halo akak-akak terima kasih sudah membaca ya, hari ini update 2 bab dulu. jangan lupa follow 1nst4gram othor @almiftiafay. Gems juga ya, biar othor rajin update xixixi terima kasih banyak 💓💓
“Jangan mulai lagi!” ucap Prims sedikit kesal karena Arley ini seperti tidak ada lelahnya.Mereka bahkan baru saja menginjakkan kaki di London dengan keadaan hari yang sudah petang tetapi yang ada di dalam pikiran Arley hanyalah bagaimana caranya mengoyak ranjang.Prims berjalan melewatinya setelah menutup pintu lemari. Tidak ingin menatap Arley karena bisa saja saat tatapan mereka saling bertemu yang kemudian terjadi adalah .... “Akh!”Prims menjerit teriring rasa terkejut. Tubuhnya tiba-iba melayag di udara—yang jelas saja bukan karena sihir. Ini karena Arley mengangkatnya dalam satu kali gerak. Membuat Prims sedikit meronta atas tindakan agresifnya yang tanpa aba-aba.Mereka memasuki kamar mandi dengan bibir prianya itu yang jatuh di manapun tempat yang ia sukai di wajah Prims.Meski Prims meronta sekuat apapun, rasanya itu tak akan berhasil. Tubuhnya yang kecil dan ibarat kapas bagi Arley jelas tidak bisa menggoyahkan kokoh tegapnya postur miliknya.“Apa yang kamu lakukan, Arley!
“Ah, kamu masih mengenali suaraku ternyata,” ujarnya dari seberang sana. Prims benci mendengar suaranya yang sangat senang itu.Ia meremas jemarinya yang ada di atas paha, menatap pada mobil yang berlalu lalang di jalan yang berada di hadapannya yang tiba-tiba terdengar sangat bising dan memberinya sensasi sesak yang tidak ia sukai.Gelap yang sejak tadi terasa manis dan hangat kini berubah menjadi gelap yang membuat dadanya dipenuhi oleh gemuruh.Bukan karena bahagia, tetapi karena luka atas perilaku adik tirinya di masa lalu belum bisa ia lupakan.“Apa maumu?” tanya Prims tak ingin basa-basi. “Kamu memang selalu tahu apa yang aku inginkan, Kak Prims.”“Aku bukan kakakmu.”“Seperti inikah sambutan untukku yang lama tidak memberi kabar? Kamu sangat kasar.”“Dengar, Alice!” ucap Prims penuh penekanan. “Aku tidak mau merusak kebahagiaanku dengan—““Aku tahu kamu sedang bahagia kok,” potongnya. “Kamu sedang bulan madu ‘kan sekarang ini?”Prims menelan ludahnya dengan kesulitan. Ia menen
....“Hm, manis juga. Artinya bisa dimakan,” ucap Prims memuji buah yang baru saja ia gigit dengan hati yang senang.Masih ingat buket stroberi yang kemarin dibrikan oleh Arley? Benar, pada kenyataannya buket stroberi itu bukanlah satu-satunya yang diberikan oleh suaminya. Melainkan ada beberapa buket lain yang terdiri dari rangkaian buah.Yang sedang Prims bongkar sekarang ini adalah buket buah mangga yang berukuran kecil tetapi memiliki warna kekuningan yang Prims coba ambil dan kupas untuk ia cicipi, mangganya ternyata manis.Ia mengangguk senang. Ia pikir akan mengupasnya juga untuk Arley, dan memberikannya beberapa untuk Jayden yang tinggal di lantai bawah.Pagi datang dengan keadaan yang berbeda dari hari kemarin. Jika pada hari sebelumnya adalah hujan gerimis dengan naungan mendung abu-abu yang membuat langit serta setiap inchi penjuru London tampak muram, pagi hari ini matahari yang hangat datang dari langit timur.Jatuh pada bangunan yang paling rendah, atau pada gedung-gedun
