Layla mengangguk sambil tersenyum. “Iya, dan aku pikir, mungkin dia memang pria yang tepat untukku. Meskipun aku masih ragu, tapi aku tahu dia benar-benar mencintaiku.” Layla tersenyum hangat, lalu menarik tangan Zara untuk duduk di meja dapur. “Kamu duduk disini aja, ibu hamil gak boleh banyak tingkah”
Zara terkekeh “Tapi aku mau bantu” Ucapnya
“Bantu doa aja” Sahut Layla cepat, wanita itu mulai menyalakan kompor dan memanaskan minyak diwajan, setelah panas, Layla mulai menggoreng potongan ayam yang sudah dibumbuinya
“Siapa aja yang datang Lay?” Tanya Zara
Layla sambil membalik potongan ayam di wajan, menjawab "Beberapa teman lama kita yang dekat. Ada Maya, Rina, dan Nita. Mereka semua sudah konfirmasi datang."
Zara mengangguk sambil tersenyum, mencoba mengingat wajah-wajah teman kuliahnya dulu. Namun sayangnya Zara tidak bisa mengingatnya, apa mungkin karena dulu kehidupan perkuliahannya
Acara makan-makan itu berjalan lancar meskipun ada sedikit rasa canggung yang Zara rasakan sejak komentar Rina tadi. Namun, Zara berusaha keras untuk tetap tenang dan menikmati momen bersama teman-temannya. Percakapan mengalir dengan hangat, meski sesekali Zara merasakan tatapan Rina yang tampak penuh rasa ingin tahu.Setelah beberapa saat, Rina yang tampaknya tak tahan lagi dengan rasa penasarannya, mulai membuka topik yang telah lama ada di benaknya. Dia meletakkan garpu di atas piring dan menatap Zara dengan senyum yang sedikit nakal."Jadi, Zara" ucap Rina, suaranya terdengar ringan namun mengandung rasa ingin tahu yang dalam, "Aku sudah sering dengar cerita tentang Dave, suamimu yang sekarang. Tapi sampai sekarang aku belum pernah bertemu langsung dengannya. Katanya dia pria yang sangat sukses, ya?"Zara menatap Rina sejenak sebelum menjawab. "Ya, Dave memang bekerja keras dan sangat berdedikasi dalam pekerjaannya."Rina mengangguk sambil mengerutkan kening sedikit, seolah berpik
Dave memarkirkan mobil mewahnya dipinggir jalan, dia turun lalu menuju rumah Layla. Dave melihat beberapa wajah asing disana.Ketika Dave masuk, matanya dengan cepat menangkap seorang pria yang tampak mengobrol dengan Zara. Meski percakapan itu tampak biasa saja, kecemburuan dalam diri Dave langsung memuncak.Dia berjalan cepat menuju Zara, lalu tanpa berkata apa-apa, dia menyelinap di sampingnya dan merangkul pinggang Zara dengan possessive. Zara menoleh dan tersenyum saat melihat Dave telah tiba. "Kamu sudah datang, sayang" katanya dengan gembira.Dave mengangguk, namun matanya tidak lepas dari pria yang tadi mengobrol dengan Zara. "Ya, Darling. Tidak mungkin aku membiarkan istri cantikku ini berlama-lama sendiri" jawabnya dengan nada yang terdengar lebih dalam dari biasanya.Abimanyu yang tadinya terlihat penuh percaya diri, kini terlihat sedikit gugup, namun dia berusaha menyembunyikannya di balik senyum tipisnya."Dave, ini Abimanyu, teman Ton
Gedung resepsi yang megah dihiasi dengan bunga dan lampu gantung yang berkilauan. Tamu-tamu berpakaian formal berbaur di antara meja-meja makan, menikmati hidangan dan mengobrol. Musik lembut mengisi ruangan, memberikan suasana romantis.Dave dan Zara tiba di tempat resepsi pernikahan Layla dan Dion. Zara mengenakan gaun malam yang elegan dan sedikit ketat, menonjolkan perut buncitnya yang semakin membesar. Sementara Dave, dengan setelan jas hitamnya, terlihat sangat menawan dan berwibawa.Segera setelah mereka memasuki ruangan, beberapa mata pria tidak dapat menahan tatapannya pada Zara, tertarik pada penampilannya yang anggun namun juga mencolok. Zara menyadari tatapan-tatapan tersebut, namun berusaha tetap tenang dan tersenyum.Dave merendahkan suaranya saat berbisik di telinga Zara, suaranya penuh dengan nada tegas namun juga protektif. "Jangan tersenyum pada pria-pria tolol itu" katanya sambil menggenggam tangan Zara lebih erat.Zara menoleh, sedikit
