“Kamu udah lebih baik sekarang?” Setelah tahu Almeda siuman, Permata segera meluangkan waktu menjenguk sahabatnya tersebut. Bersama Angkasa. “Onty Al sakit apa?” tanya Angkasa yang belum mengerti keadaan Almeda yang sebenarnya. Dan memang tidak perlu mengerti. “Onty Al sakit demam, Sayang,” jawab Almeda berbohong. “Yang kayak Angkasa kalau sakit panas ya, Tante.” “Ya, yang seperti itu.” “Angkasa ikut Papa dulu, ya. Mami mau bicara dengan Onty Al.” Angkasa hanya mengangguk dan menuruti perintah ibunya. Bocah itu akan banyak bicara jika tidak dihentikan. “Denial kemarin katanya udah datang ke rumah mertua kamu dan menjelaskan tentang hubungan kita bertiga. Kamu udah tahu itu?”Permata mendengar itu dari tiga laki-laki yang sekarang sedang berkumpul di sofa di ruangan tersebut. Denial, Axel, dan Gema. Mereka tengah membicarakan rencana lanjutan yang harus mereka lakukan. “Gema udah bilang sama aku. Dia juga mengeluh tentang mungki ibunya nggak akan begitu saja membuka hatinya bu
“Dan kamu mempercayainya?” tanya Almeda mempertahankan ketenangannya.“Bagaimana aku tidak percaya kalau dia membeberkan bukti-buktinya? Dia membawa surat nikah, foto pernikahan mereka, dan juga perutnya yang membesar.” Marta bersuara tinggi menyentak Almeda. “Dan ayahmu, dia datang ke dalam kehidupanku membawa serta hal yang menjijikkan. Kamu tahu kenapa aku begitu membencimu? Karena kamu memang tidak pernah aku ingin kamu ada di dunia.” “Aku tahu!” Almeda berteriak kesal. Marta seketika terdiam mendengar suara tinggi Almeda. Ini jelas pertama kalinya Almeda merasa ketenangannya diusik. Ekspresi dingin yang selalu ditunjukkan selama ini berubah menjadi seperti dipenuhi lahar api. “Aku tahu aku tidak pernah kamu inginkan. Aku tidak peduli itu. Yang aku butuhkan adalah cerita lengkap yang perlu aku ketahui. Jangan membuat kesabaranku habis.” Almeda tidak sedang main-main. Dia tak bisa menahan lebih lama lagi untuk tahu versi full dari cerita yang Marta ungkapkan. Dua perempuan berbe
Kemarahan suami Marta tidak bisa dibendung ketika dengan tega dia mendaratkan tamparan di pipi sang istri. Ruangan itu mendadak menjadi beku. Rosa membelalak tak menyangka ayahnya akan bersikap kasar kepada sang bunda. Pun dengan Marta yang mematung di tempatnya dengan memegang pipinya yang terasa panas. “Aku selama ini mencintaimu dengan tulus. Apa yang tidak aku berikan buat kamu saat kamu memintanya? Apa selama ini aku pernah sedikit saja melirik perempuan lain dan berniat untuk selingkuh? Aku sama sekali tak pernah melakukannya. Tapi, kamu benar-benar membuat kesalahan fatal yang tidak bisa aku maafkan.” Ruang keluarga itu hanya terdengar suara suami Marta yang dipenuhi amarah. Ini mungkin bukan pertengkaran mereka yang pertama. Bagaimanapun hubungan mereka sudah berjalan puluhan tahun. Pasti ada cekcok kecil yang terjadi selama ini. Tapi jelas, kali ini masalah mereka begitu besar dan Marta tidak termaafkan. “Semuanya hancur karena kebodohanmu. Kamu menyalahkan Almeda dalam ha
