“Jangan macam-macam kamu, Alice!” Prims mengepalkan kedua tangannya dengan erat. Ia memejamkan sejenak matanya sebelum mendengar Alice yang kembali bersuara, “Aku tidak macam-macam, Prims! Aku bilang bawakan aku satu juta dolar lalu aku akan membiarkan ibu mertuamu ini tetap hidup. Jika kamu tidak lakukan, aku akan mengirim mayatnya ke rumah Arley besok pagi!”“Jangan, Alice! Aku mohon jangan lakukan itu!” Prims tidak tahu harus mencegahnya bagaimana.Dugaannya benar bahwa Alice akan melakukan hal di luar nalar di saat dirinya tidak siap. Tapi siapa sangka jika hal yang dilakukan oleh Alice akan se-brutal ini?Dia membawa Katie. Lengkap Dengan meminta tebusan satu juta dolar dan ancaman akan membunuh ibu mertuanya itu jika Prims tidak melakukan apa yang dia mau.Dia menunjukkan siapa jati dirinya yang sebenarnya di saat yang seperti ini.“Aku tidak akan menyentuh ibu mertuamu yang buruk rupa ini kalau kamu melakukan apa yang aku minta. Tapi kalau tidak yah ... besok pagi akan aku kiri
Prims mengabaikan sapaan Will begitu ia keluar dari rumah. Tujuannya hanya satu sekarang ini, ia harus menemui seseorang yang telah menjemputnya di sebelah barat rumah, tidak jauh dari kediamannya.Prims menahan napasnya begitu menyadari ini akan menjadi hari yang sangat panjang. Kelam mendung pirau di atas sana menutup cahaya matahari yang harusnya masih tersisa untuk menuju pada senja yang beberapa jam lagi berlangsung.Keluar dari gerbang, Prims bergegas menyeret koper miliknya menuju ke arah matahari terbenam. Ia menjumpai sebuah Rubicon warna hitam yang terparkir di sana, di bawah sebuah pohon besar di tepi jalan.Dengan langkah yang gontai, Prims bisa dikatakan sedang menjemput marabahaya.Ia percayakan sisanya pada Jodie. Begitu Jodie menghubungi Arley soal kondisinya, Arley pasti akan melacak keberadaannya. Prims membawa ponselnya, tetapi itu sedang ia sembunyikan sekarang ini. Prims memasukkannya ke dalam koper, tertutup oleh tumpukan uang dolar. Sehingga ponsel miliknya ak
“Jadi ini alasan kamu tidak ingin aku membuka kopernya?” tanya Erren menggebu. Ia meraih kasar dagu Prims yang segera memberontak melawannya.“LEPAS!” Prims mencengkeram pergelangan tangan Erren, mengenyahkan dari rahangnya dan mendorong kepala ibu tirinya itu hingga membentur jendela.“PRIMROSE!” teriakannya menggema terpantul di kaca jendela, memekakkan telinga mereka yang berada di dalam sana.Dan melihat kekacauan yang terjadi di kursi penumpang bagian belakang, pria yang mengemudikan mobilnya itu kemudian menepi.Dia keluar dengan gegas dan beringsut membuka pintu di sisi Prims duduk. Ia merenggut lengan Prims dengan kasar, membebaskan Erren yang hampir babak belur karena didorong dan dicakar olehnya.“Berhenti memberontak!” ucapnya marah.“Jangan menyentuhku!” Prims menoleh pada pria berkaos hitam itu tetapi ia tak dipedulikan.Melihat Prims yang terkungkung dalam ruang geraknya yang terbatas, Erren melakukan pembalasan dengan melakukan serangan.Ia menampar Prims berulang kali,
