"Kalau nanti terjadi apa-apa denganku, tolong jaga Arik dan anak kita." Kulihat mata Alisa berkaca-kaca saat mengatakannya. Ia menatap ke depan seperti menerawang.
"Kakak ngomong apaan sih? Jangan bercanda." Aku mendengkus tidak suka. Paling benci ucapan seperti itu karena dulu pernah mendengar seseorang mengucapkan hal tersebut, dan akhirnya orang itu pergi selamanya.
"Bercanda? Andai bisa Lun. Apa sekarang wajahku menunjukkan hal tersebut?" Alisa melirikku dengan tatapan mata sendunya.
"Kak …." Hatiku mencelos seketika. Aku sudah menganggapnya seperti saudara. Ada sesak menyergap saat Kalimat tersebut diucapkannya. Memikirkan separah apa sakitnya, sampai wanita yang duduk di sampingku ini masih bergeming dengan raut wajah yang sama. Serius, tapi tampak sekali kesedihan di matanya.
"Apa menurutmu Tuhan itu adil?"
 
Alisa mengangguk. Ia menggenggam tanganku. "Kamu benar, Luna. Terima kasih sudah menganggapku saudara. Aku harus optimis, harus semangat. Aku memang sudah tidak sabar menunggu kedatangannya. Dialah alasanku tetap bertahan. Aku ingin mendengarnya memanggilku mama, sekali saja dalam hidupku. Walaupun dia bukan anak yang kukandung, tapi aku ingin sekali mendengarnya memanggilku begitu. Aku juga ingin mendengarnya memanggilmu, Bunda. Kita nanti bakal sama-sama merawatnya. Aku akan menjalani pengobatan lagi. Apapun hasilnya, sesakit apapun rasanya, paling tidak, aku sudah berusaha. Biar Tuhan yang menentukan nasibku." Alisa merangsek memelukku tiba-tiba. Aku tersenyum getir hanya mampu mengusap lembut punggungnya.Hubunganku dengan Alisa semakin dekat. Sebenarnya sejak di Bali, Alisa sudah bersikap baik padaku. Ia sangat telaten memastikan aku dan bayi yang kukandung sehat tanpa ada masalah apapun. Seperti ibu yang menjaga anaknya, sangat pr
"Tentu saja sehat. Apa kau berharap anakku sakit?"Deg. Aku hanya mampu beristighfar dalam hati kala mendengar tudingan seorang wanita paruh baya, yang menatapku sinis sedari tadi berdiri di samping Alisa. Aku mengenalnya, namanya Bu Maya--ibunya Alisa.Tidak pernah terbersit pun sebuah pikiran jelek seperti itu. Apalagi disaat kondisiku yang sedang hamil. Aku menggelengkan kepala ke arah Alisa membantah tudingan tersebut."Mom? Apaan sih. Luna itu sayang banget sama aku. Dia nggak mungkin begitu." Alisa menggenggam tanganku dengan senyuman manisnya.Iya, Alisa. Benar. Aku tidak mungkin berpikir seperti itu."Mom, duduk dulu. Bi Dewi tolong siapkan satu kamar buat ibu saya. Dia akan tinggal di sini," titah Alisa pada Bi Dewi seraya mendudukkan diri ke atas sofa, lalu melepaskan hijabnya
Mataku mengerjap, terbangun saat terdengar suara ketukan pintu di depan kamar. Kutajamkan pendengaran memastikan sumber suara itu dari pintu kamarku atau bukan. Setelah yakin, dengan setengah kesadaran aku melangkah pelan mendatangi sumber suara tersebut, guna mencari tahu siapa orang yang telah mengetuknya sepelan itu di tengah malam begini.Pak Arik? Lelaki yang sikapnya mulai menghangat ini berlalu masuk setelah pintu dibuka. Ia menarikku lebih ke dalam dan dengan cepat menutup pintunya."Mas, kamu--"Belum selesai kalimat ku ucapkan, badanku direngkuhnya dan didudukkan di atas pangkuannya."Mas …!" decakku terkaget. Dengan cepat ditempelkan telunjuknya ke atas bibirku. Isyarat diam."Kenapa ke sini? Bagaimana kalau ibunya Kak Alisa tahu? Kak Alisa bagaimana?" tanyaku sedikit berbisik.
