Diperjalanan pulang dari gereja siang itu, Idris berkata kepada Sondang.“Mumpung kamu ke Lombok, puaskan jalan-jalan, Ndang. Kata orang, pantai di sana bagus, kan?”Sondang mengangguk, walau hatinya merasa sedih. Jalan-jalan di sana tanpa Idris, apa enaknya? Seindah apapun pantai, pemandangan terbaiknya adalah wajah Idris saat tersenyum. Idris melihat Sondang yang mulai bersedih lagi. Diulurkannya tangan sesaat untuk membelai rambut sondang.“Kita jalan-jalan ke Mall, yuk, Ndang,” ajaknya.“Ada yang mau dibeli, Bang?” tanya Sondang akhirnya, berusaha kembali kepada ketenangan yang diusahakannya sejak semalam.“Beli baju buat natal, mau? Mumpung ada waktu,” kata Idris lagi.“Kemeja atau Batik, Bang? Kalau mencari batik, lebih baik pergi ke toko biasa, bukan ke Mall.”“Kemeja saja. Jadi kita ke Mall, ya? Kita sekalian beli buat kamu juga,” kata Idris.Sondang menggeleng, lalu bicara sejenak dengan nada seperti malu.“Aku sudah beli baju natalku. Sebenarnya aku juga beli kemeja dan
Desember datang bersama hujan. Dari gazebo di halaman depan rumah, Sondang menyaksikan hasil pekerjaan hujan tadi pagi, yang membuat putih bunga Jambu air berjatuhan bagai helaian salju. Di halaman depan, dedaunan kecil pohon kemuning juga nampak berguguran bersama putik-putik bunga putih, yang membagi keharumannya sampai titik terakhir. Cantik sekali! Membuat Sondang menghela nafas kagum pada keindahan yang sedang dilihatnya. Usai hujan turun, membersihkan halaman memang akan menjadi pekerjaan yang berat. Namun saat ia memandang pada tanah yang terlihat menakjubkan, ketika bersatu dengan bunga-bunga yang gugur tersebut, dia merasa tak keberatan. Saat ia merasa tenang melihat semuanya itu, suara mobil terdengar berhenti di depan rumah mereka. “Langsung berangkat, ya,” suara Idris berseru dari dalamnya. Sondang melihat si pemilik suara dengan riang, dan bergegas memasuki mobil, menjumpai Idris yang mengembangkan senyum menyambutnya. Sudah seminggu mereka tidak bertemu. Hari ini,
Subuh di tanggal 23 Desember tiba juga. Saatnya tiba untuk Idris berangkat ke Palembang, merayakan natal di panti asuhan, tempat dia dibesarkan. Air mata tak bisa ditahan, ketika Sondang merasakan tangan kokoh Idris, mengusap lembut kepala dan pipinya. Seandainya tak ada keluarganya di sekitar mereka, ingin sekali dia masuk ke dalam pelukan Idris, dan menangis di dadanya. Idris juga menahan dirinya, untuk tak menarik Sondang ke dalam dekapannya. Akhirnya mereka berpisah, saat taksi yang dipesan Idris tiba. Sesaat setelah Idris berada di dalam mobil ‘travel’ yang membawanya ke Surabaya, telepon genggamnya, menampilkan pesan dari Sondang. "Bang, aku sudah rindu…" Cuma mendapat pesan begitu, sudah membuat hati Idris bergejolak. Setiap mereka bertatap muka, Sondang jarang sekali menunjukkan perasaannya, dan sangat sulit untuk ‘berkata’ mesra. Ketika dia berkata ‘rindu’, itu membuat Idris merasa terbuai, dan sangat ingin kembali untuk bisa segera memeluknya. Jam setengah 4 sore, Idri