Maldives menyambut Dion dan Layla dengan pemandangan yang memukau. Langit biru yang cerah, laut yang jernih, dan pasir putih yang lembut menciptakan suasana yang sempurna untuk bulan madu mereka. Keduanya menikmati setiap momen, berjalan di sepanjang pantai, menikmati matahari terbenam, dan berbagi tawa dalam suasana yang romantis.Namun, ketika malam tiba dan mereka kembali ke villa mereka yang mewah, suasana berubah menjadi sedikit canggung. Kamar yang mereka tempati dihiasi dengan lilin-lilin beraroma lembut dan kelopak bunga mawar yang tersebar di atas tempat tidur. Suasana begitu romantis, tetapi ada rasa gugup yang menyelimuti mereka.Dion duduk di tepi tempat tidur, tangannya bermain-main dengan ujung selimut, sementara Layla berdiri di dekat jendela, memandangi lautan malam yang tenang. Keheningan di antara mereka terasa aneh, seolah-olah mereka berdua menunggu yang lain untuk memulai percakapan."Aku merasa... canggung" Layla akhirnya mengaku, suaranya
Pagi itu di Jerman, Zara terbangun di rumah Dave, merasakan keheningan yang aneh tanpa Dave di sampingnya. Sejak mereka tiba di Jerman, Dave harus lebih sering pergi untuk mengurus bisnis keluarga yang diwariskan oleh Kakek Erman.Bisnis gelap tentunya….Zara masih ingat betapa terkejutnya dia saat pertama kali Dave pulang dengan membawa sebuah tas besar. Tas itu tampak berat dan penuh dengan sesuatu yang mengerikan—puluhan pistol. Saat Dave membukanya di depannya, Zara hampir tidak percaya dengan apa yang dilihatnya."Kau... membawa ini ke rumah?" tanya Zara dengan nada tak percaya, matanya melebar karena kaget.“Ini bagian dari apa yang harus aku urus, Darling. Kakek meninggalkan banyak hal yang perlu ditangani, dan ini salah satunya."Zara menggigit bibir, mencoba mencerna semuanya. Dunia Dave memang selalu memiliki sisi gelap, tapi melihatnya secara langsung seperti ini membuatnya merasa tidak nyaman. Dia ta
"Aku tidak bisa kehilangan dia, Sylvia. Aku butuh dia... kita butuh dia" ujarnya, suaranya hampir bergetar“Kau bodoh” Ucap Sylvia, kali ini nada bicaranya terdengar sinis “Kau lemah Zara, apa kau paham itu?”Zara mengangguk pelan, dia sadar bahwa yang Sylvia ucapankan adalah kebenaran“Kau terlalu percaya padanya, terlalu mudah jatuh ke dalam perangkapnya. Seorang Carpenter bukanlah orang tulus, Zara.”“Aku menasehatimu sebagai seorang wanita” lanjut Sylvia, suaranya kini lebih lembut namun tetap tegas. Ia bersandar pada sofa, pandangannya menjelajahi sekeliling rumah. "Dave memberikanmu sangkar yang bagus" gumamnya, seakan berbicara lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada Zara.Zara mengikuti pandangan Sylvia, memperhatikan setiap sudut rumah yang indah ini. Rumah yang dulu terasa seperti tempat berlindung yang aman, kini terasa seperti penjara mewah. Setiap sudutnya mengingatkannya pada kebaha
