Lelang dimulai. Marla duduk di samping Arjuna, menegapkan tubuh dan bersikap selayaknya seorang Nyonya Muda yang diam-diam dia pelajari. Beberapa orang sempat bergumam di belakangnya, yang isinya kurang lebih; hendak mengetahui siapa sosok Marla yang sesungguhnya.Sebab, mereka pikir; pastinya seorang Arjuna Wirajaya yang merupakan pewaris tunggal dari keluarga terkaya itu menikahi seorang wanita yang 'sederajat'.Marla mengembuskan napas perlahan. Bagaimana bila mereka tahu bahwa Marla hanyalah seorang yatim piatu yang lemah, bahkan sudah pernah menikah?Sepertinya kabar tentang dirinya itu akan tersiar pada kalangan atas tidak lama lagi. Mengingat bahwa terdapat sepasang manusia yang tampaknya enggan membiarkan Marla hidup tenang barang sekejap. Berjarak satu meja, Marla memergoki Yudha dan Kamilia yang saling bercengkerama dengan senyum arogan. Seakan-akan memperlihatkan bahwa hidup mereka baik-baik saja, padahal perusahaan Anugerah sedang berada di ambang kebangkrutan. Entah apa
"Baik! Lukisan karya Bernafouldi dimenangkan oleh Tuan bernomor dua puluh empat senilai dua puluh lima miliar!"Keputusan yang disiarkan oleh juru lelang tersebut membuat seluruh peserta lelang terperangah. Siapa pun tak menduga bahwa yang memenangkan lelang atas barang utama berupa lukisan karya Bernafouldi ialah seorang Yudha Anugerah.Arjuna dan Marla saling melempar pandang. Meskipun Arjuna menyayangkan lukisan yang sudah diincar oleh ayahnya itu, tetapi tidak dapat dimungkiri bila dia ingin menghindari rencana licik Yudha melebihi apa pun.Yudha memasang senyum arogannya, walau dalam hati sedang kelimpungan. Dia baru saja memenangkan lelang? Yang benar saja! Seharusnya tidak berjalan seperti ini!Kamilia yang tetap terlihat besar kepala, mendekat ke arah Yudha. "Mas, kenapa malah jadi begini? Bukankah kamu berniat untuk menguras uangnya si Wirajaya? Kenapa malah kita yang kena sekarang?"Yudha berbisik seraya menggertakkan gigi perlahan. Kedua tangannya terkepal erat, memandang s
"Astaga, Yud! Kamu ini bagaimana sih?! Katanya kemungkinan besar kita akan mendapatkan untung dari pelelangan malam hari ini? Kenapa malah sekarang kita yang bingung soal uang dua puluh lima miliar?!"Gerutu Kamilia sambil mondar-mandir di depan meja kerja Yudha. Sementara itu, sang suami tengah bertopang dagu, berpikir akan rencana B yang belum tentu akan berjalan sesuai perkiraan mereka."Ck! Diamlah, Kamilia! Kamu pikir aku ini tidak sedang berpikir apa?! Aku juga sibuk mati-matian berpikir! Kita harus mengembalikan uang sebanyak itu yang kita pinjam dari perusahaan Mahagana."Kamilia mendengkus kasar. Mahagana. Keluarga terkaya kedua setelah Wirajaya yang ada di dalam negeri. Tentu saja—rival abadi dari Wirajaya sejak dulu. Perkaranya, Mahagana merupakan keluarga yang kebanyakan berkecimpung dalam dunia malam. Dikarenakan memiliki jaringan dengan organisasi underground, beberapa transaksi gelap di bawah perlindungan orang dalam, Mahagana menjadi salah satu keluarga yang sangat di