Kami duduk bersama di ruang makan menikmati sarapan pagi. Nafsu makanku hilang semenjak permintaan Bu Maya atau lebih tepatnya sebuah paksaan yang harus kuturuti, sebagai sikap empati sesama perempuan bila memang mempunyai hati nurani, begitu katanya."Hei, kenapa makannya tidak semangat? Menunya nggak suka ya? Kamu baik-baik saja kan? Sakit?" tegur Alisa yang duduk tepat di sebelahku. Alisa peka. Ia tampak khawatir dengan meraba keningku, mengecek suhu tubuh."Enak kok," jawabku dengan memaksakan tersenyum dan menepis pelan tangannya. Kupaksakan menyuap sesendok makanan ke dalam mulut.Alisa dan Pak Arik menatapku dengan tatapan khawatir, kecuali Bu Maya. Dia tetap tenang menikmati makan paginya tanpa terganggu dengan pertanyaan anaknya padaku.Pak Arik bertanya lewat sorot matanya. Kugelengkan kepala dengan senyum tipis
"Kumohon Bu, aku punya penilaian sendiri tentangnya. Kuharap Ibu besok pulang saja ke Singapura. Keadaanku baik-baik saja. Kalau ada Ibu di sini. Keadaanku akan memburuk karena memikirkan ulah Ibu yang selalu menyudutkan Luna, dan itu juga akan berdampak pada kesehatan jiwa Luna. Aku tidak ingin ia mengalami stres menjelang persalinannya.""Tega kamu ngusir Ibu. Padahal Ibu mengkhawatirkan keadaanmu." Suara Bu Maya terdengar serak."Maaf, Bu. Aku pun butuh ketenangan pasca pengobatan. Apa yang Ibu lakukan barusan berdampak pada kesehatanku. Dokter bilang, selain fisik, kesehatan jiwa juga diperlukan untuk menghentikan pertumbuhan kankerku. Aku tidak boleh banyak berpikir dan stres. Ibu mau penyakitku kambuh lagi?""Ibu--"Refleks aku menutup mulut saat merasakan tepukan di bahu. Pak Arik? Mengagetkanku.&nb
"Sus, jawab! Saya ada dimana?" Aku masih bertanya pada perawat tersebut, tetapi dia tetap diam, hanya sibuk mengecek kondisiku.Melihatnya mengabaikan pertanyaanku, tanpa pikir panjang kulepas jarum infus yang menempel di tangan."Aaargh!" jeritku meringis sakit. Bekas infus itu mengeluarkan sedikit darah."Apa yang anda lakukan?! Ini bahaya." Dengan sigap ia ingin memasang kembali jarum infus tersebut, tapi kutepis."Katakan ini dimana, dan mana anakku!" Dengan penuh penekanan kutanyakan lagi meski badan terasa lemas."Tolong!" Perawat itu berteriak minta tolong karena aku berontak, ia berlari ke arah pintu."Tolong bantu saya menenangkan Bu Luna." Aku masih bisa mendengarnya berbicara, tapi tidak tahu dengan siapa. 
Aku memulai sandiwara dengan menyetujui surat perjanjian yang disodorkan Bu Maya waktu itu, dimana map tersebut masih tergeletak di atas nakas tempat tidur. Sengaja kutanda tangani, walau akhirnya nanti bakal kulanggar. Aku tidak ingin lagi terikat perjanjian memuakkan seperti itu. Tidak mungkin juga Bu Maya menjebloskanku ke dalam penjara dengan isi perjanjian yang tidak masuk akal. Andaipun dipaksakan membawa ke jalur hukum itu sama saja dengan membuka aib keluarga mereka. Beda kasus dengan perjanjianku dengan Alisa, di sana aku yang dengan sukarela menyetujui karena terikat janji timbal balik atas bantuannya, hingga ibuku bisa menjalani operasi. Yang penting aku tidak menggunakan uang yang bakal di transferkan Bu Maya ke rekeningku sesuai dengan isi nominal yang tertera di sana.Aku meminta waktu diberikan kelonggaran untuk memulihkan kondisi fisikku sebelum berangkat ke luar negeri. Intinya aku mengulur waktu agar tidak dikirim ke s
Sudah dua minggu berada di apartemen ini. Kondisi kesehatanku jauh lebih baik dari sebelumnya. Aku sudah sehat. Bu Maya bilang dua hari lagi jadwal keberangkatanku ke luar negeri, tepatnya ke Singapura, karena dia ada urusan yang harus diselesaikannya dulu di sini. Semua paspor, dan dokumen lengkapku sudah siap dan berada di tanganku. Kelihatannya Bu Maya mempercayaiku hingga dia tidak curiga kalau aku berencana kabur dari apartemennya. Yang harus kupikirkan sekarang bagaimana caraku kabur dari sana? Apartemen yang berada di lantai tiga puluh ini memiliki keamanan yang ketat selain juga dari dua bodyguard itu. "Bu, bolehkah saya menemui keluarga saya dulu sebelum berangkat ke Singapura?" pintaku memelas. Aku tidak tahu apakah ini bisa dimanfaatkan untuk kabur atau tidak. Andai tidak, itu adalah kesempatan terakhirku berpamitan dengan mereka. Bu Maya tampak berpikir. Ia