“Brengsek, para pengganggu ini ....”Desisan Jayden terdengar lebih berapi-api daripada tampang kesal Arley. Pemuda itu lebih dulu melepas jas yang ia kenakan, menggunakannya sebagai senjata untuk menghantam beberapa lelaki yang menyerangnya.Arley pun melakukan kesiagaan yang sama, tangannya telah ternagkat ke atas, melindungi dirinya dari senjata tajam yang dihujamkan ke arahnya. Arloji mahal Patek Philippe yang dikenakan di pergelangan tangan kirinya menjadi perisai sehingga bunyi dentingan terdengar di udara.Percikan kemarahan menyulut kobaran dalam dadanya bergejolak. Tidak ada yang lebih ingin ia lakukan daripada menyelesaikan pertaruangan bodoh ini sesegera mungkin.Jumlahnya tidak seimbang. Mereka berjumlah sekitar tiga belas sampai lima belas orang, tetapi Arley dan Jayden hanya dua orang.Tetapi ... dilihat dari kemampuan bela diri, bahkan Arley telah menumbang pingsankan empat orang pertama termasuk yang tadi menodongnya menggunakan senjata tajam.Ditambah dengan satu or
Gelap. Mungkin hanya itu satu kata yang menggambarkan keadaan Prims sekarang ini. Ia tidak bisa melihat cahaya padahal seingatnya saat ia pergi meninggalkan rumah tadi belum terlalu gelap suasana di luar.Ataukah ... memang sekarang dia telah berada pada kematian sehingga dia kesulitan untuk bisa menemukan setitik cahaya.Prims menata napasnya, kakinya terasa nyeri. Sebuah kesadaran yang membuatnya yakin bahwa dia belum dihampiri oleh kematian.Karena kakinya yang nyeri itu berada pada titik di mana Erren menusukkan jarum suntik dan setelah itu ia tak bisa mengingat apapun.Ia mengedarkan pandangannya ke sekitar.Bau debu dari ruangan yang telah lama tidak dipergunakan membuatnya menerka bahwa ia sedang berada di sebuah bangunan terbengkalai yang ditinggalkan oleh pemiliknya.Di mana ia berada sekarang, Prims tidak tahu pastinya.Ia berbaring di sini dan menemukan dua buah ventilasi tak jauh dari ia berada. Ia perlahan bangkit, meraba sekitar yang tak bisa dijangkau oleh matanya di ba
“Bukannya kamu tadi membawanya ke sini?” tanya seorang lelaki dengan suara beratnya.“Iya.” Seorang pria lain yang bersuara lebih ringan menjawabnya.“Lalu di mana dia sekarang?”“Tidak tahu. Bagaimana caranya keluar dari sini. Apa mungin lewat ventilasi?”“Kecuali dia berubah menjadi udara, maka dia bisa melewati ventilasi itu.”“Periksa semua tempat! Prims menghilang!”Lari mereka terdengar meninggalkan ruang gelap itu. Prims bisa mendengarnya dengan jelas. Percakapan mereka, suara mereka yang cemas, tak ada satu pun yang luput dari pendengarannya. Prims juga bisa melihat dua pria berbadan kekar itu menjauh sebelum melapor pada Erren yang terdengar murka di sebelah bangunan yang lain.Prims tidak menghilang!Dia hanya memanfaatkan situasi genting. Dalam peluang beberapa detik yang krusial yang dia pergunakan dengan baik.Saat ia berpikir perihal ‘jalan keluar’, Prims mendapatkannya. Ia berjalan dengan gegas menuju ke samping pintu. Prims mengenali dari kenopnya yang masih sedikit m
....Prims sebenarnya sudah berhasil untuk menghubungi 911, tetapi sialnya ... saat dispatcher menanyakan di mana ia berada, ia tidak bisa menjawabnya dengan pasti.Ia menjelaskan bahwa ia dibawa ke sini dalam kedaan tidak sadar sehingga ia tak bisa mengenali di mana ia berada, atau seperti apa lingkungan sekitarnya.“Sejak kapan anda tidak sadar, Nona?”“Sekeluarnya aku dari perumahan Mount Beverly. Aku dibawa menggunakan Jeep warna hitam yang dikemudian oleh seorang pria berumur sekitar tiga puluh tahunan.”“Kami akan melacak lokasi anda sekarang, tolong—“Panggilan itu mati begitu saja. Prims tidak bisa mendengar apapun lagi karena ponselnya mati. Sepertinya batrainya habis. Kesialan di saat yang tidak tepat.Prims memejamkan matanya dengan tidak berdaya. Pandangannya ia jatuhkan pada pria yang telah ia buat pingsan yang ada di lantai dan diselimuti oleh kegelapan.“KYAA!”Prims terjaga dari lamunan sesaatnya kala mendengar jeritan Katie dari sisi bangunan yang lain. Prims menginti
