Aku masih mencoba memintanya menghentikan aksi tak senonohnya itu, tetapi seolah menulikan diri. Barulah saat aku menangis, ia baru melepaskanku. “Maaf,” katanya. Aku masih mengusap bibirku. Sampai kemudian pria itu kembali ke tempat duduknya. “Mas enggak seharusnya seperti ini.” Ia memberikan tisu, tetapi itu hanya bisa mengeringkan air mata, tetapi tidak dengan harga diriku. “Aku suamimu, Alea.” “Tapi, di perjanjian kamu yang menuliskan sendiri, kalau kita tidak akan melakukan sentuhan apa pun. Lalu, kenapa hari ini kamu melanggarnya?” “Maaf, aku benar-benar hilang kendali. Aku tidak suka dituduh gay.” “Kalau, memang enggak merasa. Bisa kan diam saja, aku juga hanya orang lain. Apa bedanya aku dengan mereka?” “Kamu bukan orang lain bagiku.” “Kita memang suami istri, tapi bahkan meski kita tinggal serumah. Kita enggak pernah melakukan hubungan selayaknya pasangan menikah bukan. Hubungan seperti ini enggak bisa disebut pernikahan. Jadi berhentilah memperlakukanku seperti in
“Sejak kapan itu beruba?”Aku merasa itu hanya akal-akalannya saja.“Salahkah jika seorang suami mencintai istrinya.”“Enggak salah Mas, hanya saja ini terlalu mendadak. Aku perlu waktu buat menerima semuanya.”“Kamu perlu waktu atau memang merasa jijik padaku?”“Kenapa kamu berpikir begitu?”“Alea, kamu bukan orang pertama yang merasakan hal itu ketika bersamaku. Ada banyak wanita yang menghindariku hanya karena mereka menganggap aku ini pria yang tidak normal, tapi dari semua wanita kamu berbeda. Aku tahu kamu merasa jijik, tetapi masih tetap menjaga sikap. Kamu bahkan masih mau memperlakukanku seperti biasanya.”“Aku hanya menjalankan kewajibanku.”“Semau itu bukan kewajiban Alea, sudah berapa kali kukatakan, kalau kamu tidak perlu memasak dan merapikan rumah.”“Kalau bukan aku, memangnya siapa lagi yang akan mengerjakannya.”“Dari dulu aku mengerjakannya sendiri dan kalau pun tidak sempat aku biasa menyewa jasa cleaning service mingguan. Kenapa juga kamu mau repot-repot melakukan
Keterlaluan sekali kalau memang benar pria ini sampai mengikuti kami.Begitu pandangan kami bertemu Reza langsung menyapa dengan gayanya yang so asyik. Entahlah Dari awal berjumpa dengannya, aku merasa pertemanan mereka sedikit tidak wajar.Ia terlalu berlebihan. Kurasa di kultur negara kita, sangat jarang ditemukan pertemanan laki-laki yang saling memperhatikan sampai segitunya.“Kok di sini juga?”“Kebetulan aja mau kontrol.”“Gila! Rajin banget semalam abis acara, paginya langsung on the way ke sini.”“Kamu bilang harus rajin. Bagaimana sih!”Sekarang ia bahkan bicara dengan logatnya yang manja.Kenapa dengannya, badan saja kekar tetapi logatnya seperti perempuan.“Kalian juga ngapain di sini.”“Biasalah, nyari suasana baru.”“Hm, iri banget deh sama pengantin baru.”Ya Tuhan, rasanya kesal sekali melihat tingkah pria kemayu ini.“Mas aku duluan ke mobil ya, ngantuk banget soalnya. Kalau, kalian masih mau ngobrol lanjutkan aja enggak apa kok.”Saat itu aku bisa melihat ekspresi ter