Arjuna cepat-cepat menggeleng, menarik napas rakus selagi mengalihkan pandang untuk beberapa saat. Dia tidak mengira, bahwa dia bisa menjadi pria yang salah tingkah hanya karena hendak menggantikan pakaian istrinya sendiri."Astaga ...."Arjuna meraup kasar wajahnya menggunakan kedua tangan. Kembali mengomposisikan diri sebelum mengambil piama yang akan dipasangkan pada Marla . Pria itu menelan ludah susah payah. Mulutnya mendadak kering, hanya dengan memandang tubuh indah sang istri dalam balutan pakaian dalam berwarna hitam.Menggigit bibir bawah, Arjuna mulai memasang bagian celana piama. Tatapan pria itu sempat tertuju pada bagian pusat tubuh sang istri, tetapi secepat mungkin membuang muka. Dengan wajah memerah, Arjuna meneruskan memakaikan bagian atas piama, tak sengaja bersentuhan dengan dada wanita itu saat mengancingi piamanya.Pria itu membeku seketika. Sentuhan singkat itu berhasil membuat sesuatu dalam diri Arjuna bangkit tanpa bisa dicegah. Membenahi dua kancing terakhir,
Marla melayani pembeli terakhir sebelum dia memasuki ruang istirahat di belakang bersama Bu Sani. Sepagian itu, jujur saja dia tidak bisa berkonsentrasi. Entah mengapa, sekarang saat mendengar cara Arjuna memanggil nama Julie, membuatnya gusar sendiri.'Duh! Padahal mereka kan tidak setiap hari berinteraksi pula. Kenapa aku harus sebingung ini? Kalau Mas Arjuna tahu isi pikiranku yang aneh ini, yang ada Mas Arjuna makin menganggapku aneh dan benar-benar menjadi beban baru.'Marla mendengkus kasar, duduk di sofa seraya memandang langit-langit ruang istirahat. Berjarak beberapa langkah darinya, Bu Sani terduduk di sofa tunggal sambil bertelepon dengan perawat pribadi yang selama ini menjaga anaknya di rumah sakit. Tentu saja, perawat pribadi itu direkrut oleh Arjuna.Permbicaraan Bu Sani dan sang perawat yang terdengar, membuat Marla bisa mengalihkan perhatian barang sejenak. Namun, bayangan jarum jam yang menginjak waktu istirahat makan siang membuatnya kalut sendiri.Dia teringat bahw
Kamilia memang menyebalkan. Kenapa mantan sahabatnya itu enggan melepasnya setelah berhasil merebut Yudha dan menjadi Nyonya Muda keluarga Anugerah seperti yang diharap-harapkan?Marla mendesah lelah. "Kamilia, kamu boleh menggangguku sepuas hatimu, tapi jangan di sini! Ini bukan sembarang tempat yang bisa kamu acak-acak begitu saja.""Ah, benarkah? Tidakkah kamu ingat, bahwa pemilik toko roti kampungan ini hampir pernah mempermalukanmu demi mendapatkan kepercayaanku, Marla?"Kamilia terkekeh, melipat tangan di depan dada, sengaja membusungkan dada serta meninggikan dagu. Wanita itu masih berpendapat bahwa dirinyalah yang merupakan seorang superior."Pasti tidak ada seorang pun di keluarga Wirajaya yang mau menerima wanita kampungan sepertimu, Marla. Bahkan, Arjuna sendiri pastinya mulai menyadari kalau menikah denganmu itu hanya akan membuatnya menyesal di kemudian hari. Lagi pula, apa kamu lupa—soal foto yang pernah kukirimkan padamu? Aku dan Arjuna ... bertemu di hotel lho!"Marla
Secepat kilat, Marla mundur. Revan menaikkan satu alisnya, terkekeh sebelum menarik tangan kembali ke sisi tubuh pria itu."Ah, sepertinya ipar saya yang satu ini tidak menyukai kedekatan antara saudara ipar ya? Tidak masalah, saya tidak akan memaksamu, Marla."Revan menyampirkan lengannya pada pundak wanita yang bersamanya. Pria itu tersenyum timpang, kembali mengamati penampilan Marla untuk yang kedua kalinya.Tidak mau membiarkan Revan berada di sana sesiangan penuh, Marla bergegas mengemas roti yang pria itu beli—dengan setengah hati. Siapa pun bisa melihatnya. Revan hanya 'sekadar' membeli tanpa mengetahui apa yang dibelinya barusan."Ini. Pembayarannya bisa langsung di kasir, silakan! Terima kasih atas kunjungannya, Revan."Revan mengangguk singkat, kemudian berlalu ke kasir bersama wanita yang masih betah bergelayut manja padanya. Sementara itu, Kamilia bersedekap tak senang. Melihat bagaimana cara Revan berinteraksi dengan Marla barusan, kembali memunculkan rasa iri yang mengg
