Selesai makan malam, kami terlibat obrolan di ruang keluarga.Mas Rayhan duduk di sofa yang sama dengan mama, sementara aku duduk berseberangan dengannya."Gimana, Ray? Udah di atur belum jadwal bulan madunya? Mama sama papa udah nggak sabar pengen punya cucu dari kalian," ujar mama sambil mengelus punggung tangan mas Rayhan yang kini berada di pangkuannya.Aku dan mas Rayhan saling pandang. Tak tahu harus berkata apa, karena memang sampai saat ini aku sama sekali belum di sentuh olehnya. Entah lah mungkin mas Rayhan belum selesai dengan kisah masa lalunya. Cukup sadar dan tahu diri saja siapa diri ini, mungkin inilah resiko menikahi tanpa cinta."Yah, sabar aja dulu, Ma! Kan nggak harus bulan madu kalau untuk pengen punya cucu. Di rumah juga kan bisa. Iya, kan?" Tika menimpali. Mas Rayhan tampak mengangguk kecil seakan membenarkan ucapan adik perempuannya itu."Iya juga sih," jawab mama dan itu membuat perasaan mas Rayhan lega. Itu tampak dari raut wajahnya. Ia membuang pandangan k
"Minggir! Jangan modus kamu!" pekikku sambil menyingkirkan tubuh lelaki itu dari diriku."Salah kamu lah, kenapa tarik saya? Kan jadi jatuh saya. Dasar modus!" cibirnya kemudian merapikan penampilannya dan berlalu menuju ranjangnya."Beginikah cara kamu berterimakasih sama orang yang udah bantu kamu menjaga kesehatan mama kamu supaya nggak kena serangan jantung, hah? Kamu suruh saya tidur di sini? Ok kalau gitu saya mau balik ke kamar saya aja, biar mama tahu kalau kita itu sebenarnya pisah ranjang," ancamku. Aku hanya ingin mengaduk-aduk perasaannya saja, sekalian memberi pelajaran agar jangan sembarangan memperlakukan wanita secantik aku."Hmm," mas Rayhan menghembus nafas kasar, "Ya sudah, maaf." Dia pun berlalu ke tempat tidur. Tidur dengan posisi memunggungi ku.Kalau seperti ini ceritanya, gimana mau ambil hati dan buat dia baper? Yang ada emosi mulu. Hmmmh apa mau dikata? Biarpun malam ni gagal, masih ada hari esok. Aku sunggingkan senyum sebelum akhirnya memilih tidur di sofa
"Maafin saya ya, Mas," ucapku ketika aku dan mas Rayhan berjalan keluar dari arena Dufan. Sedari tadi hanya diam dan aku tak tahan jika terus begini.Mas Rayhan hanya diam sambil tatapannya fokus pada jalan. Hingga dirinya memberhentikan mobil di sebuah restauran.Kami masih saling diam, hingga ..."Kamu mau di sini terus? Saya laper, pengen makan," ucapnya.Aku pun segera membuka safety beltku, begitu juga dengan dia. Mas Rayhan berjalan mendahuluiku, tak perduli kalau aku ini istrinya."Mas, saya ke kamar mandi sebentar ya," ucapku yang sedari tadi memang sudah menahan ingin buang air kecil."Terserah," jawabnya sambil membuang pandangan. Aku pun berlalu pergi."Hana," panggil seseorang wanita, aku baru saja keluar dari dalam kamar mandi. Rina mungkin sengaja menungguku keluar dari dalam kamar mandi ini."Rina, kamu di sini juga?" tanya ku sambil mengedarkan pandangan. Aku berusaha mengulas senyum termanisku. Padahal rasa sakit ini masih saja ada saat dengan mudahnya ia menerima ban
