“AKHH!” Celine merintih kesakitan.Niat hati ingin menyerang Prims dan membungkamnya karena ‘lancang’ yang terjadi justru dirinyalah yang malah babak belur.Punggungnya terasa patah saat ia menerjang meja setengah lapuk yang tadi ia duduki.Sebuah hal yang tidak ia antisipasi. Langkah Prims seperti baru saja lepas dari pegawasannya dan menjadi senjata makan tuan.Ia berpikir ... ‘Bagaimana bisa Prims memiliki kekuatan seperti itu?’Ataukah memang itu adalah sebuah bentuk pembelaan diri? Sehingga kekuatan yang terperangkap di dalam dirinya keluar di saat ia merasa terhimpit dan tak memiliki jalan keluar?Belum usai pemikiran panjangnya ... atau bagaimana saat ia meraba punggungnya di bawah tatapan Prims yang menelisik dan mengusiknya, tiba-tiba ... “ANGKAT TANGAN!”“POLISI! ANGKAT TANGAN!”Celine mendengar derap kaki banyak orang. Ia mencari perlindungan dengan meraba senjata api yang ia sembunyikan di balik kaos ketat yang ia kenakan.Tetapi hal itu urung ia lakukan karena ia mendeng
Petang hari ini ....Prims dan Arley berkunjung ke rumah keluarga Miller. Begitu keluar dari mobil, Katie—yang luka bakar di wajahnya sudah mengalami tigkat kesembuhan di atas delapan puluh persen karena ini memang beberapa bulan pasca pembakaran itu terjadi—telah bersiap menyambut mereka di depan pintu.Senyumnya terlihat sumringah. Ia merentangkan kedua tangannya dan disambut oleh Arley.Tetapi ....Hal yang mengejutkan adalah, ternyata Katie bukannya ingin memeluknya. Melainkan ia melewati anak lelakinya itu begitu saja dan memeluk Prims.“Selamat datang,” sambutnya kemudian mengusap lembut pipi Prims yang memerah dengan cepat. Jika biasanya Arley yang tak henti membuat pipinya merona seperti itu, kini adalah Katie.“Mama sudah lama menunggumu, Primrose,” lanjutnya.“Ah ... benarkah?”Katie mengangguk membenarkannya, “Iya, benar. Kenapa kamu lama sekali tidak ke sini sih?”Prims hampir menjawabnya tetapi Katie kembali bersuara, “Apakah karena Arley sibuk sehingga kamu tidak ke mar
Beberapa waktu yang lalu ... setelah Celine ditangkap oleh polisi, Prims dan Arley sepakat untuk memeriksakan kandungan. Karena takut terjadi sesuatu yang buruk.Namun, bukan sesuatu yang buruk yang mereka dapatkan melainkan sebuah kabar yang sangat baik, ‘Selamat, Nona Prims dan pak Arley akan mendapatkan anak kembar.’Mereka benar-benar tidak bisa menyembunyikan kebahagiaannya hari itu.Arley bernyanyi sepanjang waktu di rumah. Jodie bahkan mengatakan jika Arley sedang menggelar konser tunggal.Kadang menunjukkan bakat dalam bervokal, kadang dia menjadi rapper. Kadang juga jika dia sedang mood, dia akan bermain piano. Lain hari jika ia sedang memiliki energy tambahan, dia akan mengajak Prims karaoke di dalam kamar.Ternyata ... Arley jauh lebih bahagia daripada Prims yang sedang mengandung.Begitu mengetahui hal itu, mereka menjadi lebih hati-hati.Prims merasakan pergerakan di dalam perutnya. Dari gerak lembut hingga semakin terasa.Saat ia bercermin, dari yang semula rata, sek