Setelah melewati sisa pagi dengan masalah ‘lumat-melumat’, hari berjalan meninggalkan masa lalu mengikuti ke mana takdir membawa.Bagi pasangan yang sedang berbulan madu di London, hari-hari bergerak menuju ke akhir perjalanan. Mereka telah menyepakati bahwa lusa adalah kepulangan mereka ke Seattle.Arley mengatakan jika mereka bisa datang di lain kesempatan, mungkin pada liburan musim dingin, atau jika Prims ingin melihat London di musim gugur sehingga mereka bisa berpijak di atas jalan dan jalur pejalan kaki yang ditumpuki oleh dedaunan kering.Sebuah ide yang baik.Semua yang digagas oleh Arley itu ... hampir semuanya disukai oleh Prims.Tetapi, di setiap kesempurnaan seseorang ... bukankah meeka juga akan memiliki kekurangan? Hal yang sama juga berlaku bagi Arley.Sebentar, kiranya apa yag kurang dari prianya Primrose itu?Dia tampan, setia, baik, perhatian, pewaris kaya raya.Sayangnya ... dia payah soal mengambil foto.“Jeleknya ....” Sebuah protes yang baru saja keluar dari bibi
***Beberapa hari setelahnya ... mereka telah mengakhiri perjalanan di London. Penerbangan mengantarkan mereka kembali ke Seattle dengan duduk di kursi first class, dengan satu kali transit. Akhirnya, rumah yang dirindukan pun bisa mereka lihat, Prims hampir berlari untuk memasuki rumah karena saking rindunya dengan tempat ini sebelum Arley meraih tangannya dan memberi isyarat agar ia menunggunya.Padahal mereka belum lama juga meninggalkan rumah, tetapi wangi angin segar dan daun-daun yang saling bersentuhan mengusik rindu mereka dengan cukup hebat.“Selamat datang, Tuan Arley, Nona Primrose,” sapa Jodie, si Kepala Pelayan yang berbaris bersama beberapa pelayan yang lain di dekat pintu masuk untuk menyambut mereka.Menoleh sekilas pada Will, sopir yang menjemput Prims dan Arley di bandara yang terlihat sibuk mengeluarkan koper dari dalam bagasi belakang.“Terima kasih, Bu Jodie,” tanggap Prims dan Arley hampir bersamaan.“Saya pikir masih lama untuk pulang. Tapi ini belum ada satu b
“Jangan macam-macam kamu, Alice!” Prims mengepalkan kedua tangannya dengan erat. Ia memejamkan sejenak matanya sebelum mendengar Alice yang kembali bersuara, “Aku tidak macam-macam, Prims! Aku bilang bawakan aku satu juta dolar lalu aku akan membiarkan ibu mertuamu ini tetap hidup. Jika kamu tidak lakukan, aku akan mengirim mayatnya ke rumah Arley besok pagi!”“Jangan, Alice! Aku mohon jangan lakukan itu!” Prims tidak tahu harus mencegahnya bagaimana.Dugaannya benar bahwa Alice akan melakukan hal di luar nalar di saat dirinya tidak siap. Tapi siapa sangka jika hal yang dilakukan oleh Alice akan se-brutal ini?Dia membawa Katie. Lengkap Dengan meminta tebusan satu juta dolar dan ancaman akan membunuh ibu mertuanya itu jika Prims tidak melakukan apa yang dia mau.Dia menunjukkan siapa jati dirinya yang sebenarnya di saat yang seperti ini.“Aku tidak akan menyentuh ibu mertuamu yang buruk rupa ini kalau kamu melakukan apa yang aku minta. Tapi kalau tidak yah ... besok pagi akan aku kiri
Prims mengabaikan sapaan Will begitu ia keluar dari rumah. Tujuannya hanya satu sekarang ini, ia harus menemui seseorang yang telah menjemputnya di sebelah barat rumah, tidak jauh dari kediamannya.Prims menahan napasnya begitu menyadari ini akan menjadi hari yang sangat panjang. Kelam mendung pirau di atas sana menutup cahaya matahari yang harusnya masih tersisa untuk menuju pada senja yang beberapa jam lagi berlangsung.Keluar dari gerbang, Prims bergegas menyeret koper miliknya menuju ke arah matahari terbenam. Ia menjumpai sebuah Rubicon warna hitam yang terparkir di sana, di bawah sebuah pohon besar di tepi jalan.Dengan langkah yang gontai, Prims bisa dikatakan sedang menjemput marabahaya.Ia percayakan sisanya pada Jodie. Begitu Jodie menghubungi Arley soal kondisinya, Arley pasti akan melacak keberadaannya. Prims membawa ponselnya, tetapi itu sedang ia sembunyikan sekarang ini. Prims memasukkannya ke dalam koper, tertutup oleh tumpukan uang dolar. Sehingga ponsel miliknya ak
