Wanita berambut sebahu itu seketika menoleh pada Asma. "Suami?" ucapnya dengan nada terbata. Ia tampak sangat terkejut sekali."Iya Suami." Asma mengulangi kalimatnya seraya menaikan kedua alisnya. Wanita itu menatap heran pada Nada."Punya As, Nada punya suami," celetuk Wisnu yang tiba-tiba muncul di ambang pintu. Seketika Asma dan wanita berambut sebahu itupun menoleh ke arah Wisnu."Mas!" lirih Nada, bibir mungilnya tiba-tiba memanggilan lelaki itu."Abang!" ucap Asma.Seketika Asma dan Nada saling bersitatap untuk sesaat. Wajah Nada mendadak tegang, tapi tidak dengan Asma. Wanita yang usianya jauh di bawah Nada itu justru melemparkan senyuman hangat pada Nada. Ia merasa lucu saat memanggil Wisnu bersamaan dengan panggilan yang berbeda."Maaf, aku hanya terkejut saja melihat Mas Wisnu ada di sana," sela Nada memaksakan senyuman.Asma melebarkan senyumnya. "Sama, aku juga terkejut," ucapnya sekilas menatap pada Wisnu dan Nada secara bergantian. Wisnu tersenyum hangat, melangkahkan
"Nyonya Asma, apa yang sedang anda lakukan?" celetuk Bik Tum mengangetkan Asma. Seketika gerakan tangan yang hendak mengetuk pintu itupun terhenti. Begitu juga dengan tangisan yang berasal dari dalam kamar yang seketika itu juga terhenti."Bik Tum," celetuk Asma terkejut, ia mengalihkan tatapannya kepada Bik Tum yang berjalan ke arahnya."Apa yang sedang Nyonya Asma lakukan di sini?" tanya Bibik."Tadi aku mendengar suara orang menangis dari dalam kamar ini, Bik," jelas Asma."Menangis?" Bibik menaikkan kedua alis. "Bagaimana mungkin?" Bibik mengeryitkan dahi. "Itu kan gudang Nyonya, Jadi tidak mungkin ada orang menangis di dalam ruangan itu," jelas Bik Tum.Asma tercekat. Ia yakin sekali dengan Indra pendengarnya. Jika beberapa saat yang lalu ada seseorang yang menangis di dalam kamar itu dan suara tangisannya hampir mirip sekali dengan suara Nada."Tapi aku tidak bohong, Bik," tegas Asma dengan wajah penuh keyakinan. "Suaranya hampir mirip sekali dengan suara Mbak Nada," jelas Asma.
Dengan cepat Nada menepis tangan Wisnu yang berada di pipinya saat melihat kehadiran Asma di ambang pintu belakang rumah yang sedang melihat ke arahnya."Neng Asma," ucap Wisnu dengan wajah terkejut. Ia segera membenarkan posisinya."Maaf As, tadi Mas Wisnu hanya mengusap mataku saja. Tadi aku kelilipan," jelas Nada gugup. "Jadi kamu jangan salah paham, As." Nada berusaha untuk menyakinkan wanita yang berdiri di depannya. "Iya Mbak tidak apa-apa," jawab Asma dengan wajah bingung untuk sesaat. "Mbak Nada tidak perlu menjelaskan semuanya seperti itu padaku, aku percaya kok," imbuh Asma kemudian, seraya menyunggingkan senyuman hangat. Nada terdiam untuk sesaat, lalu menghela nafas lega dan menyungingkan senyuman paksa pada bibirnya."Neng, kenapa?" sela Wisnu berusaha untuk mencairkan suasana. Asma seketika mengalihkan tatapannya pada Wisnu yang berjalan ke arahnya."Tidak, aku hanya mencari Abang. Aku sudah menyiapkan semuanya, apakah kita jadi berangkat sekarang?" tanya Asma saat Wi
Wanita bertubuh subur itu berjalan masuk ke dalam rumah. Sedikitpun ia tidak menatap pada Rani yang masih berbincang dengan Ibu Fatimah. Ia terlihat kesal, karena Rani telah membohonginya. Jika ia tau Rani memiliki uang, maka ia tidak akan mungkin meminjam pada Ustaz Azhar."Terimakasih Ran, ibu minta maaf karena hampir saja marah-marah sama Umi kamu." Suara dari luar rumah terdengar hingga di ruang makan rumah Umi. Rupanya segelas air putih yang sudah Umi teguk hingga tandas tidak cukup untuk melegakan kerongkongannya yang terasa begitu sesak. Beberapa saat kemudian terdengar suara derap langkah kaki Rani yang berjalan masuk ke dapur. Setelah suara derit pintu rumah yang terdengar tertutup."Umi, rupanya Umi di sini?" ucap Rani menyunggingkan senyuman saat menemukan wanita bertubuh subur itu berada di ruangan makan.Dengan wajah senang Rani berjalan menghampiri Umi. Sedikitpun Umi tidak menatap pada gadis bertubuh kurus tinggi itu. Ia memilih untuk membuang tatapannya ke arah lain.