Bibi pasti terkejut mendengar pertanyaan yang dilontarkan Almeda kepadanya. Belum selesai keterkejutannya karena tiba-tiba Almeda memeluknya, ungkapan Almeda membuat Bibi merasa lebih terkejut lagi. Tapi pada akhirnya, perempuan paruh baya itu mengelus punggung Almeda dengan lembut memperlakukannya seperti keluarganya. “Ibu bisa menganggap saya sebagai keluarga Ibu.” Almeda tersenyum meskipun air matanya tak kunjung berhenti. Bertahan dalam pelukan Bibi untuk beberapa saat sebelum dia mengurai pelukannya dan mengusap air mata yang membanjiri pipinya. “Ibu bisa menceritakan apa pun kepada saya. Keresahan Ibu, atau barangkali Ibu ingin butuh teman curhat, saya bisa menemani Ibu. Mungkin saya tidak bisa memberi solusi yang dibutuhkan, tapi terkadang, seseorang hanya perlu didengarkan.” Almeda semakin tersenyum lebar dan lagi-lagi mengangguk. “Terima kasih, Bi.”Mereka kembali diselimuti keheningan sebelum Almeda kembali bertanya. “Bibi punya anak berapa?”“Bibi punya dua anak, Bu. Ya
Almeda sudah kembali pada aktivitasnya di kantor. Meskipun saat pertama kali dia muncul langsung disergap oleh banyak pertanyaan dari para karyawan, tapi dia hanya menjawabnya seadanya. Itu adalah tanda mereka peduli, atau bahkan memang mereka penasaran kenapa hal semacam itu terjadi. Almeda sudah menutup lembaran buram itu dan kembali melanjutkan hidupnya. Dia mendengar, Marta diangkut oleh pihak kepolisian untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Jujur saja Almeda tidak ingin Marta mendekam di penjara, tapi hukum tetap berlaku. Sekarang yang harus dia hadapi selanjutnya adalah orang tua Gema. Memperbaiki hubungan mereka yang sejak awal sudah tidak baik. “Jadi, mertua kamu datang ke sini?” Malam ini, Almeda dan Gema mengadakan makan malam ala-ala di rumah Gema. Mengundang gank-nya seperti biasa. Dan Almeda kini menceritakan tentang kedatang ibu mertuanya pada Permata. “Iya. Nggak banyak yang dikatakan. Tapi itu sudah cukup sih buat aku untuk mendekat pada keluarga Gema.” Wajah
Kalimat itu tidak terlalu panjang tapi menjelaskan arti yang tepat. Almeda yang tadinya hanya tercenung pun mendapatkan kewarasannya kembali. Dia mengangguk dan hanya menjawab singkat.“Iya, Tante.” Dan Gema bahkan hanya mengangguk. Lalu mereka pergi dari rumah Risti. Meninggalkan pasangan paruh baya itu yang tetap berada di halaman rumah dan menatap mobil Gema yang lama-lama menghilang ditelan malam. “Bagaimana rasanya?” tanya ayah Gema kepada istrinya. “Mungkin akan lebih bahagia kalau kamu bisa akur sama Almeda. Kita udah tahu bukan dia yang jahat, tapi Marta.” “Aku masih mempertimbangkan.” “Mempertimbangkan apa lagi?” Risti mengedikkan bahunya tak acuh sebelum meninggalkan halaman rumahnya yang luas untuk masuk ke dalam rumah. Dulu, ayah Gema memang pernah menolak Almeda. Tapi semua sudah berubah sekarang. Terlebih lagi kejahatan yang dilakukan Marta bukan main-main. Jadi, ayah Gema tahu kalau dirinya salah sudah bersikap buruk kepada menantunya itu. Sehingga memilih untuk mem
“Mau aku temani?” Surat yang diberikan oleh polisi kepada Gema kini sudah berpindah tangan. Almeda sudah menggenggam surat itu dengan ekspresi yang tidak bisa diartikan. Dia tampak berpikir. Apa isi yang ada di dalam surat itu. Apakah sebuah kutukan yang selama ini selalu Marta lontarkan kepadanya, atau justru tentang hal lain? Almeda ragu, tapi dia juga merasa penasaran. Bahkan pertanyaan dari sang suami pun tidak mendapatkan jawaban darinya. Dengan pelan perempuan itu membuka kertas putih yang terlipat dengan hati-hati. Jantungnya berdegup kencang sampai kedua tangannya sedikit bergetar. Gema pun lantas tidak mengganggu lagi. ‘Buat kamu, seorang perempuan bernama Almeda.’ Itu adalah kalimat pertama yang Almeda baca. Tulisan rapi memenuhi satu kertas itu penuh. Dan ini adalah pertama kalinya dia tahu tulisan Marta. Mungkin jika dulu Marta ‘bersedia’ menjadi ‘ibunya’ tulisan-tulisan itu akan Almeda temui saat mengajarinya belajar. Almeda menggeleng dan melanjutkan membaca. ‘Kamu