Sudah kuduga ia pasti menyukai suamiku.Ya Allah, ternyata hubungan seperti ini memang benar-benar ada. Sekarang, aku harus bagaimana, jika kemudian Mas Syahru juga memiliki perasaan yang sama?“Kamu bilang apa? Memangnya kamu menanggap aku sebagai apa? Bukankah kita saudara. Sudahlah, aku buru-buru. Setelah ini aku ingin pergi lagi.”“Memangnya kamu mau ke mana?”“Mau ajak Alea ke tempat makan yang lagi viral itu.”Mas Syahru bahkan tersenyum begitu lebar. Namun, berbeda dengan lawan bicaranya yang tampak memerah. Jelas sekali aura ketidaksukaan terpancar di wajahnya.Mungkinkah dia cemburu padaku.Mas Syahru dengan tegas melepaskan rangkulan Reza.“Jangan lakukan ini lagi!”“Kenapa? Apa kamu malu? Dulu kamu biasa saja.”“Ada perasaan yang harus aku jaga.”“Kamu mati-matian menjaga perasaannya, memangnya yakin kalau dia juga puny
Ia bahkan tak menghargai keberadaanku di sini. Berani sekali ia memeluk Mas Syahru di depanku.Aku refleks memalingkan wajah karenanya.“Jangan begini Za, kita mungkin memancing orang untuk berpikir macam-macam!”“Jangan pergi, Sayang!”Aku ingin berbalik, tetapi ragu. Ia memanggil aku atau bukan. Sebelumnya sekali pun ia tak pernah memanggil sapaan itu, kecuali jika kami sedang berada di luar. Namun, saat kurasakan seseorang menarik lenganku dari rah belakang, barulah aku sadar jika yang di maksud Mas Syahru memang aku.“Tunggu sebentar!” katanya lagi.“Kalau Mas masih ada urusan sama Reza, enggak apa selesaikan dulu. Kita bisa keluar kapan saja, lagi pula sekarang gerimis. Kayaknya terlalu maksain juga kalau kita nekat pergi sekarang.”“Dia bahkan enggak keberatan, Ru. Kenapa kamu yang justru seperti keberatan.”“Kamu ini yang kenapa Za, datang-datang sudah bertingkah aneh? Kali ini kami memang niatnya mau pergi. Bukannya kamu juga tahu itu.”Aku masih ingat tadi pagi Mas Syahru sem
Semakin aku melarangnya pria itu malah menjadi lebih tertantang. Sekarang aku hanya bisa pasrah. Membiarkan ia menyisir rambutku. Sampai kemudian sisiran itu berubah jadi pijatan lembut di kepala. “Enak enggak?” “Hm, tapi harusnya enggak usah!” “Diamlah, ini akan buat kamu lebih fresh.” Ah pria ini kenapa setiap hari ada saja perbuatannya yang membuatku salah tingkah sendiri. Apakah benar jika rasa sayangnya padaku tulus? Aku hanya takut kalau yang ia lakukan ini hanya untuk menutupi hal yang ia lakukan di belakangku. “Sudah selesai,” katanya. “Hm, makasih. Mas pintar mijat juga ya, hebat.” Aku berbalik menatapnya, sehingga kini mata kami jadi saling diam. Sampai ia kembali membelai legam rambutku dengan begitu lembut. Hampir saja aku kehilangan kendali karenanya. “Rambutmu bagus sekali.” “Biasa aja kok.” “Kamu jauh lebih cantik begini.” “Kalau kamu suka, aku bisa begini terus.” “Jangan sesekali memperlihatkan cantiknya dirimu pada orang lain lagi, ya.” “Insyaallah.” Sep
Ia pergi ke toilet dengan seringai di wajahnya.Entah apa yang akan dia lakukan. Jelas-jelas aku tidak sengaja dia malah tak terima. Memangnya apa yang rugi? Dia tak kehilangan apa pun.Seperti janjinya, ia mengimami salat subuh dengan alunan yang begitu merdu. Namun, usai salam yang terakhir, hatiku kembali merasa cemas.“Salim!”“Harus?”“Oh, ya sudah kalau enggak mau.”“Mau.”Ah aku bahkan tak pernah melakukan hal ini kecuali pada ayah. Itu pun sangat jarang karena memang kami tinggal terpisah. Bagaimana bisa aku akan melakukannya dengan pria ini.“Mas enggak akan maksa kalau memang belum mau.”Tanpa kata aku langsung menarik lengannya, lantas menghidunya dengan takzim.Payahnya baru menyentuh tangannya saja sudah tremor.“Hahaha.”Lihatlah sekarang, bahkan ia menertawakanku.“Kamu ini artis macam apa? Bukannya dulu kamu biasa melakukan sesi foto, kamu terlihat biasa saja. Kenapa denganku begitu gugup.”“Apa sih Mas, dulu ‘kan professionalitas semata. Sekarang bedalah.”“Apa bedany
