Aku mengerjapkan netra berulang kali saat aku tersadar dari pingsan. Pandanganku menyapu seluruh ruangan yang didominasi dengan warna putih ini. Tak seorangpun berada disini. Kiranya, siapa yang mengantarku ke tempat ini?Tak berselang lama, seorang perempuan paruh baya berseragam layaknya tenaga kesehatan muncul dari balik pintu. "Syukurlah kalau Anda sudah sadar." ucapnya sembari mengeluarkan sebuah suntikan dari sebuah kotak stainless steel, lalu menyuntikanya ke lenganku. Cekit, semakin berkurang cairan di dalam tabung suntik, semakin nyeri pula rasanya."Saya berikan suntikan emergency, kita lihat perkembangannya satu jam kebdepan. Kalau terjadi perbaikan, boleh pulang untuk rawat jalan." sambung perempuan itu, sebuah kapas kecil ditempel pada bekas suntikan, menyisakan rasa dingin, lalu ditutupnya menggunakan sebuah plester. "Saya permisi dulu," ucapnya lagi sebelum akhirnya berlalu meninggalkan ruangan.Sesosok pemuda bertubuh padat berisi memasuki ruangan, di mana sebelumnya
Keheningan meruang diantara kami bertiga, hanya suara Tiwul yang terus menggema di dalam ruangan. 10 menit lamanya Tiwul mengeluskan kepalanya di kaki setiap kami yang berada di ruangan ini. Namun selama itu juga kami mengabaikan tangisannya. "Lapar mungkin, Nduk," ucap Bapak sembari mengangkat tubuh binatang berbulu itu."Bisa saja, Pak." aku menghela nafas kasar, sisa kekesalanku terhadap ubur-ubur merah yang selalu saja mengusik keluarga kami. Tiwul berlari mengikuti aku begitu kakiku melenggang ke arah dapur. Aku tuang makanan kering ke dalam mangkuk yang selalu menemani aktifitas makanya selama lima tahun ini.Dengan semangat anak bulu itu mengunyah makanan yang aku berikan dengan sedikit mengerang. 'Ini sangat enak,' begitulah aku memaknai erangannya. Seketika pikiranku melayang, seiring dengan suara keriyukan yang timbul akibat kunyahan makanan kering dari mulut Tiwul.Aku tak pernah menduga, mengapa selalu saja hal-hal menyebalkan muncul ke dalam hidupku. Aku bisa saja rela
Seminggu berlalu setelah kejadian itu, aku dan Akas sering bertemu. Terkadang dia datang berkunjung ke rumahku, atau mengajakku keluar untuk sekedar bertukar cerita sehari-hari. Hanya cerita wajar, namun cukup mengasyikan. Matahari mulai menampakan diri dari tempat semula ia bersembunyi. Menorehkan rasa hangat di pagi yang cukup dingin di hari Minggu ini. Kerumunan pembeli tak kunjung surut, pergi satu, datang lagi yang baru, dan begitulah seterusnya. Mungkin seperti inilah kesibukan Akas di setiap harinya. Terkadang aku merasa iba melihatnya menghadapi para ibu yang tak putus asa menawar barang dagangannya, padahal hampir semua orang yang terbiasa berbelanja ke pasar pun tau, harga di lapak Akas paling murah dibanding dengan pedagang lain.Kendati begitu, aku tak menemukan kekesalan tersirat di wajah bulatnya. Sesekali ia menanggapi para ibu-ibu tersebut dengan candaan. Perlahan, tapi pasti. Kini bak mobil pick up bewarna putih itu mulai lenggang, hanya tersisa sedikit sayuran di
