Widihh kagak terasa udah bab 100 aja nih wkwk Coba di komen, berapa orang yang bertahan sampai sejauh ini :P
Suasana di dalam apartemen Leah terasa begitu mencekam, seperti udara yang dipenuhi oleh awan gelap sebelum badai. Leah duduk di sofa, tubuhnya membungkuk, kedua tangannya mencengkram rambutnya dengan erat.Kepalanya menunduk, wajahnya dipenuhi oleh frustasi yang tak terbendung. Seharusnya, dalam waktu dekat ini, dia sudah bisa mendapatkan apa yang dia incar selama bertahun-tahun. Tapi sekali lagi, Luna yang sudah hampir ada di genggamannya lepas begitu saja."Jacob sialan!" teriak Leah tiba-tiba, suaranya memecah keheningan ruangan. Tangannya meninju meja di depannya, membuat gelas yang ada di atasnya bergetar. "Ini semua gara-gara dia!"Eric yang baru saja muncul dari kamar, langsung terdiam di tempatnya. Matanya memperhatikan Leah yang sejak kemarin terlihat seperti orang yang kehilangan akal sehat. Wajahnya yang biasanya dingin dan penuh perhitungan, kini berubah menjadi liar, penuh emosi yang tak terkendali."Kau terlalu sembrono, Leah," ucap Eric dengan suara datar, meski ada sed
Tiga hari telah berlalu sejak Jacob meninggalkan pulau, dan kehidupan Luna seakan kembali pada ritme yang tenang dan damai. Tanpa tekanan, tanpa rasa takut, hanya kebebasan yang membuatnya bisa bernafas lega. Pulau keluarga Jacob memang seperti surga kecil yang terisolasi dari dunia luar. Di sini, Luna merasa aman, terlindungi, dan bebas menjadi dirinya sendiri.Pagi ini, Luna menghabiskan waktunya di taman luas yang dipenuhi dengan kelinci-kelinci lucu. Tawa riangnya menggema, bercampur dengan desiran angin yang membawa aroma bunga-bunga segar. Dia berlari kesana kemari, mencoba menangkap kelinci-kelinci kecil yang berlarian menghindarinya. Wajahnya bersinar dengan kebahagiaan yang tulus, seperti anak kecil yang baru saja menemukan mainan favoritnya.Setelah berhasil memasukkan anak-anak kelinci ke dalam kandang, Luna menatap mereka dengan senyum puas. "Kalian lucu sekali," bisiknya, sebelum menutup pintu kandang dengan hati-hati. Saat dia berbalik, tiba-tiba—"Aaaaah!" teriaknya kage
Sebuah ruangan yang sunyi, hanya diterangi oleh cahaya redup dari lampu gantung yang menggantung di atas meja kayu besar. Nico dengan langkah hati-hati menyelinap masuk ke dalam ruang kerja ayahnya. Matanya langsung tertuju pada sebuah bingkai foto yang tak pernah berpindah posisi sejak pertama kali diletakkan di atas meja itu. Foto itu seperti benda sakral yang dijaga dengan ketat, seolah menyimpan rahasia besar.Dengan penuh rasa kesal, Nico meraih bingkai foto itu. Di dalamnya, terpampang wajah Luna yang tengah tersenyum lebar, seolah tak ada beban di dunia ini. Nico memerhatikan foto itu dengan seksama, matanya menyipit seolah mencoba mengingat sesuatu. Ada sesuatu yang mengganjal di benaknya. Wajah Luna terasa begitu familiar, seolah dia pernah bertemu dengannya di suatu tempat. Tapi di mana? Dia tidak bisa mengingatnya."Wajahnya tidak asing, tapi aku tidak tahu di mana aku pernah melihatnya," gumam Nico pelan, suaranya hampir tak terdengar. Jari-jarinya memegang erat bingkai fo