"i-iya, Ma. Soalnya di sana seru banget. Jadi nggak pengen cepat-cepat pulang." Hana mengulas senyum sambil merangkul pinggang Rayhan.'Syukur deh, memang jago banget aktingnya,' batin Rayhan sambil tersenyum juga, memperlihatkan barisan gigi putih nan rapinya itu."Oh gitu, ya udah nggak usah khawatir ya sayang! Nanti kapan-kapan kita kesana lagi. Oh iya, mama cuma mau bilang, kebetulan papa keluar kota selama dua hari, jadi dari pada mama sendiri di rumah mending mama nginap lagi di sini, bolehkan?""Boleh dong, Ma," sambut Hana. Kemudian berjalan berdampingan menuju pintu utama rumah itu."Mmh tapi, Ma. Kan di rumah ada bibi. Kasian dia kalau di tinggal di rumah sendiri," ujar Rayhan sambil mengejar langkah wanita di hadapannya. Ia harus menggagalkan Inggit supaya tidak melanjutkan nginap di rumah ini, sebab ia sudah tidak tahan sekali berdekatan dengan Hana. Bersama Hana terus menerus membuat dirinya tak punya waktu sendiri dan itu sangat menyebalkan baginya."Kamu ngapain mikirin
"Susah banget sih, si Rayhan ini dihubungi. Handphonenya di luar jangkauan," Inggit terus menelpon Rayhan untuk meminta izin membawa Hana ke klinik kecantikan. Meski Inggit sudah mengatakan kepada Hana bahwa Rayhan tak akan keberatan jika Hana pergi bersamanya, tetapi Hana tetap pada pendiriannya. Tidak akan pergi tanpa izin dari Rayhan."Oh, bentar! Coba mama telpon Ridwan. Siapa tahu dia tahu kemana Rayhan." Inggit lun langsung mencari nomor Ridwan di ponselnya dan melakukan panggilan.Tak butuh waktu lama untuk panggilan itu diangkat. [Selamat siang Bu Inggit,] ucap Ridwan di seberang telepon.[Apa Rayhan lagi sama kamu? Kenapa handphonenya mati ya?][Oh, pak Rayhan nya lagi meeting dengan klien, Bu. Kemungkinan sebentar lagi keluar dari ruangan,] jawab Ridwan seadanya.[Ok, terimakasih,]Setelah panggilan itu berakhir, Inggit masih saja merasa dongkol. Pasalnya, nomor handphone Rayhan sejak pagi tadi sudah tidka aktif. Terhitung sudah lima jam Rayhan tak bisa di hubungi."Ya udah d
Setelah hatinya sedikit tenang, Hana pun berlalu ke kamarnya dengan map yang diberikan oleh Ridwan tadi. Sementara Rayhan baru saja keluar dari dalam kamar mandi."Dari bang Ridwan," ucap Hana sambil meletakkan map itu di meja telat di hadapan Rayhan berdiri. Setelah itu putar arah dan akan keluar dari kamar ini. Karena bertemu dengan Rayhan akan semakin memperburuk suasana hatinya.Lebih baik ia memilih sendiri dulu dari pada bersama Rayhan, Hana belum siap untuk mendapat sebuah kata-kata kasar lagi malam ini."Tunggu!" ucap Rayhan sebelum Hana memutar handle pintu. Hana mematung, fokus mendengarkan apa yang akan dikatakan Rayhan."Jadi udah ketemu sama mantan?" tanya Rayhan."Seperti yang kamu tahu.""Menikmati? Bahagia?" cecar Rayhan lagi dan Hana tak mengerti maksud dari pertanyaan itu."Maksud kamu apa, Mas?" Rania berbalik dan menatap Rayhan dengan tatapan tajam."Jangan bohongi diri kamu, kalian pacaran lebih dari lima tahun dan rasa itu nggak mungkin berakhir begitu saja. Saya
Hari ini malas sekali rasanya Rayhan untuk pergi ke kantor. Suasana hatinya sedang tidak baik-baik saja karena Hana yang masih marah padanya.Seharian di kamar membuat dirinya lapar dan memilih turun ke lantai bawah menuju dapur. Hana baru saja selesai dengan makannya, ia hanya memasak mie instan, itupun hanya di rendam beberapa menit dengan air panas dan langsung ia santap.Hari ini moodnya juga sedang tidak baik. maka dari itu ia memilih berdiam diri di kamar yang baru saja dikosongkan oleh Inggit.Keduanya berpapasan di pintu yang menghubungkan antara dapur dan ruang tengah. Tak saling sapa walaupun Rayhan sengaja menyentuh jari-jemari Hana sebagai suatu gurauan.Namun Hana sama sekali tak memperdulikan itu. Ia tetap fokus menuju kamar, dan membiarkan Rayhan berpikir untuk mengisi perutnya sendiri. Hana tidak masak sesuatu untuk Rayhan, ia tak perduli dan sesekali ingin memberikan lelaki itu pelajaran."Ya ampun, nggak ada makanan. Gimana sih? Lagi marah ya marah aja, tapi jangan s