Anggota polisi berderap mengamankan tempat itu, Prims melihat Alice yang mendapatkan batuan setelah api terlebih dahulu dipadamkan.Teriakan kesakitannya membubung tinggi memecah langit malam.Yang saat Prims menatap ke atas, ia menjumpai kepulan asap abu-abu yang ia yakini sebagai titik awal di mana polisi bisa menemukan tempat ini—selain dari keterangannya yang mengatakan soal ia yang diculik sekeluarnya dari Mount Beverly dan dibawa entah ke mana oleh sebuah jeep hitam selama ia tak sadar.Meski Prims bisa berdiri tegak, tetapi sesak akibat kedua tangan Alice yang mencekiknya telah membuatnya kehilangan sebagian kesadarannya sehingga ia menjumpai bayangan putih yang berlalu-lalang di matanya.Ia nyaris saja limbung ke belakang jika tak ada lengan kekar seseorang yang menahannya dengan cepat.Samar Prims melihat, itu adalah ... ‘Arley?’ batinnya.Prims terlalu lemah untuk bersuara. Ia merasakan dekapan tangan Arley yang sesaat kemudian mengangkatnya keluar dari tempat kejadian perka
|| 29 Mei, tahun 2XXX Tahun berganti, tetapi aku merasa langkah kakiku berhenti pada masa di mana aku bisa melihatmu mengatakan bahwa kau akan ada di sisiku, dalam keadaan suka maupun duka, dalam sedih ataupun sengsara. Hari yang menjadi sebuah titik awal, bahwa aku akan mendapatkan hidupku yang baru, dan itu bersama denganmu. Arley Miller, untuk semua yang telah kau lakukan, terima kasih. Tidak ada kata yang lebih baik daripada itu untuk aku sampaikan padamu. Kedatanganmu adalah sebuah hadiah, untukku yang berpikir bahwa aku tidak akan lagi menemukan kata ‘bahagia’ dalam perjalananku menghabiskan sisa usia. Dalam hidupku yang hampir dipenuhi dengan jalan sendu, aku mendapatkanmu. Seorang pria yang menganggapku ada. Kamu yang merengkuhku saat dunia lepas dari genggamanku. Pria yang bersumpah dengan apapun yang dimilikinya untuk membuatku percaya bahwa masih ada dunia yang baik yang tidak menganggapku hanya sebagai bayangan dan kesia-siaan. Pada akhirnya, waktu menggerakkan ak
*** Ada undangan dari Jayden dan juga Lucia. Sebuah undangan makan malam yang digelar di rumahnya secara sederhana. Tidak akan menolak, mengingat mereka adalah sahabat baik, Arley dan Prims datang. Tetapi sebelum sampai di sana, mereka lebih dulu ingin membawakan hadiah. Prims bilang itu adalah buket bunga yang besar atau jika bisa bunga hidup yang bisa diletakkan di dalam rumah dan tidak perlu memrlukan banyak perawatan. Kaktus misalnya. Arley menyarankan kue yang manis, karena Jayden itu tipe gigi manis, ia bilang. Yah ... sebelas dua belas dengan Prims lah kira-kira ... gemar makanan yang manis. Mereka keluar dari Acacia Florist, toko bunga yang mereka lewati selama perjalanan. Bunga yang mereka bicarakan itu telah ada di tangan mereka sekarang. Dengan hati yang gembira Prims dan Arley menuju tempat selanjutnya, di toko kue sembari menggendong si kembar yang tadinya duduk anteng di baby car seat di bagian belakang mobil. Memasuki toko kue, Rhys dan Rose terlihat sangat sena
*** Seperti janji yang pernah ia katakan selepas Prims meninggalkan ruang kunjung tahanan beberapa saat yang lalu saat ia menjenguk ayahnya, Prims bilang ia akan datang ke tempat ini