Mertua Rendra terkejut dengan ucapan kasar yang dilayangkan Rendra terhadap Alin. Dia tidak menyangka menantunya sekasar itu dalam memperlakukan wanita. “Rendra, jaga ucapanmu! Jangan berlaku kasar dengan wanita!” tegur mertuanya. “Wanita tidak tahu diri seperti dia memang pantas mendapatkannya, Pa!” jawab Rendra. “Bagaimanapun sifat wanita, kamu tidak boleh berlaku kasar. Apa jangan-jangan memang seperti ini karaktermu sesungguhnya? Aku jadi ragu jika kau tidak akan bisa bersikap lembut pada putriku,” ujar mertua Rendra was-was. “Ti-tidak, Pa. Mana mungkin aku berani menyakiti dan berlaku kasar pada istriku. Aku akan memperlakukannya dengan lembut dan akan selalu meratukannya, Pa. Aku berjanji tidak akan memberinya penderitaan secuil pun," ujar Rendra merayu. Ali memutar bola matanya saat mendengar alasan Rendra. Dia yang sudah sangat hafal dengan karakter Rendra merasa jengah dengan berbagai drama yang diperlihatkan Rendra agar terlihat baik di depan orang lain. "Yang benar saj
Seluruh keluarga terkejut dengan permintaan mertua Rendra. Lelaki itu langsung bersujud di kaki mertuanya untuk meminta pengampunan.“Tidak, Pa jangan memaksaku menceraikan Fara. Aku sangat mencintainya dan aku tidak mau kehilangan Fara, Pa. Aku mohon jangan pisahkan kami,” jawab Rendra sambil terus memegang kaki mertuanya.“Tapi aku tidak mau lagi denganmu, Mas. Alin saja bisa dengan mudah kau bodohi, kau bohongi, apa lagi aku. Aku tidak mau hidup dengan lelaki pendusta dan gila selangkangan!""Tutup mulutmu, Fara. Kau sendiri juga dari awal juga sama saja dengan Rendra. Harusnya kau sendiri berkaca sebelum menyebut orang lain sebagai pendusta!" ujar paman Rendra."Hentikan perdebatan kalian. Apa kalian pikir dengan adu mulut bisa menyelesaikan masalah yang sudah terlanjur terjadi?" tanya ayah Rendra–dia melihat satu per satu orang yang ada di ruangan itu. Dia lalu memandang menantunya dengan tatapan permohonan, "tolong, Nak demi menyelamatkan nama baik keluarga jangan meminta cerai
Alin langsung melihat sekeliling halaman belakang. Dia memindai setiap sudut halaman sebelum memberi jawaban pada Devan. “Idemu bagus juga, Mas. Tapi aku tidak yakin jika tempat ini akan cukup menampung banyaknya tamu undangan yang datang, Mas. Belum lagi akses jalan menuju ke sini sulit dijangkau atau tidak?” tanya Alin. “Kita tidak akan mengundang banyak orang. Cukup seluruh keluarga kita saja!” jawab Devan. “Lho, kenapa begitu?” tanya Alin membeo. “Aku ingin pernikahan kita menjadi sebuah privasi. Dan hanya orang-orang terdekat saja yang menyaksikan momen sakral kita,” ungkap Devan. ‘Kau tidak boleh terlalu terlena hanya karena perlakuannya yang terkadang manis padamu, Lin!’ batin Alin. Alin hanya mengangguk saja, dia pun meyakinkan dirinya untuk tidak terlalu berharap banyak pada pernikahan mereka. Karena tujuannya hanya untuk membalas dendam pada Rendra dan keluarganya. Saat mereka sedang duduk di kursi yang tersedia di halaman belakang, ponsel Devan berdering. Dia mengangk
Ayah Rendra terdiam tak berani melawan. Dia mengepalkan tangannya karena apa yang diinginkannya tidak sesuai harapan. Merasa tidak akan mendapatkan toleransi dari Devan, akhirnya ayah Rendra berinisiatif meminta ganti rugi. “Kalau begitu, Anda harus memberikan uang penalti pada kami sebagai pengganti kerugian kerja sama kita!” ujar ayah Rendra dengan lantang. “Maaf, tapi perusahaan kami tidak bisa memberikan uang penalti karena Anda sudah melanggar perjanjian yang kita buat!” ujar Devan dingin. “Memangnya apa yang sudah saya lakukan, Tuan?” tanya ayah Rendra lagi."Saya tidak tertarik bekerja sama dengan Anda," jawab Devan sekenanya. "Kurang ajar!" desis ayah Rendra.Mertua Rendra pun tidak tinggal diam, dia juga hendak mencari kejelasan tentang saham Devan yang ditarik dan kerja sama yang juga turut dibatalkan."Lalu bagaimana dengan kerja sama kita dan juga saham yang Anda tarik, Tuan? Mengapa Anda juga melakukan hal yang sama dengan perusahaan saya?" tanya mertua Devan.“Karen
Alin heran dengan tingkah ibunya yang terlihat aneh hari ini. Gadis itu sampai menggelengkan kepalanya.“Ini lho Nak, Mami menemukan beberapa pasang baju bayi yang bagus banget. Kamu suka nggak? Biar Mami order ya?” ujarnya antusias.“Mi, tapi kan Alin belum menikah, Ma. Mami gimana sih? Bukannya pamali ya Mi?” tanya Alin balik.Mami menggaruk kepalanya yang tidak gatal.“Iya juga ya, Lin. Kamu kan belum menikah. Ya begini nih efek ingin punya cucu, sampai lupa kalau anaknya belum menikah,” ujar mami.Mereka lalu tertawa bersama. Tak berselang lama, papi pulang ke rumah. Mami menyambutnya lalu bergegas menyiapkan peralatan mandi papinya.“Kamu kapan pulangnya, Lin?” tanya papi.“Tadi pagi, Pi!” jawab Alin.Papi hanya mengangguk kemudian bergegas ke kamar untuk mandi dan berganti pakaian.Setelah papinya berlalu, Alin bergegas ke kamarnya untuk memeriksa ponselnya karena sepulang dari vila dia sama sekali belum menyentuh ponselnya. Dia membuka pesan dan menemukan ada pesan dari Devan.