Menghirup udara malam di depan rumah orang tuanya membuat Hana seakan mengulang masa lalu saat di mana dirinya diasuh dan dibesarkan oleh kedua orang tua yang begitu menyayanginya.KreeeeetSuara pintu terbuka, Hana langsung menatap wajah ibunya yang muncul dari balik pintu. Berlari dan memeluk sang ibu, seakan ingin melebur semua rasa rindu dalam hatinya.Rayhan pun turun dari motornya, mendekat dan mencium punggung tangan Nining dengan takzim."Kalian pulang, Nak. Ibu senang banget. Ayo masuk!" Nining merangkul pinggang Hana dan menuntunnya masuk. "Mimpi apa semalam ibu, bisa lihat kalian datang, ibu nggak nyangka," ujar Nining dengan mata yang tampak berkaca-kaca. Beberapa hari ini ia selalu melangitkan doa agar anak semata wayangnya itu datang mengobati rindu yang kian bersemayam dalam hatinya. Allah maha baik, ia dipertemukan dengan sang anak yang menurut logikanya tak mungkin muncul malam ini."Hana katanya kangen, Buk," sambung Rayhan yang berjalan di belakang kedua wanita itu
Pergi begitu saja meninggalkan Anisa dan senyum Anisa yang tadinya semeringah memudar kala Rayhan berdiri dan mulai meninggalkannya. "Rayhan ...," panggil Anisa sambil mengejar Rayhan, tetapi langkah Rayhan terlalu panjang sehingga tak terkejar olehnya. Sementara Rayhan tetap memaksa mengendarai mobilnya agar sampai di rumah. Dorongan hasrat ini harus segera dituntaskan, jika tidak maka itu akan menjadi siksaan batin yang bisa saja membuatnya gila. Rayhan membuka kancing kemeja bagian atas hingga menampakkan bulu-bulu halus itu. Setelah sampai di garasi, ia pun lantas berlari ke arah rumah. Masuk dengan kunci yang ada padanya. Hana baru saja keluar dari kamarnya dengan kepala yang masih berbalut handuk. Ia terperanjat melihat gelagat aneh sang suami yang tak seperti biasa. "Hana," lirih Rayhan sambil berjalan mendekat pada wanita yang hanya memiliki tinggi tubuh sekitar seratus enam puluh cm itu. Mengangkat tubuh Hana dan membawanya menuju kamar terdekat, yaitu kamar Hana. "Mas,
"Apa betul mama menerima sejumlah uang dari keluarga Rina dan sebagai gantinya aku harus menikahi Rina? Betul itu, Ma?" tanya Ridwan dengan suara lantang dan mata yang membulat. "Ridwan, kamu ini datang-datang bukannya kasih salam dulu, malah nanya yang nggak-nggak." Lastri mencebik kesal, ada rasa takut dalam hatinya sekaligus heran mengapa rahasia ini bisa sampai bocor."Tolong jawab aja, Ma! Jawab yang jujur!" sentak Ridwan sehingga Lastri terkejut dan semakin ketakutan. Namun, berusaha bersikap tenang.Lastri terdiam dan itu sudah menjadi jawaban untuk Ridwan. Ia menggeleng pelan, tak menyangka bahwa sang ibu telah menjual dirinya demi uang, padahal Ridwan berusaha menerima jodoh yang ibunya pilihkan. Berharap ini adalah pilihan terbaik, meski Harau mengabaikan hati dan cintanya pada Hana."Ridwan ... Wan, mau kemana kamu? Mama mau jelasin sesuatu sama kamu," teriak Lastri saat Ridwan pergi dari hadapannya.Melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi hingga ia tak perduli lagi ten
