Adina mematikan keran air, mengeringkan tangannya dan memindahkan panggangan dari kompor. makan malam bisa di tunda. Kebutuhan emosional selalu di dahulukan dari pada hal lain seperti makan malam. "Tentu saja aku tidak berpacaran dengan Derek." Jawab Adina."Aku tidak keberatan." Balas Bobby."Aku tahu. Dia memberitahuku apa yang kau katakan padanya di malam kami pergi ke pesta makan malam waktu itu. terus terang saja aku sangat terkejut." Kata Adina."Aku sudah cukup umur untuk mengerti tentang seksualitas dan semacamnya. Mama dan Om Derek adalah dua orang yang sudah dewasa yang sudah cukup umur." kata Bobby sambil mengangkat bahunya."Aku menghargai keterbukaanmu mengenai kehidupan seksualku, tapi kita tidak sedang membicarakan hal itu. Derek dan aku bukan pasangan kekasih." Kata Adina dengan tegas. Tidak menyangka akan membahas hal ini dengan anaknya."Kalau begitu apakah kalian hanya berteman?" tanya Bobby lagi."Aku tidak bisa menyebutnya sebagai teman. kami hanya sekedar kenala
Adina menatap Bobby dengan tatapan memohon untuk pengertiannya. "Dia masih lajang. Dia memiliki masa depan yang gemilang. Aku tidak enak padanya. terlebih lagi, aku takut kalau dia akan menolakmu, Bob.""Apakah dia menolakku?" tanya Bobby dengan meninggikan suaranya.Walau pun suaranya sudah berubah sejak tahun lalu, tiba-tiba saja Bobby terdengar sangat muda dan rapuh. hati Adina jatuh karenanya. "bagaimana menurutmu?" Sudut-sudut bibir Bobby sedikit tertekuk sebelum akhirnya berubah menjadi senyum yang lebar. "Aku rasa dia menyukaiku, walau pun hanya sedikit." jawab Bobby."Dia sangat menyukaimu." Balas Adina.Bobby bangun dari kursinya dan mulai berjalan mondar-mandir mengelilingi dapur tanpa tujuan, dia menyentuh benda-benda yang sudah dia kenal seolah benda-benda itu adalah hal baru baginya."rasanya sulit untuk di percaya. Aku selalu bertanya-tanya siapa ayahku, tapi Derek Emir. Astaga." Bisik Bobby, tangannya di sisir ke rambutnya. "Aku... Rasanya terlalu hebat untuk di percay
Kurang dari setengah jam, Derek sudah tiba di pintu depan rumah Adina. Selama itu Adina membuang makan malam yang tadi di masaknya yang sudah setengah matang ke dalam tempat sampah. Bobby pergi ke kamarnya untuk mandi dan berganti pakaian. Segera setelahnya, Bobby berjalan mondar-mandir di depan pintu, menunggu suara mobil yang akan berhenti di depan rumah mereka, tapi jauh sebelum mobil Derek yang memiliki suara yang khas berhenti, Bobby sudah tahu kalau Derek sudah sampai."Dia sudah datang!" Seru Bobby sambil menengok ke arah dapur sebelum berlari menuju pintu depan untuk membukakan pintu untuk Derek.Dari kaca ruang tamu, Adina melihat Derek berlari mengelilingi mobilnya. Keduanya seolah bergegas untuk bertemu, berhenti, dengan ragu-ragu, dengan sopan mereka berjabatan tangan dan lalu detik berikutnya mereka berdua berpelukan erat.Mata Adina basah karena air mata, tapi Adina segera menghapusnya. Dia turut bahagia bagi Bobby karena Derek cukup baik untuk menganggap anaknya Bobby
