Irana menelan ludahnya sendiri, ia bahkan membiarkan Rio menyentuh pahanya yang terekspos jelas.
"Ri-rio apa perjalanan kita masih jauh?" tanya Irana dengan suara yang sedikit menahan tangis. Ia sebenarnya tidak suka saat Rio menyentuhnya dengan bebas dimanapun yang ia sukai."Sebentar lagi Sayang, mungkin lima menit lagi."Irana membuang napasnya dengan kasar lalu ia menyenderkan tubuhnya dengan santai ke kursi tempatnya duduk."Aku lelah, entahlah sungguh aku ingin segera tidur," ucapnya dengan lemas."Kamu tidak seperti biasanya hari ini, apa kamu sakit Irana?" Di dasari kecurigaan yang begitu tajam membuat Rio begitu penasaran dengan keadaan Irana saat ini.Rio memutar arah laju mobilnya dan tentunya Irana menyadari hal itu."Rio mengapa kita putar balik? Bukankah kamu bilang sebentar lagi kita akan sampai di apartemenmu?"Rio dengan lugas menjawab "Kita ke rumah sakit dulu, aku takut kesehatanmu terganggu."Irana begitu resah, ia tidak mungkin harus jujur sekarang perihal kehamilannya. Dia hanya takut Rio tidak akan menerima anaknya dengan baik seperti yang ia katakan beberapa menit yang lalu."Rio aku tidak apa-apa sungguh. Aku hanya lelah karena masalah ini, lebih baik kita segera ke apartemen Sayang tidak perlu ke rumah sakit."Rio melihat wajah Irana yang begitu cantik, bibir ranum Irana yang terlihat semakin menggoda membuatnya berpikir dua kali untuk memperpanjang perjalanan mereka.Rio mengelus pipi Irana "Benarkah kamu tidak apa-apa Sayang? Aku khawatir dengan kesehatanmu.""Te-tentu aku tidak apa-apa. Aku sehat dan aku hanya butuh istirahat."Rio tersenyum tipis "Baiklah ayo kita ke apartemen," ujarnya dengan melajukan mobilnya sangat kencang menuju tujuannya saat ini.Di apartemen.Tempat ini begitu nyaman, barang- barang tertata rapi dan juga bersih. Baru saja Irana masuk ke apartemen itu ia sudah jatuh cinta dengan apa yang ia lihat."Aku tidak pernah kesini," ujar Irana sedikit menyindir Rio.Menyadari hal itu Rio pun menjawab "Ini apartemen baruku Sayang, aku sengaja membelinya untuk kita berdua. Bagaimana apa kau suka dengan tempatnya?"Irana mengangguk lalu ia memeluk kekasihnya dengan erat."Jangan tinggalkan aku Rio.""Aku tidak akan meninggalkanmu Sayang," lirih Rio membalas ucapan kekasihnya.Irana begitu nyaman. Ia bahkan kini sudah menempati tempat tidurnya untuk beristirahat. Usia kandungannya yang masih muda tentu menjadi sedikit masalah untuk mood dan juga kesehatannya.Irana bahkan tidak membereskan pakainnya. Ia ingin segera beristirahat dan melupakan semua masalahnya sejenak.Rio sudah tidak ada di apartemen, lelaki itu sedang menyelesaikan urusannya. Tentu ada yang Rio selesaikan apalagi ia adalah lelaki yang sibuk merintis bisnis di mana-mana.Irana tertidur dengan lelap, matanya menutup begitu nyaman. Sudah tuntas keinginannya untuk mengistirahatkan diri.Di satu sisi, Rio memasuki sebuah kamar di salah satu hotel. Ia berjalan tergesa gesa dengan keringat yang sudah membasahi tubuhnya."Sayang, kau sangat lama!" suara manja milik Tania menyambut kedatangan Rio saat itu.Rio yang disambut dengan suara Tania yang manja tanpa berlama lama langsung memeluk gadis itu dengan napas yang menggebu gebu."Apa kamu sudah lama menungguku Sayangku?" tanya Rio sambil membelai rambut gadis itu.Tania, seorang gadis yang memiliki tubuh berisi itu tentu membuat Rio menyukainya bahkan dua bulan ini mereka sudah melangsungkan pernikahan secara resmi.Rio tersenyum lalu dia membawa istri sahnya itu ke ranjang untuk menuntaskan kewajibannya sebagai suami.Keresahan menyelimuti hatinya, saat Rio melakukan hal itu di dalam pikirannya wajah Irana justru terbayang. Rio dengan keras menyingkirkan bayang-bayang saat ia melakukan hal yang sama dengan Irana namun ia meyakini satu hal bahwa Irana lebih memuaskannya daripada Tania yang merupakan istri sahnya."Sial! Kenapa aku menginginkan gadis itu sekarang?!" batin Rio dengan terus bermesra dengan Tania.