Dave yang baru saja pulang dibuat kaget melihat Zara yang bersandar pada ranjang sambil menangis“Darling?” Dave memanggil lembut, suaranya penuh dengan kekhawatiran saat melihat Zara. Pikirannya langsung dipenuhi oleh seribu kekhawatiranapa yang terjadi saat dia pergi?“Apa Sylvia melakukan sesuatu padamu?” tanya DaveDave segera mendekati Zara, duduk di tepi ranjang dan meraih tangannya.“Darling, katakan, apa Sylvia yang membuatmu begini?”Zara menggeleng, kepalanya mendongak menatap Dave. Air mata bercucuran dari netra hazel itu“D..Dave..” Rintih Zara"Aku disini Darling. Katakan, apa yang terjadi padamu?” matanya berusaha mencari penjelasan di wajah istrinya.Zara mencoba menahan isakan yang masih tersisa. "Dave… kenapa kau harus pergi? Kenapa semuanya terasa begitu sulit?" suaranya terdengar putus asa.Dave merasakan hatinya tercabik-cabik meliha
Dave selesai mandi dan keluar dari kamar mandi dengan rambut masih sedikit basah. Dia mengenakan kaus sederhana dan celana panjang, terlihat lebih santai dari biasanya.Di meja makan, Zara sudah menyiapkan makan malam dengan tampilan yang rapi dan sempurna, seperti biasa. Namun, ada sesuatu yang berbeda malam itu, sesuatu yang Dave tidak langsung sadari.“Bagaimana kondisimu?” tanya Dave“Lebih baik, tadi aku emosional karena hormone kehamilan” Jawab ZaraMereka duduk berhadapan di meja makan, tetapi percakapan yang biasanya hangat dan penuh canda terasa hambar malam itu. Zara menjawab setiap pertanyaan Dave dengan singkat, dan sering kali dia hanya mengangguk tanpa benar-benar melihat Dave.Ekspresi wajahnya datar, tidak ada senyum yang biasanya menghiasi wajahnya saat mereka makan bersama. Dave merasakan dingin yang perlahan merayap di antara mereka, tetapi dia memilih untuk tidak menanyakannya saat itu, berpikir mungkin Z
“Darling” Suara itu sontak mengagetkan Zara. Tubuhnya membatu dan sontak beberbalik. Dave sedang bersandar di pintu sambil bersedekap dada menatapnya dengan tatapan tajam mengintimidasi“D..Dave.. kamu sudah kembali?” Tanya Zara tersendat-sendatDave tidak menjawab. Sekarang, ia melangkah mendekati Zara. Zara merasa seperti penjahat yang tertangkap basahDan di sana, di ambang pintu, berdiri Dave. Wajahnya tampak tenang, tetapi matanya penuh dengan sesuatu yang tidak bisa Zara baca dengan jelas—apakah itu penyesalan, rasa bersalah, atau bahkan sesuatu yang lebih gelap?"Mencari sesuatu?" tanya Dave dengan nada yang sulit ditebak, matanya tertuju pada tumpukan foto di tangan Zara.Zara menelan ludah, merasa seluruh tubuhnya menegang. "Dave... apa maksud semua ini? Mengapa ada foto-foto ini? Siapa yang memotretku?" tanyanya dengan suara yang bergetar, menuntut jawaban.Dave melangkah lebih dekat, tetapi Zara mundur selangkah, menjaga jarak di antara mereka. Dia tidak ingin mempercayai b
‘Kau bisa mencaritahunya sendiri dirumah itu’ Pesan terakhir yang Sylvia tinggalkan membuat Zara gelisah dan penasaranZara mempercayai Dave namun dia ingin tahu apa yang Dave sembunyikan darinya. Zara berjalan perlahan-lahan menyusuri lorong rumah besar itu menuju ruang kerja DaveZara nampak ragu sejenak sebelum dia masuk dan menatap isi ruangan itu. Zara mengigit bibir bawahnya lalu mengeluarkan sebuah kunci yang Sylvia berikan.Dalam ruang kerja Dave, terdapat sebuah pintu yang selalu terkunci rapat dan kini kunci itu ada ditangannyaCtak..Saat dia mendorong pintu itu perlahan, ruang rahasia terbuka di depannya. Ruangan itu dipenuhi oleh berkas-berkas, dokumen, dan peta besar yang tergantung di dinding. Mata Zara tertuju pada satu dokumen yang tergeletak di atas meja besar, seperti sesuatu yang sengaja dibiarkan terbuka. Tangan Zara gemetar saat dia meraih dokumen itu.Mata Zara mulai membaca, dan semakin dia membaca, semakin cepat jantungnya berdetak.Tubuh Zara membeku di tempa