Mobil hitam yang dikendarai Nico meluncur pelan sebelum akhirnya berhenti tepat di depan gedung perkantoran megah. Saat ia melangkah keluar, pandangannya langsung tertuju pada sebuah mobil mewah yang baru saja berhenti beberapa meter darinya. Dari dalam mobil itu, Jacob Lawson muncul, wajahnya tetap tenang dan penuh dengan aura kepemimpinan yang tak tergoyahkan. Nico mendesis pelan, matanya menyipit seperti predator yang sedang mengincar mangsanya."Jacob Lawson," gumam Nico dalam hati, rasa tidak suka yang mendalam terpancar dari tatapannya. Ada sesuatu di dalam dirinya yang ingin melihat ekspresi dingin Jacob itu hancur, ingin melihat pria yang selalu tampak sempurna itu terjatuh dari singgasananya.Tanpa disadari oleh Jacob, Nico mengikuti langkahnya menuju gedung yang sama. Mereka berdua ternyata menuju ke tempat yang sama, sebuah rapat penting yang melibatkan perwakilan perusahaan Jacob dan perusahaan Russel Calderon. Hanya saja, kali ini yang mewakili Russel adalah putranya.Saat
Russel berdiri di tengah ruangan, wajahnya bersinar dengan kegembiraan yang tak terbendung. Akhirnya, setelah sekian lama mencari dia tahu di mana Luna berada. Kebenaran itu seperti angin segar yang menghapus semua keraguan dan kekhawatiran yang selama ini membebani pikirannya. Tak peduli bahwa Luna saat ini sedang menjalin hubungan dengan Jacob, Russel tahu dia harus segera menjemput putrinya. Baginya, tidak ada yang lebih penting daripada memastikan Luna kembali ke pangkuannya.Di dalam ruang tahanan, Nico masih berdiri dengan ekspresi yang sulit dibaca. Dia berusaha menyembunyikan keterkejutannya, tapi matanya yang sedikit melebar dan rahang yang mengeras menunjukkan betapa dia tidak menyangka bahwa Russel ternyata menguping pembicaraan mereka. Keith yang masih terikat, menatap Nico dengan maya menyala-nyala dengan kemarahan.Russel menepuk bahu Nico dengan senyum lebar. "Kau pintar juga membuat perempuan ini berkata jujur," pujinya, suaranya penuh dengan kepuasan. "Sekarang, aku h
Suara tawa Luna yang riang bergema di sepanjang pantai, bercampur dengan desiran ombak yang bergulung-gulung menghantam pasir. Gadis itu berlari-lari kecil, memamerkan kerang-kerang hasil tangkapannya dengan wajah yang bersinar penuh kebahagiaan. Sementara itu, Jacob sibuk membongkar bebatuan di tepi pantai, mencari gurita kecil yang bersembunyi di balik celah-celah karang. Matanya fokus, tapi sesekali dia mencuri pandang ke arah Luna, menikmati keceriaan yang terpancar dari gadis itu.Di sekitar mereka, hanya ada kedamaian. Matahari sore yang mulai turun memancarkan cahaya keemasan, menerangi pantai yang sepi. Tak ada yang bisa merusak momen indah ini, setidaknya, untuk saat ini."Apa ini masih belum cukup banyak?" tanya Luna sambil mengangkat keranjang kecil yang berisi kerang hasil tangkapannya. Matanya berbinar penuh harap, seolah ingin mendapatkan pujian dari Jacob.Jacob menoleh, senyum kecil mengembang di bibirnya. Dia memasukkan dua gurita kecil yang berhasil dia tangkap ke da
Mansion utama kini benar-benar sunyi. Para pelayan telah kembali ke tempat mereka masing-masing, menjauh dari area tempat tinggal Jacob, memberikan ketenangan yang hampir terasa asing di rumah sebesar ini. Setelah makan malam, Jacob melangkah menuju halaman samping, tempat kolam renang yang jarang digunakan tetap berkilauan di bawah cahaya bulan.Kolam itu memang tidak besar, kedalamannya kurang dari dua meter. Namun, airnya begitu jernih, seolah tetap terjaga meskipun tak ada sistem penyaringan canggih yang bekerja secara rutin.Jacob menjatuhkan tubuhnya di kursi santai, melemaskan otot-ototnya setelah seharian beraktivitas. Namun, baru saja ia hendak memejamkan mata, langkah ringan terdengar mendekat.Luna datang dengan anggun, membawa sebotol wine dan dua gelas di tangannya. Tatapannya menyiratkan sesuatu, bukan sekadar ingin menikmati anggur bersama, tapi juga ada pertanyaan yang mengganjal di benaknya.Jacob hanya menatapnya sekilas sebelum mengambil botol wine itu dan mulai men