“Selamat hari Natal, selamat hari Natal..”Begitu kebaktian 25 Desember usai, gereja penuh dengan ucapan itu. Semua orang saling menyalam, saling mengucapkan selamat. Kue-kue dibagikan, ada kopi juga. Semua orang bergembira, merayakan kelahiran Sang Juru Selamat Dunia. Sepulang gereja, Sondang bersama Friska mengikuti kunjungan natal ke Panti Lansia, bersama beberapa teman alumni universitas mereka.“Ndang, itu kenapa betismu?” tanya Friska saat mereka sedang duduk menunggu acara dimulai.Sondang melihat kepada betisnya, terlihat biru di beberapa tempat.“Terbentur mungkin, ya? Untung nggak sakit.”“Kamu sudah teleponan dengan Andi? Kok, dari semalam, aku nggak dengar kamu mengobrol dengan dia,” kata Sondang saat dia tiba-tiba teringat pada Andi.Friska cuma diam saja. Sepertinya dia sedang kesal.“Kalian lagi bertengkar, ya?” tanya Sondang akhirnya.Friska menghela nafas kesal.“Bukan bertengkar, cuma aku lagi malas aja mengobrol dengan dia. Minggu lalu dia memberitahuku, Mei nanti
“Belum sembuh, tapi sudah keluyuran, ya ini akibatnya..” Ucapan Mama itu, hanya pembuka dari rentetan kalimat lain yang diucapkan Mama untuk mengomeli Sondang. Gara-garanya, tengah malam tadi, Sondang tiba-tiba demam lagi. Perutnya terasa sakit, dan dia merasa mual sekali. Namanya seorang Ibu, biarpun sedang kesal, tetap saja tangannya sabar menunggu Sondang membuka mulut, menerima bubur sumsum yang disuapkannya. Seandainya ada Friska, sebenarnya Sondang memilih untuk disuapi olehnya saja. Kalau Friska yang mengomel, Sondang masih bisa membantah, atau malah memukulnya saja dengan bantal. Tapi dia pulang semalam, karena hari ini masih harus masuk bekerja sampai tanggal 28 Desember. “Kalau sakit begini, apa bisa kita pergi ke Lombok besok?” kata Mama lagi. Pertanyaan Mama itu, membuat Sondang merasa bersalah. Tak enak hati, kalau sampai dia merusak harapan Bang Paras, agar Mama ikut di acara doa mereka saat memasuki rumah baru. Belum sempat menjawab, Sondang tiba-tiba merasa s
Bang Paras masih tetap berharap agar Mama bisa datang ke Lombok. Tapi Sondang masih belum cukup sehat di sore itu. Tak mau mengambil risiko, di sisa waktu yang masih ada untuk mencari tiket, mereka akhirnya memutuskan agar Mama pergi bersama menantunya saja -Ipar sondang-. Si Kembar tidak ikut, dan tinggal di rumah bersama Ayah mereka. Karena Bang Sihol masih harus mengerjakan 'proyek'nya di rumah, maka Sondang harus membantu mengurus si Kembar. Untung saja tiket ke Lombok masih ada, walaupun harganya mahal sekali. Bang Sihol membantu menanggung biaya tiket istrinya, dan Bang Paras membayar tiket untuk Mama. Dengan berat hati, Sondang merelakan tiketnya hangus, dan berkata supaya Bang Paras tak usah mengganti uangnya. Sebelumnya, dia mengusulkan agar Iparnya memakai tiket miliknya saja, biar tak usah membeli tiket lagi. Dengan segera, usul itu ditolak oleh Bang Sihol. “Nggak boleh! Beli tiket yang baru,” perintahnya pada Sondang. Walaupun masih merasa belum terlalu fit, S
Setelah memastikan bahwa telepon sudah duduk kokoh di atas tripod, Sondang memulai merekam. Dia bergeser duduk menyerong menghadap Idris, bersiap mengajukan pertanyaan pertama. "Kapan Abang mulai suka pada saya?"Tangan Idris terulur hendak menjewer telinga Sondang, namun dia berhasil mengelak sambil tersenyum jahil. “Jawab aja,” bisiknya. Idris lalu berkata, “Huh..,” sambil menggeleng-gelengkan kepala. Meski biasanya dia selalu berterus terang tentang perasaannya kepada Sondang, ketika itu direkam, ternyata 'lain' rasanya. Sondang tetap diam, sabar menunggu sampai Idris siap menjawabnya."Emm, persisnya kapan , ya? Waktu kamu menyiapkan bekal buatku, mungkin. Atau, waktu aku melihatmu bermain di sungai dengan si Kembar. Atau, waktu kau bersikeras pergi ke pasar malam dengan si kembar? Atau, waktu kau merawatku saat sakit?""Itu namanya bukan ‘mulai suka’. Satu kejadian saja, persisnya kapan?” "Enggak tahulah. Enggak bisa dipastikan. Tapi, itu enggak penting, kan? Yang pentin