Wanita itu menganga dengan jawaban Devan yang terkesan kejam untuknya. Dia merasa sangat malu karena beberapa pengunjung yang berniat makan di restoran itu kini memperhatikannya. “Van, kenapa kamu tega sekali berbicara seperti itu padaku? Bukankah dulu kita pernah saling mencintai?” ujar wanita itu sesedih mungkin.“Bukankah kenyataannya memang seperti itu? Dalam hal ini, bukankah kau jauh lebih tega membiarkanku berkubang dalam sakitnya sayatan luka yang sengaja kau torehkan di hatiku? Dengarkan aku baik-baik, aku tidak akan pernah membiarkanmu menyakiti hati calon istriku secuil pun. Dan jangan pernah berpikir jika aku akan sudi kembali padamu. Karena aku tidak akan pernah mau mengulang kesalahan yang sama seperti dulu!” tegas Devan.Wanita itu tersentak, “apa bagimu aku ini adalah kesalahan, Van?” “Kau bukan hanya sekedar kesalahan, tapi kau adalah orang yang tidak pernah aku harapkan hadir di hidupku.”Wanita itu menatap Devan dengan nanar. Dia tidak menyangka jika seorang Devan
Alin tertidur di ruangan pribadi Devan dengan sangat pulas. Ranjang yang terlalu nyaman membuat Alin lupa jika saat ini dia semakin terlelap dalam buaian mimpi.Saat Devan memasuki ruangan pribadinya untuk membangunkan Alin, dia terdiam sejenak sambil memperhatikan Alin yang tertidur sambil mengigau. Lelaki itu sampai menggelengkan kepalanya.“Dasar bocah,” gumamnya.Dia mendekat dan mencoba membangunkan Alin. “Lin ayo pulang, ini sudah sore!” ujar Devan sambil menggoyangkan tubuh Alin.“Jimin, peluk aku Jimin akhirnya aku bisa sedekat ini denganmu,” ujar Alin mengigau. Dia sampai berusaha meraih tubuh Devan yang tengah membangunkannya. Dia sampai memonyongkan bibirnya untuk mencium Devan.“Eh ini mulutnya kenapa monyong kayak ikan? Wah nggak benar ini harus segera di sadarkan!” gumam Devan.Dia segera membasahi tangannya dengan air dan mengusapkannya ke wajah Alin. Seketika Alin terbangun.“Lho Mas Devan mau apakan saya? Kok dekat-dekat sama saya? Mau perkosa ya?” tanya Alin sambil
Ketiga kakak Alin sedikit kecewa karena di saat kedua orang tuanya sedang dalam kesulitan, tidak ada yang memberi tahukan hal ini pada mereka.“Lho, Mami dan Papi nggak kasih kabar ke kalian ya, Mbak?” tanya Alin.Mereka bertiga menggelengkan kepala. “Kalian tahu nggak Mbak? Berita kebangkrutan keluarga kita bahkan sudah menyebar di kalangan para pengusaha. Mungkin saja Mami dan Papi tidak ingin kalian itu bersedih dengan ujian yang sedang mereka jalani,” ucap Alin getir. Dia menghapus air matanya yang mengalir di pelupuk mata.“Sudahlah Dek, jangan menangis lagi, ya. Yang sudah berlalu biarkan saja. Yang terpenting sekarang perusahaan sudah kembali stabil. Sebentar lagi hari bahagia kami, Dek!” ucap kakak pertama menenangkan Alin yang mulai mengeluarkan air mata.Mereka bertiga berpelukan. Namun saat sudah melepas pelukannya, kakak kedua yang sejak tadi memendam penasaran akhirnya mencurahkannya. Dia khawatir sang adik tidak benar-benar bahagia menjalani biduk rumah tangga.“Lin,