“Jadi ini alasan kamu tidak ingin aku membuka kopernya?” tanya Erren menggebu. Ia meraih kasar dagu Prims yang segera memberontak melawannya.“LEPAS!” Prims mencengkeram pergelangan tangan Erren, mengenyahkan dari rahangnya dan mendorong kepala ibu tirinya itu hingga membentur jendela.“PRIMROSE!” teriakannya menggema terpantul di kaca jendela, memekakkan telinga mereka yang berada di dalam sana.Dan melihat kekacauan yang terjadi di kursi penumpang bagian belakang, pria yang mengemudikan mobilnya itu kemudian menepi.Dia keluar dengan gegas dan beringsut membuka pintu di sisi Prims duduk. Ia merenggut lengan Prims dengan kasar, membebaskan Erren yang hampir babak belur karena didorong dan dicakar olehnya.“Berhenti memberontak!” ucapnya marah.“Jangan menyentuhku!” Prims menoleh pada pria berkaos hitam itu tetapi ia tak dipedulikan.Melihat Prims yang terkungkung dalam ruang geraknya yang terbatas, Erren melakukan pembalasan dengan melakukan serangan.Ia menampar Prims berulang kali,
|| 29 Mei, tahun 2XXX Tahun berganti, tetapi aku merasa langkah kakiku berhenti pada masa di mana aku bisa melihatmu mengatakan bahwa kau akan ada di sisiku, dalam keadaan suka maupun duka, dalam sedih ataupun sengsara. Hari yang menjadi sebuah titik awal, bahwa aku akan mendapatkan hidupku yang baru, dan itu bersama denganmu. Arley Miller, untuk semua yang telah kau lakukan, terima kasih. Tidak ada kata yang lebih baik daripada itu untuk aku sampaikan padamu. Kedatanganmu adalah sebuah hadiah, untukku yang berpikir bahwa aku tidak akan lagi menemukan kata ‘bahagia’ dalam perjalananku menghabiskan sisa usia. Dalam hidupku yang hampir dipenuhi dengan jalan sendu, aku mendapatkanmu. Seorang pria yang menganggapku ada. Kamu yang merengkuhku saat dunia lepas dari genggamanku. Pria yang bersumpah dengan apapun yang dimilikinya untuk membuatku percaya bahwa masih ada dunia yang baik yang tidak menganggapku hanya sebagai bayangan dan kesia-siaan. Pada akhirnya, waktu menggerakkan ak
*** Ada undangan dari Jayden dan juga Lucia. Sebuah undangan makan malam yang digelar di rumahnya secara sederhana. Tidak akan menolak, mengingat mereka adalah sahabat baik, Arley dan Prims datang. Tetapi sebelum sampai di sana, mereka lebih dulu ingin membawakan hadiah. Prims bilang itu adalah buket bunga yang besar atau jika bisa bunga hidup yang bisa diletakkan di dalam rumah dan tidak perlu memrlukan banyak perawatan. Kaktus misalnya. Arley menyarankan kue yang manis, karena Jayden itu tipe gigi manis, ia bilang. Yah ... sebelas dua belas dengan Prims lah kira-kira ... gemar makanan yang manis. Mereka keluar dari Acacia Florist, toko bunga yang mereka lewati selama perjalanan. Bunga yang mereka bicarakan itu telah ada di tangan mereka sekarang. Dengan hati yang gembira Prims dan Arley menuju tempat selanjutnya, di toko kue sembari menggendong si kembar yang tadinya duduk anteng di baby car seat di bagian belakang mobil. Memasuki toko kue, Rhys dan Rose terlihat sangat sena
*** Seperti janji yang pernah ia katakan selepas Prims meninggalkan ruang kunjung tahanan beberapa saat