Di IGD, Sondang diperiksa oleh dokter jaga yang memeriksanya beberapa hari lalu. “Apa infeksinya lambungnya makin parah, Dok?” tanya Friska saat dokter memeriksa perut Sondang. Sejak masih di rumah, selain lemas dan mual, Sondang mengeluh perutnya sakit. Dokter perempuan muda tersebut tidak langsung menjawab. Dia masih memeriksa beberapa bagian di perut Sondang dengan tangannya, menekannya di beberapa tempat. Dia juga memeriksa mata, kaki dan tangan Sondang. Entah apa yang dicarinya, Friska dan Idris sama-sama tak tahu. “Iya, lambungnya masih belum sembuh. Tapi saya ingin memastikan , apakah ada kemungkinan penyakit lain. Kita akan melakukan tes fungsi hati,” dokter akhirnya menjawab setelah selesai memeriksa fisik Sondang. “Tes fungsi hati? Apakah dia terkena hepatitis, Dokter?” Idris bertanya dengan cepat. Seorang teman kerjanya pernah bercerita tentang pemeriksaan darah untuk mengetahui fungsi hati, saat sang teman terkena hepatitis. “Saya belum bisa memastikan, Pak. Nanti aka
“Hai, Ndang.. Selamat pagi,” sapa Idris ketika akhirnya langkahnya tiba di makam Sondang. Diletakkannya bunga mawar dan krisan putih, di dekat tulisan nama Sondang. Dirabanya nama tersebut dengan hati-hati, seolah dia sedang menyentuh rambut Sondang, seperti dulu. Dia tahu, Sondang tak ada di situ. Hanya tubuhnya yang tertinggal, perlahan-lahan sedang kembali menjadi tanah. Namun, hatinya begitu rindu untuk menyapa Sondang, dan untuk mengobrol dengan dia. “Pabriknya sudah selesai. Jadi aku akan pulang ke Jakarta besok,” katanya lagi, sambil menggigit bibirnya, menahan jatuhnya air mata. Tak ada jawaban apa-apa. Hanya ada teriakan anak-anak kecil yang bermain layang-layang, di sekitar pemakaman. "Harusnya kau ikut pulang bersamaku, kan?" Pada akhirnya Idris menangis. Rencananya untuk membawa Sondang, tinggal di rumah yang telah dipersiapkan Idris, kandas sudah. Sondang memilih berumah di seberang langit, tempat di mana Idris tak bisa mendatanginya. Idris menutup matanya. Dia sud
Usai acara penghiburan yang memang memancing kesedihan, Idris, Friska, Andi, dan keluarga Sondang duduk di ruang tengah. Friska sekarang tinggal di rumah itu, atas permintaan Mama. Menempati kamar Sondang dulu. Meski semua sangat rindu pada Sondang, namun sepanjang mereka mengobrol, tak seorangpun yang menyebut-nyebut nama Sondang, atau membicarakan kenangan tentang dia. Semua saling menjaga, sebab semua masih terluka hatinya. Masih perlu sangat banyak waktu, untuk membuat mereka sembuh. Namun, ketika Idris sudah naik ke kamarnya, bersama Andi yang ikut menginap, tiba-tiba Friska datang menemui mereka. Dia membawa sebuah tas, dan meletakkannya di atas meja di depan tempat tidur Idris. Di atas meja itu, juga ada foto Sondang dengan topi kelincinya. “Bang, aku bukan mau membuat Abang teringat-ingat Sondang. Aku hanya mau menyampaikan titipan Sondang untuk Abang.” Idris menenangkan hatinya sebentar, lalu membuka tas tersebut. Di bagian paling atas, ditemukannya selembar kertas
