Anna bergegas memeluk ibunya yang sudah menunggunya di ruang tamu."Waalaikumsalam...akhirnya kamu pulang juga, Nak," sahut sang ibu dengan senyum hangat. Anna menoleh ke arah ayahnya yang sedang duduk sambil menatapnya penuh tanya. Ia pun kemudian menghampiri sang ayah, lalu memeluknya.“Anna, ada apa? Kenapa mendadak sekali kamu pulang?” tanya ayahnya dengan nada serius.Anna menarik napas panjang. Ia melirik Harry yang baru saja masuk ke dalam rumah, berdiri canggung di dekat pintu."Pa, Ma, aku minta maaf karena kedatanganku yang mengejutkan ini. Aku ingin memperkenalkan Harry pada keluarga kita di sini. Dia adalah putra dari Pak Hendrawan."Pak Hendrawan ... Bos kamu yang dulu?" tanya Thohir heran. Ia menatap Harry yang berjalan mendatanginya."Iya, Pak. Saya putra tunggal dari Pak Hendrawan." Harry yang menjawab sembari mengulurkan tangannya pada Thohir. "Apa kabar, Pak? Senang bisa bertemu dengan Bapak dan Ibu.""Baik, baik, kabar kami baik." Thohir menganguk-angukkan kepalanya
Dokter mengangguk dengan simpatik. "Ya, Pak Danu. Berdasarkan hasil pemeriksaan, Anda memiliki kondisi yang menyebabkan kemandulan. Namun, jangan putus asa. Masih ada berbagai alternatif seperti inseminasi buatan atau adopsi jika Anda dan istri ingin memiliki anak."Danu tidak mendengar sepenuhnya penjelasan dokter. Kepalanya terasa berat, seperti dihantam kenyataan yang terlalu sulit diterima. Selama ini, ia begitu yakin bahwa Andara yang bermasalah, apalagi didukung oleh ucapan ibunya yang terus menyalahkan istrinya.Andara, yang sejak tadi diam, akhirnya angkat bicara. “Terima kasih, Dok,” ucapnya singkat sambil berdiri. Ia menggenggam tangan Danu, memberi isyarat untuk segera pergi.Dalam perjalanan keluar klinik, keheningan terus membelenggu keduanya. Andara melangkah mantap, sementara Danu mengikuti dengan langkah berat. Mereka masuk ke mobil tanpa sepatah kata pun, namun ketika mesin mobil menyala, Danu mendesah keras, kepalanya tertunduk, kedua tangannya memegang kemudi erat.
Suasana hati Harry masih gelisah. Ia merasa semakin sulit menahan perasaannya terhadap Melia.“Anna, aku… aku tidak tahu apakah aku bisa melalui ini,” ucapnya lirih, duduk di tepi ranjang dan menunduk.Anna duduk di sampingnya, memegang tangannya. “Harry, aku ada di sini. Apapun yang kamu rasakan, kita akan hadapi bersama. Aku tahu ini sulit, tapi ingatlah, kamu tidak sendiri.”Harry menatap Anna, mata mereka bertemu dalam kebisuan yang penuh makna. “Anna, aku tahu aku perlu melanjutkan hidup. Tapi kenangan tentang ibuku… sakit yang dia rasakan karena Melia… semuanya masih menghantuiku.”Anna memeluk Harry erat. “Harry, kamu punya hak untuk merasakan semua itu. Aku tak akan pernah memaksamu memaafkan, karena itu adalah keputusanmu. Tapi mungkin kita bisa mencari cara agar perasaanmu ini tidak menguasai hidupmu.”Harry mengangguk perlahan. “Aku akan mencoba, Anna. Demi kamu dan Arez.”Anna tersenyum lembut, merasa lega mendengar niat Harry untuk setidaknya mencoba. “Itu sudah lebih dar