Marla mondar-mandir di depan pintu kamar mandi dalam balutan jubah mandi. Wanita itu dilanda gugup, cemas, antisipasi, semuanya bercampur aduk. Kenapa bisa setiba-tiba ini?"Seharusnya tidak ada masalah kan? Mas Arjuna itu suamiku, dan aku istrinya—tapi ... kenapa aku bertingkah seperti perawan yang baru mau melakukan malam pertama?"Wanita itu menggigit bibir bawahnya, bergerak bak setrika. Arjuna sudah menunggu di kamar mandi, mungkin telah menantinya di dalam bak mandi. Marla sudah bisa membayangkan betapa intim suasana di kamar mandi. Dengan Arjuna yang telah menantinya tanpa busana, bersandar pada dinding porselen bak mandi dengan tubuh yang kekar dan tegap.Marla merasakan pipinya memanas. Tanpa perlu bertanya lagi, dia tahu apa yang akan terjadi sesaat setelah dia memasuki kamar mandi. Tentunya bukan sekadar mandi biasa.Akan tetapi, dia tidak mungkin menghindar dan lari begitu saja dengan berbagai macam alasan. Kalau dipikir-pikir, ini memang sudah waktunya bagi mereka untuk
"Mas? Kenapa—""Marla, maaf, tapi sekarang aku posisinya sudah berada di tempat lain. Dan karena sesuatu hal, ponselku terjatuh, tidak bisa digunakan. Maka dari itu, aku menghubungimu lewat ponselnya Julie.""A-ah ... begitu ...."Marla gelagapan, tetapi sebisa mungkin tidak terdengar kikuk. "Lalu, sekarang Mas Arjuna ada di mana?"Arjuna tidak langsung menjawab. Pria itu membiarkan keheningan mengisi sambungan telepon mereka untuk beberapa detik, sebelum kembali bersuara dengan tujuan mengalihkan pembicaraan."Nanti aku akan kembali ke hotel tepat sebelum makan siang, Marla. Aku sudah berbicara pada Sherry untuk menambah waktu bermalam kita di hotel. Tapi, kalau ada sesuatu yang mendesak, kamu boleh menghubungi—ah! Telepon saja ke nomornya Julie, oke?"Marla mencerna perkataan Arjuna sembari menggigit pipi dalamnya. Entah urusan macam apa yang membuat keduanya bersama pada waktu sepagi ini. Namun, seperti biasa Marla tidak bisa menyuarakan protesnya."Baik, Mas. Kalau begitu, di mana
Datang lagi.Sosok Julie datang lagi di saat yang tidak tepat—atau itu hanya firasat Marla saja?Marla tahu apa yang hendak Arjuna katakan, tetapi terhenti akibat kedatangan Julie. Menarik napas perlahan, Marla cepat-cepat menggeleng. Kenapa dia selalu mempunyai asumsi buruk di saat yang tidak tepat sih?'Mungkin saja, Julie hanya ingin berbicara terkait pekerjaan.'Segera menepis pikiran anehnya, Marla kembali merutuki diri sendiri. Lagi pula, Arjuna bukanlah orang biasa. Pria itu memiliki banyak hal yang harus diurus, meskipun sedang menghadiri resepsi pernikahan salah satu anggota keluarga besar sekaligus.Selagi Arjuna menghampiri Julie dan bercakap mengenai sesuatu yang terpampang pada layar ponsel Julie, Marla menunggu di gazebo dalam diam."Sungguh? Kamu sudah memastikannya, Julie?"Suara Arjuna yang terdengar antuasias, mengalihkan fokus Marla dalam titik keheranan. Sekiranya, apa yang membuat sang suami bersemangat. Tidak—lebih dari sekadar bersemangat di mata Marla.Arjuna s