****Irana sudah terbangun, tidur selama tiga jam membuatnya begitu baik. Irana pun memutuskan untuk pergi ke dapur, semenjak dari mobil ia menginginkan bubur.Irana menelusuri ruangan dapur itu, namun ia sama sekali tidak menemukan beras disana. Akhirnya Irana memutuskan untuk keluar untuk membeli beras.Ia pergi mengendarai taksi online yang sudah ia pesan. Irana turun di sebuah toko yang sepertinya menyediakan segala macam kebutuhan.Dibantu sopir taksi online itu Irana memasukan semua beras dan belanjaannya ke dalam mobil.Namun saat ia ingin masuk ke dalam mobil itu ia tanpa sengaja melihat mobil yang sangat ia kenali. Mobil itu berjalan pelan dan entah angin dari mana Irana ingin mengikutinya."Pak ikuti mobil yang ada di depan itu ya!""Baik, nona."Irana mengikuti mobil Rio kemanapun mobil itu melaju, hatinya sedikit curiga kepada ayah dari bayinya itu."Rio aku masih penasaran kenapa kamu tidak mau aku hamil? Sedangkan kamu selalu ingin bermain denganku? Aku butuh kejelasan Rio aku tau kamu pasti menyembunyikan sesuatu dariku," batin Irana.Setelah mengikuti mobil Rio selama setengah jam akhirnya mereka berhenti di sebuah rumah mewah. Irana memperhatikan Rio yang membuka pintu mobil untuk seseorang. Dan betapa terkejut Irana saat ia melihat seorang gadis keluar dari mobil Rio dan dengan jelas Rio mengecup kening gadis itu.Hati Irana begitu sakit, napasnya sangat sesak. Hancur semua hidupnya, Irana merasa menjadi perempuan terhina dengan keputusan salah yang ia ambil.Air matanya jatuh tanpa diundang, pipinya sudah basah dengan napas yang kian sesak. Irana meremas perutnya dengan kuat, ia menahan rasa yang bergejolak dihatinya dan Irana sungguh berada dalam posisi yang sangat lemah saat ini."Mari kita pulang pak," ujar Irana dengan suara yang bergetar menahan tangis. Ia tidak mau melihat pengkhianatan kekasihnya lagi.Rio yang telah mengantarkan Tania ke rumah mereka tentu tidak tinggal lama-lama. Ia menyadari harus segera ke apartemen untuk kembali bersama Irana.Di sepanjang perjalanan hati Rio was-was. Pasalnya sudah beberapa kali telponnya tidak diangkat Irana. Rio seperti merasa bersalah atas apa yang ia lakukan namun di satu sisi lainnya Rio masih belum bisa melepaskan Tania karena hubungan bisnis dengan orang tua Tania masih harus berjalan.Akhirnya perjalanan penuh kekhawatiran itu musnah saat Rio sudah sampai di apartemennya. Rio dengan cepat masuk dan berjalan menuju kamar Irana."Sayang aku kembali," teriak Rio.Kosong, itulah yang dilihat Rio di kamar Irana. Akhirnya ia memutuskan untuk mencari Irana ke semua ruangan namun nihil hasilnya tetap saja ia tidak melihat Irana.Irana, gadis itu sedang berada di kamar mandi dengan satu buah pisau yang ada di tangannya. Irana melihat pergelangan tangannya dengan pikirannya yang sudah terisi penuh oleh bayang-bayang Rio bersama gadis itu.Srett!Irana melukai pergelangan tangannya dengan pisau itu sehingga darah mengalir begitu deras. Lalu Irana melakukan hal yang sama di lehernya, ia