untuk mengabarkan perihal keadilan yang pada akhirnya telah ia terima. Sebuah pemakaman. Lokasi di mana Jasmine Harrick disemayamkan. Nisan salibnya menyambut kedatangan Prims yang menyaunkan kakinya lengkap dengan kedua tangannya yang mendekap buket bunga berukuran besar. Ia sendirian, ia sudah meminta izin pada Arley yang mengiyakannya untuk pergi di hari Minggu pagi ini. Saat anak-anaknya masih tertidur, Prims bergegas dengan diantar oleh Will. Ia tersenyum saat menjumpai foto Jasmine yang juga sama tersenyumnya. “Apa kabar, Mama?” ucapnya sembari meletakkan buket bunga itu di dekat fotonya. “Aku datang sendirian hari ini, Mama.” Prims duduk bersimpuh di sampingnya, mengusap nisan Jasmine yang bersih dan terawat karena memang selain ini di area yang bersih dan bagus, Arley meminta orangnya un
*** Langkah kaki Prims terdengar berirama mengetuk, ia berjalan keluar dari mobil yang dikemudikan oleh Will, sopir milik Arley untuk tiba di tempat ini. Sebuah tempat yang barangkali Prims sama sekali tidak ingin menginjakkan kakinya meski hanya sebentar, pun tidak ingin ia datangi karena luka menganga masih terasa perih. Menyayat, menusuknya. Tak ada terbesit pikiran untuknya datang ke sini, sama sekali. Tetapi sepertinya takdir selalu memiliki rencana lain sehingga mau tak mau ia harus menguatkan diri untuk menghadapinya. Sebuah pesan dari kepolisian Seattle mengatakan bahwa ayahnya Prims, Aston Harvey sedang sakit dan ingin bertemu dengan anak perempuannya. Prims berpikir kenapa ayahnya itu tidak meminta Alice yang mendatangi atau menjenguknya? Kenapa malah dirinya yang sudah bertahun-tahun lamanya ini ia sia-siakan? Dalam kebencian yang masih kental itu, Prims menolak untuk datang. Namun, Arley mengatakan padanya dengan lembut, 'Datanglah, Sayangku ... siapa tahu sekarang
*** “Cepat turun ya panasnya, sayangku ....” Prims mengusap rambut hitam Rose setelah mengatakan demikian. Malam terasa dingin di luar tetapi di dalam sini sedikit chaos sebab si kembar sedang demam. Mereka baru saja imunisasi tadi siang di klinik khusus anak dan malam ini terasa efeknya. Rhys demam, begitu juga dengan Rose. Meski mereka tidak rewel, tetapi mereka tidak mau tidur di box bayi milik mereka sendiri melainkan minta digendong oleh ibunya. Prims yang menggendong Rose pertama. Mungkin sudah lebih dari satu jam dan setiap kali ia ajak duduk atau ingin ia baringkan, anak gadisnya itu akan menangis. Ia memandang Arley, tetapi tidak tega membangunkannya sebab tadi ia juga pulang bekerja cukup larut. Tetapi, Arley adalah Arley yang rasanya selalu bisa mengerti dan merasakan apa yang terjadi pada Prims. Sebab tak lama kemudian ia bangun. Saat Prims memeriksa anak lelakinya dengan meletakkan telapak tanganya di kening Rhys yang ternyata juga sama demamnya. “Anak-anak tidak
Prims hampir saja menggoda Arley lebih banyak sebelum ia menyadari ia telah kehilangan keseimbangan sebab Arley merengkuh pinggangnya dan membuatnya jatuh dengan nyaman di bawahnya. "Aku tidak menginginkanmu?" ulang Arley dengan salah satu sudut bibirnya yang tertarik ke atas. Ibu jarinya yang besar mengusap lembut bibir Prims sebelum berbisik di depannnya dengan, "Mana mungkin, Nona?" Arley menunduk, memberi kecupan pada bibir Prims sebelum kedua tangan kecil istrinya itu menahannya agar ia tidak melakukan apapun. "Tapi aku tidak mau," ucap Prims, memalingkan sedikit wajahnya. Satu kalimat yang membuat Arley mengangkat kedua alisnya penuh dengan rasa heran. "Kamu tidak mau?" Prims mengangguk, mengarahkan tangannya ke depan, jemarinya menyusuri garis dagunya yang tegas dan disukai oleh Prims. "Aku tidak mau kalau kamu melakukannya dengan masih marah," lanjutnya. "Kenapa aku marah?" "Soal Jeno Lee, aku tahu kamu sangat kesal barusan. Mata Tuan Arley Miller ini mengatakannya le
