Jam 8 malam itu, telepon Sondang membunyikan panggilan dari Idris.Sondang hampir mengangkatnya, namun air mata yang kembali jatuh membuatnya urung. Dia tak ingin membagi kesedihannya dengan Idris malam ini, ketika rasa marah kepada Mama memenuhi pikirannya. Jika dia berbicara dengan Idris sekarang, dia khawatir akan ‘keceplosan’, dan menceritakan kata-kata ‘kejam’ Mama tentang Idris, kepadanya.Sondang sedang merasa sakit hati pada Mama. Dia telah menghina Idris, karena sebuah takdir yang tak kan pernah bisa diubah. Seandainya Idris mendengar ucapan Mama tersebut, bukankah dia juga pasti akan marah?Namun, bukan Idris namanya jika dia menyerah dengan mudah.Dia terus mengulang menelepon, dan Sondang tak tega untuk mematikan teleponnya. Yang sanggup dia lakukan hanyalah mendiamkan nada dering.‘Ndang, kamu sibuk ya? Teleponku dari tadi enggak diangkat.’ Sondang membaca pesan itu di tampilan layar depan, hampir 20 menit setelah teleponnya berulang kali menampilkan panggilan yang gagal
Rumah Sondang terasa begitu hening sekarang. Meskipun kedua keponakannya kadang masih bermain riuh di ruang tengah, namun suasananya sudah berubah.Sejak malam yang membuat Mama menangis itu, Mama memilih ke luar kamar di pagi hari, setelah Bang Sihol berangkat bekerja. Dia juga berhenti menonton sinetron setelah makan malam, dan memilih untuk masuk ke kamarnya, begitu Bang Sihol atau Sondang kembali ke rumah usai bekerja.Selama 2 hari ini, begitulah ritmenya, membuat pulang ke rumah terasa menyedihkan bagi Sondang. Tak ada lagi percakapan keluarga yang menyenangkan, meski sesekali dibumbui oleh perdebatan ‘tak berarti’ antara Mama dan Sondang. Rumah ini sedang diisi kemarahan dan kekecewaan sekarang.Sejak malam itu, Sondang dan Bang Sihol tidak pernah lagi bertemu Mama. Mama selalu mengurung diri kamarnya, tak mau ke luar untuk makan malam, juga tak mau membuka pintunya, jika tahu bahwa Sondang atau Bang Sihol yang mengetuk untuk meminta izin masuk.Hanya Ipar Sondang yang masih be
“Kenapa Mama selalu bersikap begini, kalau keinginannya tidak dituruti? Aku capek,” keluh Sondang kepada Abang dan Iparnya. “Hus, jangan bicara seperti itu, Ndang. Itu nggak baik,” tegur Abangnya dengan lembut.Air mata Sondang menitik satu-satu, jatuh ke atas meja makan di dapur. Iparnya segera beranjak mengambil tissue dan memberikannya pada Sondang.“Tapi aku memang capek, Bang. Dari dulu, aku harus selalu menuruti kemauan Mama, yang sering kali nggak masuk akal alasannya. Apa aku nggak boleh punya keinginanku sendiri? Apa cuma Mama yang harus dihormati kemauannya?” Sondang makin terisak-isak.Iparnya menghampiri, memeluk Sondang dengan simpati.Bang Sihol melihatnya dalam diam. Mereka sama-sama tahu, bahwa meski sudah banyak berubah dibandingkan dulu, Mama masih tetap keras hati. Dan Sondang selaku anak perempuan satu-satunya, memang banyak ‘mengorbankan’ harapannya sendiri, demi mematuhi keinginan Mama. Dia ingat, ketika Sondang menangis mengadu kepadanya, meminta bantuannya ya