Malam itu, udara terasa hangat meski langit telah gelap. Jacob dengan lembut membawa Luna naik dari kolam, tubuhnya yang basah diturunkan perlahan ke kursi santai. Refleks, Luna menyilangkan kedua tangannya di depan dada, menyadari bahwa pakaiannya entah sejak kapan telah terlepas. Rasa malu menyergapnya, tapi Jacob tak memberinya kesempatan untuk bersembunyi.Dengan gerakan halus, Jacob meraih tangan Luna, menariknya perlahan. "Aku sudah melihat semuanya, Luna. Bagian mana lagi dari dirimu yang belum aku lihat?" ucapnya dengan seringai menggoda.Wajah Luna memerah, panas menyebar dari pipinya hingga ke seluruh tubuh. Pandangan Jacob menyusuri setiap lekuk tubuhnya, seolah-olah ia sedang mengagumi sebuah mahakarya. Luna merasa terbakar, tapi di saat yang sama, ada sesuatu yang membuatnya tak bisa menarik diri. Jacob sudah melihat segalanya, bahkan sudah menyentuh bagian-bagian yang paling rahasia dari dirinya."Cukup!" Luna menutup wajah Jacob dengan telapak tangannya, mencoba mengalih
Setengah jam berlalu, Xavier dan Diego masih mengobrol seperti dua teman lama yang sedang menikmati waktu santai. Gelas demi gelas minuman mereka habiskan, sesekali tawa kecil terdengar, meski lebih terasa seperti suara dua predator yang merencanakan sesuatu.Akhirnya, setelah puas berbicara, Xavier berdiri. "Ada hal yang perlu aku lakukan," ucapnya. Diego mengangguk, menepuk bahu Xavier sebelum ikut beranjak pergi.Begitu langkah mereka menghilang di balik pintu, bartender yang sejak tadi menyajikan minuman untuk kedua pria itu melirik ke bawah meja. Dengan nada tenang, ia berbisik, "Mereka sudah pergi. Kau bisa keluar dari persembunyianmu sekarang."Perlahan, seorang wanita muncul dari tempatnya berjongkok. Hazel menarik nafas dalam-dalam, mengamati sekeliling untuk memastikan benar-benar aman.Awalnya, ia tidak menyangka bisa bertemu dengan Xavier di dalam kapal ini, dan lebih dari itu, mendengar pembicaraan pria itu yang membuat amarahnya mendidih."Kenapa setiap orang yang dekat
Suara deru mesin mobil memecah keheningan malam saat kendaraan hitam berhenti di dermaga. Xavier turun lebih dulu, langkahnya tegas dan tanpa ragu, langsung berbicara dengan seseorang yang sudah menunggunya. Wajahnya tetap dingin, tanpa ekspresi, seakan kehadirannya saja sudah cukup untuk membuat orang lain merasa terintimidasi.Dari sisi lain, Luna turun dengan sedikit ragu. Begitu kakinya menginjak dermaga, matanya langsung tertuju pada dua kapal pesiar megah yang bersandar tak jauh dari tempatnya berdiri. Cahaya lampu dari kapal itu memantul di permukaan air laut, menciptakan pemandangan yang begitu menakjubkan, namun sekaligus membuatnya merasa kecil.Jantungnya berdetak lebih cepat. Selama satu minggu kedepan, ia harus berada di dalam kapal itu bersama pria yang ... jujur saja ... menakutkan. Ditambah lagi, ini pertama kalinya ia berada di kapal sebesar itu, yang tingginya nyaris menyamai gedung lima belas lantai.Tanpa memperdulikan keterpanaan Luna, suara dingin Xavier menginte