“Dris, bangunlah,” sebuah suara samar-samar terdengar memanggil namanya. Dibukanya mata, dan terlihat Bang Sihol di sisinya. Friska dan Andi juga ada di situ.Ternyata Idris sakit. Andi mencarinya ke kamar, setelah Idris tak kunjung menjawab teleponnya. Dan di situ, dilihatnya Idris berbaring dengan tubuh menggigil kedinginan, sambil mendekap erat songket hijau - jingga, di dadanya. Dia demam tinggi, mungkin karena terlalu lelah batin dan raganya. Menunggui Sondang setiap hari di rumah sakit, membuat tubuhnya akhirnya kalah. Dan kekalahan itu semakin telak, ketika semua jerih lelahnya, tak mampu membuat dia menang bertarung melawan maut, yang dengan tega telah merenggut Sondang darinya.Andi dan Bang Sihol membantunya mengganti pakaiannya, seperti yang dulu juga pernah dikerjakan Sondang, saat Idris sedang sakit. Mereka juga membantunya pergi ke toilet, sebab kakinya terlalu goyah untuk bisa berjalan sendiri. Lalu setelah semuanya selesai, Andi menyelimutinya dengan selimut tebal b
Hari sangat cerah, ketika Sondang akhirnya ‘pergi’. Hari itu hari Sabtu, hanya beberapa hari setelah Sondang menerima Perjamuan Kudusnya. Di taman rumah sakit, burung-burung ramai bernyanyi, di pohon-pohon yang tumbuh besar dan rindang. Anak-anak kecil terlihat riuh berlari-larian, tanpa pernah tahu, ketika mereka sedang tertawa menikmati kehidupan, Sondang sedang melintasi lembah mautnya. Saat itu, semua yang mengasihinya, menjeritkan namanya dengan sisa air mata yang masih ada. Mama sudah terduduk lemah di kursi, setelah lelah meratap sambil memeluk anak bungsunya yang mendahuluinya pulang. Dia tak mengerti, mengapa bukan dirinya yang sudah tua ini saja, yang dipanggil pulang. Mengapa Sondang yang masih muda, yang sedang akan memulai kebahagiaanya dengan Idris, harus dihentikan langkahnya dengan tiba-tiba seperti ini. Dia telah berulang kali berkata dalam doanya: “Angkatlah penyakitnya, pindahkan kepadaku.” Tapi ternyata, kehendaknya, tidak sama dengan kehendak Pemilik Kehidup
Siapa yang tak akan marah, dan sakit hati, jika rencana yang sudah disusun rapi, hancur dalam sekejap mata? Sondang merasa sakit hati pada Penciptanya. Dia merasa dilupakan, tak dipedulikan. “Aku tak dapat beriman padaMu,” bisik Sondang dalam kemarahannya. Namun ketika dia sangat putus asa, dia tetap kembali menaikkan doa. “Aku bukan seseorang yang istimewa, bukan orang yang berguna untuk orang lain. Tapi setidaknya, aku berusaha membuat diriku, tak menjadi beban bagi orang lain. Bolehkah aku hidup lebih lama lagi, dan menikmati kebahagiaan bersama Idris?” Marah dan sedihnya, akhirnya menjadi bagian yang berganti-ganti mengisi perasaannya. Dia bahkan telah kehilangan kemampuannya untuk tersenyum. Ketika Mama datang, dan duduk di sampingnya, sambil menyanyikan dengan lembut, lagu-lagu dari ‘Buku Ende’, dia justru merasa semakin terpuruk di dalam sakit hati yang mendalam terhadap semuanya. Dilihatnya kerut-kerut wajah Mama, tanda dari tahun-tahun yang banyak dan berat, yang suda
Meski sudah berlatih untuk tidak menangis, air mata Sondang tetap saja tumpah, ketika Idris datang di hari Sabtu sore. Usai mengusap air matanya, tatapannya menyusuri wajah lelah Idris, dan menemukan kemurungan di sana, yang tak mampu disembunyikan oleh senyuman. Begitu Idris datang, Mama yang sejak tadi pagi menjaga Sondang, memutuskan untuk pulang dulu. Friska juga menunda kedatangannya, memberi waktu bagi mereka berdua untuk saling berbicara. Tapi Sondang tak punya kata-kata untuk dibicarakan. Kesedihan mengatupkan mulutnya, membuat kata-kata hanya diam dalam pikiran. “Bagaimana keadaanmu, Ndang?” tanya Idris lembut, sambil mengelus jemari Sondang. Sondang menggigit bibirnya, berjuang agar air matanya tak lagi jatuh. Tanpa Sondang harus menjawabpun, Idris pasti sudah dapat menebak keadaannya sekarang. Mata dan kulitnya yang semula hanya pucat, sekarang mulai terlihat menguning. Tidak terlalu kuning, tapi pasti tak akan luput dari mata Idris yang selalu teliti. Dia juga pasti