"Selamat siang, Pak Harry, Mbak ... eh, Bu Anna." Sofyan menyapa pasangan yang baru datang itu. Anna tersenyum mendengar panggilan baru Sofyan padanya. Pria itu pun langsung mengambil alih troly berisi koper-koper yang dibawa tuannya. "Biar saya yang bawakan, Pak." Harry hanya mengangguk. Melihat Arez yang terbangun dari tidurnya, ia pun mengulurkan tangannya pada Anna. "Sini, biar aku yang gendong." "Pak, kita langsung ke terminal bis dulu, ya. Sekalian jemput pengasuhnya anak saya," suruh Harry begitu mobil yang dikendarai Sofyan keluar dari lingkungan bandara. "Baik, Pak," angguk Sofyan dengan rasa kaget yang ia sembunyikan mendengar Harry menyebut nama anaknya. Hatinya pun bertanya-tanya. Astaga ... kenapa kok tiba-tiba Pak Harry udah punya anak ya sama Mbak Anna. Padahal kan mereka baru bertemu sebulan ini? Ah, udah lah. Ntar lama-lama, aku juga tahu. Setengah jam kemudian, mobil sofyan pun tiba di terminal bis. Anna yang turun dari mobil untuk menjemput Bu Ningsih yang
Keesokan paginya, di hari pertama Anna kembali bekerja setelah pernikahannya dengan Harry, suasana kantor terasa biasa saja. Tak ada yang berubah dari rutinitas sehari-hari, kecuali satu hal: hubungan Anna dan Harry yang kini memiliki makna baru. Mereka bukan lagi sekadar atasan dan sekretaris, melainkan suami istri yang harus menyembunyikan pernikahan mereka dari para karyawan.Anna memang yang menginginkan pernikahan mereka jangan dipublish dulu di lingkungan kantor. Ia tak ingin di cap sebagai perempuan murahan dan perempuan matre karena semua orang di kantor tahu, kalau Anna dan Harry baru bertemu selama sebulan sebagai atasan dan bawahan. Dan lagi, Anna tidak mau kabar pernikahannya dengan Harry akan sampai ke telinga mantan suaminya dan mantan mertuanya. Andara yang bekerja di kantor yang sama dengannya, tentu saja pasti akan memberitahu suaminya, Danu. Anna dan Harry sepakat akan mengadakan pesta pernikahan mereka sekitar tujuh bulan lagi, saat usia Arez satu tahun.Di tengah k
Danu mengalihkan pandangannya, terlihat frustasi. Ia tidak tahu lagi caranya membujuk istrinya itu.Danu membuka mulutnya, ingin berkata sesuatu, tetapi ia tahu itu tidak akan memperbaiki keadaan. “Aku akan mencoba berkomunikasi lebih baik dengan ibuku,” katanya pelan.Andara tertawa sinis. “Mencoba? Mungkin itu jalan yang baik, tapi itu butuh waktu. Dan aku sudah tidak punya rasa sabar lagi. Aku akan meninggalkan hubungan kita, dan akan berusaha untuk move on.”Tanpa berkata-kata lagi, Andara berdiri dari duduknya, lalu menghilang ke kerumunan, meninggalkan Danu dalam kebisingan kafe. Andara merasakan air mata membasahi pipinya. Dalam hatinya, ia berjuang antara memaafkan dan melupakan.***Andara duduk di meja makan apartemennya yang sederhana, matanya terpaku pada surat gugatan cerai yang baru saja ditandatanganinya. Setiap huruf seolah mengingatkannya pada semua kenangan manis dan pahit bersama Danu. Ia tahu ini adalah langkah yang tepat, tetapi rasa sakit di dalam hati semakin me
Gosip tentang kedekatan Anna dengan CEO perusahaan, Harry, semakin beredar liar di kantor. Karyawan mulai mencurigai hubungan mereka lebih dari sekadar profesional. Di ruang istirahat, Mira dan Andi, dua karyawan yang gemar bergosip, sedang berbincang."Aku rasa, Anna itu punya hubungan rahasia sama Pak Harry," kata Mira sambil melirik ke arah meja kerja Anna.Andi mendekatkan kursinya. "Eh, dengar-dengar, mereka sudah punya anak, lho. Katanya, Anna pernah cuti lama setelah 'kecelakaan.'"Mira tercengang. "Serius? Jangan-jangan memang benar ada yang disembunyikan!"Di ruangannya, Harry mendengar sepotong gosip saat melewati pintu terbuka. Ia segera memanggil Anna untuk membahas rumor yang makin tak terkendali."Anna, kita perlu bicara soal ini," ucap Harry dengan nada serius ketika Anna memasuki ruangannya.Anna menatapnya, merasa was-was. "Ada apa?"Harry menghela napas. "Gosip di kantor sudah makin gila. Mereka bilang kamu punya anak rahasia yang disembunyikan."Anna mendesah. "Aku