Laju kendaraan membawaku tiba di jalanan depan rumah. Pandanganku menyisir seluruh halaman depan rumah, biasanya Bu Ginah yang letak rumahnya selisih 3 rumah dari rumahku akan beringsut mendekat untuk mengintip siapa laki-laki yang datang ke rumahku.Helaan nafas lega ku hembuskan sembari mengelus dadaku. Netraku tidak mendapati pergerakan yang mencurigakan dari perempuan bertubuh gemuk itu. Aman. Rasa canggung tak henti meruang di dalam dadaku, menyisakan degup-degup tak karuan di bagian jantungku. Jika sebelumnya aku bisa dengan mudah mengucap terimakasih kepada Akas, namun kini tidak. Sekedar menatap wajahnya saja aku enggan. Aku terjebak dilema di antara perasaan kesal, atau rasa tak enak hati karena dia sudah menolongku saat pingsan di halte. Aku merasa berhutang budi pada pemuda yang kini menuruni kendaraanya itu. Tanpa mengucap sepatah katapun, aku melenggangkan kaki untuk segera memasuki rumah. Namun sebuah tarikan kuat di pegelangan tanganku membuat langkahku tercekat. "Su
[Aku tunggu di halte Pasar Sapi ya. Nebeng motor kamu, hehehe] Begitulah pesan dari Mira. yang baru saja aku baca. Sabtu pagi yang cukup cerah. Cuaca sangat sangat mendukung untukku melakukan perjalanan jauh ke lereng Merbabu, salah satu gunung yang terletak di Provinsi Jawa Tengah. Bukan healing alasanku melakukan perjalanan ke sana, melainkan memenuhi undangan acara Saparan yang diadakan di Desa tempat tinggal Akas. Saparan adalah, ritual atau tradisi tahunan yang dilaksanakan pada setiap bulan Sapar. Saparan merupakan tradisi budaya Jawa yang dilakukan sebagai wujud rasa syukur dengan tujuan agar diberikan keselamatan hidup di dunia dan di akhirat. Biasanya, setiap rumah penduduk akan menyajikan beragam makanan, mulai dari makanan ringan sampai makanan berat, dan membiarkan siapapun makan di rumah mereka tanpa terkecuali. Konon, semakin banyak orang yang berkunjung dan makan hidangan yang disuguhkan, rejeki sang tuan rumah akan bertambah banyak.Sewaktu istirahat jam kerja aku
Hari Senin adalah hari yang panjang. Nampaknya ungkapan itu juga berlaku untukku. Sedari pagi aku terus saja mencuri pandang pada jam dinding yang bertengger di sebelah kanan papan target. Jarum jam terasa sangat lambat berpindah ke angka lain, seolah tengah mengejekku.Aku terkesiap saat mendapati sepasang mata tengah mendelik menatapku. Segera aku kembali melanjutkan pekerjaanku yang terasa sangat menjemukan hari ini. Aku menggerakkan tanganku dengan lihai, sedangkan kedua netraku ku usahakan menatap lekat pada pada setiap helaian kain yang aku jahit. Seorang wanita paruh baya bertubuh gendut tengah berkacak pinggang sembari berjalan mendekatiku. Pura-pura aku tetap terfokus pada pekerjaanku untuk menutup perasaan gugup yang menyerang jiwaku. "Kenapa dari tadi lihat-lihat jam terus?!" tanya wanita itu sembari menaikan lengan baju bewarna merah jambu yang ia kenakan. Kini terlihat sangat jelas lengan putih berlemaknya, dengan sebuah tato bunga mawar di lengan kirinya. Sekilas aku
PoV VinaAku memantas diri di depan cermin di meja rias kamarku. Aku menyapukan bedak tipis di wajahku yang bulat ini. Menggunakan lip tint bewarna orange pada bibir tipisku agar wajahku tidak terlihat pucat. Akas akan datang malam ini. Aku berusaha berpenampilan cantik di hadapan pria yang belum lama ini menjadi pacarku, yang belum sepenuhnya aku bisa yakin pada diriku jika aku dan dia benar-benar pacaran. "Kok tumben to, Mbak, pake dandan segala. Mau pergi kemana?" tanya Nuril setelah mendongak ke arahku sekilas. Kedua netra adikku masih terfokus pada gawai miliknya. "Ndak pergi, Ril. Ada yang mau kesini sebentar lagi." jawabku tanpa menjawab secara gamblang siapa yang hendak datang kerumah."Tukang sayur?" sahut Nuril yang sudah bisa menebak. "Iya. Kok tau?" "Apamu sih, dia itu mbak? Bukan pacar kan?" tanya adikku dengan dahi berkerut. Sangat berharap kakak perempuannya ini tidak berpacaran dengan tukang sayur yang ia maksudkan."Hehehe," aku hanya dapat tertawa hambar. Membena