berniat mengakhiri hidupnya sendiri.Karena terlalu banyaknya darah yang keluar, Irana pun tidak sadarkan diri dengan keadaan yang mengenaskan. Rambutnya berantakan dengan wajah yang pucat.Rio mendekati kamar mandi karena hanya itu yang belum ia periksa. Dan benar saja kamar mandi itu terkunci, buru-buru Rio mencari kunci cadangan dan saat mendapatkannya ia langsung membukanya."Irana!"Sontak dengan cepat Rio memeluk Irana. Darah yang mengalir dengan luka yang ada di kening, leher dan pergelangan tangannya membuat Rio cemas. "Shit! Apa yang kamu lakukan Irana!" bentak Rio. Irana sudah tidak sadarkan diri, dan tentunya hal itu membuat Rio semakin khawatir."Dasar gadis bodoh!" umpat Rio dibalik kecemasannya yang luar biasa. Rio tanpa berlama-lama langsung mengangkat tubuh Irana yang terkurai lemas di lantai kamar mandi. Buru-buru Rio membawa Irana ke dalam mobilnya. "Ya Tuhan, Irana ada apa dengan dirimu?" tanya Rio kepada gadis di sampingnya. Dia mengelus rambut Irana dengan tangan yang bergetar karena khawatir. Di rumah sakit. Pihak rumah sakit menangani Irana dengan cepat. Apalagi mereka mengetahui bahwa Rio adalah salah satu pemegang saham rumah sakit ini. Rio duduk di depan ruangan UGD dengan cemas. Ia merapatkan kedua tangannya menanti kabar Irana. Pemeriksaan pun sudah dilakukan, Irana sudah ditangani dengan baik dan Rio sudah di berikan izin untuk men
Sudah dua hari Irana dirawat di rumah sakit. Namun Rio tak kunjung datang menjenguknya lagi. Irana semakin waswas dengan perkataan terakhir Rio perihal ibunya. Irana pun sangat menyesal tidak mendengarkan perkataan ibunya, dan kini ia merasakan akibatnya. "Ibu, maafkan Irana Bu," Irana memejamkan matanya seraya terus memanggil ibunya. Gibran, dokter yang menangani Irana tentu merasa iba. Dia adalah orang yang tampan nan pengertian dan menurutnya perbuatan Rio sangatlah buruk. Gibran yang semula berdiri di ujung pintu segera mendekat ke arah ranjang Irana. "Irana bagaimana kabarmu? Apa ada keluhan untuk hari ini?" tanya Gibran dengan ramah. Irana menggelengkan kepalanya lalu membuka matanya "Tidak ada keluhan apapun Dokter. Yang sakit itu bukan ragaku tapi hatiku," ujar Irana.Girban terkesima mendengar jawaban Irana. Dia menangkap sesuatu dari apa yang diucapkan Irana. "Apa aku bisa membantumu? Mungkin aku bisa meringankan bebanmu Irana," ujar Gibran. Irana melirik dokter itu.
Kesalahan besar yang dilakukan Rio justru menjadi pemicu Tania berbuat nekat. Tania memerintahkan semua anak buahnya untuk mencari keberadaan gadis itu. Dia enggan di duakan dan sampai kapanpun dia tidak rela untuk berbagi. Tania duduk di sebuah kursi, dengan foto dan beberapa berkas yang sudah dia pegang. "Kerja bagus. Kau boleh pergi sekarang!" titah Tania dengan melambaikan tangannya. Dua orang bodyguard itu menurut lalu meninggalkan Tania seorang diri di dalam ruangan yang hanya diterangi oleh lilin. Tania memperhatikan foto itu dengan seksama. Dia suka dengan penampilan gadis itu namun ia membencinya mulai detik ini."Akan aku pastikan dirimu itu akan hidup menderita Irana!" Dengan meremas foto itu Tania menahan amarahnya yang kian memuncak. Pagi hari ini Tania sudah menemukan gadis itu beserta foto dan juga identitasnya. Apa yang dia dapatkan jelas mempermudah dirinya untuk bermain dengan Irana. Tania merobek semua kertas yang ada di tangannya. Dengan matanya yang tajam Ta