Teriakan penuh amarah mengguncang ruangan, menggema hingga ke dinding-dinding yang seolah ikut bergetar karena kemarahan Russel. Dengan gerakan kasar, ia meraih vas bunga di atas meja dan melemparkannya ke lantai. Pecahan keramik berhamburan, nyaris mengenai kaki anak buahnya yang hanya bisa berdiri dengan kepala tertunduk."Brengsek!" Russel berbalik dengan mata membara, jemarinya teracung tajam ke arah pria yang berdiri membeku di hadapannya. "Bukankah aku sudah menyuruhmu memastikan bahwa Jacob ada di dalam mobil itu?! Tapi lihat apa yang terjadi! Dia masih hidup! Itu berarti yang kalian ledakkan tadi hanyalah mobil kosong! Kegagalan macam apa ini?!"Anak buahnya tetap diam, tahu betul bahwa berdebat hanya akan memperparah situasi. Russel tidak butuh alasan, yang ia inginkan hanyalah hasil.Pria itu semakin murka. Rahangnya mengeras, pikirannya berputar liar. Bagaimana mungkin Jacob bisa lolos? Apakah dia sudah mengetahui rencananya sejak awal? Mungkinkah ini semua adalah jebakan y
Kekacauan masih belum mereda. Kabar pertunangan itu terus bergulir, menyebar bagaikan api yang disiram bensin. Namun, yang lebih menggemparkan adalah terbongkarnya identitas Xavier sebagai cucu George Davis, sebuah fakta yang selama ini terkubur rapi dalam bayang-bayang. Dan kini, untuk pertama kalinya, Xavier tidak punya pilihan selain berdiri di hadapan publik dengan gelar yang selama ini ia hindari.Konferensi pers pun digelar.Di tengah kilatan kamera dan suara gemuruh wartawan yang berlomba mendapatkan sudut terbaik, Xavier melangkah masuk ke ruangan. Setelan hitamnya yang sempurna, sorot mata tajamnya, dan aura dominan yang terpancar dari dirinya membuat suasana seketika terasa lebih tegang.Ia duduk dengan tenang di kursi yang disediakan, sementara wartawan sudah tak sabar melontarkan pertanyaan."Sir, mengapa Anda menyembunyikan identitas sebagai cucu George Davis?""Apa benar transaksi ilegal yang muncul beberapa hari lalu melibatkan Anda?""Kapan pernikahan Anda dengan putri
Rumor seperti api yang membakar reputasi Russel Calderon. Kontrak-kontrak penting mulai dibatalkan satu per satu, saham Zenith merosot tajam, dan ruang kerjanya yang biasanya megah kini terasa seperti sel isolasi. Teleponnya berdering tanpa henti karena pada investor yang panik, rekan bisnis yang curiga, bahkan media yang haus sensasi.Tidak terasa tiga hari berlalu semenjak rumor itu muncul, beberapa pihak kepolisian datang untuk memeriksa dirinya terlibat dalam transaksi pengiriman senjata. Penyelidikan terus dilakukan, saham perusahaan mengalami masalah karena rumor yang terus membesar.Di saat Xavier dan Russel terlibat perselisihan, semua orang tidak ada yang memperhatikan Luna. Hal ini menjadi kesempatan untuk Luna menikmati waktu yang ia punya, karena semenjak Xavier pergi sehari setelah pertunangan, sejak itu pula Luna tak melihat pria itu pulang."Hei, kau dimana?" tanya Luna pada seseorang di sambungan telepon.Begitu seseorang di telepon itu menjawab, Luna langsung pergi me
Pukul tujuh pagi, Luna membuka pintu kamarnya dengan perlahan, udara dingin apartemen mewah Xavier menyergap kulitnya. Namun, sebelum ia sempat mengambil langkah pertama, suara kasar memecah kesunyian pagi."Brengsek! Dia berani melakukannya?!"Suara Xavier yang bergema di ruangan membuat Luna membeku. Dadanya berdegup kencang, apakah kemarahan itu ditujukan padanya?Dengan hati berdebar, ia melihat Xavier berdiri di ruang tamu, wajahnya merah padam, tangan mencengkeram ponsel seolah ingin menghancurkannya. Matanya yang biasanya dingin kini membara seperti api neraka."Siapa yang membuatnya marah seperti ini?" batin Luna.Xavier menoleh tiba-tiba, dan tatapan mereka bertemu. Luna nyaris mundur, ada sesuatu yang mengerikan dalam sorot matanya pagi ini. Tapi sebelum sempat berkata apapun, Xavier mendengus keras, lalu berbalik dan berjalan cepat menuju kamarnya.Beberapa detik kemudian, ia keluar lagi, kini mengenakan jas hitam yang membuatnya terlihat seperti malaikat maut. Tanpa sepata