“Kamu ... jadi apa?” ulangi Arley, memandang Prims yang kedua pipinya memerah, terlihat ingin menangis tetapi sedang ia coba tahan sebisa mungkin. “Kalau aku bukan ditakdirkan menjadi manusia, dan aku adalah kodok. Apakah kamu masih akan tetap mencintaiku?” Arley membuang napasnya dengan pelan, jika ia lakukan itu dengan kasar Prims bisa benar-benar menangis, pikirnya. “Kenapa kamu tanya begitu?” “Jawab saja ....” Tapi ... bukankah sepertinya Arley tak perlu menanyakan apa alasanya? Ia pernah membaca bahwa kecemasan pada ibu hamil meningkat dua kali lipat pada saat mereka mendekati hari perkiraan lahir. Meski tadinya Arley mengira Prims tidak akan khawatir seperti itu karena ia selalu terlihat tenang, siapa sangka ternyata kekhawatirannya itu justru terjadi pada pagi buta seperti ini? “Iya, tentu saja aku akan mencintaimu,” jawab Arley kemudian. “Kenapa kamu mencintaiku padahal aku seekor kodok?” “Kenapa lagi memangnya? Jika di dunia manusia Arley lahir lebih dulu daripada Pr
“Kenapa?” tanya Arley seraya mengguncang lembut tangan mereka yang saling menggenggam. Mungkin karena melihat Prims yang terus terdiam sedari tadi makanya Arley bertanya demikian. Prims mengedipkan matanya lebih dari satu kali, memandang Arley yang tinggi menjulang dan tampan seperti biasanya. “Huh?” “Kamu diam saja, ada yang sedang kamu pikirkan?” “Tidak ada, Arley. Hanya ... bingung karena pilihannya sangat banyak.” “Kalau kamu bilang kita sebaiknya beli yang warna netral saja, kita bisa ambil satu yang hitam dan satu yang putih. Atau kamu mau biru dan merah?” “Sepertinya aku lebih suka dengan hitam dan putih.” Arley mengangguk tak keberatan. Banyak barang yang mereka beli hari itu. Sebagian bisa langsung mereka bawa dan sebagiannya nanti akan dikirim, paling lambat besok staf toko bilang. Lelah berputar dan menghabiskan uang—yang sebenarnya tak akan habis-habis juga—Prims meneguk minuman dingin yang ia minta dari Arley saat mereka duduk di tempat istirahat. Tak j
Arley menoleh ke arah di mana Richard menunjuk Prims duduk.Dan itu benar.Prims telihat kesakitan dengan membungkuk dan memegangi perutnya.“SAYANGKU!” panggil Arley seraya berlari kea arahnya. Menerjang bahu Richard yang tubuhnya berputar seperti baru saja ditaabrak angin puting beliung.“SAYANGKU!”Arley merangkul bahu Prims dan membantunya bangun.“Kamu baik-baik saja? Kamu sudah akan melahirkan sekarang? Tapi barang-barangnya ‘kan ada yang belum selesai di antar? Akh, si kembar hari perkiraan lahirnya maju ya ternyata?”Banyak sekali pertanyaan Arley yang bahkan Prims bingung harus menjawabnya dari mana terlebih dahulu.Ia mencengkeram lengan Arley yang berbalut dalam kemeja lengan panjang hitam yang ia gulung hingga ke siku itu semakin erat.“Ayo kita ke rumah sakit!” ajak Arley pada Prims yang tak kuasa menjawabnya.Arley menoleh pada Richard yang berdiri di sebelah kirinya dan meminta tolong padanya dengan mengatakan, “Antar kami ke rumah sakit, Rich!”“Aku?”“Memangnya ada la
Suara tangisan bayi mengguncang ruang president suite tempat di mana mereka berada. Prims melihat senyum para perawat saat mereka mengatakan, “Laki-laki, ganteng sekali ... selamat ....” Tapi ini belum selesai. Prims kembali merasakan gejolak yang sakitnya seperti sebelumnya. Dengan bantuan dokter yang memberi aba-aba untuk mereka, sekali lagi .... Prima tidak bisa menjelaskan bagaimana leganya ia sekarang. Tangisan anak keduanya ikut terdengar. Lebih keras daripada yang pertama. Wajah penuh kekaguman dari para perawat dan dokter yang ada di sana membuat Prims ingin segera mendengar kabar baiknya. “Selamat, Nona Primrose. Bayinya kembar sepasang.” Prims melebar kedua bola matanya, ia menatap dokter saat bibirnya yang gemetar bertanya, “Jadi bayi saya yang ke dua adalah perempuan?” “Iya, benar.” Prims menangis terharu saat Arley memeluknya. Mereka tidak bisa menggambarkan seberapa bahagia mereka sekarang ini. Untuk beberapa lama setelah Arley memeluk Prims, ia diminta keluar