Rosa beranjak dari duduknya dan menunjuk Almeda yang ada di depannya. “Kamu udah membuat Mama mengakhiri hidupnya. Kamu adalah anak yang paling jahat di dunia ini. Bukan Mama yang seharusnya meninggal, tapi kamu!” Rosa terengah karena terus mengeluarkan semua kata-katanya dengan teriakan. Ini di makam, tidak seharusnya dia mengatakan semua dan menyalahkan Almeda. Namun Almeda hanya tersenyum miring seolah menghina Rosa. “Kamu seharusnya tahu, dia melakukan ini karena dia tak tahan hidup dalam tekanan. Dia bahkan takut kamu nggak terima dia lagi setelah dia keluar dari penjara.”“Bedebah! Mama nggak perlu memikirkan itu. Aku putrinya, jadi aku akan tetap menerima bagaimanapun keadaannya.” Almeda menyerahkan surat dari Marta. Memberikan kode kepada Rosa agar dia menerimanya dan membacanya. Tapi Rosa terlalu bebal untuk melakukan itu. Maka Almeda segera berbicara. “Surat ini dari ibumu. Kamu pasti hapal betul tulisannya. Jadi, kamu bisa membacanya.” Dan segera, Rosa menyahut surat t
Angkasa tidak tahu sejak kapan matanya selalu ingin melihat gadis itu. Gadis yang tampak tidak begitu bersahabat dengan orang lain dan lebih suka ke mana-mana sendiri. Beberapa temannya bahkan segan dengan gadis itu. Angkasa juga tidak tahu, kenapa dia suka berdiri di tempat di mana dia bisa memerhatikan gadis itu dalam diam. Ada getaran aneh yang dirasakan ketika suatu hari dia bersisipan jalan dengan gadis itu. Namanya Semesta, dia satu angkatan dengannya. Gadis itu benar-benar cuek dan memiliki dua saudara yang super posesif. Dia mendengar, mereka memang kembar tiga. “Lo suka sama dia, Ka?” Kesenangan Angkasa harus terputus karena temannya mendekat dan membuyarkan lamunannya. “Gue tahu kok, lo selalu berdiri di sini hanya untuk menatap Semesta.” Angkasa menarik napasnya panjang. Sepanjang hidupnya, dia hidup belum sekalipun dia merasakan jatuh cinta. Kalau sekarang getaran itu dirasakan, apa benar getaran itu adalah tanda jika dia sedang jatuh cinta? Ya, pertanyaan temannya itu
Angkasa berdiri dengan membawa dua adiknya di dalam gendongannya. Membawanya masuk ke dalam rumah sehingga membuat dua adiknya itu tertawa-tawa. “Abang, ayo kita putra-putar.” Rembulan berteriak tepat di telinga Angkasa membuat Angkasa sedikit menjauhkan kepalanya. Tapi tidak bisa karena Moza ada di punggungnya. “Astaga, anak-anak ini.” Almeda menggeleng pelan. “Turun anak-anak. Kasihan abangnya dong.” “Nggak mau!” Suara itu keluar dari mulut Moza dan Rembulan secara bersamaan. “Abang, ayo kita mutar.” Rembulan mengimbuhi tak peduli dengan Almeda yang sudah menatap mereka memeringatkan. Melihat Almeda yang sudah mengerutkan kening, Angkasa segera bersuara. “Biarin aja Onty Al. Lagi menghibur yang mau adik.” Almeda mengerti, maka dia hanya diam pada akhirnya. Akhirnya Almeda kembali ke dapur. Bapak-bapak yang ada di belakang rumah tentu saja tidak tahu kelakuan anak-anak mereka. Membiarkan anak-anaknya berbuat seenaknya. Sedangkan Permata dan Crystal yang melihat dari dapur