Senja telah menguning di ufuk barat. Beberapa saat lagi, cahaya jingga itu akan berganti dengan pekatnya malam yang mencekam. Rani semakin gusar, kantor tempatnya berkerja telah sepi karyawan sejak satu jam yang lalu. Tapi lelaki yang berjanji akan menjemputnya tidak kunjung juga datang menjemput.Perlahan gerimis jatuh membahasi bumi, butirannya begitu lembut membasahi lantai paving yang berada di depan kantor tempat Rani bekerja. Bahkan kini suara merdu pemanggil sholat pun telah berkumandang di seluruh penjuru saling bersahutan."Kenapa sih, Bang Azhar? Kalau tidak berniat menjemput harusnya dia tidak berjanji," gerutu Rani semakin kesal. Beberapa kali ia menghentakkan kakinya kesal pada lantai. Netranya menatap ke arah jalanan besar yang berada di depan kantor. Kendaraan berlalu lalang di jalanan besar itu."Jika tau begini, lebih baik aku naik angkutan umum saja," desah Rani dengan bibir mengerucut. Tidak hanya kesal pada Ustaz Azhar, ia juga kesal pada dirinya sendiri yang terla
Sekuat tenaga Rani menendang dada bidang lelaki yang berada di atas tubuhnya. Tubuh lelaki itupun menjauh setelah terdengar suara cukup keras. Tubuh Bagas terpental mengenai atap mobil miliknya."Aduh ... !" Bagas mengaduh. Rani mengambil kesempatan itu untuk membukakan pintu mobil, tapi usahanya sia-sia. Bagas sudah mengunci pintu mobil itu sebelum ia menjalankan aksinya.BRUAK! BRUAK!Seseorang memukuli jendala kaca belakang mobil dari luar. Sosok lelaki itu seketika membuat Rani lega."Bang, tolong aku Bang!" teriak Rani pada lelaki yang berusaha untuk membuka pintu mobil dari luar."Sialan!" hardik Bagas kesal saat melihat Ustaz Azhar di luar mobilnya.Lelaki itu bergegas turun dari dalam mobil dengan bertelanjang dada. Menghampirinya Ustaz Azhar yang sudah mengganggu rencananya."Dasar manusia tidak beradab! Apa yang akan kamu lakukan pada Rani!" sentak Ustaz Azhar pada Bagas yang berjalan ke arahnya. Wajah lelaki merah menyala, penuh amarah."Apa yang sedang kamu lakukan, manus
"Asma!" Umi segera berhambur menghampiri wanita yang keluar dari dalam mobil. Ia sangat senang sekali akhirnya Asma telah kembali ke kampung."Umi!" ucap Asma tidak kalah senangnya, akhirnya kerinduannya kepada Umi pun tersampaikan. Setelah beberapa hari tertahan."Sini, biar Umi saja yang membawa Akbar." Umi meraih Akbar dari dalam gendongan Asma. Asma mengalihkan tatapannya kepada Rani yang terdiam dan mematung di depan beranda rumah. Tidak ada ekspresi apapun yang wanita itu tunjukkan. Hanya tatapan datar kepada Asma yang baru tiba."Rani, bagaimana kabar kamu?" tanya Asma pada Rani saat wanita itu tiba di depan Rani. "Kamu sudah lebih baik, kan?" imbuhnya di sambut dengan anggukan lembut oleh Rani."Iya Mbak, aku sudah sembuh," ucap Rani datar."Syukurlah," balas Asma tersenyum penuh rasa syukur."Nak Wisnu ayo masuk!" Ajak Umi pada Wisnu yang masih asyik mengobrol dengan pengemudi yang mengantarkannya pulang."Iya Umi, sebentar lagi," jawab Wisnu sekilas menatap pada Umi. Lalu k