.... “Sudah selesai ‘kan dia minumnya? Biar aku baringkan dia di box baby-nya, Sayangku,” ucap Arley setelah Prims menepuk lembut punggung Rose. “Sudah, Arley.” Arley yang belum lama ini membaringkan Rhys menerima anak gadisnya dan menidurkannya dengan nyaman di dalam box bayi milik mereka masing-masing. “Tadi Jay, Lucia dan Richard ada di luar, mereka mau melihat keadaan kamu dan anak-anak sebentar.” Prims tidak keberatan, ia mengangguk kemudian Arley beranjak menuju ke pintu. Membukanya dan mempersilahkan mereka masuk. Yang dituju oleh Jayden serta Richard pertama kali adalah pada si kembar yang terlelap. Wajah mereka terlihat tak percaya bahwa ada makhluk sekecil itu yang tertidur di dalam kotak bernama bayi, Rhys dan Rose. Sedangkan Lucia berlari menghampiri Prims dengan tersenyum sangat cerah. “Nona Primrose ....” Ia menghambur ke pelukan Prims dan Prims membalasnya dengan senyum yang sama cerahnya. Ia pikir ... semakin jauh ia mengenal Lucia, ia tahu mengapa Jayden dib
|| 29 Mei, tahun 2XXX Tahun berganti, tetapi aku merasa langkah kakiku berhenti pada masa di mana aku bisa melihatmu mengatakan bahwa kau akan ada di sisiku, dalam keadaan suka maupun duka, dalam sedih ataupun sengsara. Hari yang menjadi sebuah titik awal, bahwa aku akan mendapatkan hidupku yang baru, dan itu bersama denganmu. Arley Miller, untuk semua yang telah kau lakukan, terima kasih. Tidak ada kata yang lebih baik daripada itu untuk aku sampaikan padamu. Kedatanganmu adalah sebuah hadiah, untukku yang berpikir bahwa aku tidak akan lagi menemukan kata ‘bahagia’ dalam perjalananku menghabiskan sisa usia. Dalam hidupku yang hampir dipenuhi dengan jalan sendu, aku mendapatkanmu. Seorang pria yang menganggapku ada. Kamu yang merengkuhku saat dunia lepas dari genggamanku. Pria yang bersumpah dengan apapun yang dimilikinya untuk membuatku percaya bahwa masih ada dunia yang baik yang tidak menganggapku hanya sebagai bayangan dan kesia-siaan. Pada akhirnya, waktu menggerakkan ak
*** Ada undangan dari Jayden dan juga Lucia. Sebuah undangan makan malam yang digelar di rumahnya secara sederhana. Tidak akan menolak, mengingat mereka adalah sahabat baik, Arley dan Prims datang. Tetapi sebelum sampai di sana, mereka lebih dulu ingin membawakan hadiah. Prims bilang itu adalah buket bunga yang besar atau jika bisa bunga hidup yang bisa diletakkan di dalam rumah dan tidak perlu memrlukan banyak perawatan. Kaktus misalnya. Arley menyarankan kue yang manis, karena Jayden itu tipe gigi manis, ia bilang. Yah ... sebelas dua belas dengan Prims lah kira-kira ... gemar makanan yang manis. Mereka keluar dari Acacia Florist, toko bunga yang mereka lewati selama perjalanan. Bunga yang mereka bicarakan itu telah ada di tangan mereka sekarang. Dengan hati yang gembira Prims dan Arley menuju tempat selanjutnya, di toko kue sembari menggendong si kembar yang tadinya duduk anteng di baby car seat di bagian belakang mobil. Memasuki toko kue, Rhys dan Rose terlihat sangat sena
*** Seperti janji yang pernah ia katakan selepas Prims meninggalkan ruang kunjung tahanan beberapa saat yang lalu saat ia menjenguk ayahnya, Prims bilang ia akan datang ke tempat ini untuk mengabarkan