“Bunda, kapan Rembulan punya adik?” Pertanyaan itu dilontarkan oleh bocah berusia lima tahun yang sudah memasuki sekolah Paud. Dia baru saja pulang dari sekolah, lalu berlari untuk bertemu dengan ibunya di kantor Crystal Fashion. Di belakangnya, ada Mbak Susi – si pengasuh. Crystal yang tengah menunduk dan tengah menggambar itu segera mendongak. Memberikan senyuman kecil untuk putrinya, lalu meninggalkan pekerjaannya untuk sementara. “Putri Bunda sudah pulang.” Pelukan Crystal mengerat pada putrinya. “Lho itu bawa apa?” “Telur gulung.” Crystal hampir menjatuhkan rahangnya ketika melihat bungkusan plastic berisi telur gulung yang dibawa oleh Rembulan. Crystal menatap Mbak Susi untuk meminta penjelasan kenapa putrinya harus makan-makanan seperti itu. Bukan masalah makanannya, yang dikhawatirkan oleh Crystal adalah makanan itu dibeli di sembarang tempat dan tidak higienis. “Itu bersih kok, Bu.” Tahu kalau dia harus memberikan penjelasan, maka Mbak Susi segera bersuara. “Di samping
Bu Cintya memutus tatapan mereka dan berjalan mendekat ke arah Om Rudy. Lebih tepatnya ke arah pintu yang ada di belakang lelaki itu. Tidak ada sapaan sama sekali. Dia masuk begitu saja, lalu tersenyum ketika melihat anggota keluarga yang lain kumpul. “Angkasa!” Bocah yang menginjak remaja itu mendongak dan tersenyum. Hanya senyum kecil. Tubuhnya menempel pada tubuh Denial dengan tangan sibuk bermain tab. Peraturan masih sama, karena hari libur, maka dia bisa bermain benda elektronik itu. “Kalian makan malam di sini sekalian, ya. Kita masak sama-sama.” Mereka saling pandang sebelum mengangguk bersamaan. Tentu saja, itu membuat Bu Cintya bahagia luar biasa. Perempuan itu duduk di sofa tepat di samping Almeda dan memangku Elang dengan lembut. Sedangkan Moza yang sudah bisa berjalan itu tak mau diam. Axel harus terus memantaunya agar tidak jatuh. Gema masuk dan segera menyergap bocah kecil itu kemudian mengangkatnya tinggi-tinggi. Tawa renyah keluar dari mulutnya. “Cantiknya siapa?”
“Ma, besok mau ajak Rembulan ke rumah Almeda. Ayah mau ketemu katanya.” Pagi ini, saat sarapan, Denial memberitahu ibunya tentang keinginannya untuk pergi ke rumah Almeda. Ini untuk pertama kalinya Rembulan akan diajak pergi keluar setelah dia pulang dari rumah sakit. Ya, sudah tiga bulan memang usia Rembulan sekarang. Bocah kecil itu sudah bisa tersenyum. Bu Cintya tidak langsung menjawab dan justru menatap ke arah Denial dan Crystal bergantian. Seolah tidak memberinya izin. Dan benar, jawaban itu menunjukkan penolakan. “Masih terlalu kecil untuk dibawa keluar, Den. Mama nggak setuju. Mama akan izinkan kalian ajak Rembulan pergi kalau udah enam bulan.” “Ayah pengen lihat, Ma. Setelah pulang dari rumah sakit waktu itu ‘kan belum pernah ketemu lagi. Cuma lihat dari foto atau video aja.” “Ya tapi Rembulan masih kecil. Mama nggak izinkan.” Penolakan itu jelas dan lugas. Ini bukan karena Bu Cintya tidak mengizinkan si mantan suami itu bertemu dengan cucu mereka. Tapi semua demi cucu
“Kondisi Rembulan sudah sangat baik, Bu. Anak ini sudah sehat sepenuhnya.” Kelegaan membanjiri hati Crystal dan keluarganya. Dia langsung memeluk Denial yang ada di sampingnya saat kabar itu diberikan kepadanya. Hari-hari buruk yang mereka lalui sudah berakhir dan tinggal rasa bahagia yang datang. “Silakan, Bu.” Seorang suster menyerahkan Rembulan kepada Crystal sudah mengeluarkan air matanya. Dengan tangan sedikit bergetar, dia menerima bayinya dan menciumnya dengan sayang. Denial tersenyum lega. Tangannya terulur mengelus tangan Rembulan. Meskipun dia pun sudah pernah menggendongnya, tapi dia merasakan hari ini lebih dari special. Denial tentu lebih berpengalaman dalam soal mengurus bayi dibandingkan Crystal. Dan setelah mereka pulang ke rumah nanti, dia yang akan mengambil alih untuk tugas Crystal semisal Rembulan bangun di tengah malam. “Terima kasih, Dokter. Saya sungguh-sungguh berterima kasih. Berkat Dokter, bayi kami sehat dan sehat.” Crystal bisa merasakan, tubuh putriny