Jumat akhirnya tiba juga.Di kantor, Sondang sejenak bisa melupakan permasalahannya dengan Mama, karena kesibukannya mengurusi data penjualan. Apalagi di hari Jumat, yang selalu merupakan hari yang sibuk: ada 3 laporan yang harus dibuat sebelum jam 12 siang, dan ada faktur-faktur yang harus diserahterimakan kepada Sales.“Ndang, dari tadi telponmu bordering terus,” kata Emma, teman seruangannya. Sondang terheran-heran mendengarnya. Dia memang meninggalkan teleponnya di meja, karena tak memerlukannya saat menemui para Sales. Tapi biasanya juga telepon itu tak pernah berbunyi d pagi hari seperti ini.Ada 5 panggilan tak terjawab dari Iparnya. Karena teleponnya tak terjawab, Iparnya ternyata mengirimkan sebuah pesan singkat:‘Ndang, Inang nggak sadar tadi di kamarnya. Kami lagi di rumah sakit sekarang,’Seperti ada gong yang dipukul bertalu-talu dengan kencangnya di kepala dan telinga Sondang, membuat dia merasa begitu bising dan kacau. Bagaimana ini? Mengapa Mama bisa kehilangan kesada
Sepulang dari rumah sakit, ternyata Sondang tak bisa langsung tertidur. Awalnya karena dia berbalas pesan dengan Idris, yang menanyakan keadaan Mama, dan mengatakan bahwa dia akan datang menemui Sondang di rumah sakit besok.‘Bang, nggak usah datang dululah ke rumah sakit,’ cegahnya pada Idris.‘Aku cuma di luar saja, Ndang. Aku mengerti, kalau Mama belum mau kutemui. Aku ingin bertemu denganmu dan Bang Sihol.’ Idris membalas dengan segera.Sondang memikirkan kalimat lain untuk membuat Idris mengerti, bahwa bukan hanya Mama, tapi dia sendiripun saat ini sedang tidak siap bertemu Idris. Mama sedang sakit karena Sondang, dan Sondang tak ingin ‘mengkhianati’ Mama, dengan bertemu Idris. Di rumah sakit pula!‘Aku sedang capek, Bang. Kita bertemu lain kali saja.’ Namun setelah mengirim jawaban tersebut, Sondang merasa jawabannya ‘kasar’ sekali, membuat dia merasa menyesal telah mengirimkannya.Tak ada lagi pesan balasan dari Idris, membuat Sondang merasa sangat bersalah. Idris mungkin se
Senin siang, Mama sudah boleh pulang ke rumah. Si Kembar menyambut Ompung mereka dengan sukacita. Mereka bolak-balik memeluk Mama, dan berulang kali berkata, “Ompung jangan sakit lagi, ya..” Tubuh Mama sudah hampir pulih sepenuhnya, dan dia juga sudah mau kembali berbicara dengan Bang Sihol dan Sondang. Tapi rasanya ada yang berubah, sikapnya tak selugas dulu lagi. Mama sekarang terlihat seperti kehilangan semangat. Dia memang sudah kembali duduk di ruang tengah, menonton sinetron kesukaanya setelah makan malam. Tapi setengah dari kegembiraannya seperti lenyap. Dan kadang-kadang, dia malah terlihat seperti menatap kosong saja ke layar televisi di depannya. Sondang tak mungkin tak terpengaruh oleh kemuraman sikap Mama. Dia masih terus merasa bersalah atas sakitnya Mama, dan sangat berhati-hati menjaga sikap dan perkataannya, agar jangan sampai menyinggung hati Mama. Namun sebagai imbasnya, saat makan malam yang biasanya menjadi saat bertukar cerita antara mereka berempat, sekarang
Ketika Sondang dan Friska tiba di gereja pagi itu, Idris sudah lebih dahulu sampai di sana. Dia duduk di samping Andi,. Andi duduk di samping Tito, dan Tito duduk di samping Justin. Iya, Justin… Sondang ingin pindah ke sekolah minggu saja rasanya, menunggui kedua keponakannya. Dia merasa gemetar jika harus duduk di bangku di depan Idris dan Justin. Sebab dia yakin, kedua lelaki itu pasti akan memperhatikannya. Tapi Friska yang tak tahu kegalauan hatinya, langsung dengan riangnya duduk di bangku persis di depan Idris, dan langsung membalikkan badannya menghadap Idris sembari berkata: “Hallo, Bang..” Padahal ke Andi, dia cuma tersenyum lebar saja. Terlihat senyum melebar di wajah Idris, menyambut keceriaan Friska. Dengan jelas, Idris bisa melihat wajah Sondang yang begitu dirindukannya. Terlihat muram, tanpa kebahagiaan yang diingatnya, saat terakhir kali mereka bertemu. Padahal dia memakai baju pink berenda yang manis sekali, yang semestinya cocok dengan wajahnya ketika sedang ri