Keesokan harinya di kantor, Andara terus memperhatikan setiap gerak-gerik Anna. Diam-diam, ia berusaha mencari tahu lebih jauh tentang kehidupan pribadi sahabat lamanya itu sekaligus mantan istri pertama dari suaminya, terutama di mana tempat tinggal Anna sekarang dan bagaimana ia mengasuh anaknya. Di sisi lain, gosip tentang hubungan Anna dengan sang CEO makin menjadi-jadi.Mira, yang kembali menangkap percakapan antara Anna dan Harry, membisiki Andara ketika mereka bertemu di pantry."Eh, Mbak Andara, kamu tahu nggak? Pak Harry tadi ngomong sama Mbak Anna sambil pegangan tangan lho! Aku rasa mereka memang ada hubungan," ucap Mira penuh semangat gosip. "Apalagi katanya, mereka pulang kerja selalu bareng lho, walaupun ada sopir Pak Harry juga."Andara pura-pura tertawa. "Ah, masa sih? Jangan-jangan cuma gosip aja.""Aku sendiri yang lihat, kok. Aku heran aja, Mbak Anna itu kan janda, tapi sekarang malah lengket sama CEO yang masih bujangan. Kok, Pak Harry nya mau, ya?" ujar Mira sambi
Akhirnya, keesokan harinya, Anna bersama Harry dan kedua orang tuanya datang ke kantor polisi membezuk Danu. Mereka juga membawa dokter ahli jiwa yang terkenal untuk memeriksa kondisi Danu. Mereka ingin mendengar langsung dari dokter itu, apakah Danu perlu dirawat dokter jiwa atau depresi pria itu hanya sesaat saja akibat terguncang karena tiba-tiba masuk penjara.Di sana sudah menunggu Irsyad dan Rahma. Kedua orang tua Danu itu sudah tiba sejak pagi. Anna langsung menyapa dan menyalami mantan mertuanya itu dengan tulus. Bahkan, Anna memeluk Rahma. Ia benar-benar kasihan melihat kedua orang tua yang juga sangat ia sayangi sejak masih remaja dulu."Gimana keadaan Ayah dan Ibu?" tanya Anna usai menyalami Irsyad dan memeluk Rahma."Alhamdullillah, keadaan kami baik, Nak. Cuma kemarin habis pulang dari rumah kamu, Ayah sedikit drop kondisinya, tapi tadi habis subuh, alhamdullillah sudah membaik," jawab Rahma sambil tersenyum haru melihat kebaikan hati mantan menantunya itu. Andai dulu, Da
Semuanya menatap pada Harry, tak menyangka Suami Anna itu akan langsung bertanya seperti itu pada orang tua Danu.Tak lama, Rahma menunduk, lalu terlihat mengusap matanya dengan ujung jilbabnya. Sedangkan Irsyad, hanya menghela napas panjang."Pas datang ke Jakarta, kami langsung ke kantor polisi menjenguk Danu. Polisi yang menjawab Hp Danu saat Bapaknya telpon Danu hari Minggu itu." Setelah cukup tenang, Rahma menjawab pertanyaan Harry."Bapak tetap memarahi Danu ketika kami bertemu di sana walaupun wajah Danu terluka," sambung Rahma lagi."Dia pantas menerima semua itu! Aku tidak pernah mendidiknya jadi manusia jahat! Kamu yang selalu memanjakannya sejak dulu!" Irsyad malah balik memarahi istrinya."Sudahlah, semua ini sudah terjadi. Semoga Danu bisa menjadi lebih baik setelah masa tahanannya berakhir nanti." Thohir akhirnya tidak tahan juga. Jauh disudut hatinya, ia juga tidak tega pada mantan besannya itu sekaligus sahabat karibnya sejak masa kuliah dulu. Hubungan mereka merenggan
