulutnya. “Cantiknya siapa?”
“Ma, besok mau ajak Rembulan ke rumah Almeda. Ayah mau ketemu katanya.” Pagi ini, saat sarapan, Denial memberitahu ibunya tentang keinginannya untuk pergi ke rumah Almeda. Ini untuk pertama kalinya Rembulan akan diajak pergi keluar setelah dia pulang dari rumah sakit. Ya, sudah tiga bulan memang usia Rembulan sekarang. Bocah kecil itu sudah bisa tersenyum. Bu Cintya tidak langsung menjawab dan justru menatap ke arah Denial dan Crystal bergantian. Seolah tidak memberinya izin. Dan benar, jawaban itu menunjukkan penolakan. “Masih terlalu kecil untuk dibawa keluar, Den. Mama nggak setuju. Mama akan izinkan kalian ajak Rembulan pergi kalau udah enam bulan.” “Ayah pengen lihat, Ma. Setelah pulang dari rumah sakit waktu itu ‘kan belum pernah ketemu lagi. Cuma lihat dari foto atau video aja.” “Ya tapi Rembulan masih kecil. Mama nggak izinkan.” Penolakan itu jelas dan lugas. Ini bukan karena Bu Cintya tidak mengizinkan si mantan suami itu bertemu dengan cucu mereka. Tapi semua demi cucu
“Kondisi Rembulan sudah sangat baik, Bu. Anak ini sudah sehat sepenuhnya.” Kelegaan membanjiri hati Crystal dan keluarganya. Dia langsung memeluk Denial yang ada di sampingnya saat kabar itu diberikan kepadanya. Hari-hari buruk yang mereka lalui sudah berakhir dan tinggal rasa bahagia yang datang. “Silakan, Bu.” Seorang suster menyerahkan Rembulan kepada Crystal sudah mengeluarkan air matanya. Dengan tangan sedikit bergetar, dia menerima bayinya dan menciumnya dengan sayang. Denial tersenyum lega. Tangannya terulur mengelus tangan Rembulan. Meskipun dia pun sudah pernah menggendongnya, tapi dia merasakan hari ini lebih dari special. Denial tentu lebih berpengalaman dalam soal mengurus bayi dibandingkan Crystal. Dan setelah mereka pulang ke rumah nanti, dia yang akan mengambil alih untuk tugas Crystal semisal Rembulan bangun di tengah malam. “Terima kasih, Dokter. Saya sungguh-sungguh berterima kasih. Berkat Dokter, bayi kami sehat dan sehat.” Crystal bisa merasakan, tubuh putriny
“Tapi satu anak itu nggak seru, Mas. Aku nggak punya saudara aja rasanya juga sepi ‘kan.” Crystal menyanggah pendapat suaminya. Menyamankan baringnya tanpa mengalihkan sedikitpun tatapannya pada sang suami. “Ada banyak temannya nanti. Ada sepupu-sepunya yang akan nemeni dia.” Denial memang kini tengah berpendapat, tapi dia seolah memberikan keputusan. Melihat bagaimana sang istri kepayahan saat hamil muda seperti ini, membuat Denial merasa trauma dan tidak ingin mengulangi lagi. Kasihan dengan Crystal. “Aku bisa, kok. Aku__” “Aku yang nggak bisa, Sayang,” putus Denial. “Aku melihat kamu kepayahan begini rasanya pengen gantiin aja kalau bisa. Jadi, kita lihat nanti bagaimana perkembangannya.” Crystal menarik napasnya panjang mendengar ucapan sang suami yang bernada final. Padahal Crystal sudah membayangkan setiap dua tahun dia akan melahirkan satu bayi yang lucu. Setidaknya punya tiga anak. Tapi si pasangan justru trauma. Maka lebih baik dia tak membantah dan akan melihat saja per
Dua minggu berlalu dan Crystal kembali ke rumah sakit bersama dengan Gema. Mereka berharap kandungan Crystal sudah lebih baik dan setidaknya dia full bedrest. Pengecekan itu akhirnya dilakukan untuk mengetahui hasilnya. Dan hasilnya tidak berubah. Crystal masih tetap harus bedrest. Namun tidak ada hal yang parah dan masih stabil. Crystal hanya diminta untuk tetap hati-hati dan tidak melakukan pergerakan yang tidak perlu. “Maafkan aku, Ma. Aku sudah membuat Mama dan Mas repot.” Crystal merasa tidak enak hati karena sudah membuat keluarganya harus fokus menemani dirinya. Padahal ada banyak pekerjaan yang harus diurus. “Crystal, nggak ada yang perlu dimaafkan. Kamu adalah putri Mama dan sudah menjadi tugas Mama untuk merawat kamu kalau sakit, menemani kalau kamu butuh teman, dan semua itu Mama lakukan dengan tulus. Kamu tidak perlu memikirkan itu karena yang penting kamu sehat, janin di kandunganmu juga sehat. Masalah lain, kamu nggak perlu pikirkan.” Crystal merasa sangat sensitif ka
Denial setengah berlari untuk memasuki rumah. Dia ingin segera sampai dan melihat kondisi istrinya. Dia sudah mendapatkan informasi dan sang bunda jika Crystal baik-baik saja. Tapi tentu saja tak puas jika tidak melihatnya secara langsung. “Mas udah pulang.” Crystal tengah duduk di atas ranjang sambil memegang tab di tangannya. Menggambar banyak design untuk rancangan Crystal fashion. “Kok kerja sih, Sayang?” Denial duduk setelah mengecup puncak kepala Crystal. “Kamu harus istirahat.” “Mas, aku ini istirahat. Aku nggak kerja berat, juga nggak berpikir berat. Aku cuma gambar dan nggak akan terjadi hal-hal yang buruk. Kalau aku nggak ngapa-ngapain justru akan stress. Ohya, tadi Mbak-mbak dua itu datang. Barusan pulang.” Denial mengangguk sambil menatap lekat ke arah Crystal. “Kamu yakin nggak papa? Aku seharian khawatir mikirin kamu tahu nggak sih.” “Nggak papa, Mas-ku. Aku tadi juga jalan-jalan pelan, baca buku, ngobrol sama Mama dan Mbak-mbak. Aku baik-baik aja. Dia kuat kok.” C