.... Setelah Jayden dan Lucia pulang, Prims kembali ke dalam kamar terlebih dahulu. Tak sesuai yang ia duga bahwa si kembar akan terbangun, ternyata Rhys dan Rose malah terlelap. Sama-sama miring di dalam box bayi milik mereka dengan lucunya. Ia meninggalkan Arley selama setengah jam lamanya hingga tak sadar prianya itu telah berada di dalam kamar dan melihatnya dari dekat box bayi si kembar. Prims tidak menoleh padanya sama sekali. Matanya tertuju pada layar ponselnya yang menyala dengan senyum yang tak bisa ia tahan. Kedua pipinya memerah, sama seperti jika Prims sedang malu karena digoda oleh Arley dengan mengatakan ia cantik atau saat Arley menyebut jika ia mencintainya. Seperti itulah keadaan wajahnya sekarang itu. Dan tentu saja itu menimbulkan tanya. ‘Apa yang dia lihat sampai dia tersenyum seperti itu?’ gumamnya dalam hati lalu melangkah mendekat ke arah ranjang seraya mengancingkan atasan piyama tidur yang ia kenakan. Bahkan sampai Arley naik ke atas ran
“Aku benar, ‘kan?” desak Jayden masih tak ingin diam. Arley nyaris saja menjawabnya tetapi hal itu ia urungkan karena mereka mendengar dari belakang, suara Lucia yang bertanya, “Apa yang kalian bicarakan? Ayo masuk dan kita makan!” Mereka berhenti bertengkar dan memasuki rumah. Di ruang makan, Arley tidak menjumpai Prims yang tadi ia lihat sibuk bersama dengan Lucia. “Di mana Primrose, Lucia?” tanya Arley, mengedarkan pandangannya. Urung duduk karena Prims belum tampak. Sama halnya dengan Jayden dan Lucia yang juga urung menarik kursi mereka. “Nona Primrose sedang ke kamar sebentar, Pak Arley. Mau melihat si kembar katanya,” jawab Lucia yang lalu diiyakan oleh Arley. Baru selesai mereka bicarakan, Prims muncul dengan sedikit bergegas. “Kenapa?” tanya Arley begitu melihatnya. “Ah, aku pikir kalian sudah mulai dan aku terlambat makanya aku cepat-cepat ke sini,” jawabnya. “Belum, Sayang. Rhys dan Rose masih tidur?” Prims mengangguk membenarkannya. “Iya, Arley. Masih tidur.” “A
.... “Sayang-sayangnya Mama ....” Prims tidak bisa menahan diri saat melihat si kembar yang digendong oleh opa dan omanya sore ini. Prims sedang berada di halaman depan, melihat bunga bersama dengan Lucia yang datang ke rumahnya, memetiknya beberapa karena Lucia mengatakan ia suka dengan Sweet Juliet yang ada di halaman depan. Sementara Arley dan Jayden sedang bermain bulu tangkis sebelum mereka sama-sama melempar raket mereka saat melihat mobil milik Tom memasuki halaman rumah. Prims dan Lucia mendekat pada si kembar yang telah berpindah tangan pada Arleys serta Jayden. Prims rasa ... Jayden itu sangat suka dengan anak-anak. Dan belakangan ini ... ia tampak lebih gembira daripada hari biasanya. Sangat jauh dari bagaimana Prims melihatnya dulu saat mereka pertama kali bertemu. Alisnya yang tegas dan bibirnya yang lurus sebelas dua belas dengan Arley itu kini selalu tampak menunjukkan senyuman. Ia terlihat seperti sepasang adik dan kakak saat berdiri berdampingan dengan Arley.