Sekitar 1 jam kemudian, mereka berempat sudah duduk lesehan di sebuah rumah makan bernuansa alam di pinggiran kota.Andi sudah langsung memilih duduk di samping Friska, sehingga Sondang harus duduk bersisian dengan Idris. Tapi ini memang posisi terbaik, membuat Sondang terhindar dari posisi berhadap-hadapan dengan Idris. Kalau bersebelahan begini, dia tak perlu sibuk membuang pandang ke sana ke mari, hanya untuk menghindar dari ‘kejaran’ tatapan mata Idris.“Mau makan apa, Ndang?” tanya Idris padanya, sambil menggeser buku menu ke arah Sondang. Sondang yang sejak tadi pagi sudah merasa ‘panas dingin’, menggeser balik buku tersebut kepada Idris.“Abang saja yang memilih,” katanya pelan, tanpa melihat ke arah Idris.Di depan mereka, Andi dan Friska nampak akur melihat ke pada menu-menu yang ditawarkan. Mereka duduk rapat, dan sesekali kepala mereka terlihat bersentuhan, saat Friska menunjuk menu-menu yang ada, dan Andi mengomentarinya. Kontras sekali posisi mereka, dengan Sondang yang
“Hai, Ndang.. Selamat pagi,” sapa Idris ketika akhirnya langkahnya tiba di makam Sondang. Diletakkannya bunga mawar dan krisan putih, di dekat tulisan nama Sondang. Dirabanya nama tersebut dengan hati-hati, seolah dia sedang menyentuh rambut Sondang, seperti dulu. Dia tahu, Sondang tak ada di situ. Hanya tubuhnya yang tertinggal, perlahan-lahan sedang kembali menjadi tanah. Namun, hatinya begitu rindu untuk menyapa Sondang, dan untuk mengobrol dengan dia. “Pabriknya sudah selesai. Jadi aku akan pulang ke Jakarta besok,” katanya lagi, sambil menggigit bibirnya, menahan jatuhnya air mata. Tak ada jawaban apa-apa. Hanya ada teriakan anak-anak kecil yang bermain layang-layang, di sekitar pemakaman. "Harusnya kau ikut pulang bersamaku, kan?" Pada akhirnya Idris menangis. Rencananya untuk membawa Sondang, tinggal di rumah yang telah dipersiapkan Idris, kandas sudah. Sondang memilih berumah di seberang langit, tempat di mana Idris tak bisa mendatanginya. Idris menutup matanya. Dia sud
Usai acara penghiburan yang memang memancing kesedihan, Idris, Friska, Andi, dan keluarga Sondang duduk di ruang tengah. Friska sekarang tinggal di rumah itu, atas permintaan Mama. Menempati kamar Sondang dulu. Meski semua sangat rindu pada Sondang, namun sepanjang mereka mengobrol, tak seorangpun yang menyebut-nyebut nama Sondang, atau membicarakan kenangan tentang dia. Semua saling menjaga, sebab semua masih terluka hatinya. Masih perlu sangat banyak waktu, untuk membuat mereka sembuh. Namun, ketika Idris sudah naik ke kamarnya, bersama Andi yang ikut menginap, tiba-tiba Friska datang menemui mereka. Dia membawa sebuah tas, dan meletakkannya di atas meja di depan tempat tidur Idris. Di atas meja itu, juga ada foto Sondang dengan topi kelincinya. “Bang, aku bukan mau membuat Abang teringat-ingat Sondang. Aku hanya mau menyampaikan titipan Sondang untuk Abang.” Idris menenangkan hatinya sebentar, lalu membuka tas tersebut. Di bagian paling atas, ditemukannya selembar kertas