"Seharusnya Abang pulang langsung ke rumah. Bukannya malah cari perhatian sama Hana. ingat, Bang! Hana itu udah punya suami dan kamu juga udah punya aku," ucap Rina. Dengan kondisinya yang sedang sakit, ia nekad pergi ke rumah Nining untuk menjemput sang suami. Karena sedari tadi ia duduk di depan terasnya untuk memantau acara yang dibuat Hana dan ibunya.Melihat mobil yang biasa suaminya kendarai pulang cepat, Rina pun bergegas ke rumah itu. Namun, kedatangannya itu ternyata untuk melihat sang suami sedang saling tatap dengan Hana. Kedua tangan Ridwan menyangga tubuh Hana agar tidak jatuh. Ingin rasanya ia langsung berteriak dan melerai keduanya. Namun, ia tak kuasa melakukannya karena kakinya terasa lemas. Pun Nining segera memberi kode kepada kedua orang yang tengah berpandangan itu hingga keduanya sadar dan melepaskan diri.Rina bisa melihat bahwa suaminya masih menyimpan rasa terhadap Hana. Terbukti saat Ridwan masih saja menatap Hana yang melenggang pergi."Abang nggak sengaja
"Bangun! Bangun, Mas!" Hana menggoyang dan menepuk punggung tangan Rayhan supaya bangun. Kerena waktu subuh tidak banyak jika untuk mengerjakan wajibnya.Berulang kali Hana mencoba membangunkan hingga ia lelah dan membelakangi posisi Rayhan. Tetiba muncul keisengannya.Hana mendekat pada wajah Rayhan yang masih tertidur pulas. Menatapnya dari dekat, begitu dekat, bahkan sangat dekat. Hingga Hana dapat merasakan terpaan hangat nafas Rayhan. Ia pejamkan mata merasakan debaran jantung yang mulai tak beraturan.Rayhan mengerjakan mata, melihat Hana yang begitu dekat dengannya. Entah mengapa ada rasa nyaman dan menginginkan waktu berhenti agar Hana tak berlalu dari hadapannya.Muncul pula ide dalam benaknya agar Hana tak segera berlalu. Rayhan memeluk Hana sambil membenarkan posisi ternyaman, matanya masih terpejam agar Hana menganggap ini adalah ketidak sengajaan yang tercipta.Hana membulatkan matanya saat dirinya malah terjebak dalam pelukan Rayhan. Semakin ia berusaha melepaskan diri,
"Sebaiknya jangan ,Nak. Selagi masih bisa diatasi dengan kata-kata, biarlah! Ibu juga nggak tega kalau budenya Hana masuk penjara," ujar Nining dengan tatapan sendu."Keterlaluan, Buk," ketus Hana. Ia sudah lelah menghadapi sikap Obed yang selalu ingin menang sendiri."Ya udah kita masuk yuk!" ajak Nining. Malam itu, Rayhan jadi tak sampai hati untuk meninggalkan rumah itu. Ia tak ingin jika Obed datang lagi dan menekan ibu mertuanya. Saat di kamar, Rayhan menelpon seseorang untuk berjaga-jaga di rumah mertuanya besok. Perempuan dan tentunya bisa bela diri untuk menjaga Nining saat Obed tiba-tiba mengamuk.Hana baru saja masuk ke dalam kamar. Ia ingin berganti baju.Berjalan menuju lemari dan mengambil baju yang ia inginkan. Setelah itu berganti di dalam kamar mandi."Kamu mau tidur di kamar ibu kamu lagi?" tanya Rayhan saat Hana baru saja ingin memutar handle pintu kamar. Ia memang akan keluar dari kamar itu."Kamu mau ibu kamu curiga, terus nambahin beban pikirannya, hmm? Anak maca
Sementara Hana mengerti betul bahwa Ridwan masih menyimpan rasa. Itu terlihat dari ekspresi cemburu yang tak bisa Ridwan tutupi darinya.Sama seperti dirinya yang tak bisa langsung membunuh cinta terhadap Hana, begitu jugalah Hana yang sulit mengubur masa indah saat menjalin kasih dengannya.Rayhan langsung membuka pintu mobil, diikuti Ridwan yang juga baru sadar dengan ketidakfokusannya.Setelah kepergian Rayhan dan Ridwan, Hana pun ingin berlalu masuk ke dalam rumah. Namun, langkahnya ya terhenti saat Obed memanggil namanya."Hana ...," panggil Obed sambil berjalan mendekat pada Hana diikuti Hana yang menoleh ke sumber suara."Jangan mentang-mentang kamu itu istrinya orang kaya, bos besar, terus kelakuan pun udah sombong," ucap Obed dengan berkacak pinggang, menatap tajam pada Hana yang hanya diam dengan kedua alis seakan tertaut."Sombong apanya, Bude?""Jangan sok-sokan nggak tahu lah! Pasti selama ini Ridwan itu pulang malam terus dari tempat kerja karena kamu yang suruh, Kan? Ka