"Apa yang kau katakan padanya?" tanya Derek."Aku bilang tidak!" Jawab Adina dengan cepat."Maksudku bagaimana dia tahu kalau aku adalah ayahnya?" tanya Derek lagi mengoreksi maksudnya."Semuanya. Dia juga salah menyimpulkan kalau aku adalah ibu kandungnya." Jawab Adina.Derek menyentuhnya lagi, kali ini dia menyelipkan jari-jarinya ke belakang leher Adina. "Kau memang ibunya. Aku tidak akan melupakan itu. Dan Bobby juga pasti tidak akan melupakan hal itu. Saat ini dia hanya sedang bahagia tentang aku. Tapi itu tidak akan menghapus rasa cintanya padamu."Derek melangkah semakin mendekat, hingga Adina bisa merasakan napas pria itu di wajahnya. "Ini adalah acara keluarga. Ayo kita merayakannya bersama-sama. Ikutlah makan malam dengan kami." Untuk beberapa detik, Adina seakan tersihir oleh tatapan mata pria itu dan suaranya yang lembut. Lalu akhirnya Adina menggelengkan kepalanya dengan lembut. "Tidak, Derek. Setelah hampir tujuh belas tahun, aku rasa kau dan Bobby berhak untuk menikmat
"Menurut papa, kenapa mama begitu?" Tanya Bobby pada ayahnya beberapa menit setelah mereka berkendara lumayan jauh dari rumah.Derek yang sedang menyetir teringat bagaimana dia menatap kaca spion, di mana dia bisa melihat Adina yang berdiri di depan pintu yang terbuka, sebuah bayangan kecil yang terlihat seperti akan di telan oleh rumah itu."Aku rasa seperti yang dia katakan tadi, dia merasa kita perlu menghabiskan waktu bersama." Jawab Derek sambil melirik Bobby yang duduk di kursi penumpang di sebelahnya. "Apakah gagasannya untuk tinggal bersamaku untuk sementara waktu membuatmu senang?""tentu saja." Jawab Bobby, kegembiraan terlihat jelas di matanya yang berbinar. "Aku rasa akan sangat menyenangkan. Aku hanya terus memikirkan mama yang tinggal sendirian. Memang cuma sebentar saja, aku tidak mau papa merasa terikat denganku selamanya." Lanjutnya cepat."Kau boleh menghabiskan waktu denganku selama yang kau mau, Bobby. Aku sungguh-sungguh." Kata Derek.Senyum lembut Bobby meninggal
"Lanjutkan." Kata Derek dengan tenang."Mama bilang aku tidak normal kalau tidak menginginkan hal itu. Astaga. Aku terdengar seperti orang brengsek sekarang." Kata Bobby dengan nada erangan."Kebanyakan dari kita merasa seperti itu kalau kita membicarakan masalah ini, Bobby. Lupakan tentang kau terdengar seperti brengsek atau apa pun itu. Lanjutkan dan keluarkan apa yang ada di pikiranmu tentang masalah itu. Ceritakan padaku." Kata Derek."Baiklah, mama bilang aku seharusnya tidak melihat wanita hanya dari tubuh mereka saja, tapi aku juga harus mengagumi pikiran dan kepandaian mereka serta hal-hal lainnya juga. Papa tahu kan, segala hal yang membuatnya menjadi seperti seorang manusia. Kalau aku harus menghargai wanita dan tidak melakukan apa pun untuk mengeks... eksplot... eksplo..." Bobby tergagap karena tidak bisa mengingat kata dengan benar."Ekploitasi?" Potong Derek."Itu dia. Aku tahu apa artinya, aku hanya tidak bisa mengingat kata itu." Jawab Bobby."Ibumu benar. Bobby." Kata
Adina sangat gugup sampai dia nyaris membuat titik di atas huruf y pada nama Bobby yang menggumpal. Tapi dia menangkap tetesan krim kue itu tepat pada waktunya dan akhirnya memberi garis lurus di bawah nama Bobby dengan titik di ujunya dengan sempurna."Kita bisa merayakannya di rumahku saja." Kata Derek beberapa hari sebelumnya."Tidak. Aku ingin dia berada di rumah di hari ulang tahunnya." Jawab Adina. lalu menyadari kalau rumah Derek lebih terasa rumah bagi Bobby dari pada rumahnya sendiri. "Aku ingin merayakan ulang tahunnya dengan makan malam di sini." Lanjut Adina dengan cepat."Baiklah kalau begitu." Jawab Derek mengiyakan sambil tersenyum. belakangan ini pria itu bersikap dengan baik. "Ada yang bisa aku bantu?" tanya Derek menawarkan diri."Tidak. Terima kasih." Jawab Adina sama baiknya. "Bukan pesta yang besar. Hanya kita bertiga. tapi aku ingin memasak makanan kesukaan Bobby dan menjadikannya acara yang sangat istimewa. Bobby sudah lama menantikannya." lanjut Adina.Lalu Bob