"Di ujung jalan rumah kita. Dia parkir mobilnya di sana. Pas dia mau masuk mobil, kami datang sama polisi," jelas Harry sembari merengkuh bahu istrinya. "Sekarang kamu tenang ya, akan kupastikan dia mendekam di penjara dalam waktu yang lama, biar nggak bikin masalah lagi sama kita!" "Iya, Pi. Aku juga lega sekarang. Tapi, aku nggak habis pikir sama sikapnya tadi. Aku nggak nyangka aja dia bakal minta maaf dan sikapnya sama Arez juga baik banget. Padahal aku sempat kepikiran pas Arez hilang, dia bakal jahatin anak kita, tapi malah diantar sendiri ke sini." Anna mengungkapkan kebingungannya atas sikap Danu yang tidak seperti biasanya. "Mungkin pas bersama Arez dia jadi sadar. Ya, nggak ngertilah, tiba-tiba, dia bisa berubah baik kayak gitu. Tapi yang pasti, kita jangan sampai lengah gara-gara sikapnya itu. Dia harus dihukum, biar tahu rasa," ujar Harry. "Betul, walaupun Arez tidak apa-apa, papa juga tidak mau memaafkannya begitu saja. Dia harus mendapat balasan dari semua perbuatan
"Oh, Alhamdulillah. Ayo, Pa, kita jemput Arez." Harry sampai ingin menangis mendengar ucapan ayah mertuanya itu. Ia tak bisa membayangkan, kalau anak balitanya itu tak bisa ditemukan malam itu juga. Memikirkan anaknya yang ketakutan, atau mungkin kelaparan dan kehausan, membuat Harry merasa frustasi. Apalagi membayangkan respon istrinya, kalau ia gagal membawa pulang anak sulung mereka ke rumah malam itu juga. * Anna duduk di ruang tamu dengan mata merah dan sembab. Ia ditemani Adinda yang juga sama kondisinya dengan sang kakak. Keduanya menunggu khabar Arez dengan harap-harap cemas. Tak ada yang berbicara. Keduanya terus berdoa dalam hati. Sedangkan ibu mereka yang juga sangat terpukul oleh peristiwa itu sudah disuruh Anna untuk istirahat di kamar saja berapa saat yang lalu, begitu juga dengan Bu Ningsih, yang masih setia tinggal di rumah Anna untuk mengawasi para pengasuh kedua anak Anna. Suasana hening di ruangan itu dipecahkan oleh suara bel pintu yang berbunyi. Anna dan adik
Harry berjalan mengikuti di belakang tiga orang petugas polisi bersama ayahnya, ayah mertua, dan asisten ayahnya.Satu orang petugas polisi langsung mengetuk pintu rumah Danu. Awalnya tidak begitu keras, lama-lama semakin keras. Tapi, tetap tidak terdengar apa-apa dari dalam rumah. Tidak sabar, polisi itu pun kemudian memegang handle pintu dan menekannya ke bawah. Tiba-tiba, pintu itu terbuka dengan mudahnya. "Sialan! Ternyata tidak dikunci!" umpat aparat polisi itu kesal sembari mengibas-ngibaskan tangannya yang kebas karena cukup lama menggedor-gedor pintu itu. Kemudian, ia kembali siaga dengan senjatanya. "Ayo, kita masuk!"Dua orang temannya menganggukkan kepala sembari mengacung pistolnya ke depan. Tiga orang polisi itu pun mengendap masuk ke dalam rumah yang lampunya tidak dinyalakan. Tapi, sinar lampu teras yang masuk cukup untuk menerangi ruang tamu yang terhubung dengan ruang keluarga itu.Harry pun ikut mengendap masuk bersama Thohir dan Hendrawan, sedangkan Bimo, asisten H
"Kamu tunggu di sini, Mi. Jangan kemana-mana. Aku akan coba cari tahu ke ruangan CCTV," jawab Harry yang juga terlihat panik. Apalagi melihat Anna dan ibu mertuanya sudah mulai menangis."Papa akan telepon polisi." Ayahnya Anna pun segera mencari bantuan."Sialan! Siapa yang berani menculik cucu berhargaku! Akan kucincang sendiri orangnya nanti!" Hendrawan, ayah Harry yang juga hadir di acara ulang tahun cucu kesayangannya sekaligus sang penerusnya itu ikut mencak-mencak panik. Pria paruh baya itu pun kemudian mengajak Bimo, pengawalnya untuk turun tangan sendiri. Kedua orang itu pun buru-buru pergi dari tempat itu.***"Mami...Mami...." Arez langsung menangis lagi begitu mulutnya bebas dari bekapan Danu. Bocah kecil itu menatap takut pria yang kini mendudukkannya di jok depan mobil, lalu memasang safetybelt di tubuh mungilnya."Cup, cup, Sayang. Jangan nangis. Kita akan jalan-jalan berdua, ya?" Danu mengusap pelan pipi dan rambut bocah tampan itu."Om ciapa? Alez mau cama Mami...." A