“Mas sebenarnya mau melakukan apa?”“Mas tahu siapa biang dari masalah ini.”“Siapa?”“Kamu juga kenal orangnya. Sudah nanti saja kita bahas!”Ia sudah akan beranjak, tetapi kemudian malah kembali berbalik dan mendekat padaku. Ia tangkupkan kedua telapak tangannya itu di wajahku.Aku harus apa? Bahkan, dalam suasana yang genting saja ia masih saja bersikap romantis.“Jaga diri baik-baik, ya!”“Hm.”Tiba-tiba saja ia menarik kepalaku mendekat, sampai kemudian kurasakan benda kenyal itu menempel di keningku. Ada bekas basah yang kian mengering seiring dengan hembusan angin yang menerpa wajah, begitu pintu rumah kami terbuka.Bodohnya kenapa aku hanya diam saja. Seharusnya berontak saja.“Aku harus pergi Al, jangan sedih. Semuanya akan baik-baik saja. Bahkan jika mereka berhasil mengantongi bukti itu, Mas yang akan membuktikan sendiri kalau pernikahan kita memang sungguhan.”“Terima kasih, tapi bisakah berjanji satu hal saja padaku.”“Apa?”“Aku cuma punya Mas di sini, janji buat kembali
Aku tidak menyadari jika aku terlalu lama berada di toilet, sampai kemudian Mas Syahru menyusul ke sini. Aku buru-buru keluar agar ia tak khawatir.“Ada apa? Kenapa lama banget ke toiletnya? Perutmu sakit?”“Hm, sedikit, tapi udah lebih baik.”“Apa karena obat antidepressant itu?”“Enggak.”“Obatnya sudah habis dan aku udah enggak pernah minum lagi sejak sebulan yang lalu.”“Loh, kenapa?”“Maaf, tapi kepalaku sering sakit kalau terus-terusan minum obatnya.”“Terus sekarang kenapa bisa sakit?”“Mungkin cuma masuk angin. Aku mau ganti baju dulu, gamisku kena muntahan.”“Muntah? Memangnya dari tadi kamu muntah?”“Iya.”“Kapan terakhir datang bulan?”“Hm, ya Allah udah 2 minggu yang lalu.”Pria itu mendadak tersenyum, bukan hanya tersenyum ia bahkan tiba-tiba saja mengangkatku dan memutarnya.Ya Tuhan aku masih lemas karena muntah yang tak kunjung usai, ia malah membuatku pusing dengan berputar-putar.“Mas turunin dulu, aku mabok!”“Maaf ya, Mas seneng aja. Ini kamu pasti hamil Sayang.”
Bahkan sekarang melihatku tak berdaya. Pria ini tak hanya memanggilkan dokter, ia juga rela mengurus rumah bahkan menyuapiku makan dan membantu ke toilet.Entah kenapa dengan fisikku. Aku begitu takut dengan ancaman, setelah berbulan-bulan terus saja ditekan dengan berbagai hinaan, makian bahkan kadang-kadang ada juga beberapa akun yang mengancamku. Aku masih baik-baik saja, karena aku pikir itu hanya ucapan tanpa pembenaran. Namun, nyatatanya saat tahu jika kemarin aku benar-benar diancam. Pertahananku benar-benar runtuh.“Al, kita ke rumah sakit saja ya!”“Enggak Mas, aku baik-baik saja.”“Kamu terus saja waspada sejak kemarin bahkan belum tidur sama sekali.”Bagaimana aku bisa tidur jika, setiap waktu aku terus ketakutan kalau mungkin saja ada yang akan datang ke rumah. Ketakutan itu semakin menjadi mana kala tak ada orang di rumah.“Reza enggak akan ke sini Sayang, kalau kamu terus begini bisa ganggu kesehatan. Kita ketemu psikiater aja oke?”“Aku enggak gila.”“Enggak semua orang