Kekecewaan Adina begitu menusuk di hatinya. Dia bahkan tidak sanggup untuk berkata-kata."Ma? Halo? Mama?" Panggil Bobby dengan tidak sabar karena Adina belum berkata satu kata pun."Aku di sini. Ten-tentu saja, aku hanya sedang...""Sedang sibuk. Aku tahu. Papa bilang mama akan sangat sibuk untuk menyiapkan segala keperluan untuk nanti malam. Jadi kalau papa yang mengantarku untuk tes mengemudi dan mengambil SIM, pasti akan sangat membantu, kan?" Potong Bobby."Iya." Jawab Adina tidak bisa menutupi perasaan sedih dan kecewanya."Makan malamnya tidak usah yang berlebihan. Ini hanya ulang tahunku. bukan hal yang besar." Kata Bobby dengan nada tegas yang sengaja di buat-buat."Aku akan menyiapkan makan malam dengan berbagai hidangan yang banyak kalau aku mau, terima kasih banyak." Kata Adina. Adina tidak bisa mengatakan seberapa kecewanya dia karena tidak mengantar Bobby untuk tes mengemudinya, itu hanya akan merusak hari ulang tahun Bobby. "Hati-hati Bobby. Kau pasti bisa lulus dan me
"Aku tidak berusaha terdengar seperti orang munafik. Jangan berpkir aku melihat diriku seperti itu. Seharian aku mempersiapkan pidato ini. Setiap kata yang aku ucapkan adalah ungkapan dari hatiku. Tolong biarkan aku selesaikan. Masih ada yang lain." Jawab Adina dan Derek menganggukkan kepalanya menyuruhnya melanjutkan apa yang ingin Adina bicarakan."Apa yang terjadi pagi ini..." Adina memulai."Hmm?""Ada beberapa alasan mengapa hal itu sampai terjadi." Kata Adina hampir tergagap."Yang aku tahu itu adalah pemanasan yang bagus." Kata Derek."Derek..."Maaf." Derek melambaikan tangannya dengan tidak sabar."Aku merasa sangat sedih karena kematian ibuku. Tidak berdaya, kau tahu. Seperti bertanya-tanya apa gunanya hidup kalau harus berakhir seperti itu?" Kata Adina."Aku mengerti. Kau membutuhkan untuk berkontak dengan manusia lain, dan menegaskan kalau hdup ini memang memiliki arti." Kata Derek sambil menganggukkan kepalanya."Benar." Kata Adina, diam-diam merasa terkejut karena Derek
Dengan langkah lemas Adina menaiki anak tangga rumahnya. Dia tidak menyalakan lampu sama sekali, meski pun hari sudah sore dan kegelapan mulai memenuhi tiap sudut rumahnya.Di kamar tidurnya dia melepaskan sepatu kulitnya yang berwarna hitam dan meletakkan tasnya di atas lemari kecil. Adina berjalan menuju jendela yang mengarah langsung ke taman belakang. Dia menatap ke kejauhan untuk beberapa lama. Keputusaan telah merasukinya.Dia baru saja hendak berbalik ketika dia melihat bola sepak milik Bobby tergeletak begitu saja di rumpun bunga di tanah. Bola yang terlihat sangat kesepian, terbuang dan terlantar. da tampaknya melukiskan segala kesedihan dalam hidup Adina.Adina mendesah kuat-kuat dan mengulurkan tangannya ke punggung belakangnya untuk membuka resleting gaun hitamnya."Mari aku bantu." Kata Derek.Adina langsung berbalik karena terkejut. Derek berdiri di depan pintu kamarnya yang terbuka, dia masih mengenakan jaket hitam dan kemeja hitamnya. Saat denyut jantung Adina sudah k