Danu kaget mendengarnya. Kantuknya langsung hilang. Buru-buru ia berjalan menuju pintu kamarnya. Sejak Andara kembali ke rumah dengan berita kehamilannya, Danu tidak mau lagi sekamar dengan wanita yang masih sah sebagai istrinya itu. Andara tidur di kamar tamu."Mas Danu, tolong antar aku ke rumah sakit, ya? Sakit banget...." Andara memohon sambil meringis kesakitan begitu melihat Danu akhirnya membuka pintu. Hanya saja pria itu masih tetap saja menatapnya dingin."Tunggu sebentar," ujarnya datar. Tak terpengaruh oleh kesakitan yang dirasakan istrinya itu. Danu masuk kembali ke kamar untuk mengambil dompet dan jaketnya.Tidak lama kemudian, mobil yang dikendarai Danu meluncur ke rumah sakit. Pria itu masih tetap bergeming. Ia hanya fokus akan kemudinya. Tak terpengaruh oleh suara rintihan Andara yang semakin kencang."Mas...cepatan...sakit banget...." Andara malah sudah menangis menahan rasa sakit yang semakin kencang."Sekarang nangis-nangis. Dulu, pas bikinnya sama suami orang enak-
Perasaan Danu seakan hancur berkeping-keping. Kata ‘cerai’ seolah menjadi palu yang menghantam harapannya. Ia mencoba meraih tangan Andara, tetapi wanita itu menarik tangannya. “Aku berharap kamu bisa berubah, Mas. Tapi sekarang aku tidak bisa terus menunggu kamu berubah,” ucap Andara pelan namun tegas. Danu hanya bisa memandangi punggung Andara yang pergi meninggalkannya. Dia merasa dunianya runtuh. Di saat bersamaan, pikirannya kembali terisi dengan bayangan Anna yang kini hidup bahagia bersama Harry. Perasaan iri, cemburu, dan kebencian bercampur aduk dalam hatinya. “Kenapa semua orang bisa bahagia kecuali aku?” gumam Danu, penuh amarah. Hari demi hari berlalu, semakin dalam pula rasa frustasinya Danu. Hingga pada akhirnya, ia menerima kenyataan bahwa Andara benar-benar ingin bercerai. Tak ada jalan kembali untuk mereka berdua. Kenyataan pahit ini membuat Danu semakin tenggelam dalam kebencian pada dirinya sendiri. Ia merenungi banyak hal dalam hidupnya. Mungkin Bagas bena
Danu duduk sendirian di meja makan rumahnya, kepalanya tertunduk, tangannya mengepal di atas meja yang penuh dengan gelas dan piring kotor. Bayangan Anna dan Harry di pelaminan beberapa hari yang lalu masih jelas terbayang di kepalanya. Rasa benci dan iri menyelimuti dirinya. Bagaimana bisa Anna, mantan istrinya, berakhir dengan pria yang ternyata bukan hanya seorang CEO, tetapi juga penerus konglomerat besar? Ia sama sekali tidak menyangka bahwa Harry, pria yang pernah diperalatnya untuk menjebak Anna, adalah sosok yang kini bersanding dengan mantan istrinya itu dalam kebahagiaan yang melimpah.Pikirannya semakin gelap ketika teringat dengan Andara, istrinya sendiri yang kini telah pergi meninggalkannya lagi. Danu menghempaskan napas berat. Andara, wanita yang dulu ia harapkan dapat menemaninya selamanya, kini telah benar-benar meninggalkan dirinya. Bukan hanya pergi dari rumah, tetapi kali ini Andara juga membawa semua barang-barangnya dan sepertinya tidak ada niatan untuk kembali.