“Ya Allah Mas, itu bukannya orang yang pernah datang ke rumah kita?”“Iya, itu anak buahnya Reza.”“Mau apa lagi coba? Kok bisa tahu kita ada di sini?”“Entah, nah itu Rezanya datang. Kamu jangan jauh-jauh dari Mas. Sini pegangan! Kita emang enggak bisa terus menghindar. Di sini banyak CCTV jadi kalau ada apa-apa banyak saksinya. Kamu jangan takut!”Pria itu menggenggam lenganku lantas mulai berjalan menuju Reza yang kini juga menatap kami ke arah yang sama. Di sampingnya sudah ada dua orang pria berbadan tegak dan besar yang melihat kami dengan tatapan sangarnya yang khas.Tak lama beberapa bawahannya yang lain juga datang dan berjajar di belakangnya. Namun, seolah tak kenal takut Mas Syahru terus melangkah.Sampai kemi berdiri tepat di depan pria itu, ia tiba-tiba saja menghadiahi pukulan yang cukup keras di perut sahabatnya. Hampir saja dua bawahannya membalaskan apa yang ia lakukan pada Reza, kalau saja tak dicegah oleh atasannya, aku yakin Mas Syahru juga sudah mendapatkan pukula
“Apa sih Sayang, pikiran kamu itu ya! Kotor banget.”“Memang kenyataannya begitu ‘kan?”“Suamimu ini masih normal. Mana mungkin mau melakukan hubungan sesama jenis. Membayangkannya saja sangat mengerikan.”“Ya terus kalau Reza nginep dia tidur di mana?”“Di bawah, di sofa tempat Mas biasa tidur.”“Memangnya dia mau.”“Ya, harus mau. Suruh siapa numpang tidur di sini. Sudah tahu rumahnya kecil.”Ternyata berbeda sekali perlakuannya padaku dan orang lain.“Meskipun Mas berteman baik, Mas juga enggak naif. Dia dari awal memang keliatan enggak normal sejak kasus pelecehan itu, jadi harus pintar jaga diri.”“Baguslah.”“Udah enggak marah lagi?”Aku hanya menggeleng.“Cie ada yang cemburu.”“Aku hanya bertanya, tolong jangan menafsirkannya sebagai cemburu.”“Orang enggak akan bertanya jika tidak cemburu.”Entah sejak kapan pria ini menjadi sangat narsis. Sepanjang jalan menuju rumah ia bahkan terus saja memaksaku untuk mengakui kecemburuanku padanya.“Iya, aku cemburu sama Reza. Puas?”Seka
“Loh, memangnya sudah?”Aku bahkan bisa melihat matanya yang sejak tadi meredup, mendadak berbinar.Aku hanya mengangguk, tetapi pria itu malah kembali memelukku. Kali ini ia bahkan mendaratkan kecupan singkat di kening.“Sejak kapan?”“Memangnya harus aku kasih tahu?”“Ya harus dong, Sayang.”“Mungkin sebelum Mas mengutarakan semuanya.”“Ya Allah, ih masa sih. Enggak nyangka deh.”“Terus kenapa kemarin kesannya kamu kayak mau nolak Mas.”“Siapa yang enggak shock lihat pasangan sendiri punya hubungan yang cukup dekat dengan sesama jenis lagi. Aku hanya perlu waktu meyakinkan diriku sendiri, kalau memang semua in hanya salah paham.”“Jadi sekarang ceritanya sudah yakin?”“Insyaallah, melihat bagaimana Mas bersikeras untuk melindungiku. Itu saja sudah cukup untuk membuktikan semuanya.”“Kalau begitu ayo!”“Ke mana?”Ia malah menatap pintu kamar kami yang saat itu masih terbuka. Siapa lagi yang melakukannya kalau bukan Reza si pembuat onar itu bahkan tak menutupnya kembali.“Mas memangny
“Kamu di rumah aja. Mas yang ke sana. Kunci pintu ya, jangan keluar kalau ada yang ketuk. Mas ‘kan tahu sandinya jadi pasti langsung masuk.”“Oke.”Aku hanya bisa mengiyakan apa yang diperintahkan suamiku, sebelum akhirnya ia pergi untuk mengatasi kekacauan. Saat itu aku memang mengantarnya sampai ke depan.Namun, begitu aku akan kembali masuk, Luna yang kebetulan tengah membuang sampah malah menyapaku.“Pagi Ka, baik-baik aja ‘kan?” katanya.Entah kenapa ia bertanya seperti itu. Apakah memang wajahku terlihat bermasalah?“Alhamdulillah.”“Syukurlah, oh ya Ka, aku boleh minta tolong boleh enggak?”“Apa?”“Hari ini aku masak banyak buat acara nanti siang. Kakak bisa enggak cobain masakan aku, kurang apa gitu. Aku enggak percaya diri, masalahnya aku baru mau coba masak. Resepnya aja lihat di youtube.”“Boleh.”Gadis cantik berusia 22 tahun ini merupakan seorang karyawan di bank swasta. Setahuku ia memang tak suka memasak, bahkan pernah mengatakan jika ia tak tahu sama sekali tentang bu