Kuajak Luna bicara. Dengan berderai air mata ia menceritakan kisah tragisnya hingga terdampar ke kota ini lagi. Kaget. Itu respon pertamaku saat mendengarnya. Ternyata anak yang diakui Kak Alisa sebagai anaknya adalah anaknya Luna. Wanita di depanku inilah ibu kandung dari Adnan. Aku mencoba mempercayainya meskipun sedikit ragu. Heran, perjanjian seperti apa yang ia jalani yang hasilnya hanyalah merugikan diri sendiri. Ia menceritakan semuanya tanpa ditutupi. Aku syok mendengarnya. Kenapa ia harus memilih jalan hidup seperti ini? Hal yang kusesali sejak awal adalah kenapa dia tidak datang dan minta tolong padaku saja, pasti hal ini tidak akan pernah terjadi.Akhirnya aku memilih mempercayai semua ceritanya. Jangan tanya kenapa, hatiku lah yang mengarahkannya ke sana. Aku tahu kalau Luna bicara jujur dari caranya bicara. Kujanjikan akan membantunya menyelesaikan masalahnya dengan keluargaku terutama dengan Tante Maya--ibunya Alisa. Setah
POV Axel."Mas Arik? Bukankah di kamar itu …?" Dengan langkah lebar dan terburu-buru kuhampiri Mas Arik dengan tangan mengepal kuat siap memuntahkan bogem mentah meluncur ke wajahnya."Axel! Kamu?!" Nampak keterkejutan di wajah kakak kandungku ini. Ia meringis sembari mengusap bekas hantaman keras buku tanganku yang berhasil mendarat di pipinya. Tampak kemerahan dan sudut bibirnya berdarah. Tidak cukup sekali, rasa panas terbakar dalam hatiku menyulut amarah yang semakin besar hingga ingin mengulangi kembali hantaman tersebut ke wajahnya lagi. Namun sayang dapat ditepisnya dan …."Aaargh!" Mas Arik berhasil menonjok pipiku. Perih rasanya, tapi tak seberapa dengan perih yang bersemi di dalam hatiku saat ini. Rasanya sakit sekali. Dengan brutal kucoba membalas hantaman tangannya, dan kami terlibat baku hantam. Beberapa kali berhasil memukulnya, begitupun d
POV Luna."Hentikan perang dinginmu dengan Arik, Lun. Kasihan dia tersiksa." Alisa yang masuk ke kamar kami--aku dan Adnan, langsung melontarkan ucapan tersebut secara tiba-tiba. Aku yang baru memandikan Adnan hanya melihatnya sekilas lalu fokus kembali ke bayi mungil berkulit putih kemerahan."Siapa yang sedang perang dingin, Kak. Kami baik-baik saja," sanggahku tanpa menoleh ke arahnya. Aku kembali memanggilnya Kakak. Hubungan kami membaik. Aku berusaha tidak membencinya karena aku paham yang dilakukan padaku itu atas dasar cemburu. Melihat kondisinya yang sering sekali sakit, membuatku tidak tega mendendam padanya.Apa aku terlalu baik jadi manusia? Aku juga ingin membalas perlakuannya, tapi tertahan karena rasa empati. Setiap melihatnya kesakitan, aku tahu rasa itu pasti sangat menyiksa. Di satu sisi, dia pasti ingin normal sehat seperti orang lainnya, bisa berint
"Pikirkanlah. Setelah ini, kamu akan berterima kasih padaku.""Apa syaratnya?" Bisa kutebak dari ucapannya, tersirat sesuatu yang akan dimintanya.Alisa tersenyum kecut. "Kamu mengenal baik aku, Rik. Sudah tahu, pasti ada syarat yang akan kuajukan. Baik, jadi gini, dimulai dari hubungan kita dulu, akhiri perang dingin ini, Rik. Aku lelah. Bersikaplah layaknya suamiku seperti dulu. Waktuku tidak banyak Rik. Bisa jadi besok aku pergi.""Hubungan kita seburuk apa jadi kau menganggap aku berubah?""Sangat buruk Rik. Kita tidak pernah bicara lama seperti dulu. Kamu juga tidak sehangat dulu, apalagi kalau kita cuma berduaan saja seperti ini. Malah terbalik. Saat di hadapan orang banyak, kamu sok perhatian, apalagi kalau ada Luna. Seolah kamu mesra denganku hanya untuk memanas-manasinya. Namun saat kita cuma berduaan begini,