Seharian pikiranku tak karuan. Aku sungguh bimbang bagaimana sebaiknya aku mengambil keputusan. Ajakan Akas untuk menikah, ku rasa sangat tergesa-gesa. Kita belum lama saling mengenal."Ndomblong! Orang kerja kok sempet-sempetnya ngalamun!" seru ketua line untuk kesekian kalinya. Lagi-lagi aku tidak menyadari bahwa sedari tadi perempuan gendut itu terus saja memperhatikan aku selama bekerja. Dengan malas aku memacu mesin jahitku, aku harus menyelesaikan tumpukan pekerjaan yang memang menjadi tanggung jawabku. Beruntung kemampuanku dalam mengoperasikan mesin jahit terbilang sangat mahir. Bel tanda istirahat berbunyi sebelum aku menyelesaikan tumpukan pekerjaanku. Tapi biarlah, aku terlalu malas untuk menyelesaikannya saat ini juga."Vin! Hari ini kamu kena tegur lagi,ada masalah to?" tanya Mira yang muncul secara tiba-tiba di sebelahku."Ya begitulah, Mir. Aku lagi banyak pikiran." jawabku malas tanpa menoleh ke arahnya."Jangan bilang ini soal-""Iya, ini soal laki-laki itu. Kita lan
"Vin, aku langsung pulang ya? Ada pesanan sayuran untuk acara hajatan." Ucap suamiku begitu mobil yang kami kendarai tiba di jalanan beraspal, tepat di depan pekarangan rumahku. "Iya." Jawabku singkat, tanpa mempertanyakan atau pun sekedar berbasa-basi meminta suamiku singgah sebentar di rumah orang tuaku. Aku langsung melenggang memasuki pekarangan rumah tanpa mempedulikan suamiku lagi. Aku hanya ingin segera menatap wajah keluarga yang sangat aku rindukan. Mungkin baru tiga bulan aku tidak menginjakkan kaki di rumah yang menjadi saksi bisu tumbuh dan berkembangku dalam asuhan orang tuaku, tetapi rasanya setara satu tahun. Langkahku terasa berat saat aku memasuki rumah orang tua yang selalu menjadi tempat perlindungan dan kehangatan di masa lalu. Namun, kali ini, aku datang dengan hati yang hancur dan beban yang tak tertahankan. Aku membutuhkan dukungan dan kekuatan dari keluargaku untuk menghadapi kenyataan pahit yang baru saja kudapati. "Assalamu'alaikum," aku mengucapkan
Siang itu aku baru saja selesai menjemur cucian di halaman rumah, dan disaat bersamaan aku melihat ibu mertuaku turun dari motor tukang ojek. Beliau berlalu begitu saja seolah tidak ada orang di sana. Kebetulan suamiku belum pulang, aku berpikir untuk memberi tahu ibu mertuaku tentang masalah berat yang sedang aku alami. "Sudah pulang, Mbok," sapaku saat berlalu melintasi ibu mertua yang sedang bersandar di kursi sembari memainkan ponsel. "Hem," ketus, singkat, dan padat. Memang seperti itulah kebiasaan ibu mertua jika aku menyapanya. Tak mengapa, mungkin setelah aku menceritakan borok suamiku, ibu mertua akan sedikit berbaik hati padaku. Aku memutuskan untuk memberi tahu ibu mertuaku tentang foto tak senonoh Akas dengan Witri. Meskipun aku takut dengan reaksi ibu mertuaku, aku merasa bahwa kejujuran adalah langkah pertama yang harus aku ambil. "Mbok, ada yang ingin saya kasih tau sama si Mbok." ucapku seraya berjalan mendekat dan duduk di kursi sebelah mertuaku. Sorot mata