“Dris, bangunlah,” sebuah suara samar-samar terdengar memanggil namanya. Dibukanya mata, dan terlihat Bang Sihol di sisinya. Friska dan Andi juga ada di situ.Ternyata Idris sakit. Andi mencarinya ke kamar, setelah Idris tak kunjung menjawab teleponnya. Dan di situ, dilihatnya Idris berbaring dengan tubuh menggigil kedinginan, sambil mendekap erat songket hijau - jingga, di dadanya. Dia demam tinggi, mungkin karena terlalu lelah batin dan raganya. Menunggui Sondang setiap hari di rumah sakit, membuat tubuhnya akhirnya kalah. Dan kekalahan itu semakin telak, ketika semua jerih lelahnya, tak mampu membuat dia menang bertarung melawan maut, yang dengan tega telah merenggut Sondang darinya.Andi dan Bang Sihol membantunya mengganti pakaiannya, seperti yang dulu juga pernah dikerjakan Sondang, saat Idris sedang sakit. Mereka juga membantunya pergi ke toilet, sebab kakinya terlalu goyah untuk bisa berjalan sendiri. Lalu setelah semuanya selesai, Andi menyelimutinya dengan selimut tebal b
Hari sangat cerah, ketika Sondang akhirnya ‘pergi’. Hari itu hari Sabtu, hanya beberapa hari setelah Sondang menerima Perjamuan Kudusnya. Di taman rumah sakit, burung-burung ramai bernyanyi, di pohon-pohon yang tumbuh besar dan rindang. Anak-anak kecil terlihat riuh berlari-larian, tanpa pernah tahu, ketika mereka sedang tertawa menikmati kehidupan, Sondang sedang melintasi lembah mautnya. Saat itu, semua yang mengasihinya, menjeritkan namanya dengan sisa air mata yang masih ada. Mama sudah terduduk lemah di kursi, setelah lelah meratap sambil memeluk anak bungsunya yang mendahuluinya pulang. Dia tak mengerti, mengapa bukan dirinya yang sudah tua ini saja, yang dipanggil pulang. Mengapa Sondang yang masih muda, yang sedang akan memulai kebahagiaanya dengan Idris, harus dihentikan langkahnya dengan tiba-tiba seperti ini. Dia telah berulang kali berkata dalam doanya: “Angkatlah penyakitnya, pindahkan kepadaku.” Tapi ternyata, kehendaknya, tidak sama dengan kehendak Pemilik Kehidup
Siapa yang tak akan marah, dan sakit hati, jika rencana yang sudah disusun rapi, hancur dalam sekejap mata? Sondang merasa sakit hati pada Penciptanya. Dia merasa dilupakan, tak dipedulikan. “Aku tak dapat beriman padaMu,” bisik Sondang dalam kemarahannya. Namun ketika dia sangat putus asa, dia tetap kembali menaikkan doa. “Aku bukan seseorang yang istimewa, bukan orang yang berguna untuk orang lain. Tapi setidaknya, aku berusaha membuat diriku, tak menjadi beban bagi orang lain. Bolehkah aku hidup lebih lama lagi, dan menikmati kebahagiaan bersama Idris?” Marah dan sedihnya, akhirnya menjadi bagian yang berganti-ganti mengisi perasaannya. Dia bahkan telah kehilangan kemampuannya untuk tersenyum. Ketika Mama datang, dan duduk di sampingnya, sambil menyanyikan dengan lembut, lagu-lagu dari ‘Buku Ende’, dia justru merasa semakin terpuruk di dalam sakit hati yang mendalam terhadap semuanya. Dilihatnya kerut-kerut wajah Mama, tanda dari tahun-tahun yang banyak dan berat, yang suda
Meski sudah berlatih untuk tidak menangis, air mata Sondang tetap saja tumpah, ketika Idris datang di hari Sabtu sore. Usai mengusap air matanya, tatapannya menyusuri wajah lelah Idris, dan menemukan kemurungan di sana, yang tak mampu disembunyikan oleh senyuman. Begitu Idris datang, Mama yang sejak tadi pagi menjaga Sondang, memutuskan untuk pulang dulu. Friska juga menunda kedatangannya, memberi waktu bagi mereka berdua untuk saling berbicara. Tapi Sondang tak punya kata-kata untuk dibicarakan. Kesedihan mengatupkan mulutnya, membuat kata-kata hanya diam dalam pikiran. “Bagaimana keadaanmu, Ndang?” tanya Idris lembut, sambil mengelus jemari Sondang. Sondang menggigit bibirnya, berjuang agar air matanya tak lagi jatuh. Tanpa Sondang harus menjawabpun, Idris pasti sudah dapat menebak keadaannya sekarang. Mata dan kulitnya yang semula hanya pucat, sekarang mulai terlihat menguning. Tidak terlalu kuning, tapi pasti tak akan luput dari mata Idris yang selalu teliti. Dia juga pasti