“Aku baru tahu jika sepupuku ini bodoh” Ucap Sylvia yang ditujukan pada DaveDave mengernyit, menatap Sylvia kesal “Apa maksudmu, Sylvia?” tanyanya, suaranya masih diliputi amarahSylvia mendesah, menyilangkan tangan di depan dada sambil menatap Dave dengan tatapan penuh penilaian. “Kau selalu memikirkan segalanya dengan begitu terencana, begitu strategis. Tapi ketika menyangkut Zara, kau benar-benar buta, Dave” katanya dengan nada tajam.“Kau menjadi lemah karena perasaan tak bergunamu itu” SambungnyaDave menahan diri untuk tidak memaki atau bahkan memukul Sylvia.Marcus, yang sedari tadi hanya menonton, tertawa kecil. “Lihatlah kau, Dave. Bahkan adik perempuanku bisa melihat betapa bodohnya kau dalam hal ini. Kau mungkin seorang pemimpin yang hebat, tapi dalam urusan hati, kau hanya seorang amatir.”Dave menoleh tajam ke arah Marcus, tetapi dia tahu bahwa Sylvia dan Marcus, meski
Dave tiba di markas dengan langkah cepat, pandangannya menyapu ruangan yang penuh dengan kesibukan. Anak buahnya bergerak cepat, mencoba mengendalikan situasi yang jelas sedang berada di luar kendali. Beberapa dari mereka tampak terluka, dan suasana tegang terasa di udara."Apa yang terjadi di sini?" tanya Dave dengan nada tajam, suaranya memotong kebisingan di ruangan itu. Semua orang berhenti sejenak dan menoleh ke arahnya, merasakan otoritas yang dibawa Dave ke dalam ruangan.Seorang pria dengan luka di bahu mendekati Dave, wajahnya penuh kecemasan. "Tuan Carpenter, ada penyerangan mendadak. Kami tidak tahu dari mana mereka datang, tapi serangan itu terorganisir dengan sangat baik.""Siapa yang menyerang kita?" Dave mendesak, matanya penuh dengan kemarahan yang tertahan. Dia merasa marah dan frustasi, tidak percaya bahwa markas mereka bisa diserang dengan begitu mudah.Pria itu menelan ludah, tampak ragu sejenak sebelum menjawab, "Kami masih mencari ta
"Selamat, Tuan Carpenter. Istri Anda mengandung anak kembar" ucap Dokter kepada Dave yang menemani Zara saat memeriksakan kesehatan kehamilannya."Benarkah?" sahut Dave sambil menatap Zara yang duduk di sampingnya. Tatapan bahagia jelas terlihat di wajahnya"Iya, bayinya dalam kondisi sehat, tolong jaga kesehatan dan jangan mudah lelah.""Itu pasti, Dok. Aku akan menjaga istriku selalu."Zara tersipu malu saat Dave mencium pipinya di hadapan dokter itu. "Ini resep vitamin, jangan lupa diminum secara teratur" kata Dokter sambil memberikan selembar kertas pada Dave."Terima kasih, Dok." Ucap Zara. Setelahnya dia berdiri dan Dave menggandeng tangan Zara keluar ruangan itu."Setelah ini kita mau kemana, Dave?" Tanyanya"Makan malam. Kau mau makan di restoran mana?""Emm aku tidak mau di restoran mana pun."Dave mengernyit bingung. "Lalu kau mau makan dimana?"“Aku ingin kau yang masak” kata Zara sambil ter