Malam semakin larut, suasana di rumah terasa hening. Suara jangkrik bersahutan terdengar nyaring mengisi keheningan malam. Aku yang tadinya menatap bintang di langit dan menyampaikan perasaan rinduku akan kebersamaan dengan keluargaku akhirnya menutup jendela kamar saat angin dingin menggigit kulit. Saat aku berbalik badan dan berjalan menuju ranjang, ku dapati Akas sedang memainkan ponselnya. Apa yang sedang dia lakukan? Entahlah, aku tidak ingin terlalu memikirkan apa yang menarik dari ponselnya saat ini. Pikiranku terlalu penuh dengan tubuh sempurna Witri yang hanya menggunakan pakaian dalam di dalam galeri ponsel suamiku. Aku berbaring memunggungi Akas dan memaksa mataku untuk memejam. Bayangan akan kebersamaan di kampung asalku bersama orang tua dan adikku Nuril terlintas di hati yang membuatku semakin rindu. Huh, seandainya dulu aku tau akan jadi seperti ini, mungkin aku akan berbuat tega terhadap Akas dan menolakpinangannya apapun yang terjadi. Tetapi nasi sudah menjadi
Aku duduk di samping tempat tidur, mataku terpaku pada ponsel suamiku yang tergeletak di atas nakas. Suamiku sudah tertidur pulas di sebelahku. Seperti yang sudah ku rencanakan sebelumnya, aku akan mengecek isi ponselnya untuk mencari bukti terkait kecurigaanku. Aku segera meraih ponsel Akas yang sedari tadi menarik perhatianku. Aku segera membuka ponselnya yang ternyata masih menggunakan kata sandi yang sama. Aku berharap Akas tak menyadari bahwa aku sedang menelusuri pesan dan foto-foto yang tersembunyi di dalam ponselnya. Dalam diam, hatiku berdebar kencang ketika aku menemukan sesuatu yang membuatku terdiam. Ada banyak foto yang menarik perhatianku. Foto itu menampilkan Akas berpose mesra dengan seorang wanita setengah telanjang, hanya menggunakan setelan pakaian dalam berwarna merah muda. Wanita itu tak lain adalah Witri, wanita dari masalalu Akas. Tangan Akas dan kecupan bibirnya di atas buah dada wanita itu membuat perutku berdesir. Aku mengambil ponselku untuk memfoto satu
PoV Vina Malam itu mataku enggan terpejam. Pikiran bahwa suamiku sedang berbuat hal buruk di luar sana terus menghantui otakku. Sebenarnya aku tidak ingin berburuk sangka, tetapi kejadian beberapa bulan lalu sudah cukup membuatku sulit percaya sepenuhnya pada suamiku. Aku baru saja menyeduh teh celup di dapur untuk menemaniku malam ini. Dan setelah beberapa saat, mertua perempuanku keluar dari arah kamar mandi dan manatapku penuh tanya. "Jam segini, kenapa kamu belum tidur? Besok pagi kamu harus nyuci, Vin," ibu mertu mencebik. Sudah bukan hal baru bagiku. Setelah aku resign dari pekerjaanku, keluarga suamiku semakin memperlakukanku selayaknya pembantu. Pakaian kotor satu keluarga dibebankan padaku, memasak, dan membersihkan rumah, semua menjadi tanggung jawabku tanpa ada campur tangan mereka untuk membantuku sedikitpun. "Pengennya tidur sih, Mbok. Tapi kepikiran. Mas Akas ditelepon nggak diangkat." jawabku sembari meletakkan sendok teh yang semula ku pakai untuk mengaduk
Kehidupan penuh romansa antara aku dan suamiku tampaknya hanya berlangsung selama sebulan. Akhir-akhir ini dia sering keluar malam bersama teman-temannya, seperti yang menjadi kebiasaannya dulu.Sebenarnya aku ingin sesekali diajaknya nongkrong bersama teman-temannya. Aku ingin tahu, apakah Akas malu atau tidak memperkenalkan aku pada teman-temannya. Aku penasaran seperti apa pergaulannya di luar rumah.Aku baru saja selesai menyapu halaman. Jam menunjukan pukul 6 pagi saat aku melihat jam dinding di ruang tamu. Aku duduk sejenak di teras sembari menikmati udara pagi yang masih sangat sejuk. Suara derap kaki menarik perhatianku untuk melihat ke arah sumber suara. Dan aku pun langsung mengernyitkan dahi begitu mendapati suamiku sudah berpakaian rapih sembari membenarkan topi yang dia pakai. "Loh, Mas, mau kemana?" "Maaf, Yank, aku terburu-buru. Aku dapat kerjaan untuk menyetir bus pariwisata ibu-ibu kampung sebelah." jawabnya sembari mengulurkan tangannya ke arahku, untuk kemudian ku