yang lalu saat ia menjenguk ayahnya, Prims bilang ia akan datang ke tempat ini untuk mengabarkan perihal keadilan yang pada akhirnya telah ia terima. Sebuah pemakaman. Lokasi di mana Jasmine Harrick disemayamkan. Nisan salibnya menyambut kedatangan Prims yang menyaunkan kakinya lengkap dengan kedua tangannya yang mendekap buket bunga berukuran besar. Ia sendirian, ia sudah meminta izin pada Arley yang mengiyakannya untuk pergi di hari Minggu pagi ini. Saat anak-anaknya masih tertidur, Prims bergegas dengan diantar oleh Will. Ia tersenyum saat menjumpai foto Jasmine yang juga sama tersenyumnya. “Apa kabar, Mama?” ucapnya sembari meletakkan buket bunga itu di dekat fotonya. “Aku datang sendirian hari ini, Mama.” Prims duduk bersimpuh di sampingnya, mengusap nisan Jasmine yang bersih dan terawat karena memang selain ini di area yang bersih dan bagus, Arley meminta orangnya un
*** Langkah kaki Prims terdengar berirama mengetuk, ia berjalan keluar dari mobil yang dikemudikan oleh Will, sopir milik Arley untuk tiba di tempat ini. Sebuah tempat yang barangkali Prims sama sekali tidak ingin menginjakkan kakinya meski hanya sebentar, pun tidak ingin ia datangi karena luka menganga masih terasa perih. Menyayat, menusuknya. Tak ada terbesit pikiran untuknya datang ke sini, sama sekali. Tetapi sepertinya takdir selalu memiliki rencana lain sehingga mau tak mau ia harus menguatkan diri untuk menghadapinya. Sebuah pesan dari kepolisian Seattle mengatakan bahwa ayahnya Prims, Aston Harvey sedang sakit dan ingin bertemu dengan anak perempuannya. Prims berpikir kenapa ayahnya itu tidak meminta Alice yang mendatangi atau menjenguknya? Kenapa malah dirinya yang sudah bertahun-tahun lamanya ini ia sia-siakan? Dalam kebencian yang masih kental itu, Prims menolak untuk datang. Namun, Arley mengatakan padanya dengan lembut, 'Datanglah, Sayangku ... siapa tahu sekarang
*** “Cepat turun ya panasnya, sayangku ....” Prims mengusap rambut hitam Rose setelah mengatakan demikian. Malam terasa dingin di luar tetapi di dalam sini sedikit chaos sebab si kembar sedang demam. Mereka baru saja imunisasi tadi siang di klinik khusus anak dan malam ini terasa efeknya. Rhys demam, begitu juga dengan Rose. Meski mereka tidak rewel, tetapi mereka tidak mau tidur di box bayi milik mereka sendiri melainkan minta digendong oleh ibunya. Prims yang menggendong Rose pertama. Mungkin sudah lebih dari satu jam dan setiap kali ia ajak duduk atau ingin ia baringkan, anak gadisnya itu akan menangis. Ia memandang Arley, tetapi tidak tega membangunkannya sebab tadi ia juga pulang bekerja cukup larut. Tetapi, Arley adalah Arley yang rasanya selalu bisa mengerti dan merasakan apa yang terjadi pada Prims. Sebab tak lama kemudian ia bangun. Saat Prims memeriksa anak lelakinya dengan meletakkan telapak tanganya di kening Rhys yang ternyata juga sama demamnya. “Anak-anak tidak
Prims hampir saja menggoda Arley lebih banyak sebelum ia menyadari ia telah kehilangan keseimbangan sebab Arley merengkuh pinggangnya dan membuatnya jatuh dengan nyaman di bawahnya. "Aku tidak menginginkanmu?" ulang Arley dengan salah satu sudut bibirnya yang tertarik ke atas. Ibu jarinya yang besar mengusap lembut bibir Prims sebelum berbisik di depannnya dengan, "Mana mungkin, Nona?" Arley menunduk, memberi kecupan pada bibir Prims sebelum kedua tangan kecil istrinya itu menahannya agar ia tidak melakukan apapun. "Tapi aku tidak mau," ucap Prims, memalingkan sedikit wajahnya. Satu kalimat yang membuat Arley mengangkat kedua alisnya penuh dengan rasa heran. "Kamu tidak mau?" Prims mengangguk, mengarahkan tangannya ke depan, jemarinya menyusuri garis dagunya yang tegas dan disukai oleh Prims. "Aku tidak mau kalau kamu melakukannya dengan masih marah," lanjutnya. "Kenapa aku marah?" "Soal Jeno Lee, aku tahu kamu sangat kesal barusan. Mata Tuan Arley Miller ini mengatakannya le