perihal keadilan yang pada akhirnya telah ia terima. Sebuah pemakaman. Lokasi di mana Jasmine Harrick disemayamkan. Nisan salibnya menyambut kedatangan Prims yang menyaunkan kakinya lengkap dengan kedua tangannya yang mendekap buket bunga berukuran besar. Ia sendirian, ia sudah meminta izin pada Arley yang mengiyakannya untuk pergi di hari Minggu pagi ini. Saat anak-anaknya masih tertidur, Prims bergegas dengan diantar oleh Will. Ia tersenyum saat menjumpai foto Jasmine yang juga sama tersenyumnya. “Apa kabar, Mama?” ucapnya sembari meletakkan buket bunga itu di dekat fotonya. “Aku datang sendirian hari ini, Mama.” Prims duduk bersimpuh di sampingnya, mengusap nisan Jasmine yang bersih dan terawat karena memang selain ini di area yang bersih dan bagus, Arley meminta orangnya un
*** Langkah kaki Prims terdengar berirama mengetuk, ia berjalan keluar dari mobil yang dikemudikan oleh Will, sopir milik Arley untuk tiba di tempat ini. Sebuah tempat yang barangkali Prims sama sekali tidak ingin menginjakkan kakinya meski hanya sebentar, pun tidak ingin ia datangi karena luka menganga masih terasa perih. Menyayat, menusuknya. Tak ada terbesit pikiran untuknya datang ke sini, sama sekali. Tetapi sepertinya takdir selalu memiliki rencana lain sehingga mau tak mau ia harus menguatkan diri untuk menghadapinya. Sebuah pesan dari kepolisian Seattle mengatakan bahwa ayahnya Prims, Aston Harvey sedang sakit dan ingin bertemu dengan anak perempuannya. Prims berpikir kenapa ayahnya itu tidak meminta Alice yang mendatangi atau menjenguknya? Kenapa malah dirinya yang sudah bertahun-tahun lamanya ini ia sia-siakan? Dalam kebencian yang masih kental itu, Prims menolak untuk datang. Namun, Arley mengatakan padanya dengan lembut, 'Datanglah, Sayangku ... siapa tahu sekarang
*** “Cepat turun ya panasnya, sayangku ....” Prims mengusap rambut hitam Rose setelah mengatakan demikian. Malam terasa dingin di luar tetapi di dalam sini sedikit chaos sebab si kembar sedang demam. Mereka baru saja imunisasi tadi siang di klinik khusus anak dan malam ini terasa efeknya. Rhys demam, begitu juga dengan Rose. Meski mereka tidak rewel, tetapi mereka tidak mau tidur di box bayi milik mereka sendiri melainkan minta digendong oleh ibunya. Prims yang menggendong Rose pertama. Mungkin sudah lebih dari satu jam dan setiap kali ia ajak duduk atau ingin ia baringkan, anak gadisnya itu akan menangis. Ia memandang Arley, tetapi tidak tega membangunkannya sebab tadi ia juga pulang bekerja cukup larut. Tetapi, Arley adalah Arley yang rasanya selalu bisa mengerti dan merasakan apa yang terjadi pada Prims. Sebab tak lama kemudian ia bangun. Saat Prims memeriksa anak lelakinya dengan meletakkan telapak tanganya di kening Rhys yang ternyata juga sama demamnya. “Anak-anak tidak
Prims hampir saja menggoda Arley lebih banyak sebelum ia menyadari ia telah kehilangan keseimbangan sebab Arley merengkuh pinggangnya dan membuatnya jatuh dengan nyaman di bawahnya. "Aku tidak menginginkanmu?" ulang Arley dengan salah satu sudut bibirnya yang tertarik ke atas. Ibu jarinya yang besar mengusap lembut bibir Prims sebelum berbisik di depannnya dengan, "Mana mungkin, Nona?" Arley menunduk, memberi kecupan pada bibir Prims sebelum kedua tangan kecil istrinya itu menahannya agar ia tidak melakukan apapun. "Tapi aku tidak mau," ucap Prims, memalingkan sedikit wajahnya. Satu kalimat yang membuat Arley mengangkat kedua alisnya penuh dengan rasa heran. "Kamu tidak mau?" Prims mengangguk, mengarahkan tangannya ke depan, jemarinya menyusuri garis dagunya yang tegas dan disukai oleh Prims. "Aku tidak mau kalau kamu melakukannya dengan masih marah," lanjutnya. "Kenapa aku marah?" "Soal Jeno Lee, aku tahu kamu sangat kesal barusan. Mata Tuan Arley Miller ini mengatakannya le