Perkataan Yudha membuat tiga kepala yang mengitarinya terkejut. Jangankan Arjuna ataupun Marla, bahkan Kamilia yang saat ini berstatus sebagai istri barunya pun terperanjat."Yudha! Apa-apaan kamu! Kenapa kamu ma—""Diam, Kamilia! Aku tidak membutuhkan pendapatmu."Kamilia membelalak, "apa, Yudha? Kamu tidak membutuhkan pendapatku? Aku ini istrimu! Istrimu yang sekarang! Kenapa kamu—""Diam!"Kamilia mengatupkan bibir rapat-rapat, menggeram pelan dengan kedua tangan mengepal hingga buku-buku jari wanita itu memutih.Sementara itu, Arjuna membuka suara meskipun dia juga telah berusaha untuk menahan amatah. Sebab siapa pun mengetahui bahwa yang Yudha ucapkan tadi sangatlah tidak masuk akal."Tuan Yudha, sepertinya Anda membutuhkan udara segar, karena berbicara Anda sudah tidak beraturan seperti itu." Sarkasnya, sembari menggenggam tangan Marla begitu erat—enggan melepasnya walau sedetik.Marla sendiri tidak mampu mempercayainya. Bisa-bisanya Yudha berkata demikian? Selepas seluruh sakit
Baik Arjuna maupun Marla tidak ada yang senang atas kedatangan pasangan tersebut. Bahkan, yang membuat Arjuna bertanya-tanya, mengapa Yudha dan Kamilia berani menampakkan diri di resepsi pernikahan Mahagana yang menjadi tempat pria itu untuk meminjam uang?Sepertinya ada yang tidak beres dengan jalan pikiran Yudha dan Kamilia.Kamilia dengan santainya mengambil duduk di samping Arjuna, seolah-olah mereka cukup dekat. Padahal, Yudha mengamati Kamilia dengan kening berkerut. Tadinya Yudha ingin menegur Kamilia, tetapi Arjuna telah membuka suara terlebih dahulu."Seingat saya, Sherry tidak mengundang kalian untuk datang ke sini, Tuan Yudha dan Nona Kamilia."Senyum Kamilia luntur dalam sekejap mata, sebelum berdeham dan kembali meninggikan dagu, jelas tidak mau kalah."Siapa bilang? Yang mengundang kami adalah keluarga sang mempelai pria, keluarga Mahagana." Elak Kamilia, yang tentunya cuma sekadar membual.Arjuna menggeleng lelah. Padahal, dia tahu sendiri bahwa keluarga Mahagana enggan
Marla menoleh ke arah yang Sherry tuju. Manik mata wanita itu langsung mengenali pasangan paruh baya yang tidak asing. Mengetahui keberadaan Marla, pasangan tersebut pun tersenyum lebar ke arahnyq.Sherry menyapa pasangan tersebut, "selamat datang, Tuan Soni Purnama dan Nyonya Almira Purnama. Kalian berdua sudah jauh-jauh datang dari luar kota sampai ke sini. Silakan menikmati hidangan yang ada, Tuan dan Nyonya Purnama. Terima kasih sudah mau menyempatkan waktunya untuk datang ke resepsi pernikahan ini."Almira Purnama tersenyum kalem. Menyelamati Sherry atas pernikahan wanita itu, lalu tatapan Almira jatuh kepada sosok Marla yang berdiri tenang dengan senyum simpulnya."Suatu kebetulan, kita bertemu lagi di sini, Mbak." Almira mengulurkan tangan, yang langsung dijabat oleh Marla secepat mungkin. "Ah, iya, suatu kebetulan, Nyonya Almira Purnama. Benar? Maafkan saya kalau saya salah menyebut nama Nyonya." Kata Marla.Almira Purnama terkekeh pelan, senyum keibuannya membuat hati Marla
Menempuh dua jam perjalanan, akhirnya seluruh rombongan Wirajaya datang ke kota tujuan. Mereka langsung disambut apik oleh pihak bandara. Bahkan, Marla berusaha untuk tidak menganga saat dia mendapatkan dua lanjur barisan pengawal dalam perjalanan menuju keluar area bandara.'Astaga, sudah mengalahi para artis saja! Tapi, mengingat betapa besar kekayaan Wirajaya, sepertinya wajar-wajar saja kan?'Arjuna menoleh ke arahnya, melingkarkan salah satu lengan pria itu pada pinggang Marla. "Jangan jauh-jauh, Marla. Nanti kalau ada yang menculikmu, bagaimana? Pastinya aku tidak bisa tenang barang sedetik pun."Marla mengulum senyum. "Mas, aku bukan seorang anak kecil lagi. Aku bisa menjaga diriku sendiri. Lagi pula, pengawal yang kelewat banyak ini pastinya juga akan melaksanakan tugas mereka dengan baik saat mengetahui ada yang aneh, 'kan?""Iya, memang benar," lanjut Arjuna, "tapi tetap saja, apakah seorang suami tidak boleh mencemaskan keselamatan istrinya sendiri? Pokoknya, kamu harus dek