Menghirup udara malam di depan rumah orang tuanya membuat Hana seakan mengulang masa lalu saat di mana dirinya diasuh dan dibesarkan oleh kedua orang tua yang begitu menyayanginya.KreeeeetSuara pintu terbuka, Hana langsung menatap wajah ibunya yang muncul dari balik pintu. Berlari dan memeluk sang ibu, seakan ingin melebur semua rasa rindu dalam hatinya.Rayhan pun turun dari motornya, mendekat dan mencium punggung tangan Nining dengan takzim."Kalian pulang, Nak. Ibu senang banget. Ayo masuk!" Nining merangkul pinggang Hana dan menuntunnya masuk. "Mimpi apa semalam ibu, bisa lihat kalian datang, ibu nggak nyangka," ujar Nining dengan mata yang tampak berkaca-kaca. Beberapa hari ini ia selalu melangitkan doa agar anak semata wayangnya itu datang mengobati rindu yang kian bersemayam dalam hatinya. Allah maha baik, ia dipertemukan dengan sang anak yang menurut logikanya tak mungkin muncul malam ini."Hana katanya kangen, Buk," sambung Rayhan yang berjalan di belakang kedua wanita itu
Hari ini malas sekali rasanya Rayhan untuk pergi ke kantor. Suasana hatinya sedang tidak baik-baik saja karena Hana yang masih marah padanya.Seharian di kamar membuat dirinya lapar dan memilih turun ke lantai bawah menuju dapur. Hana baru saja selesai dengan makannya, ia hanya memasak mie instan, itupun hanya di rendam beberapa menit dengan air panas dan langsung ia santap.Hari ini moodnya juga sedang tidak baik. maka dari itu ia memilih berdiam diri di kamar yang baru saja dikosongkan oleh Inggit.Keduanya berpapasan di pintu yang menghubungkan antara dapur dan ruang tengah. Tak saling sapa walaupun Rayhan sengaja menyentuh jari-jemari Hana sebagai suatu gurauan.Namun Hana sama sekali tak memperdulikan itu. Ia tetap fokus menuju kamar, dan membiarkan Rayhan berpikir untuk mengisi perutnya sendiri. Hana tidak masak sesuatu untuk Rayhan, ia tak perduli dan sesekali ingin memberikan lelaki itu pelajaran."Ya ampun, nggak ada makanan. Gimana sih? Lagi marah ya marah aja, tapi jangan s
Setelah hatinya sedikit tenang, Hana pun berlalu ke kamarnya dengan map yang diberikan oleh Ridwan tadi. Sementara Rayhan baru saja keluar dari dalam kamar mandi."Dari bang Ridwan," ucap Hana sambil meletakkan map itu di meja telat di hadapan Rayhan berdiri. Setelah itu putar arah dan akan keluar dari kamar ini. Karena bertemu dengan Rayhan akan semakin memperburuk suasana hatinya.Lebih baik ia memilih sendiri dulu dari pada bersama Rayhan, Hana belum siap untuk mendapat sebuah kata-kata kasar lagi malam ini."Tunggu!" ucap Rayhan sebelum Hana memutar handle pintu. Hana mematung, fokus mendengarkan apa yang akan dikatakan Rayhan."Jadi udah ketemu sama mantan?" tanya Rayhan."Seperti yang kamu tahu.""Menikmati? Bahagia?" cecar Rayhan lagi dan Hana tak mengerti maksud dari pertanyaan itu."Maksud kamu apa, Mas?" Rania berbalik dan menatap Rayhan dengan tatapan tajam."Jangan bohongi diri kamu, kalian pacaran lebih dari lima tahun dan rasa itu nggak mungkin berakhir begitu saja. Saya