Tania menunjukan ekpresi kesalnya. Dia melihat Gibran dengan tatapan marah."Kau bilang Rio yang menentukan pilihan? Jelas-jelas dia akan memilihku! Mana mungkin jalang sepertinya dipilih!" seru Tania dengan menunjuk kasar wajah Irana. Sorot matanya begitu tajam penuh amarah dan benci. Irana yang menyadarai kedatangan Rio hanya bisa meremas seprai. Rasa sesak dan rasa sakit menyatu sempurna di dalam hatinya. Air matanya hampir saja terjatuh, Irana hanya pura-pura tegar dengan mata yang terasa panas. Irana tidak bisa berbuat apa-apa. Dia hanya bisa menatap Rio dengan penuh harap sekaligus benci. Melihat Irana yang mematung seperti itu Tania pun mengikuti arah tatapan Irana dan ia pun melihat Rio yang kini melihat ke arahnya. "Sayang! Jelaskan semua ini!" Tania sontak langsung menghampiri Rio dan memegang tangan Rio. "Sayang! Apa ini? Cepat perjelas!" desaknya lagi. Wajahnya begitu kesal, Rio pun menyadari hal itu. Gibran yang berada di ruangan itu hanya bisa gerak cepat membantu I
Kata orang cinta itu bisa membuatmu mendapatkan segalanya namun tidak banyak yang sadar bahwa cinta sebenarnya adalah racun yang dikemas sedemikian indah.Selepas mengucapkan kata-kata yang tidak sepantasnya kepada Irana, Rio segera membawa Tania pergi dari ruangan itu. Di ruangan Irana hanya tersisa Gibran yang sudah mati-matian menahan amarah yang bergejolak dihatinya. Gibran enggan menunjukan kemarahannya di depan Irana karena itu akan memperburuk keadaan gadis itu. "Irana, sudahlah jangan menangisi lelaki itu. Kau pasti akan mendapatkan yang lebih baik dari Rio."Irana kini sedang menangis. Dia meremas kuat seprai kasurnya dengan tubuh yang bergetar. Ia berada di posisi yang sangat terpuruk, Irana benar-benar dalam keadaan yang paling bawah. "Pria brengsek!" seru Irana dengan semakin kuat meremas seprainya."Arrghh!" Irana berteriak begitu keras untuk melepaskan semua sesak di dadanya. "Tu_han," lirih Irana. Dengan putus asa Irana menarik rambut panjangnya sendiri.Irana menan
"Aku rindu Ibu," ucap Irana. Dia berulang kali mengucapkan hal yang sama.Gibran yang tidak tega dengan keadaan Irana pun memilih untuk segera pergi. Dia membereskan tugasnya sebagai dokter kemudian ia berjalan ke arah pintu dan segera keluar dari ruangan itu. Hakikatnya manusia perlu seseorang untuk mencurahkan keluh kesahnya. Disadari atau tidak semuanya pasti pernah merasakannya. Irana yang malang, di usianya yang cukup belia dia sudah berada di dalam masalah yang besar. Ia harus menanggung beban sendirian. Perbuatannya membuat hidupnya sengsara dan semuanya tiada lain atas keinginannya sendiri. ****Di tempat lain.Di rumah Tania yang berada di megahnya ibu kota. Seorang Tania terlihat sibuk menghisap rokok, ia mengkonsumsi rokok dengan begitu tenang bahkan ia melakukannya di depan suaminya. Rio, yang sedang berada di dekat Tania hanya bisa pasrah. Sesekali ia melirik istrinya itu dengan tatapan yang hampa. Tania memang sangat cantik. Wajahnya begitu bersih nan sangat teraw
Satu minggu kemudian. Semua sudah berlalu. Masalah Irana kian mereda, kondisinya pun kian membaik. Namun sampai detik ini Irana masih hidup dengan bantuan Gibran. Irana tinggal di rumah orang tuanya Gibran. Setelah negoisasi yang panjang dan cukup sulit Gibran akhirnya mampu membawa Irana. Gibran bahkan berhenti dinas dari rumah sakit tempat Irana sempat dirawat. Alasannya sederhana, ia tahu bahwa rumah sakit itu sejatinya milik Rio. Apakah Gibran akan mengalami kesulitan hidup setelah ia keluar dari rumah sakit tempatnya bekerja? Jawabannya tentu tidak. Dia yang notabennya berasal dari keluarga yang berkecimbung di dunia kesehatan tentu membuatnya mudah bekerja dimanapun. Gibran pun sebenarnya mempunyai rumah sakit yang bisa saja ia tarik kembali. "Makanlah, ini akan membuat bayi di kandunganmu sehat." Dengan begitu ramah dan telaten Gibran memberi Irana nasi lengkap dengan sayur beningnya. Ibunya Gibran yang melihat itu hanya tersenyum, ibu Sinta dan pak Geo saling menatap deng