“Tapi satu anak itu nggak seru, Mas. Aku nggak punya saudara aja rasanya juga sepi ‘kan.” Crystal menyanggah pendapat suaminya. Menyamankan baringnya tanpa mengalihkan sedikitpun tatapannya pada sang suami. “Ada banyak temannya nanti. Ada sepupu-sepunya yang akan nemeni dia.” Denial memang kini tengah berpendapat, tapi dia seolah memberikan keputusan. Melihat bagaimana sang istri kepayahan saat hamil muda seperti ini, membuat Denial merasa trauma dan tidak ingin mengulangi lagi. Kasihan dengan Crystal. “Aku bisa, kok. Aku__” “Aku yang nggak bisa, Sayang,” putus Denial. “Aku melihat kamu kepayahan begini rasanya pengen gantiin aja kalau bisa. Jadi, kita lihat nanti bagaimana perkembangannya.” Crystal menarik napasnya panjang mendengar ucapan sang suami yang bernada final. Padahal Crystal sudah membayangkan setiap dua tahun dia akan melahirkan satu bayi yang lucu. Setidaknya punya tiga anak. Tapi si pasangan justru trauma. Maka lebih baik dia tak membantah dan akan melihat saja per
Dua minggu berlalu dan Crystal kembali ke rumah sakit bersama dengan Gema. Mereka berharap kandungan Crystal sudah lebih baik dan setidaknya dia full bedrest. Pengecekan itu akhirnya dilakukan untuk mengetahui hasilnya. Dan hasilnya tidak berubah. Crystal masih tetap harus bedrest. Namun tidak ada hal yang parah dan masih stabil. Crystal hanya diminta untuk tetap hati-hati dan tidak melakukan pergerakan yang tidak perlu. “Maafkan aku, Ma. Aku sudah membuat Mama dan Mas repot.” Crystal merasa tidak enak hati karena sudah membuat keluarganya harus fokus menemani dirinya. Padahal ada banyak pekerjaan yang harus diurus. “Crystal, nggak ada yang perlu dimaafkan. Kamu adalah putri Mama dan sudah menjadi tugas Mama untuk merawat kamu kalau sakit, menemani kalau kamu butuh teman, dan semua itu Mama lakukan dengan tulus. Kamu tidak perlu memikirkan itu karena yang penting kamu sehat, janin di kandunganmu juga sehat. Masalah lain, kamu nggak perlu pikirkan.” Crystal merasa sangat sensitif ka
Denial setengah berlari untuk memasuki rumah. Dia ingin segera sampai dan melihat kondisi istrinya. Dia sudah mendapatkan informasi dan sang bunda jika Crystal baik-baik saja. Tapi tentu saja tak puas jika tidak melihatnya secara langsung. “Mas udah pulang.” Crystal tengah duduk di atas ranjang sambil memegang tab di tangannya. Menggambar banyak design untuk rancangan Crystal fashion. “Kok kerja sih, Sayang?” Denial duduk setelah mengecup puncak kepala Crystal. “Kamu harus istirahat.” “Mas, aku ini istirahat. Aku nggak kerja berat, juga nggak berpikir berat. Aku cuma gambar dan nggak akan terjadi hal-hal yang buruk. Kalau aku nggak ngapa-ngapain justru akan stress. Ohya, tadi Mbak-mbak dua itu datang. Barusan pulang.” Denial mengangguk sambil menatap lekat ke arah Crystal. “Kamu yakin nggak papa? Aku seharian khawatir mikirin kamu tahu nggak sih.” “Nggak papa, Mas-ku. Aku tadi juga jalan-jalan pelan, baca buku, ngobrol sama Mama dan Mbak-mbak. Aku baik-baik aja. Dia kuat kok.” C