Setelah mandi dengan cepat, Adina segera berpakaian. Adina menenteng sepatunya dan berjalan menyusuri rumah itu, dia berjalan ke arah dapur. Kemudian dia melihat sebuah pintu yang setengah terbuka. Adina kemudian mendorong pintu pelan dan membukanya.Kamar Bobby. Hal itu yang langsung terlihat olehnya. Pakaian-pakaiannya tergelatak di mana-mana, Sebuah kebiasaan buruk yang dulu membuatnya marah tapi kini dengan pesih dia merindukan kebiasaan itu. Berbagai ponser bintang rock, altet olahraga, dan sebuah poster model berbaju bikini yang ceria memenuhi dinding kamarnya. Sebuah minatur pesawat ada di meja bersama dengan setumpuk buku sekolah.Meski pun Bobby baru menempati kamar itu sebentar, Bobby sudah mengisi kamar itu dengan semua ciri khasnya. Selain barang-barang yang dari dulu sudah dia miliki, Adina juga melihat ada sebuah tv baru yang lengkap dengan perlengkapan video game, sesuatu yang memang sangat di inginkan Bobby sejak lama. Sebuah telepon yang sepertinya baru saja di pasan
Adina mendesah dalam-dalam sebelum dia membuka kedua matanya. Tubuhnya terasa lemas seperti dia baru saja melakukan aktifitas yang berat. Seolah setiap sel dalam tubuhnya tidak berdaya. Jantungnya berdetak lebih kuat dan lambat. Dia nyaris dapat merasakan aliran darah yang mengalir di pembuluh darahnya. Dia tidak ingat kapan terakhir kali dia pernah merasa sesantai ini. Bersantai seperti ini tanpa harus memikirkan apa pun rasanya enak sekali.Adina menguap dan meregangkan tubuhnya. Saat itulah dia merasa kakinya menyentuh kaki lain yang bukan kakinya. Adina langsung terkejut lalu dengan perlahan dia menoleh ke sampingnya. Derek sedang tidur tepat di sampingnya. Rambutnya acak-acakan dan bagian bawah wajahnya derdapat jenggot yang baru tumbuh. Selimut hanya menyelimutinya sebatas pinggang. Dada pria itu terpampang di depan wajahnya.Adina hanya berbaring dengan diam, dia nyaris tidak berani untuk bernapas. Adina memandangi pria itu. Menit demi menit sudah berlalu. Alam bawah sadarnya
"Aku pikir aku tidak perlu mengatakan tentang apa rancanaku padamu, Derek." Kata Adina."Aku tidak membeli mobil itu sebagai sogokan agar bisa lebih dekat dengan Bobby. Aku berani sumpah. AKu ahkan berpikir kalau kamu mungkin akan ikut senang kalau Bobby juga senang." Kata derek sambil tersenyum sinis. "Aku hanya ingin melakukan sesuatu yang istimewa baginya. Itu saja." Lanjut Derek."Aku juga begitu!" Kata Adina dengan meninggikan suaranya sambil menunjuk dadanya."Aku mengerti dan aku minta maaf karena itu. Memang aku yang salah. Hanya itu yang bisa aku katakan saat ini. Kecuali..." Derek berhenti dan memandang Adina dengan tatapan memohon dan menarik napas panjang. "Kau memiliki Bobby selama ini. Kamu merayakan ulang tahunnya selama ini bersamanya. Aku tidak pernah mengalami hal itu." Lanjut Derek.Adina terdiam, tidak mengatakan apa pun."Baiklah. Aku mungkin memang terlalu berlebihan dengan memberinya mobil itu. Tapi tolong jangan salahkan aku. Aku masih baru dalam hal ini. Aku a
Mulut Adina menganga lebar. "Apa?""Mengingat keadaan emosionalmu saat ini, kamu tidak bisa mengendarai mobil, sesuatu yang buruk bisa saja terjadi di jalanan. Lagi pula, aku tidak yakin kalo kamu punya tenaga untuk pulang ke rumah. Sebaiknya kamu tinggal di sini saja, tidak baik kalau kamu sendirian malam ini." Jelas Derek."Tidak apa-apa. Aku bisa mengatasinya sendiri." Jawab Adina."Aku memaksamu. Aku punya banyak kamar tidur yang kosong." Kata Derek."Tapi tempat tidurnya sudah pernah di gunakan." Balas Adina.Derek meringis. "Ternyata kau masih ingat. Tajam sekali ingatanmu. Aku janji, malam ini tidak akan ada pasangan setengah telanjang yang akan mengganggumu. Semua temanku sudah tahu kalau aku sekarang tinggal bersama anak remaja jadi perilaku seperti itu sudah di larang di sini." Jawab Derek."Apa yang kamu katakan pada mereka?" Tanya Adina penasaran."Mereka harus mencari tempat lain jika ingin telanjang." Jawab Derek."Bukan, maksudku tentang Bobby." Kata Adina sambil memuta