Pada akhirnya, hari yang tidak diinginkan itu tiba. Yaitu pesta pertunangan, walaupun bukan pesta besar, tapi kabar mengenai hal ini kemungkinan besar akan dengan cepat didengar oleh publik bahwa putri dari Russel Calderon telah bertunangan.Luna menatap keluar jendela kaca besar, pemandangan kota terlihat dari tempat ia berdiri. Langit gelap dan lampu-lampu di gedung tinggi tampak bersinar, ia seperti seekor hewan peliharaan yang berharap untuk bisa mendapatkan kebebasan."Kau terjebak, dan tidak ada cara untuk melarikan diri." ucap Nico yang berdiri tak jauh di belakang Luna.Perlahan Luna berbalik, menatap adik tirinya yang beberapa waktu terakhir sikapnya lebih baik, terlihat dari sorot matanya kalau Nico itu sebenarnya peduli padanya, tapi pria muda itu enggan untuk mengakui hal itu."Kamu benar, aku terjebak. Bagaikan seekor hewan yang terjerat oleh perangkap seorang pemburu," ucap Luna sambil melewati Nico menuju meja dan meraih sepasang anting untuk ia pakai.Nico memperhatika
Luna baru saja keluar dari bandara sambil membawa koper, tapi matanya langsung melihat dua orang bodyguard yang siap menjemput. Salah satu mendekat, meraih koper dan membawanya pergi sementara satu yang lainnya seakan memastikan Luna tak tersentuh oleh para pendatang di bandara tersebut.Tak ada kebahagiaan yang terpancar di wajah Luna, hanya tekanan batin yang ia rasakan karena harus meninggalkan Jacob tanpa satu katapun. Ia ingin bertahan, hidup bahagia seperti apa yang Jacob tawarkan, tapi itu berat bagi Luna kalau pilihannya itu malah membuat Jacob celaka di kemudian hari."Silakan, Nona," ucap salah satu bodyguard dengan suara datar, membukakan pintu mobil hitam mengkilap yang sudah menunggu. Luna masuk tanpa protes, jendela mobil yang gelap seakan memantulkan bayangannya yang hampa.Kediaman Calderon menyambutnya dengan kemewahan yang tiba-tiba terasa menusuk. Russel tersenyum ramah, tapi sorot matanya tajam, seperti pedagang yang baru saja menutup transaksi menguntungkan."Baga
Waktu terasa berlalu begitu cepat. Luna bergegas dari dapur saat dering ponselnya memecah kesunyian. Jantungnya berdegup kencang ketika melihat nama "Xavier" berkedip di layar. Tangannya gemetar saat mencoba mengatur nafas, memastikan suaranya tak akan terdengar mencurigakan saat menjawab."Baik, tenang," bisiknya pada diri sendiri sebelum akhirnya mengangkat telepon. "Halo?"Suara Xavier langsung memenuhi telinganya, dingin dan penuh ancaman. "Ingat baik-baik, Luna. Kau tidak boleh terlambat satu menit pun untuk acara pertunangan kita. Tiga hari lagi. Liburanmu tersisa satu hari. Jika kau berani melawan..." Ada jeda yang sengaja dibuat dramatis. "Aku tidak akan tinggal diam."Luna memejamkan mata erat-erat, mencoba menahan getar di suaranya. "Aku mengerti. Besok aku akan kembali.""Dan ingat ini," sambung Xavier, suaranya tiba-tiba lebih rendah namun sepuluh kali lebih mengerikan. "Aku benci mengulangi kalimat yang sama. Kalau kau berulah..." Ancaman itu menggantung di udara. "Jangan