.... Setelah Jayden dan Lucia pulang, Prims kembali ke dalam kamar terlebih dahulu. Tak sesuai yang ia duga bahwa si kembar akan terbangun, ternyata Rhys dan Rose malah terlelap. Sama-sama miring di dalam box bayi milik mereka dengan lucunya. Ia meninggalkan Arley selama setengah jam lamanya hingga tak sadar prianya itu telah berada di dalam kamar dan melihatnya dari dekat box bayi si kembar. Prims tidak menoleh padanya sama sekali. Matanya tertuju pada layar ponselnya yang menyala dengan senyum yang tak bisa ia tahan. Kedua pipinya memerah, sama seperti jika Prims sedang malu karena digoda oleh Arley dengan mengatakan ia cantik atau saat Arley menyebut jika ia mencintainya. Seperti itulah keadaan wajahnya sekarang itu. Dan tentu saja itu menimbulkan tanya. ‘Apa yang dia lihat sampai dia tersenyum seperti itu?’ gumamnya dalam hati lalu melangkah mendekat ke arah ranjang seraya mengancingkan atasan piyama tidur yang ia kenakan. Bahkan sampai Arley naik ke atas ran
“Aku benar, ‘kan?” desak Jayden masih tak ingin diam. Arley nyaris saja menjawabnya tetapi hal itu ia urungkan karena mereka mendengar dari belakang, suara Lucia yang bertanya, “Apa yang kalian bicarakan? Ayo masuk dan kita makan!” Mereka berhenti bertengkar dan memasuki rumah. Di ruang makan, Arley tidak menjumpai Prims yang tadi ia lihat sibuk bersama dengan Lucia. “Di mana Primrose, Lucia?” tanya Arley, mengedarkan pandangannya. Urung duduk karena Prims belum tampak. Sama halnya dengan Jayden dan Lucia yang juga urung menarik kursi mereka. “Nona Primrose sedang ke kamar sebentar, Pak Arley. Mau melihat si kembar katanya,” jawab Lucia yang lalu diiyakan oleh Arley. Baru selesai mereka bicarakan, Prims muncul dengan sedikit bergegas. “Kenapa?” tanya Arley begitu melihatnya. “Ah, aku pikir kalian sudah mulai dan aku terlambat makanya aku cepat-cepat ke sini,” jawabnya. “Belum, Sayang. Rhys dan Rose masih tidur?” Prims mengangguk membenarkannya. “Iya, Arley. Masih tidur.” “A
.... “Sayang-sayangnya Mama ....” Prims tidak bisa menahan diri saat melihat si kembar yang digendong oleh opa dan omanya sore ini. Prims sedang berada di halaman depan, melihat bunga bersama dengan Lucia yang datang ke rumahnya, memetiknya beberapa karena Lucia mengatakan ia suka dengan Sweet Juliet yang ada di halaman depan. Sementara Arley dan Jayden sedang bermain bulu tangkis sebelum mereka sama-sama melempar raket mereka saat melihat mobil milik Tom memasuki halaman rumah. Prims dan Lucia mendekat pada si kembar yang telah berpindah tangan pada Arleys serta Jayden. Prims rasa ... Jayden itu sangat suka dengan anak-anak. Dan belakangan ini ... ia tampak lebih gembira daripada hari biasanya. Sangat jauh dari bagaimana Prims melihatnya dulu saat mereka pertama kali bertemu. Alisnya yang tegas dan bibirnya yang lurus sebelas dua belas dengan Arley itu kini selalu tampak menunjukkan senyuman. Ia terlihat seperti sepasang adik dan kakak saat berdiri berdampingan dengan Arley.