Asma menarik tubuhnya keluar dari pintu rumah. Setelah berberapa saat yang lalu ia memilih untuk bersembunyi dan mengintip dari balik pintu. Saat Ustaz Azhar datang ke rumahnya dan menjemput Rani yang akan pergi ke kantor. Entah mengapa ada sesuatu yang mengganjal batin Asma. Seperti tidak rela, namun dirinya bukanlah siapa-siapa. Asma hanya tidak ingin Ustaz Azhar salah' memberikan hatinya pada Rani."As!" ucap Umi saat melihat Asma yang muncul di belakang punggungnya. Wanita bertubuh subur itu menatap pada kepergian motor Ustaz Azhar yang membawa Rani pergi."Semenjak kedekatannya dengan Azhar, Rani banyak sekali berubah. Dia jadi lebih baik." Umi menatap pada Asma yang berdiri mensejajarinya menatap pada motor Ustaz Azhar yang telah menghilang di ujung jalan."Itu bagus Umi, Rani memang butuh seorang pemimpin yang bisa membimbingnya," tutur Asma. "Tapi apakah mungkin Rani serius ingin berubah?" Asma mengeryitkan dahi, menatap pada Umi."Umi pikir Rani memang sudah berubah, As, semo
Tidak ada yang bisa menyembuhkan kerinduan kecuali pertemuan. Segalanya nelangsa sirna, saat raga mampu mendekap tubuh yang terkasih secara sempurna. Jarak yang membelah, kini hanya menjadi sepenggal cerita manis. Melebur menjadi sebuah kisah bahagia."Ibu!" Gala terisak di dalam pelukan Nada. Tangis dua manusia yang tidak memiliki hubungan darah itu pecah. Menumpahkan segala dahaga yang selama ini tertahan."Maafkan ibu, Gala!" lirih Nada di sela-sela tangisannya. "Jangan tinggalkan ibu!" pinta Nada, memohon.Gala mengusap lembut pipi Nada yang basah oleh air mata. Menjatuhkan tatapan teduh pada wanita yang lebih tinggi darinya itu."Tidak Bu, aku tidak akan meninggalkan ibu!" ucap Gala, suaranya terdengar sumbang. Karena terlalu banyak menangis.Wisnu yang mematung di halaman rumah hanya terdiam seraya menarik sebelah sudut bibirnya tersenyum kecil. Ia tidak menyangka jika darah dagingnya bisa sesayang itu pada Nada. Wanita yang telah ia benci selama ini._____Satu bulan telah berl
Nada memutar tubuhnya sembilan puluh derajat. Melihat ke arah wanita dengan setelan seragam kerja yang sedang menatap ke arahnya."Saya sedang mencari pemilik apartemen ini?" Nada mengarahkan jari telunjuknya pada pintu apartemen yang ada di depannya."Saya pemilik apartemen ini!" jawab Hanum dengan tatapan sedikit bingung. Tetapi entah mengapa ia merasa pernah melihat sosok Nada sebelumnya. Tetapi lupa di mana ia pernah melihatnya.Kepulan asap putih dari gelas yang berada di depan Nada menyeruak ke udara. Aroma terapi Jasmine sedikit menghilangkan perasaan khawatir yang sejak tadi melanda hati Nada."Saya Nada, saya mencari keberadaan Gala?" seloroh Nada setelah meletakkan gelas teh yang baru saja ia sesap.Wajah Hanum berubah sesaat. Tatapan yang sulit sekali untuk Nada artikan."Apakah anda orang itu?" celetuk Hanum menebak. Puzzle kisah cinta segitiga Wisnu, Asma dan wanita yang duduk di sudut bangku ruangannya telah sempurna. Sekarang ia bisa membingkainya dengan baik.Dari pert
Cuaca panas tidak hanya terjadi di kota Medan. Hampir di seluruh kota yang berada di Indonesia. Hal seperti ini akan terjadi selama kurang lebih enam bulan ke depan. Hingga musim kemarau berakhir dan berganti dengan musim penghujan.Pengacara Arif membawa Nada menuju sebuah restauran cepat saji yang berada di pusat kota. Sebuah restoran yang menjual makan khas Padang."Nyonya mau makan apa?" ucap pengacara Arif mengalihkan tatapannya dari buku menu pada Nada. "Terserah Pak Arif saja," balas Nada