Hingga terdengar decit pintu yang terbuka barulah aku berani untuk membuka selimut. Untungnya yang datang suamiku.“Jangan takut Al, itu hanya ban motor yang tetangga yang pecah.”“Astaghfirrullah.”“Kejadian kemarin pasti bikin kamu trauma, ya?”“Enggak kok Mas, aku cuma sedikit takut aja. Enggak sampai ke tahap trauma. Terus bagaimana orang yang bawa motornya baik-baik aja ‘kan?”“Alhamdulillah. Mas Danu baik-baik saja kok. Dia baru aja pulang shift 3.”“Ada-ada saja.”“Iya, sampai tetangga kita keluar semua. Dikira bom.”Aku sampai tertawa karenanya. Memang bunyinya seperti itu.“Nah, begitu dong. ‘Kan tambah cantik kalau ketawa.”“Apa sih Mas, pagi-pagi bukannya sarapan malah gombal.”“Lihat wajah kamu aja sudah kenyang kok.”“Ih, malah tambah gombal. Sudahlah aku mau ke bawah dulu, kita sarapan roti bakar dulu ya.”“Hm, boleh. Asalkan buatanmu semuanya enak.”“Timbang masukin ke panggangan aja kok enak, Mas. Itu mah standar rasanya.”“Tapi, ‘kan beda rasanya kalau makanan dibuat
Tepat saat hantaman keras pada pintu itu semakin intens terdengar, petugas keamanan untungnya segera datang. Barulah aku berani menilik dari celah gorden yang terbuka. Itu pun dari balik kamar yang berada di lantai 2. Rupanya tak hanya ada petugas, orang-orang sekitar rumah pun ikut melihat kekacauan itu.Ya Tuhan aku pikir ia menghantam pintu dengan tangannya. Namun, setelah melihat halaman rumah yang berantakan barulah aku tahu jika ia bahkan tak sekedar datang, tetapi juga merusak.Melihat dari kejauhan saja, sepertinya postur tubuh itu sangat mirip dengan Reza.“Ya Allah jangan-jangan memang dia, yang menyebarkan berita itu. Lagi pula siapa lagi orang terdekat kami yang mengetahui rahasian ini, selain dia.”Aku bergegas turun, mengingat salah satu petugas keamanan mulai mengetuk pintu. Sepertinya mereka ingin aku memberikan keterangan.Luna yang tak lain salah satu tetangga rumahku, seketika menghambur dan memelukku erat.“Ka Alea baik-baik aja, ‘kan?” katanya dengan wajah yag kha
“Mas sebenarnya mau melakukan apa?”“Mas tahu siapa biang dari masalah ini.”“Siapa?”“Kamu juga kenal orangnya. Sudah nanti saja kita bahas!”Ia sudah akan beranjak, tetapi kemudian malah kembali berbalik dan mendekat padaku. Ia tangkupkan kedua telapak tangannya itu di wajahku.Aku harus apa? Bahkan, dalam suasana yang genting saja ia masih saja bersikap romantis.“Jaga diri baik-baik, ya!”“Hm.”Tiba-tiba saja ia menarik kepalaku mendekat, sampai kemudian kurasakan benda kenyal itu menempel di keningku. Ada bekas basah yang kian mengering seiring dengan hembusan angin yang menerpa wajah, begitu pintu rumah kami terbuka.Bodohnya kenapa aku hanya diam saja. Seharusnya berontak saja.“Aku harus pergi Al, jangan sedih. Semuanya akan baik-baik saja. Bahkan jika mereka berhasil mengantongi bukti itu, Mas yang akan membuktikan sendiri kalau pernikahan kita memang sungguhan.”“Terima kasih, tapi bisakah berjanji satu hal saja padaku.”“Apa?”“Aku cuma punya Mas di sini, janji buat kembali