POV ArikAku hanya mampu tertunduk saat sorot mata itu menatapku intens. Aku tahu tatapan yang ditunjukkannya adalah tatapan kebencian dan kemarahan. Aku malu untuk membalas tatapannya. Suami yang harusnya membelanya terpaksa diam ketika ada lelaki lain yang membersamainya datang ke rumah ini.Aku benci pada diriku sendiri tak mampu sebagai pelindungnya, dan malah membiarkannya memilih berlindung di balik punggung lelaki lain, meski lelaki itu adikku sendiri.***"Maaf, Rik. Maaf. Aku terpaksa melakukan itu semua. Aku takut kehilanganmu." Alisa tergugu menangis saat kumintai penjelasannya soal kebenaran tentang Luna yang diculik ibunya. Aku seperti lelaki bodoh yang gampang sekali terhasut oleh cerita palsu mereka."Apa aku meninggalkanmu, Lis? Tidak, bukan? Apa Aku memilih bersama Luna? Tidak juga kan? Semuanya tetap ka
Arik menatapku tajam. Aku tahu dia tak suka ucapanku barusan."Hussstttt! Aku nggak suka ucapanmu ini. Jangan pernah mengatakan hal tersebut." Arik mendekapku ke dada bidangnya. Aku tersenyum samar sambil melekatkan pelukannya. Usahaku sepertinya berhasil.Aku tak sanggup lagi mendengar ucapan keluarga dari pihak ibunya Arik. Mereka hanya di depanku saja baik, di belakang, suka menjelekkanku dengan kelemahan yang kupunya. Aku juga tidak ingin mereka mengalami masalah karena mengejekku. Ibu sering 'membereskan' mereka, orang yang dengan sengaja melukai hati anaknya. Mereka akan berakhir menyedihkan, dan aku tidak ingin Ibu menumpuk dosanya karena-ku.Akhirnya Arik bersedia menikahi Luna. Aku jujur padanya akan membayar Luna satu Miliar kalau dia berhasil hamil. Namun aku tidak menunjukkan isi poin perjanjian yang kami lakukan. Aku juga tidak cerita soal ancamanku pada Luna. Ar
POV AlisaAku memperhatikan seorang perempuan yang sedang bersusah payah mengambilkan balon karakter yang tersangkut di dahan pohon besar tidak jauh dari tempatku duduk, di taman kota.Perempuan muda itu tampak kepayahan dengan berani memanjat pohon tersebut untuk mengambilkannya. Ia berusaha sekali mengambilkan balon untuk anak kecil yang menunggunya di bawah dengan harap cemas. Mataku memicing heran melihatnya. Kenapa dia bersusah payah kalau tidak jauh darinya, masih ada penjual balon tersebut. Kalau aku jadi dia, tinggal belikan yang baru. Harganya pun tidak mahal, masih terjangkau."Mang, tolong belikan satu balon dan kasih ke anak itu," tunjukku ke arah anak kecil yang sedang menantikan balonnya diambilkan perempuan muda tersebut. Aku meminta Mang Diman--supirku yang datang menghampiri membawakan pesananku, dengan memberikannya selembar uang rupiah berwarna biru. 
Axel menemuiku dan mengatakan aku harus tinggal di rumah besar ini. Pertanyaan yang sama kutanyakan padanya. Aku diizinkan tinggal atas dasar apa? Sebagai pengasuh Adnan atau tetap sebagai istri kedua kakaknya.Axel tersenyum tipis. Ia bilang aku sendiri yang harus memilih mau sebagai apa, karena apapun yang kuminta akan mereka turuti. Kata Axel keputusan di rumah ini ada di tangan ayahnya, dan itulah kuputusan ayahnya. Ketidakadilan yang kudapat sebab perjanjian yang tidak manusiawi tersebut dibalas dengan menuruti inginku. Asal apa yang kuminta masih bisa ditolerir dan di batas kewajaran.***Sepanjang hari aku mengurung diri di kamar Adnan. Memandangi wajah imut nan menggemaskan yang masih tertidur di dalam box tidurnya. Memandangnya membuatku enggan untuk pergi kemanapun, rasa lapar pun berganti kenyang. Saat ia terbangun, aku dengan sigap menggendongnya dan memberinya ASI. Ata
Seorang ibu akan berjuang membahagiakan anaknya, meskipun harus melepaskan kebahagiaannya.Aku bukannya lemah lalu menerimanya dengan pasrah. Namun, saat sosok mungil itu datang di hadapan, disitu hatiku luluh dan bertekuk lutut padanya."Maaf Nyonya, Bapak, permisi. Ini Nyonya Alisa, Adnan tidak berhenti menangis, saya sudah memberinya susu, tapi dia tidak mau. Dia tetap kejer menangis. Saya sudah periksa keadaannya, dia tidak lagi pup atau kencing karena baru saja saya ganti popoknya. Suhu badannya juga normal." Seorang perempuan muda dengan seragam putih datang ke ruangan ini dengan membawa seorang bayi yang sedang menangis. Saat ia menyebut nama Adnan, aku tahu itu adalah Adnan anakku. Perempuan itu tampak panik. Aku yakin dia pengasuhnya.Ibu mana yang tega membiarkan anaknya menangis? Tanpa izin dari mereka kurebut Adnan dari tangan pengasuhnya.