tanpa menunjukkan ekspresi apapun. Wanita itu melipat kedua tangannya di atas meja. Netranya terus mengawasi Sekertaris Arif yang semakin lama menjadi salah tingkah oleh tatapan Nada.Setelah memesan makanan lelaki itu mulia dengan tujuannya untuk mendatangi Nada ke pulau seberang.Wajah pengacara yang tidak lagi muda itu berubah lesu, penuh dengan penyesalan. Sesekali ekor matanya melirik pada Nada yang sejenak tadi mengawasinya dengan tatapan tidak suka."Saya minta maaf, Nyonya Nada. Karen
Tubuh Gala terhuyun jatuh di lantai. Wisnu tidak sempat menghalangi peluru yang hendak menembus dada Gala. Timah panas itu melesat cepat dan berhenti tepat di jantung Gala."Gala, bangun Gala!" Wisnu menarik tubuhnya Gala di atas pangkuannya. Dar*h dengan cepat menyebar pada bagian dada Gala yang tertembus timah panas. Kemeja putih yang Gala kenakan, berubah warna menjadi merah dar*h"Polisi, tolong!" teriak Wisnu panik.Wajah Danil mendadak berubah cemas. Para polisi yang sejak tadi memang mengintai cepat mengeluarkan diri dari persembunyiannya. "Sialan!" decak Danil meradang. Beberapa lelaki berseragam kepolisian muncul satu persatu masuk ke dalam ruangannya."Gala, bangun Gala!" Wisnu mengucang tubuh' Gala. Nafasnya yang mulia melemah membuat Wisnu semakin takut.Kedipan mata Gala melemah. Sakit yang mendadak menyiksanya, perlahan menjalar ke seluruh tubuhnya."Ibu ....!" lirih Gala sebelum akhirnya ia memejamkan kedua matanya dan tidak sadarkan diri."Gala, bangun!" teriak Wisnu
Memilih tidak menceritakan apapun pada Wisnu adalah pilihan Gala. Sekalipun lelaki itu terus mendesaknya dan hampir seperti memaksa. Tetapi Gala tetap menyimpan permasalahan yang terjadi antara dirinya dan Danil sendirian.Berita kematian Gala semakin menyebar luas. Setelah sebulan berlalu di temukannya mobil yang Gala kendarai meringsek ke dalam jurang. Meskipun jenazah Gala tidak di temukan, tetapi media membuat berita sedemikian rupa. Jurang yang dalam menjadi dugaan tempat jasad Gala berada. Apalagi di bawah jurang itu ada aliran sungai yang cukup deras. Membuat pihak sars menyudahi pencarian setelah semua usaha tidak mendapatkan hasil.Selama pemulihan Gala memilih bersembunyi di rumah Wisnu. Hanya lelaki itulah yang menjadi andalan Gala saat ini. Menghilang dari Danil agar lelaki itu senang karena mengetahui jika Gala telah tiada."Sudah tidak terlalu sakit, Hanum!" suara yang terdengar seperti rengekan itu menghentikan langkah kaki Wisnu yang hendak menuju pintu utama rumah.Ke
Aroma anyir menusuk pangkal hidung Wisnu. Perlahan setelah kesadarannya kembali. Tetapi entah mengapa kepalanya terasa sangat sakit sekali. Tanpa sadar, tangan kanan Wisnu memegangi sudut pelipisnya. Dan ia bisa merasakan ada sesuatu yang keluar dari pelipis lelaki itu dan sangat perih sekali.Wisnu membiarkan tubuhnya terbaring di atas rerumputan beberapa saat. Rekaman kejadian yang terjadi beberapa saat yang lalu berputar kembali di dalam kepalanya. Bergegas ia bangkit saat teringat dengan Gala dan mobil yang terperosok hampir masuk ke dalam jurang."Gala, di mana dia?" Wisnu bangkit dengan wajah panik duduk di atas rerumputan. Tatapannya menyapu ke sekeliling tebing. Tetapi ia tidak melihat keberadaan Gala. Hanya sebuah mobil yang terangkut pada pohon yang ada di bibir jurang.Perasaan khawatir seketika menguasai Wisnu. Seingatnya sebelum mobil yang kini tersangkut pada pohon yang berada di tepi jurang itu meringsek, Wisnu telah mendorong tubuh Gala ke arah pintu. Tetapi dia tidak