Kedatangan sosok yang tidak diundang sontak membuat Irana kikuk. Apalagi setelah mendengar Syaila mengatakan bahwa ia adalah pembantu yang diajak makan bersama. "Syaila!" tegur Gibran dengan sedikit ketus. "Apa Sayang?" sahur Syaila sambil duduk di dekat Gibran. "Dia bukan pembantu Sayang. Dia temannya Gibran, dia pasiennya." Dengan cepat bu Sinta menjawab Syaila. Syaila yang mempunyai tatapan sinis itu melirik Irana yang sedang terdiam sambil memainkan sendok dan garpunya. "Oh pasiennya kamu ya Sayang? Kok enggak bilang-bilang sih?" Syaila terus menerus sengaja berbicara seperti itu kepada Girban. Dia merubah suaranya menjadi manja. Bahkan dengan sengaja ia terus menyebut Gibran dengan sebutan sayang. Syaila pun melihat penampilan Irana dari atas sampai bawah. Irana yang berpenampilan sederhana itu cukup dibuat malu oleh Syaila. Namun dibalik semua itu Irana hanya bisa menahan kesalnya saat ada orang yang mengint
"Jadi seperti itu ceritanya? Nona kau begitu kuat bisa bertahan sejauh ini," ujar lelaki itu dengan kagum. Irana meringis dalam diam. Dia tersenyum getir seraya menetralkan napasnya. "Kita ke rumah sakit dahulu Nona. Kau butuh penanganan medis!" ujarnya. Irana tidak menggubris ucapan lelaki itu. Entahlah di pikirannya hanya ada satu. Ia ingin mengetahui kabar Gibran. Di rumah sakit. Irana mendapat penanganan dengan baik. Orang yang mengenal Irana dengan cepat membersihkan luka dan mengobati Irana. Sedangkan lelaki itu menunggu di luar ruangan sembari sibuk dengan telpon genggamnya. "Nona istirahatlah. Jika anda perlu sesuatu panggil kami," ujar perawat itu dengan bijak. Irana mengangguk. "Terima kasih," ujarnya dengan lemah. Perawat itupun tersenyum manis, beberapa detik kemudian ia pergi meninggalkan Irana di dalam ruangan yang paling terbaik ini. ****"Di mana? Di mana Dia Johan!" teriak seseorang yang berada di ruangan Irana itu. Lelaki misterius yang dipanggil Johan itu
Deg! Deg!! Deg!! Detakan jantung Irana berpacu di atas rata-rata. Dia begitu terkejut dengan suara Rio yang cukup menggelegar itu. Tidak ada jalan lain untuk Irana selain melarikan diri. Terus berada dalam kurungan Rio tentu secara otomatis menyiksa dirinya sendiri. Irana berlari tanpa henti, di dalam ketakutannya gadis itu terus memacu kecepatannya. Irana keluar dari ruangan terkutuk itu, meski beberapa kali lelaki biadab itu mengejar dan berteriak untuk membuatnya berhenti, Irana tidak akan pernah menyerah. "Tuhan," lirih Irana. Tetap Tuhan yang maha kuasa yang selalu gadis itu sebutkan. Sebuah pintu keluar telah terlihat di depan mata. Irana yang menyadari Rio semakin dekat dengannya itu segera menambah kecepatannya. Walaupun rasa sakit menyerang perutnya, gadis yang sedang hamil muda itu terlihat gigih untuk lolos dari kejaran seorang lelaki bernama Rio. "Berhenti Irana!" Teriak Rio. Brugh! Brugh!! Suara pukulan terdengar memekakak telinga. Lelaki kejam itu saat ini denga