Ketika sedang bersalam-salaman usai kebaktian minggu, Pendeta bertanya pada Sondang, tentang kesehatannya. Di ujung perbincangan mereka, Sang Pendeta kemudian berkata, “Tadi saya sudah mengobrol dengan ‘temanmu’. Konseling pranikah kalian, kita tunda sampai kamu sehat dulu, ya.” Sondang bengong sejenak, baru kemudian memahami maksud Pendeta. “Oh, iya.. Seharusnya dimulai hari ini ya, Amang? Jangan Amang, jangan ditunda.. Biar saja hari ini dimulai..” Pendeta memandangnya tak yakin. “Nanti saja, Ndang. Kalau kamu sudah sembuh.” Sondang menggeleng, “Sekarang saja ya, Amang. Mumpung Bang Idris ada juga,” bantahnya dengan suara memohon. Pendeta akhirnya setuju. Dari tempatnya berdiri, Sondang mencari Idris, dan melihatnya sedang mengobrol bersama Andi dan yang lainnya. Sondang menghampirinya dan berkata, “Bang, ke sini sebentar, ya..” Di depan Pendeta yang masih menunggu mereka, Sondang berkata, “Ayo, Bang.. Kita konseling sekarang.” “Tadi kami sudah sepakat menundanya, sampai kam
Kadang-kadang, zaman ketika informasi begitu mudah didapat ini, justru membawa kecemasan baru.Seperti hari ini. Begitu dokter memutuskan untuk melakukan biopsi, beberapa saat kemudian, Idris sudah memperoleh informasi mengenai kemungkinan penyakit Sondang.Itulah penyebabnya, meskipun sepanjang perjalanan menuju Site tadi, dia sudah menangis, air matanya tetap belum lelah turun, ketika dia sudah berada di kamarnya di tengah malam itu.Ditekuknya kaki, bersujud di tepi pembaringan. Dia sangat ketakutan, dan merasa membutuhkan kekuatan melalui doa.Tadi, sekitar jam 9 malam, dia sudah menelepon Friska, yang kembali menunggui Sondang di sana.“Dia sudah tidur, Bang,” kata Friska memberitahu.“Jangan biarkan dia sering-sering memegang teleponnya ya, Fris,” kata Idris meminta tolong. Dia takut kalau seperti dirinya, Sondang juga tergoda untuk mencari tahu mengenai penyakitnya. Dia tak ingin Sondang merasa takut dan akhirnya malah putus asa.“Iya, Bang. Dia menurut, kok. Tadi kan, Abang j
Di IGD, Sondang diperiksa oleh dokter jaga yang memeriksanya beberapa hari lalu. “Apa infeksinya lambungnya makin parah, Dok?” tanya Friska saat dokter memeriksa perut Sondang. Sejak masih di rumah, selain lemas dan mual, Sondang mengeluh perutnya sakit. Dokter perempuan muda tersebut tidak langsung menjawab. Dia masih memeriksa beberapa bagian di perut Sondang dengan tangannya, menekannya di beberapa tempat. Dia juga memeriksa mata, kaki dan tangan Sondang. Entah apa yang dicarinya, Friska dan Idris sama-sama tak tahu. “Iya, lambungnya masih belum sembuh. Tapi saya ingin memastikan , apakah ada kemungkinan penyakit lain. Kita akan melakukan tes fungsi hati,” dokter akhirnya menjawab setelah selesai memeriksa fisik Sondang. “Tes fungsi hati? Apakah dia terkena hepatitis, Dokter?” Idris bertanya dengan cepat. Seorang teman kerjanya pernah bercerita tentang pemeriksaan darah untuk mengetahui fungsi hati, saat sang teman terkena hepatitis. “Saya belum bisa memastikan, Pak. Nanti aka