Ketika sedang bersalam-salaman usai kebaktian minggu, Pendeta bertanya pada Sondang, tentang kesehatannya. Di ujung perbincangan mereka, Sang Pendeta kemudian berkata, “Tadi saya sudah mengobrol dengan ‘temanmu’. Konseling pranikah kalian, kita tunda sampai kamu sehat dulu, ya.” Sondang bengong sejenak, baru kemudian memahami maksud Pendeta. “Oh, iya.. Seharusnya dimulai hari ini ya, Amang? Jangan Amang, jangan ditunda.. Biar saja hari ini dimulai..” Pendeta memandangnya tak yakin. “Nanti saja, Ndang. Kalau kamu sudah sembuh.” Sondang menggeleng, “Sekarang saja ya, Amang. Mumpung Bang Idris ada juga,” bantahnya dengan suara memohon. Pendeta akhirnya setuju. Dari tempatnya berdiri, Sondang mencari Idris, dan melihatnya sedang mengobrol bersama Andi dan yang lainnya. Sondang menghampirinya dan berkata, “Bang, ke sini sebentar, ya..” Di depan Pendeta yang masih menunggu mereka, Sondang berkata, “Ayo, Bang.. Kita konseling sekarang.” “Tadi kami sudah sepakat menundanya, sampai kam
Kadang-kadang, zaman ketika informasi begitu mudah didapat ini, justru membawa kecemasan baru.Seperti hari ini. Begitu dokter memutuskan untuk melakukan biopsi, beberapa saat kemudian, Idris sudah memperoleh informasi mengenai kemungkinan penyakit Sondang.Itulah penyebabnya, meskipun sepanjang perjalanan menuju Site tadi, dia sudah menangis, air matanya tetap belum lelah turun, ketika dia sudah berada di kamarnya di tengah malam itu.Ditekuknya kaki, bersujud di tepi pembaringan. Dia sangat ketakutan, dan merasa membutuhkan kekuatan melalui doa.Tadi, sekitar jam 9 malam, dia sudah menelepon Friska, yang kembali menunggui Sondang di sana.“Dia sudah tidur, Bang,” kata Friska memberitahu.“Jangan biarkan dia sering-sering memegang teleponnya ya, Fris,” kata Idris meminta tolong. Dia takut kalau seperti dirinya, Sondang juga tergoda untuk mencari tahu mengenai penyakitnya. Dia tak ingin Sondang merasa takut dan akhirnya malah putus asa.“Iya, Bang. Dia menurut, kok. Tadi kan, Abang j
Di IGD, Sondang diperiksa oleh dokter jaga yang memeriksanya beberapa hari lalu. “Apa infeksinya lambungnya makin parah, Dok?” tanya Friska saat dokter memeriksa perut Sondang. Sejak masih di rumah, selain lemas dan mual, Sondang mengeluh perutnya sakit. Dokter perempuan muda tersebut tidak langsung menjawab. Dia masih memeriksa beberapa bagian di perut Sondang dengan tangannya, menekannya di beberapa tempat. Dia juga memeriksa mata, kaki dan tangan Sondang. Entah apa yang dicarinya, Friska dan Idris sama-sama tak tahu. “Iya, lambungnya masih belum sembuh. Tapi saya ingin memastikan , apakah ada kemungkinan penyakit lain. Kita akan melakukan tes fungsi hati,” dokter akhirnya menjawab setelah selesai memeriksa fisik Sondang. “Tes fungsi hati? Apakah dia terkena hepatitis, Dokter?” Idris bertanya dengan cepat. Seorang teman kerjanya pernah bercerita tentang pemeriksaan darah untuk mengetahui fungsi hati, saat sang teman terkena hepatitis. “Saya belum bisa memastikan, Pak. Nanti aka