“Luna, aku ingin menamainya Luna”Dave terdiam sejenak. Wajahnya yang semula penuh kasih dan ketenangan berubah menjadi kaku, seperti baru saja ditampar oleh kenyataan yang menyakitkan. Tangannya berhenti bergerak di atas perut Zara, dan dia menariknya perlahan, seolah-olah menyadari bahwa nama itu adalah sesuatu yang tidak pernah ingin dia dengar lagi dalam konteks ini.Nama itu, Luna, membawa banyak kenangan yang bercampur antara manis dan pahit. Luna, wanita yang pernah ia cintai, dan wanita yang harus ia relakan pergi, kini kembali menghantuinya dalam bentuk yang sama sekali tidak ia duga—sebagai nama untuk anak yang ia nantikan bersama Zara.Dia menarik napas dalam-dalam, mencoba untuk tidak memperlihatkan ketegangan yang tiba-tiba melanda dirinya. "Darling... Luna adalah nama yang sangat indah, tapi...," suaranya sedikit serak, dan dia berusaha mengumpulkan kata-kata yang tepat. "Apakah kau yakin itu nama yang kau inginkan untuk anak kita
Dave selesai mandi dan keluar dari kamar mandi dengan rambut masih sedikit basah. Dia mengenakan kaus sederhana dan celana panjang, terlihat lebih santai dari biasanya.Di meja makan, Zara sudah menyiapkan makan malam dengan tampilan yang rapi dan sempurna, seperti biasa. Namun, ada sesuatu yang berbeda malam itu, sesuatu yang Dave tidak langsung sadari.“Bagaimana kondisimu?” tanya Dave“Lebih baik, tadi aku emosional karena hormone kehamilan” Jawab ZaraMereka duduk berhadapan di meja makan, tetapi percakapan yang biasanya hangat dan penuh canda terasa hambar malam itu. Zara menjawab setiap pertanyaan Dave dengan singkat, dan sering kali dia hanya mengangguk tanpa benar-benar melihat Dave.Ekspresi wajahnya datar, tidak ada senyum yang biasanya menghiasi wajahnya saat mereka makan bersama. Dave merasakan dingin yang perlahan merayap di antara mereka, tetapi dia memilih untuk tidak menanyakannya saat itu, berpikir mungkin Z
Dave yang baru saja pulang dibuat kaget melihat Zara yang bersandar pada ranjang sambil menangis“Darling?” Dave memanggil lembut, suaranya penuh dengan kekhawatiran saat melihat Zara. Pikirannya langsung dipenuhi oleh seribu kekhawatiranapa yang terjadi saat dia pergi?“Apa Sylvia melakukan sesuatu padamu?” tanya DaveDave segera mendekati Zara, duduk di tepi ranjang dan meraih tangannya.“Darling, katakan, apa Sylvia yang membuatmu begini?”Zara menggeleng, kepalanya mendongak menatap Dave. Air mata bercucuran dari netra hazel itu“D..Dave..” Rintih Zara"Aku disini Darling. Katakan, apa yang terjadi padamu?” matanya berusaha mencari penjelasan di wajah istrinya.Zara mencoba menahan isakan yang masih tersisa. "Dave… kenapa kau harus pergi? Kenapa semuanya terasa begitu sulit?" suaranya terdengar putus asa.Dave merasakan hatinya tercabik-cabik meliha
"Aku tidak bisa kehilangan dia, Sylvia. Aku butuh dia... kita butuh dia" ujarnya, suaranya hampir bergetar“Kau bodoh” Ucap Sylvia, kali ini nada bicaranya terdengar sinis “Kau lemah Zara, apa kau paham itu?”Zara mengangguk pelan, dia sadar bahwa yang Sylvia ucapankan adalah kebenaran“Kau terlalu percaya padanya, terlalu mudah jatuh ke dalam perangkapnya. Seorang Carpenter bukanlah orang tulus, Zara.”“Aku menasehatimu sebagai seorang wanita” lanjut Sylvia, suaranya kini lebih lembut namun tetap tegas. Ia bersandar pada sofa, pandangannya menjelajahi sekeliling rumah. "Dave memberikanmu sangkar yang bagus" gumamnya, seakan berbicara lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada Zara.Zara mengikuti pandangan Sylvia, memperhatikan setiap sudut rumah yang indah ini. Rumah yang dulu terasa seperti tempat berlindung yang aman, kini terasa seperti penjara mewah. Setiap sudutnya mengingatkannya pada kebaha