Rasa sakit kian merajalela. Rasa takut pun berhasil membuat mentalnya down. Hampir saja Irana menyerah, namun saat ia menatap perutnya yang saat ini telah berisi, seketika Irana ingin bangkit. Hatinya sudah bulat untuk melawan semua kedzaliman yang sedang dia rasakan. Irana mengamati postur lelaki itu. Diperhatikan dengan teliti setiap incinya. Irana yakin tidak salah orang. Berdasarkan ciri dan suara laki-laki itu Irana semakin yakin orang yang saat ini di depannya itu memang seorang lelaki yang selama ini menghancurkan kehidupan dan masa depannya. "Ri-rio." Irana menyebut nama lelaki itu dengan suara yang bergetar.Rio yang saat itu mendengar panggilan Irana dengan licik tersenyum tipis. Bibirnya tersenyum pahit seraya membuka topeng yang ia pakai. "Kau sudah mengenaliku gadis manis?""Bagaimana aku bisa lupa dengan suara orang yang membuatku sengsara?" jawab Irana dengan terus mencoba menetralkan suaranya. "Hahaha kamu terlalu munafik Irana. Bagaimana? Apa sekarang anak itu sud
"Bangun!!" bentak seorang lelaki dengan wajah yang tertutup topeng. Suaranya menggelegar dengan segala kekejaman yang ia perlihatkan. Byurr!! Lelaki itu dengan tega menyiram Irana dengan satu ember air. Air dingin itu seolah olah menyuruh Irana untuk tersadar. Irana yang semula tertidur dalam pengaruh obat kini terbangun dengan wajah yang pucat pasi. Irana bahkan basah kuyup dengan tubuh yang bergetar. Dia menatap lelaki di depannya dengan gusar. "I-itu hanya mimpi?" tanya Irana kepada dirinya sendiri."Akhirnya kita bertemu lagi Irana," ucap lelaki bertopeng itu. Sorot matanya tajam seolah mengatakan bahwa dirinya tidak menyukai keberadaan Irana. Irana yang belum mendapatkan semua kesadarannya itu menggeleng gelengkan kepalanya. Ia mencoba mengenali siapa yang ada dibalik topeng itu dan apa ini? Irana sedang berada di mana? Irana melihat ke semua arah. Diperhatikanlah semua barang-barang yang ada di ruangan itu dengan seksama. Irana mencoba mengenali tempat ini. Tapi sekeras a
Tangis begitu membuncah di tempat pemakaman. Terlihat begitu banyak orang yang berduka, semua yang hadir memakai pakaian serba hitam. Semerbak wangi bunga begitu harum menusuk hidung namun semuanya kalah dengan duka yang sedang terasa.Seorang perempuan terlihat berjongkok di depan nisan, tanah kuburan yang masih basah itu begitu menyakitkan untuk dilihat. Perempuan itu memegang perutnya dengan erat seolah ia sedang berdialog dengan anak bayinya.Senja sudah menampakan dirinya, senja yang biasanya indah itu kini berubah menjadi sebuah luka yang sangat luar biasa. Perpisahan itu terasa nyata dengan sebuah penyesalan. Irana dengan menangis tersedu sedu memeluk nisan atas nama Gibran itu.Di sampingnya pun ada seorang perempuan, Ia adalah ibu dari orang yang namanya tertulis di sebuah kayu itu.“Sekarang kau sudah puas?” tanya bu Sinta begitu dingin.“PUAS KAU, HAH? LIHAT GADIS MURAHAN! ANAK SAYA SUDAH TIADA!” bentak bu Sinta. Ia menekan pergelangan tangan Irana begitu kencang.Irana han
Malam ini adalah malam yang buruk untuk Gibran. Lelaki itu dengan gusar terus mencari tahu keberadaan Irana dengan berbagai cara. Seluruh bodyguard yang ia punya sudah di kerahkan semuanya. Kini Gibran pun sedang mencari Irana ke tempat yang menurutnya gadis itu berada.Waktu malam terasa begitu cepat namun orang yang dicari tidak kunjung di dapati. Gibran begitu kacau, penampilannya begitu kusut dengan rambut yang berantakan. Gibran tidak munafik, sungguh dirinya tidak mau sesuatu yang buruk terjadi kepada Irana. Bagaimanapun gadis itu tetap menjadi pilihan dalam hatinya.Gibran duduk di dalam mobilnya dengan lesu, ia sesekali memijat pangkal hidungnya untuk mengusir rasa pusing yang melanda dirinya. Mobil BMW keluaran terbarunya itu parkir di tepi jalan, dengan situasi yang sepi membuatnya sedikit bisa mengistirahatkan dirinya. Jalanan yang sepi nan gelap itu membuat Gibran memilih menepikan mobilnya disana.“Irana sebenarnya kemana kamu? Siapa yang membawamu, hah?” lirih Gibran. Di