Satu minggu berlalu semenjak operasi pengangkatan kista dan satu ovariumku. Hari ini, aku berniat untuk memulai hariku seperti sebelumnya. Beberapa hari hanya berbaring di kasur membuatku merasa bosan. Aku bangkit dari tempat tidur dan memulai aktifitas membersihkan tubuh. Setibanya di kamar mandi dan melepas pakaianku, mataku tertuju pada bekas jahitan yang ada di perut. Entah mimpi apa yang pernah ku alami, sampai aku menemui kejadian yang sangat tidak ingin aku alami. Aku menyentuh bagian bekas jahitan di perutku sembari menatap langit-langit kamar mandi dengan tatapan menerawang. Satu ovariumku telah diangkat. Bukankah itu artinya, peluangku untuk mendapatkan anak juga akan berkurang? Bagaimana jika suamiku memilih untuk meninggalkanku karena tak kunjung mendapat momongan?Suara ketukan pintu dari luar membuyarkan lamunanku. Aku langsung mendesah kesal mendengar nada bicara menyebalkan yang aku tahu persis suara siapa itu. "Mbak Vina, cepet ya? Keburu telat aku berangkat ke seko
Aku benar-benar merasa bosan berada terlalu lama di ruangan ini. Sudah satu jam aku keluar untuk menghisap beberapa rokok sebelum akhirnya kembali ke ruangan ini, tetapi istriku belum juga menunjukkan tanda-tanda pergerakan. Aku mendaratkan pantat di sebuah kursi yang ada di samping ranjang. Aku meraih ponsel dari dalam saku celana untuk membunuh rasa bosan. Setidaknya mencari hiburan agar tidak mati gara-gara bosan menunggu terlalu lama di sini. Banyak pesan masuk yang belum sempat aku balas karena sungkan dengan keluarga istriku. Aku baca deretan pesan masuk, dari saudara yang menanyakan kondisi istriku saat ini. Tapi ada satu nama yang membuatku seakan berhenti bernafas, karena saking senangnya. Tanpa menunggu lama, aku segera membalas pesan dari gadis tetapi bukan perawan pujaanku, Witri. Entah mengapa bayangan wajah cantiknya tetap menyelinap di pikiranku, meski aku sedang dilanda kekacauan karena perbuatanku yang menyebapkan istriku terbaring seperti sekarang ini.[Yank, krim
PoV AkasAku berjalan mondar-mandir di depan ruangan operasi. Sepasang mata masih menatapku tajam, sudah seperti harimau yang membidik mangsa saja gadis itu. Setiap kali pandangan kami berserobok, aku tersenyum dan berpura-pura tidak merasa sedang diperhatikan olehnya. Cantik, sih. Tapi sepertinya Nuril itu tipe gadis yang ganas. Kalau saja sejak awal yang aku temukan pingsan di halte gadis itu bukan Vina, mungkin dengan membuatnya berhutang budi padaku, dia akan mudah menerimaku seperti kakaknya yang bodoh. Hanya perlu sedikit gombalan saja.Aku terus merutuki diri karena berlaku implusif yang menyebapkan Vina jatuh pingsan. Semoga kista yang dia alami jinak. Tolong lancarkan oprasi istriku Tuhan. Rasa cinta memang belum tumbuh di hatiku, tapi mengingatnya merintih kesakitan, membuat aku iba dan menyesal karena telah berbuat kasar padanya. Mungkin lebih tepatnya, aku takut jika kesalahan yang ku perbuat berakibat fatal. Bagaimana jika kistanya pecah? “Duduk Nak Akas. Kamu yang tena