Hari sudah senja ketika Adina berbelok menuju rumah Derek. Adina memarkir mobilnya di depan rumah itu dan untuk sesaat dia hanya duduk di balik kemudinya, dia merasa terlalu letih dan sedih untuk bergerak.Akhirnya dia berhasil mengumpulkan energi untuk membuka pintu mobil dan berjalan menuju pintu depan rumah Derek. Dia mendengar denting bel pintu yang baru saja dia bunyikan dan geraman penuh curiga dari Luna sebelum akhirnya Derek membuka pintu yang ada di hadapannya. Pria itu hanya mengenakan celana renang yang basah. Dan Derek terlihat terkejut melihat apa yang ada di hadapannya saat ini."Hai, Apakah Bobby ada di rumah?" Tanya Adina pelan."Dia tidak ada." Jawab Derek.Adina sedikit terkejut. Satu-satunya yang dia pikirkan tadi hanyalah datang ke rumah ini untuk bertemu dengan Bobby."Ayo masuk." Kata Derek lalu mundur beberapa langkah agar wanita itu bisa masuk ke dalam rumahnya.Hanya ada sedikit energi yang tersisa dalam tubuh Adina. Dia tetap melakukan apa yang di minta pria
Belum sampai dua puluh menit, Ponsel Adina berdering kembali dari sebuah nomor yang tidak di kenal. Dengan hati yang gelisah Adina menepikan mobilnya dan mengangkat panggilan itu."Halo?" kata Adina."halo, maaf aku perawat dari rumah sakit." Jawab seseorang dari seberang."Apakah terjadi sesuatu pada ibuku?" tanya Adina dengan panik. "Kondisi ibumu tiba-tiba menurun. Sekarang sedang dalam tindakan, Apakah kau bisa kemari?" kata Perawat itu. Adina tertegun bingung, dia mendengar suara bising di lalu lintas dan juga suara bising dari balik telepon itu. Suara keras monitor dan suara kepanikan seorang pria yang di kenalnya sebagai dokter Bili yang menyuruh seseorang untuk menyiapkan sebuah suntikan obat."halo?" Kata perawat itu lagi."Aku... Aku dalam perjalanan." Kata Adina lalu segera mematikan panggilan itu. Dengan tangan gemetar Adina mencoba tenang dan berbalik arah kembali ke rumah sakit. Dia menyetir dengan kcepatan maksimum dan berdoa agar lalu lintas bersahabat dengannya unt
keesokan paginya ketika dia masuk ke dapur untuk membuat kopi, Adina terkejut melihat dapurnya sudah rapi dan bersih. Ruang makan juga sudah di bersihkan dari sisa-sisa pesta ulang tahun, walau pun bunganya masih ada di atas meja. Sepertinya Derek dan Bobby sudah membersihkan segalanya sebelum mereka pergi. Adina menyesap kopi yang sudah dia buat lalu berpikir bagaimana dia bisa menjual mobil yang baru saja dia beli itu. Mungkin si penjual mobil mau mengambilnya kembali dan mengembalikan uangnya. Sementara Adina sibuk merenung hal yang sepertinya tidak mungkin itu, teleponnya berdering. "Adina?" Suara seorang wanita yang dia kenal dari balik telepon. "ya?" jawab Adina. "Ini adalah Dokter Wulan." Kata wanita itu. benar saja, Dokter Wulan adalah dokter yang menangani ibunya. "Ibumu terkena serangan jantung yang parah beberapa menit yang lalu dan kami sedang dalam perjalanan dengan ambulans menuju ke rumah sakit yang lebih besar." Kata Dokter Wulan. Setelah menutup telepon dengan