Jam dinding yang ada di kamar gibran sudah menunjukan pukul sepuluh lewat dua puluh. Malam semakin nyaman dengan keheningannya dan suasananya semakin kian mencekam. Disini kegelapan menjadi identitas yang nyata. Gibran yang sudah selesai membersihkan dirinya kini sedang fokus menatap layar laptop.“Ini sudah sangat malam, pasti Irana sudah tertidur pulas.” Gibran berbicara kepada dirinya sendiri. Dia bahkan tersenyum membayangkan betapa cantiknya Irana ketika sedang tertidur.Sebenarnya semenjak Gibran pulang dari dinasnya di rumah sakit, hatinya tidak karuan. Tidak ada ketenangan yang ia dapatkan. Sejauh ini Gibran tidak pernah memasuki kamar Irana, tentu semuanya dia lakukan untuk menjaga hal yang tidak diinginkan.Bagaimanapun kejahatan bisa saja terjadi jika ada kesempatan walau sebenarnya tidak ada niat sebelumnya. Gibran menyadari dirinya manusia biasa yang tentu mudah tergoda dengan hal yang selama ini susah payah ia jaga.“Ya Allah tapi kenapa hati ini tidak tenang? Rasany
Wajah datar Rio begitu terlihat nyata. Darah lelaki itu seketika mendidih dan bergejolak. Rio memperhatikan istrinya yang sudah berlalu pergi. Setelah Tania mengatakan hal itu hatinya semakin menggebu gebu untuk balas dendam kepada Irana dan Gibran. Sebenarnya sudah lama Tania menghasut Rio. Semenjak kejadian di hari itu Tania selalu menyuruh Rio untuk berbuat kasar namun sejauh ini lelaki ini masih bisa bertahan, mungkin kecuali untuk saat ini.Rio membiarkan Tania pergi dan ia memilih duduk kembali di kursi kebanggaannya itu."Jika aku berhasil membunuh Irana mungkin Tania akan memberikan hak perusahaannya untukku. Tania pasti akan percaya kepadaku dan memberikan hal itu secara mudah, bukan?" ucapnya kepada dirinya sendiri. Rio pun tertawa tipis. Dia mengusap wajahnya lalu mengeluarkan handphone dari saku celananya. "Siapkan penerbangan ke Indonesia. Detik ini saya dan Tania akan kembali," ujar Rio sambil mendekatkan handphone ke telinga kanannya. ****"Irana? Irana?" panggil Gib
Rio semakin kesal. Bak di tikam dari belakang Rio begitu kaget saat mendengar perusahaan besar itu telah diambil alih oleh Gibran. Di ruangan kerjanya itu Rio sibuk memikirkan solusi apa yang harus ia ambil. Sampai kapanpun Rio tidak mungkin membiarkan perusahaannya sampai bangkrut. Perusahaan yang telah diambil alih Gibran bukanlah perusahaan kecil. Perusahaan yang bergerak di bidang minyak dan gas itu tentu menjadi daya tarik yang kuat dalam dunia yang penuh teknologi ini. Rio memijat pangkal hidungnya dengan sangat lesu. Dia begitu bingung dengan apa yang harus ia lakukan lagi. Hidup di negeri orang juga menyulitkan dirinya mengendalikan perusahaannya yang ada di dalam negeri. Meskipun dia mempunyai bisnis selain di Indonesia, Rio tidak mempunyai hak sepenuhnya atas hal itu. Selebihnya dia masih bergantung kepada Tania. "Sejak kapan perusahan itu pindah alih, Dion? Argh sial!" Rio tidak henti terus mengumpat.Dion dengan cepat menjawab pertanyaan bosnya itu "Sejak tiga bulan ya