.... Setelah Jayden dan Lucia pulang, Prims kembali ke dalam kamar terlebih dahulu. Tak sesuai yang ia duga bahwa si kembar akan terbangun, ternyata Rhys dan Rose malah terlelap. Sama-sama miring di dalam box bayi milik mereka dengan lucunya. Ia meninggalkan Arley selama setengah jam lamanya hingga tak sadar prianya itu telah berada di dalam kamar dan melihatnya dari dekat box bayi si kembar. Prims tidak menoleh padanya sama sekali. Matanya tertuju pada layar ponselnya yang menyala dengan senyum yang tak bisa ia tahan. Kedua pipinya memerah, sama seperti jika Prims sedang malu karena digoda oleh Arley dengan mengatakan ia cantik atau saat Arley menyebut jika ia mencintainya. Seperti itulah keadaan wajahnya sekarang itu. Dan tentu saja itu menimbulkan tanya. ‘Apa yang dia lihat sampai dia tersenyum seperti itu?’ gumamnya dalam hati lalu melangkah mendekat ke arah ranjang seraya mengancingkan atasan piyama tidur yang ia kenakan. Bahkan sampai Arley naik ke atas ran
“Aku benar, ‘kan?” desak Jayden masih tak ingin diam. Arley nyaris saja menjawabnya tetapi hal itu ia urungkan karena mereka mendengar dari belakang, suara Lucia yang bertanya, “Apa yang kalian bicarakan? Ayo masuk dan kita makan!” Mereka berhenti bertengkar dan memasuki rumah. Di ruang makan, Arley tidak menjumpai Prims yang tadi ia lihat sibuk bersama dengan Lucia. “Di mana Primrose, Lucia?” tanya Arley, mengedarkan pandangannya. Urung duduk karena Prims belum tampak. Sama halnya dengan Jayden dan Lucia yang juga urung menarik kursi mereka. “Nona Primrose sedang ke kamar sebentar, Pak Arley. Mau melihat si kembar katanya,” jawab Lucia yang lalu diiyakan oleh Arley. Baru selesai mereka bicarakan, Prims muncul dengan sedikit bergegas. “Kenapa?” tanya Arley begitu melihatnya. “Ah, aku pikir kalian sudah mulai dan aku terlambat makanya aku cepat-cepat ke sini,” jawabnya. “Belum, Sayang. Rhys dan Rose masih tidur?” Prims mengangguk membenarkannya. “Iya, Arley. Masih tidur.” “A
.... “Sayang-sayangnya Mama ....” Prims tidak bisa menahan diri saat melihat si kembar yang digendong oleh opa dan omanya sore ini. Prims sedang berada di halaman depan, melihat bunga bersama dengan Lucia yang datang ke rumahnya, memetiknya beberapa karena Lucia mengatakan ia suka dengan Sweet Juliet yang ada di halaman depan. Sementara Arley dan Jayden sedang bermain bulu tangkis sebelum mereka sama-sama melempar raket mereka saat melihat mobil milik Tom memasuki halaman rumah. Prims dan Lucia mendekat pada si kembar yang telah berpindah tangan pada Arleys serta Jayden. Prims rasa ... Jayden itu sangat suka dengan anak-anak. Dan belakangan ini ... ia tampak lebih gembira daripada hari biasanya. Sangat jauh dari bagaimana Prims melihatnya dulu saat mereka pertama kali bertemu. Alisnya yang tegas dan bibirnya yang lurus sebelas dua belas dengan Arley itu kini selalu tampak menunjukkan senyuman. Ia terlihat seperti sepasang adik dan kakak saat berdiri berdampingan dengan Arley.