Aneh.Arjuna belum pulang, bahkan ketika jarum jam menunjukkan angka sepuluh pada malam hari. Marla menggigit bibir bawahnya gelisah, mondar-mandir di ruang tamu."Apakah terjadi sesuatu terhadap Mas Arjuna? Kalau pulang telat, pastinya Mas Arjuna akan memberi tahu, mengirimiku pesan. Tapi, sudah jam segini, Mas Arjuna tidak memberi kabar apa pun."Marla mendudukkan diri di sofa, menarik napas perlahan sembari menepis berbagai asumsi yang kerap muncul di saat yang tidak tepat."Aduh! Ada apa denganku? Kenapa aku selalu berpikiran yang tidak-tidak belakangan ini?" Baru saja wanita itu menutup mata untuk menenangkan diri, tahu-tahu saja suara pintu gerbang utama terdengar tengah dibuka oleh sang satpam. Dengan sigap, Marla beranjak, melangkah ke teras rumah.Tampak lelah, Arjuna keluar dari mobil. Ketika pria itu mendongak dan bertemu tatap dengan sang istri, kening Arjuna berkerut heran. "Marla? Kamu belum tidur? Sudah jam segini."Marla menyalami sang suami, mencium punggung tangan p
"Karena Pak Hindrawan tidak bisa datang, lebih baik kita pergi saja, Julie. Bagaimana?"Pertanyaan Arjuna mengalihkan fokus Julie, yang sebelumnya terpatri pada tablet yang berada pada genggaman. Julie melirik jam tangan, lantas mengangguk pasrah."Yah, memang lebih baik kita pergi dari sini. Maaf karena sudah membawa Tuan Muda jauh-jauh ke sini, tapi tidak sampai bertemu dengan Pak Hindrawan." Julie menunduk sekilas sebagai permintaan maaf.Arjuna mengibaskan tangan, "tidak masalah. Mungkin beliau memang berhalangan hadir karena suatu hal yang lebih penting. Omong-omong, kenapa Pak Hindrawan tidak sekalian menghubungi saya saja? Pastinya terlalu berbelit-belit kalau menghubungimu terlebih dahulu, Julie.""Saya sendiri juga tidak tahu, Tuan Muda. Yang pasti, beliau membuat janji tepat sore kemarin, saat bertamu di kediaman utama. Tuan Besar menyuruh saya untuk melakukan reservasi di restoran ini. Saya mau memberi tahu Tuan Muda semalam, tetapi saya sendiri masih mengurus beberapa berk
Tidak berbeda jauh dengan Arjuna, Marla sendiri terus mengumbar senyum yang kelewat ramah pada para pembeli di Toko Roti. Bu Sani dan para junior-nya saling melempar pandang, tetapi mereka memutuskan untuk tidak mempertanyakannya secara langsung ke hadapan Marla."Marla," panggil Bu Sani pelan, "beristirahatlah! Sedari tadi kamu terus yang melayani pembeli. Bahkan, kamu tidak memberi kami kesempatan untuk melayani mereka.""Ah ...." Marla meringis.Memang benar, dia tidak berhenti melayani pembeli. Namun, dia sendiri juga tidak mengetahui alasannya. Apakah karena semalam dia dan sang suami baru saja lebih terbuka? Serta, rasanya dia tidak merasa lelah sama sekali.Mau mondar-mandir sampai tahun depan juga rasanya tidak masalah. Marla sanggup-sanggup saja. Namun, yang dikatakan Bu Sani memang benar. Dia harus beristirahat, membiarkan para junior-nya melayani pembeli yang lain, jadi tidak terkesan sebagai pajangan saja."Baiklah, Bu, saya akan—""Selamat siang, Ipar!"Marla tersentak sa