Setelah Danil menolak ajakan sarapan paginya, Gala terpaksa menikmati serapan itu sendirian. Sebenarnya ia tahu, pasti Danil saat itu sangat marah karena niatannya untuk menyingkirkan Gala tidak berhasil. Sementara nasib Bibik, Gala belum tahu pasti. Yang jelas wanita itu pasti kena hukuman berat. Begitu dugaan Gala.Ekor mata Gala melirik pada jam dinding yang masih menunjukkan pukul setengah tujuh pagi. Masih ada waktu yang cukup lama untuk ia berangkat ke kantor.Rasa penasaran masih menganggu pikiran Gala. Tegang surat wasiat yang Nada katakan kepadanya. Jika sebenarnya dirinyalah pewaris utama seluruh harta Tuan Seno. Tetapi sampai detik ini, Gala tidak menemukan di mana lelaki bertubuh jangkung itu menyembunyikan surat wasiat itu.Cukup pelan Gala menyeret langkah kakinya menaiki anak tangga menuju kamar Danil. Dugaan Gala kali ini, Danil menyembunyikan surat wasiat itu di dalam kamarnya. Hanya ada dua tempat di rumah itu yang memungkinkan Danil menyimpan sesuatu. Yaitu ruang ke
Bergegas Gala turun dari bangku. Memperhatikan dengan seksama kucing berwarna orange yang mendadak kejang dengan mulut berbusa. Melihat dari tanda-tandanya kucing itu sepertinya mengalami keracunan."Tidak salah lagi!" guman Gala yakin dengan apa yang ada di dalam pikirannya. Jika ada seseorang yang menginginkannya mati.Gala bangkit berdiri. Tatapannya tajam melihat ke arah makanan yang tersaji di atas meja makan. Beruntungnya belum ada satupun makanan yang masuk ke dalam mulut Gala. "Aku harus lebih berhati-hati lagi!" monolog Gala dengan tatapan serius.____Danil menatap terkejut saat baru kembali ke rumah. Pemuda tampan itulah yang membukakan pintu rumah untuknya. Keringat dingin seketika membahasi sekujur tubuh Danil.Sepersekian detik Danil mematung di depan pintu rumah. Menatap pada Gala yang tengah melemparkan senyuman kepadanya dengan wajah yang sedikit malas khas seorang yang baru bangun dari tidur."Ayah, kenapa pulang larut malam sekali?" seloroh Gala terdengar malas. Ke
"Gala kamu kenapa?" seloroh Wisnu.Gala terseret kembali dari lamunannya. Sekarang ia sudah menemukan siapa wanita yang sudah melahirkannya ke dunia. Jawaban yang sudah sangat jelas sekali.Tidak terasa sudut mata Gala pun telah basah. Cepat ia mengusap genangan itu agar tidak berjejak. Ia tidak ingin Wisnu melihat hal itu.Bagaimana tidak sakit, menemukan wanita yang telah melahirkannya tetapi dalam perpisahan yang menyakitkan. Hanya sebait kenangan yang bisa Gala ingat. Jika Asma juga tidak kalah sayangnya kepadanya. Hingga hampir gila saat Nada mengambil Gala dari kehidupannya."Aku banyak sekali bersalah pada Asma." Helaan nafas Wisnu terdengar jelas. Suaranya yang menggelar terdengar penuh kesedihan.Kerongkongan Gala terasa kering. Hanya sedikit ia menelan salivanya. Selebihnya, tatapan matanya tidak beralih sedikitpun dari Wisnu."Memangnya kesalahan apa yang sudah Om Wisnu lakukan?" ucap Gala."Banyak Gala. Kesalahanku sudah tidak termaafkan oleh Asma." Tatapan mata Wisnu meli